Pages

25 February 2012

Tanggapan Dr. Steven E. Liauw atas serangan Pdt. Budi Asali terhadap artikel Kedaulatan Allah dan Kebebasan Manusia yang Alkitabiah

Tujuan artikel ini adalah untuk menjawab tuduhan-tuduhan dan argumen-argumen yang dikemukakan oleh Pdt. Budi Asali dalam tanggapannya terhadap artikel yang saya tulis beberapa waktu lalu. Artikel yang saya tulis, berjudul “Kedaulatan Allah dan Kebebasan Manusia yang Alkitabiah,”(http://www.grapheministry.org/download/Kedaulatan_Allah-pandangan_Alkitabiah.pdf) ternyata ditanggapi oleh Pdt. Budi Asali (http://golgothaministry.org/kristenfundamental/kristenfundamental_calvinisme.htm). Memang, saya menulis artikel ini pertama sekali adalah karena ditantang oleh salah satu pengikut Asali untuk menanggapi tulisannya (saya lupa judul persisnya), yang berhubungan dengan kedaulatan Allah dan penetapan Allah akan segala sesuatu. Walaupun demikian, saya tidak mau menanggapi langsung tulisan tersebut (dalam bentuk debat poin per poin), melainkan menulis artikel yang dapat dibaca secara bebas (tanpa perlu melihat artikel lain), tetapi yang menjawab hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan Allah dan kebebasan manusia.

Tanggapan Budi Asali:
Omong kosong. Yang anda hindari banyak yang merupakan point-point penting dalam persoalan kedaulatan Allah, maupun kebebasan manusia.



Setelah sekian lama, ternyata ditanggapi oleh Pdt. Asali.

Tanggapan Budi Asali:
Bukan setelah sekian lama baru saya tanggapi. Begitu saya tahu artikel itu ada di internet, dan lalu diberikan kepada saya oleh seseorang (saya lupa siapa), saya langsung menanggapi. Tetapi balasan anda yang ini, baru muncul 15 bulan setelah saya memberikan tanggapan saya (Nov 2010)! Jangan memutar-balikkan fakta, Liauw!

Sekarang akan saya tanggapi tanggapannya itu, tetapi dengan beberapa catatan:
1. Saya akan berusaha menjawab sesingkat mungkin, di mana hal itu dimungkinkan, tanpa mengurangi kejelasan. Hal ini karena waktu yang terbatas, dan saya yakin baik pembaca maupun Pdt. Asali juga memiliki waktu yang terbatas. Saya tidak yakin bahwa mendebatkan hal ini berkepanjangan adalah penggunaan waktu yang terbaik.

Tanggapan Budi Asali:
Hmmm, ini kata-kata licik dari orang yang memang tak mampu menanggapi. Omong kosong karena waktu terbatas lalu menanggapi sesingkat mungkin. Singkat kalau lengkap dan jelas, tak masalah. Tetapi singkat karena meloncati argumentasi lawan tanpa menanggapinya, merupakan omong kosong dari orang yang memang tak mampu menjawab. Kalau dari tanggapan anda yang tempo hari, kelihatannya ‘singkat’ itu berarti meloncati argumentasi-argumentasi yang tak bisa anda jawab, Liauw!Debat berkepanjangan tak jadi soal, selama tidak berputar-putar di satu titik! Kalau mau memperdebatkan seluruh ajaran Calvinisme, tidak mungkin debat satu atau dua kali.

2. Walaupun tanggapan Budi Asali menggunakan banyak sekali serangan ad hominem terhadap pribadi saya, saya tidak akan memakai cara yang sama terhadap lawan bicara saya ini. Hal ini karena Alkitab yang saya percayai menyuruh saya untuk memberikan pertanggungan jawab atas iman saya dengan lemah lembut dan hormat (1 Petrus 3:15). Selain itu, biasanya orang-orang yang menggunakan serangan ad hominem melakukannya karena memang ingin mendapatkan suatu advantage, yang berarti mereka kurang percaya diri dengan argumen inti mereka. Observasi seorang pendebat sangat cocok: When you have facts, you pound on the facts, when you don't have facts, you pound on the table. Saya merasa saya tidak perlu menyebut lawan bicara saya “bodoh” atau “tolol” karena itu bukan argumen. Saya yakin pembaca yang berhikmat sudah dapat melihat kebenaran dari argumen-argumen Alkitab dan logika yang saya suguhkan. Saya tidak dapat bersikap lunak terhadap pengajaran yang salah (Kalvinisme), tetapi saya tidak perlu bersikap kasar kepada pribadinya
(Kalvinis).

Tanggapan Budi Asali:
Demi pembaca yang tak mengerti istilah ‘ad hominem’, saya berikan arti yang diberikan kamus Webster: Secara hurufiah arti kata asing itu adalah ‘to the man’ (= kepada orangnya). Lalu artinya ‘attacking one’s opponent rather than dealing with the subject under discussion’ (= menyerang lawan seseorang dari pada menangani pokok yang didiskusikan).
Sekarang, apakah kata-kata ini cocok untuk tulisan saya yang lalu? Saya tidak pernah menyerang lawan saya tanpa menangani pandangannya. Justru setelah saya mempertimbangkan dan membahas pandangannya, maka saya menyerang orangnya!
Saya berpendapat adalah mustahil untuk menyerang pandangannya tanpa menyerang orangnya! Kalau pandangannya tolol, tentu orangnya tolol. Kalau pandangannya sesat, tentu orangnya sesat!
Coba bandingkan dengan :
Gal 1:6-9 - “(6) Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, (7) yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus. (8) Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. (9) Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia.

