Pages

03 July 2012

Dosa Seksual Dalam Pelayanan (1) : Seberapa Seriuskah Perjuangan Kita?

Dalam dua puluh tahun terakhir terdapat beribu-ribu orang di seluruh Amerika Serikat  yang berjuang melawan dosa seksualnya dan  kenyataan ini telah membuat  workshop konseling  menjadi  intensif. Lebih dari separuhnya adalah para pastor/pendeta dan para misionaris.

Saya harap pengalaman kami ini unik bagi anda

Beberapa tahun lalu seorang profesor seminari berkata kepada saya :”Kami tidak lagi menanyai siswa-siswa yang masuk apakah mereka berjuang melawan pornografi, kami menganggap setiap siswa berjuang mengatasinya. Pertanyaan yang kami tanyakan :”Seberapa seriuskah perjuangan yang mereka lakukan?


Satu agen misi-misi mengatakan kepada saya bahwa 80% para pelamar secara terbuka menyatakan berjuang melawan pornografi, ini berakibat  berkurangannya staf di lapangan.

Pornografi hanyalah satu level dosa, sebuah bentuk dosa visual, atau perzinahan hati. Perzinahan secara fisik termasuk, perselingkuhan, perselingkuhan dengan lebih dari satu orang, dan homoseksualitas. Perilaku-perilaku seksual lainnya yang lebih jahat  dalam pelayanan adalah  “perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak menghasilkan buah-buah apapun…menyebutkan sajapun apa yang dibuat oleh mereka di tempat-tempat yang tersembunyi telah memalukan” (Efesus 5:11-12).

Menghadapi krisis ini kira harus memahami secara benar natur masalah ini,  minta Tuhan untuk menyelidiki hati kita, dan berkomitmen untuk memulihkan setiap orang  yang terlibat didalam dosa seksual “dalam roh lemah lembut” (Galatia 6:1)

Sudah sejak lama  saya memikirkan dengan seksama dan memiliki dua  pertanyaan sulit : Mengapa orang berulangkali kembali  melakukan dosa seksual dan mengapa orang menjauhi dosa seksual.

Rayuan Melakukan Dosa

Pertama, saya  akan berkata bahwa setelah dua dekede menolong mereka yang terpenjara oleh dosa seksual, saya diyakinkan bahwa konsep  kecanduan dosa sebagai sebuah penyakit tidaklah sepenuhnya  mengindentifikasikan keseriusan masalah.  Jika kita ingin serius dengan masalah yang ada didalam gereja , pemikiran kita dapat tergelincir dalam memahaminya. Masalah sesungguhnya tersembunyi dikedalaman hati. Benih nafsu paling kecilpun adalah sebuah indikasi  kerusakan hati manusia dalam skala yang luas.

Ini adalah sebuah  perbudakan yang tidak dapat dihancurkan oleh manajemen perilaku  dalam bentuk apapun, program pemulihan atau konseling. Sisi dalam manusia  yang begitu hancur oleh dosa sehingga tidak ada  yang dapat kita lakukan untuk mengubahnya.

Ketika seseorang berada didalam  cengkraman dosa, tidak ada pengharapan untuk melakukan reformasi  atau upaya  secara mandiri, karena  mereka hidup menuruti “hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat” (Efesus 2:3). Mengatakannya secara blak-blakan, mereka yang hidup dalam kebiasaan dosa adalah “mati” didalam pelanggaran-pelanggaran dan dosa” (efesus 2:1). Mati, kehilangan  nyawa atau kehidupan rohani. Mati untuk menemukan kepuasan  bersama Tuhan. Mati untuk  hidup didalam tujuannya. Kekudusan mati. Hikmat mati. Kemurnian mati. Kasih mati. Seperti Daud, pendosa seksual telah berdosa “melawan Tuhan” (2 Samuel 12:13), dan dengan melakukannya, sudah “nyata-nyata menista Tuhan” (ayat 14). Fakta yang mengerikan adalah mereka “pada dasarnya adalah anak-anak yang dimurkai” ( Efesus 2:3).

Saya percaya kecanduan memperparah keseriusan dosa dan pentingnya karya Tuhan ketika karya Tuhan memberi kekuatan kepada pecandu seksual untuk menerima  bahwa pemulihan hanya akan berhasil ketika mereka mulai percaya untuk percaya bahwa mereka   adalah orang baik pada dasarnya dan memiliki sebuah penyakit.

Diagnosa-diagnosa selalu menentukan metode perawatan. Sehingga orang ‘baik’ hanya perlu menjadi serius, mengikuti langkah-langkah pemulihan, dan  tetap berada dalam pemulihan. Namun kebalikannyalah yang benar. Ketika berurusan dengan dosa kita harus segera memegang erat pengajaran Yesus Kristus, “sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan” (Markus 7:21)

Pada hakekatnya dan oleh pilihan kita memuaskan diri kita sendiri, memberontak melawan Tuhan, dan tidak memiliki pemahaman yang akurat  terhadap kedalaman permasalahan kita. Hati ini   memperdaya, dan tanpa perubahan supernatural makan akan semakin buruk. Satu-satunya pengharaoan adalah “anugerah Tuhan…melatih kita untuk menanggalkan hasrat-hasrat yang  duniawi dan Nazis, dan hidup dalam pengendalian diri, hidup  yang lurus dan saleh didalam zaman ini” (Titus 2:11-12).

Perhatikan dengan seksama dan anda akan melihat bahwa pendosa seksual mengalami kekecewaan dalam pengejaran mereka pada apa yang pada dasarnya adalah intimasi palsu. Seperti ada seorang pastor/pendeta yang menjalani kehidupan  dua hubungan perzinahan, camkan :”Inilah kegilaan itu : Saya belum lagi menyelesaikan satu perbuatan seksual dan segera saja diriku  pecah berkeping-keping, diluluhlantakan oleh apa yang telah saya perbuat, tetapi saya tetap saja kembali dan kembali kedalam hubungan berdosa yang sama.”

Sebagai orang-orang berdosa kita diciptakan  untuk intimasi dan bersukacita. Oleh karena itu, “Cara untuk memerangi hawa  nafsu adalah memberi makan iman dengan  janji-janji berharga dan luar biasa sehingga  hati kita yang terdalam akan melihat muka dengan muka kemuliaan Tuhan yang memuaskan semuanya” (Future Grace, 338 “The way to fight lust is to feed faith with the precious and magnificent promise that the pure in heart will see, face to face, the all-satisfying God of glory”)

Namun demikian pendosa seksual, tidak menemukan kenikmatan dalam  intimasi ( hubungan  yang lekat) yang sesungguhnya dengan Tuhan, pada puncaknya tidak menemukan kenikmatan didalam intimasi yang palsu. Intimasi yang sesungguhnya memiliki baik duka dan kenikmatan, intimasi palsu menawarkan ilusi tanpa kesulitan, tetapi pada ahirnya tidak ada kesenangan yang sesungguhnya! Terpisah dengan  menggantikan “kebenaran tentang Tuhan dengan sebuah dusta” (Roma 1:25) disinilah anda berada dengan kenikmatan untuk saat ini yang sesaat, namun akan menjalani  penderitaan untuk selama-lamanya.

Bersambung

Sexual Sin in the Ministry, Harry Scaumburg | Martin Simamora

No comments:

Post a Comment