Kalau mula-mula Paulus menyerang ajarannya (Injil yang lain), maka belakangan ia menyerang orang yang memberitakan Injil yang lain itu dengan kata ‘terkutuklah’! Jadi Paulus juga melakukan ad hominem, Liauw? Masih kurang? Mari kita lihat Fil 3:2 :
“Hati-hatilah terhadap anjing-anjing, hati-hatilah terhadap pekerja-pekerja yang jahat, hati-hatilah terhadap penyunat-penyunat yang palsu”.

Apakah ini bukan menyerang orangnya? Jelas ya, karena tidak mungkin kita menyerang pandangan tanpa menyerang orang yang mempunyai / mengajarkan pandangan itu!
Mungkin anda mengatakan Paulus salah. Mari kita lihat Yesus sendiri :
Mat 23:13-36 - “(13) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk. (14) [Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.] (15) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri. (16) Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata: Bersumpah demi Bait Suci, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat. (17) Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu? (18) Bersumpah demi mezbah, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi persembahan yang ada di atasnya, sumpah itu mengikat. (19) Hai kamu orang-orang buta, apakah yang lebih penting, persembahan atau mezbah yang menguduskan persembahan itu? (20) Karena itu barangsiapa bersumpah demi mezbah, ia bersumpah demi mezbah dan juga demi segala sesuatu yang terletak di atasnya. (21) Dan barangsiapa bersumpah demi Bait Suci, ia bersumpah demi Bait Suci dan juga demi Dia, yang diam di situ. (22) Dan barangsiapa bersumpah demi sorga, ia bersumpah demi takhta Allah dan juga demi Dia, yang bersemayam di atasnya. (23) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. (24) Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan. (25) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. (26) Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih. (27) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. (28) Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan. (29) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh (30) dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu. (31) Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu. (32) Jadi, penuhilah juga takaran nenek moyangmu! (33) Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak! Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka? (34) Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, (35) supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah. (36) Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya semuanya ini akan ditanggung angkatan ini!’”.

Coba katakan, Liauw, Yesus hanya menyerang / menangani ajarannya atau juga menyerang orangnya? Yesus juga ad hominem, Liauw?

Anda tidak kasar? Siapapun yang membaca tulisan anda akan merasakan bahwa anda menulis dengan sinis, dan bahkan dengan cara memfitnah! Pada waktu menyebut ‘Calvinist’ dsb, anda menggunakannya dengan cara yang sangat sinis. Itukah yang anda sebut sebagai ‘lemah lembut dan hormat’??? Salahkah kalau saya balas? Kalau orang bicara baik-baik saya juga akan jawab baik-baik. Sebelum salahkan / kecam orang, bercermin dulu, Liauw, bagaimana cara anda bicara / menulis di internet!

Saya kurang percaya diri pada pandangan saya? Hehehe, saya yakin 100 %, dan berani memperdebatkannya dengan siapa saja. Mau debat terbuka? Saya layani, kalau perlu di depan mahasiswa-mahasiswa sekolah theologia anda. Anda dan ayah anda lawan saya dan Esra. Bagaimana?

Yesus sendiri menyebut tolol / bodoh (Mat 23:17), jadi dia juga salah dan tidak percaya diri?
Coba berikan contoh satu orang yang beriman dan saleh dalam Alkitab, yang bersikap lemah lembut terhadap penyesat-penyesat yang kurang ajar! Tidak ada! Coba baca bagaimana cara Yohanes Pembaptis bicara terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Mat 3)! Coba lihat bagaimana Paulus bicara tentang penyesat-penyesat di Galatia (Gal 1:6-9). Saya hanya mengikuti teladan dari orang-orang saleh dalam Alkitab, termasuk Yesus sendiri! Salahkah itu, Liauw?

Saya selalu mengatakan apa adanya. Kalau argumentasinya tolol, ya saya katakan tolol. Kalau orangnya sesat ya saya katakan sesat, dan kalau orangnya tolol ya saya katakan tolol. Ketololan suatu ajaran / argumentasi tidak bisa dipisahkan dari ketololan orangnya, karena memang muncul dari dia! Coba tunjukkan dimana saya mengatakan tolol, kecuali pada saat anda memang memberikan argumentasi yang tolol, Liauw!

Saya ingin beri komentar tentang kata-kata anda When you have facts, you pound on the facts, when you don't have facts, you pound on the table. Hehehe, lucu sekali. Yang saya tahu, Yesus mempunyai faktanya, ‘but He overthrew the tables’ (tetapi Ia membalikkan meja-meja) - John 2:15b - KJV.
Ia lebih buruk dari saya, ya Liauw?

Dan tentang kata ‘lemah lembut’ baik dalam 1Pet 3:15 maupun Mat 5:5, apakah anda menafsirkan sebagaimana adanya? Saya kira anda sebagai seorang doktor seharusnya tahu arti kata itu sebenarnya. Tetapi in case anda tidak tahu, saya kutipkan kata-kata William Barclay tentang kata lemah lembut dalam Mat 5:5 di bawah ini.

Matthew 5:5 ‘Blessed are the meek, for they will inherit the earth.’
In our modern English idiom, the word meek is hardly one of the honourable words of life. Nowadays, it carries with it an idea of spinelessness, subservience and mean-spiritedness. It paints the picture of a submissive and ineffective person. But it so happens that the word meek—in Greek praus—was one of the great Greek ethical words.
Aristotle has a great deal to say about the quality of meekness (praotēs). It was Aristotle’s fixed method to define every virtue as the happy medium between two extremes. On the one hand there was the extreme of excess; on the other hand there was the extreme of defect; and in between there was the virtue itself, the happy medium. To take an example, on the one extreme there is the spendthrift; on the other extreme there is the miser; and in between there is the generous person.
Aristotle defines meekness, praotēs, as the balance between orgilotēs, which means excessive anger, and aorgēsia, which means excessive angerlessness. Praotēs, meekness, as Aristotle saw it, is the happy medium between too much and too little anger. And so the first possible translation of this beatitude is:
Blessed are those who are always angry at the right time, and never angry at the wrong time.
If we ask what the right time and the wrong time are, we may say as a general rule for life that it is never right to be angry for any insult or injury done to ourselves—that is something that no Christian must ever resent—but that it is often right to be angry at injuries done to other people. Selfish anger is always a sin; selfless anger can be one of the great moral dynamics of the world.
But the word praus has a second standard Greek usage. It is the regular word for an animal which has been domesticated, which has been trained to obey the word of command, which has learned to respond to the reins. It is the word for an animal which has learned to accept control. So the second possible translation of this beatitude is:
Blessed are those who have every instinct, every impulse, every passion under control. Blessed are those who are entirely self-controlled.

The moment we have stated that, we see that it needs a change. It is not so much the blessing of those who are self-controlled, for such complete self-control is beyond human capacity; rather, it is the blessing of those who are completely God-controlled, for only in his service do we find our perfect freedom and, in doing his will, our peace.
But there is still a third possible side from which we may approach this beatitude. The Greeks always contrasted the quality which they called praotēs, and which the Authorized Version translates as meekness, with the quality which they called hupsēlokardia, which means lofty-heartedness. In praotēs, there is the true humility which banishes all pride.
Without humility we cannot learn, for the first step to learning is the realization of our own ignorance. Quintilian, the great Roman teacher of oratory, said of certain of his scholars: ‘They would no doubt be excellent students, if they were not already convinced of their own knowledge.’ No one can teach people who know it all already. Without humility there can be no such thing as love, for the very beginning of love is a sense of unworthiness. Without humility there can be no true religion, for all true religion begins with a realization of our own weakness and of our need for God. True humanity can only be reached when we are always conscious that we are the creatures and that God is the Creator, and that without God we can do nothing.
Praotēs describes humility, the acceptance of the necessity to learn and of the necessity to be forgiven. It describes the only proper attitude to God. So, the third possible translation of this beatitude is:
Blessed are those who have the humility to know their own ignorance, their own weakness, and their own need.

It is this meekness, Jesus says, which will inherit the earth. It is the fact of history that it has always been those who possess this gift of self-control, those with their passions, instincts and impulses under discipline, who have been great. Numbers says of Moses, the greatest leader and the greatest law-giver the world has ever seen: ‘Now the man Moses was very humble, more so than anyone else on the face of the earth’ (Numbers 12:3). Moses was no milk-and-water character; he was no spineless creature; he could be blazingly angry; but he was a man whose anger was on the leash, only to be released when the time was right. The writer of Proverbs has it: ‘One whose temper is controlled [is better] than one who captures a city’ (Proverbs 16:32).
It was the lack of that very quality which ruined Alexander the Great, who, in a fit of uncontrolled temper in the middle of a drunken debauch, hurled a spear at his best friend and killed him. We cannot lead others until we have found our own direction in life; we cannot serve others until we have put aside self; we cannot be in control of others until we have learned to control ourselves. But those who give themselves into the complete control of God will gain this meekness, which will indeed enable them to inherit the earth.
It is clear that this word praus means far more than the English word meek now means; it is, in fact, clear that there is no one English word which will translate it, although perhaps the word gentle comes nearest to it. The full translation of this third beatitude must read:
o the bliss of those who are always angry at the right time and never angry at the wrong time, who have every instinct, impulse and passion under control because they themselves are god-controlled, who have the humility to realize their own ignorance and their own weakness, for such people can indeed rule the world!

Bagi para pembaca yang tidak bisa bahasa Inggris, saya kutipkan di bawah ini dari buku saya tentang Mat 5:5, yang sudah merupakan intisari dari kata-kata Barclay di atas.

Kata ‘lemah lembut’ dalam bahasa Yunaninya adalah PRAUS, yang merupakan suatu kata yang sukar sekali untuk diterjemahkan. William Barclay memberikan 3 hal untuk menjelaskan arti PRAUS ini:

a)   Ia mengatakan bahwa Aristotle sering mendefinisikan suatu sifat di antara dua sifat yang extrim. Misalnya: murah hati terletak diantara pelit / kikir dan boros.
PRAUS terletak diantara ‘marah yang berlebih-lebihan’ dan ‘tidak pernah marah’. Jadi, orang yang PRAUS bukannya tidak pernah marah, juga bukannya marah yang berlebihan, tetapi selalu marah pada saat yang tepat. Perlu diingat bahwa marah belum tentu merupakan dosa. Musa disebut sebagai orang yang lemah lembut (Bil 12:3), tetapi ia pernah marah (Kel 32:19).
Bil 12:3 - “Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi”.

Kel 32:19 - “Dan ketika ia dekat ke perkemahan itu dan melihat anak lembu dan melihat orang menari-nari, maka bangkitlah amarah Musa; dilemparkannyalah kedua loh itu dari tangannya dan dipecahkannya pada kaki gunung itu”.

Demikian juga dengan Tuhan Yesus. Ia menyebut diriNya lemah lembut (Mat 11:29), tetapi berulang-ulang Ia marah (Mat 23:13-36  Yoh 2:13-17  Mark 3:5).
Mat 11:29 - “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan”.
Mark 3:5 - “Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekelilingNya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: ‘Ulurkanlah tanganmu!’ Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu”.

Yoh 2:13-17 - “Ketika hari raya Paskah orang Yahudi sudah dekat, Yesus berangkat ke Yerusalem. Dalam Bait Suci didapatiNya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ. Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkanNya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkanNya. Kepada pedagang-pedagang merpati Ia berkata: ‘Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah BapaKu menjadi tempat berjualan.’ Maka teringatlah murid-muridNya, bahwa ada tertulis: ‘Cinta untuk rumahMu menghanguskan Aku.’”.
Kemarahan yang bersifat egois / selfish anger (misalnya kalau kita marah karena ada orang berbuat salah kepada kita), jelas adalah kemarahan yang salah. Tetapi kemarahan yang terjadi pada waktu kita melihat orang lain ditindas (bdk. 1Sam 11:6), atau pada saat kita melihat suatu dosa, atau pada saat kita melihat adanya ajaran sesat (Wah 2:2  2Kor 11:4), jelas merupakan kemarahan yang benar.
1Sam 11:6 - “Ketika Saul mendengar kabar itu, maka berkuasalah Roh Allah atas dia, dan menyala-nyalalah amarahnya dengan sangat.

Perhatikan bahwa Roh Allah berkuasa atas Saul, tetapi ia menjadi sangat marah, karena ada penindasan terhadap orang-orang Yabesy-Gilead.
Wah 2:2 - “Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat, bahwa engkau telah mencobai mereka yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, bahwa engkau telah mendapati mereka pendusta”.

Jemaat gereja Efesus ini dipuji oleh Tuhan, karena mereka tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat / rasul-rasul palsu.
2Kor 11:4 - “Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima”.

Sebaliknya, jemaat Korintus dikecam oleh Paulus karena mereka sabar saja pada waktu ada pengajar-pengajar sesat. 

b)Kata PRAUS juga digunakan terhadap binatang yang sudah dijinakkan / dikuasai sehingga tunduk sepenuhnya kepada pemilik / majikannya. Jadi dalam arti yang kedua ini orang yang PRAUS adalah orang dikuasai / tunduk sepenuhnya kepada Tuhan.
Penerapan: kalau saudara mendengar Firman Tuhan yang ‘menyerang’ hidup saudara, apalagi kalau ‘mengurangi’ penghasilan saudara, apakah saudara mau tunduk?

c) Dalam bahasa Yunani, PRAUS sering dikontraskan dengan sombong. Jadi PRAUS mengandung arti ‘rendah hati’.
Bdk. Maz 37:11 - “Tetapi orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah”.
Kerendahan hati timbul karena pengenalan yang benar tentang diri sendiri. Karena itu Mat 5:3 (kenal diri sendiri sebagai orang penuh dosa) harus terjadi sebelum Mat 5:5 (rendah hati) bisa terjadi.

Jadi, menggunakan kata-kata keras seperti ‘tolol’, dsb, tak harus dianggap bertentangan dengan keharusan untuk bersikap ‘lemah lembut’!

By the way, di atas anda bilang mau menjawab singkat, tetapi di sini anda justru bicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak perlu, dan mau berusaha menunjukkan kepada pembaca seakan-akan saya adalah orang kasar dan biadab? Apakah ini bukan ad hominem juga, Liauw??? Malah ad hominem yang tersamar, Liauw? Dengan kata lain, ad hominem yang munafik? Anda cuma membuang-buang  waktu tanpa ada gunanya untuk hal yang tak penting, tetapi untuk topik yang betul-betul dibahas, anda tak punya waktu? Betul-betul hebat!

3.Sebenarnya, artikel dasar yang saya tulis saja sudah bisa mematahkan tanggapan dari Budi Asali ini, karena dalam tanggapannya dia mengiyakan dan mengukuhkan apa yang saya katakan adalah inti pengajaran Kalvinisme: bahwa Allah menetapkan segala sesuatu, termasuk segala dosa yang terjadi.

Tanggapan Budi Asali:
Hmmm, selalu memotong dan loncat pada suatu kesimpulan seenaknya sendiri! Saya memang mengakui bahwa Calvinisme mengajarkan bahwa Allah menetapkan segala sesuatu, tetapi apa hubungannya itu dengan ‘anda bisa mematahkan tanggapan saya’? Saya mengatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu, tetapi saya memberikan dasar Alkitab yang sampai sekarang anda tak bisa jawab. Dan itu berarti anda mematahkan tanggapan saya? Anda memang tolol, Liauw! Ini ad hominem? Bukan, ini adalah fakta, Liauw! Karena tanpa dasar apapun anda mengclaim kemenangan! Tolol, dan juga lucu!

Tetapi supaya lebih jelas lagi, saya tanggapi sebagai berikut
Untuk diketahui: Tulisan hitam adalah artikel dasar yang saya tulis pertama. Tulisan warna biru adalah tanggapan dari Budi Asali. Tulisan warna merah terang adalah penekanan oleh Budi Asali pada teks saya. Tulian merah marun seperti yang sekarang ini adalah tanggapan saya atas tanggapan dia.Catatan Redaksi :redaksi melakukan perubahan "kode" warna diatas  agar  sesuai dengan warna latar blog, sehingga : tulisan warna biru menjadi ungu muda, tulisan warna Hijau menjadi Oranye, merah marun menjadi kuning sementara tulisan hitam dan warna merah terang, tetap.

Tanggapan Budi Asali:
Tanggapan saya yang terbaru dengan warna hijau terang( Oranye -red) seperti ini, dan saya awali dengan kata-kata ‘Tanggapan balik dari Budi Asali’.


Kedaulatan Allah dan Kebebasan Manusia yang Alkitabiah Dr. Steven E. Liauw Dapatkan versi full artikel ini dalam bentuk PDF di bagian “Artikel Gratis” atau “Free Articles” di website Graphe, di bawah menu “Download”

I. Pendahuluan
Salah satu hal yang secara paling mendasar mempengaruhi bagaimana seseorang memandang dunia ini, adalah konsepnya tentang Allah. Beritahukan pada saya, apa yang seseorang percayai tentang Allah, maka saya dapat memprediksikan apa pendapat orang tersebut dalam berbagai hal, dan bahkan bagaimana orang tersebut akan bertindak dalam berbagai situasi. Tentu ada ruang yang lebar untuk variasi individu, tetapi pandangan seseorang tentang Allah berada pada poros inti moralitas dan filosofinya.
Seorang atheis, misalnya, bahkan tidak percaya ada Allah. Oleh karena itu, atheis yang konsisten, tidak akan memiliki moralitas yang absolut. Ada atheis yang tidak memiliki moralitas sama sekali dan menunjukkan kepada dunia apa yang terjadi jika atheisme diimani secara konsekuen sampai pada kesimpulan akhirnya. Jika tidak ada Allah, maka manusia hanyalah binatang lainnya, dan tidak ada konsep benar atau salah. Oleh karena itu, mereka berlaku tidak lebih dari binatang yang pintar, melakukan apapun juga yang diingini tanpa ada rasa tanggung jawab sedikitpun. Dalam hal ini, tindakan mereka bahkan bisa lebih kejam dari binatang, karena binatang cukup puas dengan mempertahankan hidup dan eksistensi mereka, sedangkan manusia yang tidak bermoral dikuasai oleh nafsu yang tidak pernah mengenal cukup.

Tentu banyak atheis yang tidak seperti itu. Mereka masih memiliki moralitas, walaupun moralitas yang relatif. Walaupun secara intelektual mereka menolak eksistensi Allah, tetapi karena alasan-alasan lain (rasa kemanusiaan, tenggang rasa, budi pekerti yang dipelajari sejak kecil, dll), mereka mempertahankan sejenis moralitas. Tetapi ini tidak berarti bahwa atheisme dapat menghasilkan moralitas.

Moralitas pada seorang atheis adalah sisa-sisa kebenaran ilahi yang universal, yang belum terkikis habis oleh atheisme itu, yang masih ada pada individu tersebut. Ia bermoral bukan karena ia atheis. Sebaliknya, ia bermoral walaupun ia seorang atheis, karena dia belum mau menerima konsekuensi logis dari atheisme. Dapat kita katakan bahwa ia adalah seorang atheis dalam teori, tetapi belum atheis dalam praktek, minimal belum sepenuhnya. Ada ketidakkonsistenan antara apa yang ia percayai dengan apa yang ia lakukan, tetapi ketidakkonsistenan yang menguntungkan.
Bagaimana dengan orang-orang yang percaya ada Allah? Apakah mereka semua ini sama? Tentu tidak!
Tanpa perlu mengupas tentang deisme, pantheisme, panentheisme, atau yang lainnya yang sudah pasti akan membawa penganutnya ke pandangan yang berbeda-beda, bahkan di kalangan theis sekalipun (percaya Allah sebagai pribadi yang immanen dan transenden), ada perbedaan cara berpikir yang cukup luas, tergantung kepada konsep dia tentang pribadi Allah.
Ketika seseorang menekankan bahwa Allah adalah mahakasih, tanpa melihat aspek lain dari sifat-sifat Allah, maka ia akan sampai kepada kesimpulan yang salah. Banyak orang senang dengan Allah yang mahakasih, tetapi tidak mau Allah yang mahakudus atau Allah yang mahaadil. Mereka merasionalisasikan: Allah yang mahakasih tentu tidak akan mengirim orang ke neraka untuk selama-lamanya!

Tetapi rasionalisasi seperti ini sungguh salah. Ada dua kesalahan yang terjadi. Kesalahan PERTAMA adalah merasionalisakan sifat Allah dengan mengabaikan pernyataan jelas Alkitab. Banyak sekali ayat Alkitab yang menyatakan bahwa manusia yang berdosa dan menolak kasih karunia penyelamatan Allah, akan binasa untuk selama-lamanya dalam neraka. Matius, misalnya, mencatat peringatan Yesus bahwa lebih baik masuk Surga dalam kondisi timpang dan buta daripada dengan tubuh lengkap, tersesat dan masuk ke dalam api yang kekal (Mat. 18:8). Jadi, pernyataan kaum universalis bahwa semua manusia akan masuk Surga, bertentangan dengan pernyataan jelas dalam Alkitab. Seharusnya, bagi orang yang sungguh menjunjung tinggi Alkitab sebagai standar, adanya pernyataan jelas dalam Alkitab menjadi pandu yang berotoritas. Seharusnya terjadi pemikiran seperti berikut:“Jika Alkitab menyatakan bahwa orang-orang yang tidak bertobat akan masuk neraka untuk selama-lamanya, maka pemikiran awal saya (bahwa Allah yang mahakasih tidak mungkin mengirim orang ke neraka) adalah salah. Saya harus merevisi ulang premis dasar pemikiran saya.” Ini adalah sikap yang benar. Tetapi sayang, yang biasanya terjadi adalah pemelintiran ayat-ayat kitab Suci untuk mendukung pemikiran dasar seseorang. Bukannya berpikir bahwa ada yang salah dengan premis dasar (karena bertentangan dengan ayat-ayat jelas Alkitab), yang bersangkutan justru sibuk mencoba menjelaskan ayat-ayat Alkitab itu agar masuk ke dalam konsep dia.
Kesalahan KEDUA adalah terlalu menekankan satu sifat Allah, tanpa melihat sifat-sifat Allah yang lain. Ketika seseorang berjalan tanpa membiarkan Alkitab mengoreksi premis dasarnya, maka tidak mungkin dihindari dia akan berlebihan menekankan salah satu sifat Allah. Penekanan yang berlebihan ini justru membuat pengertiannya akan sifat Allah tersebut menjadi salah.
Sang universalis terlalu menekankan tentang kasih Allah, sehingga mengabaikan kekudusan Allah dan keadilan Allah. Manusia yang berdosa tidak dapat berkenan kepada Allah yang mahakudus, dan tidak mungkin masuk Surga tanpa ada penyelesaian dosa terlebih dahulu. Allah yang adil tidak mungkin tidak menjalankan hukumNya sendiri, bahwa dosa harus dihukum. Kita bisa melihat bahwa menekankan satu sifat Allah di atas sifat-sifatNya yang lain akan menghasilkan pemahaman tentang Allah yang timpang. Allahnya sang universalis, bukan lagi menjadi Allah yang mahakasih, melainkan Allah yang lemah, yang tidak berani menjalankan hukumNya sendiri. Kasih yang demikian juga bukanlah kasih yang sejati, karena kasih yang sejati selalu harmonis dengan kebenaran. Semua pendahuluan di atas mengantar saya kepada topik inti dari tulisan ini, yaitu kedaulatan Allah dan hubungannya dengan kebebasan manusia.

Dalam kekristenan ada satu kelompok yang banyak berbicara mengenai “kedaulatan Allah,” yaitu kelompok Kalvinis. Kalvinis membuat premis dasar dari pemahaman mereka akan “kedaulatan Allah.” Menurut mereka, karena Allah berdaulat, maka Allah pastilah telah menetapkan segala sesuatu. Segala sesuatu artinya adalah segala sesuatu. Jadi, setiap tindakan manusia maupun malaikat, setiap pikiran manusia maupun malaikat, telah ditentukan oleh Tuhan. Lebih lanjut lagi, Tuhan sudah menentukan dari semula, bahkan sebelum penciptaan, bahwa Dia akan menciptakan sebagian manusia untuk diselamatkan, dan Dia akan menciptakan sebagian manusia untuk dibinasakan. Keselamatan atau kebinasaan ditentukan oleh Allah tanpa pertimbangan apapun di luar diri Allah! Lebih lanjut lagi, sesuai dengan pemilihan keselamatan/kebinasaan itu, Allah hanya akan menyediakan keselamatan bagi yang terpilih selamat. Dan Allah akan
memaksakan (memberi tanpa dapat ditolak) “kasih karunia”Nya kepada orang-orang yang terpilih untuk selamat ini.
Tanggapan saya:
Calvinist tak pernah mengatakan ‘memaksakan’, sekalipun memang menggunakan istilah Irresistible Grace (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak). Tak bisa menolak tak berarti dipaksa untuk menerima, karena Allah melahirbarukan orang itu, dan itu mengubah orang itu sedemikian rupa sehingga ia pasti dengan sukarela dan sukacita menerima Kristus.
Westminster Confession of Faith, Chapter III, 1: “God from all eternity, did, by the most wise and holy counsel of His own will, freely, and unchangeably ordain whatsoever comes to pass; yet so, as thereby neither is God the author of sin, nor is violence offered to the will of the creatures; nor is the liberty or contingency of second causes taken away, but rather established” (= Allah dari sejak kekekalan, melakukan, oleh rencana dari kehendakNya sendiri yang paling bijaksana dan suci, dengan bebas, dan dengan tidak berubah menetapkan apapun yang akan terjadi; tetapi dengan demikian Allah bukan pencipta dosa, dan tidak digunakan kekerasan / pemaksaan terhadap kehendak dari makhluk ciptaan; juga kebebasan atau ketidakpastian / sifat tergantung dari penyebab kedua tidaklah disingkirkan, tetapi sebaliknya diteguhkan).
Catatan: Westminster Confession of Faith adalah Pengakuan Iman dari Gereja-gereja Reformed di Amerika.

Tanggapan:
Bisa-bisa saja bahwa Kalvinis tidak memakai istilah “memaksakan.” Tetapi saya sudah beri dalam tanda kurung penjelasan lebih lanjut: “Memberi tanpa dapat ditolak.” Asali mengakui dipakainya istilah irresistible grace. Bagi saya, irresistible dan “tidak dapat ditolak” sudah sama dengan memaksa. Kalvinis mengatakan bahwa manusia menerima Kristus dengan senang hati karena dilahirbarukan dulu oleh Tuhan. Tetapi kelahiran kembali itu kan juga kasih karunia. Jadi sebelum manusia itu lahir baru, dia berdosa, mati dalam dosa. Dalam kondisinya yang mati dalam dosa itu, apakah dia mau lahir baru? Kalvinis akan menjawab bahwa manusia yang mati dalam dosa, tidak mau lahir baru. Jadi, dalam Kalvinisme, manusia (yang selamat) dilahirbarukan tanpa pilihan, tanpa dapat menolak, dan bertentangan dengan keinginan dia (dia tidak mau lahir baru sebelum dilahirbarukan). Pembaca-lah yang dapat menilai, apakah ini tidak mirip dengan pemaksaan?
Percuma untuk mengatakan bahwa setelah lahir baru dia akan menerima Kristus dengan rela hati, karena: 1. Dia tidak punya pilihan untuk mau lahir baru atau tidak (jadi kelahiran baru dipaksakan padanya). 2. kerelaan hatinya adalah sesuatu yang telah Tuhan tetapkan dan toh tidak mungkin dia lawan.
Permasalahannya bukanlah apakah Kalvinis mau mengakui ini “memaksa” atau tidak. Kalvinis boleh jadi tidak mau mengakui, tetapi saya menyimpulkan. Silakan publik yang menilai.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Perhatikan kata-kata anda yang saya garis-bawahi, Liauw! Mula-mula anda mengatakan ‘sama dengan’, lalu anda mengatakan ‘mirip’. Yang mana yang benar? Anda tak bisa bahasa Indonesia, Liauw? Theologia adalah masalah kata-kata, dan karena itu kalau dalam hal seperti ini anda serampangan, tidak heran kalau theologia anda juga serampangan.

‘Tidak dapat menolak’ tidak sama ataupun mirip dengan ‘dipaksa’. Allah telah bekerja dalam diri orang itu, sehingga orang itu akan dengan sukarela dan sukacita menerima! Itu anda sendiri ketahui dan katakan dalam bagian yang saya bari garis bawah ganda dari kata-kata anda di atas. Tetapi anda tetap mengatakan ‘memaksa’? Kalau menerima dengan sukacita / sukarela, apakah itu terpaksa? Jawab ini, Liauw!
Pembicaraan anda tentang kelahiran baru menunjukkan bahwa anda sama sekali tidak mengerti (atau pura-pura tidak mengerti?) akan ajaran Calvinisme tentang kelahiran baru! Dalam Calvinisme, kelahiran baru terjadi sebelum pertobatan, di alam bawah sadar, sehingga tak seorangpun mengetahui / menyadari kapan persisnya ia dilahir-barukan! Karena di alam bawah sadar, maka bagaimana ia bisa menerima atau menolak, bagaimana ia bisa mau atau tidak mau? Tahu-tahu ia sudah lahir baru, tanpa persetujuan atau penolakannya. Saya sangat bersyukur karena kebenaran ini, karena, seandainya itu tergantung saya, saya pasti akan menolak!
Juga tentang kelahiran baru, yang merupakan istilah Alkitab, pasti ada persamaan dengan kelahiran jasmani. Saya tanya anda, Liauw, pada saat anda dilahirkan oleh ibu anda, apakah itu berurusan dengan kemauan anda? Apakah anda bisa menerima atau menolak, mau atau tidak mau, untuk dilahirkan? Apakah pada waktu dilahirkan anda punya pilihan, mau atau tidak mau, Liauw? Jawab ini, Liauw!
Juga Alkitab menggunakan bentuk pasif ‘dilahirkan’. Jadi tak ada apapun yang kita lakukan untuk itu. Itu sepenuhnya tergantung Roh Kudus, mau melahirkan kita kembali, atau tidak. Dia yang aktif, kita pasif total.
Yoh 3:3,5,7 - “(3) Yesus menjawab, kataNya: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.’ ... (5) Jawab Yesus: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. ... (7) Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali”.
Dan jangan menafsirkan ay 7 sebagai suatu perintah, yang bisa kita taati atau tidak kita taati. Adalah mustahil untuk mentaati / tidak mentaati perintah untuk dilahirkan. Bayi mana bisa mentaati perintah untuk dilahirkan? Jadi, itu bukan perintah, tetapi syarat untuk melihat / masuk kerajaan Allah. Sama seperti kalau dikatakan, ‘Untuk masuk ABRI saudara harus memiliki tinggi badan 170 cm’. Sekalipun ada kata ‘harus’ ini bukan perintah, tetapi syarat.
Dengan ini saya kira saya sudah hancurkan argumentasi anda tentang mau atau tidak mau, dipaksa atau sukarela, dan sebagainya.

Calvinisme memang tidak mengakui yang anda katakan. Anda boleh menyimpulkan, tetapi saya sebagai Calvinist, juga boleh menyimpulkan apa kesimpulan saya tentang kesimpulan anda.
Anda selalu hanya pakai logika, Liauw! Mana ayat Alkitabnya? Dan anda mengclaim diri sebagai Alkitabiah?
Kalau saya, saya bisa menunjukkan ayat Alkitab sebagai dasar.

Kis 16:14-15 - “(14) Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus. (15) Sesudah ia dibaptis bersama-sama dengan seisi rumahnya, ia mengajak kami, katanya: ‘Jika kamu berpendapat, bahwa aku sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, marilah menumpang di rumahku.’ Ia mendesak sampai kami menerimanya”.
Tuhan membuka hatinya. Ini menunjuk pada kelahiran baru. Itu menyebabkan ia mau mendengar dan memperhatikan kata-kata Paulus, dan lalu percaya dengan sukacita dan sukarela. Apakah terlihat bahwa ia terpaksa atau dipaksa? Sama sekali tidak. Itu kata-kata Alkitab, dan itu ajaran Calvinisme! Kalau tak ada kelahiran baru, berlaku 1Kor 2:14 - “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani”.

Orang yang seperti ini tidak akan percaya, tetapi itupun ia lakukan dengan kemauannya sendiri. Tak ada orang manapun dalam Alkitab, yang mau percaya, tetapi dipaksa oleh Tuhan untuk tidak percaya!

Kalvinis menegaskan bahwa setiap orang yang percaya bahwa Allah berdaulat harus sampai pada kesimpulan yang sama dengan mereka. Jikalau tidak, maka anda tidak benar-benar percaya bahwa Allah berdaulat! Oleh karena itulah saya terbeban untuk menulis tentang topik ini. Motivasi saya bukanlah untuk menyerang pribadi-pribadi tertentu. Saya tidak membenci satu orang Kalvinis pun, bahkan saya memiliki teman-teman baik di antara para Kalvinis. Motivasi saya adalah kebenaran. Saya tidak tahan melihat Allah yang saya sembah dan kasihi, digambarkan dengan sedemikian salah. Saya merinding melihat bagaimana loyalitas terhadap suatu dogma telah membuat banyak orang yang brilian dan baik menentang kata-kata jelas dari Alkitab. Saya ingin menggambarkan kedaulatan Allah yang sebenarnya dari dalam Alkitab.
Tanggapan saya:
Kalau ini memang betul-betul merupakan motivasi anda, saya menghargai anda. Tetapi mengapa anda memfitnah Calvinisme? Kalau mau meluruskan, jangan memfitnah! Banyak sekali dalam tulisan anda, anda mengatakan Calvinisme mengajar begini, Calvinisme mengajar begitu, padahal Calvinisme yang sebenarnya tidak pernah mengajar seperti apa yang anda katakan.
Biarpun motivasi anda bagus, tetapi kalau pengetahuan anda / cara menafsir anda salah, maka anda pada hakekatnya berusaha untuk membengkokkan apa yang sudah lurus!
Amsal 19:2 - “Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah”.
Ro 10:1-3 - “(1) Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan. (2) Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. (3) Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah”.
Tanggapan:
Pdt. Asali, saya rasa saya mengerti apa maksud anda. Misalnya, anda tidak merasa bahwa Kalvinisme membuang tanggung jawab manusia. Dan memang saya belum bertemu Kalvinis yang mengajar demikian. Yang saya ingin tunjukkan adalah bahwa walaupun Kalvinis masih memegang tanggung jawab manusia, sistem theologi mereka sebenarnya bertentangan dengan itu. Misalnya, anda tidak merasa bahwa Kalvinisme mengajarkan Allah bertanggung jawab atas dosa. Saya tidak mengatakan bahwa ada Kalvinis yang berkata demikian. Saya hanya tunjukkan bahwa pengajaran Kalvinisme, kalau mau konsisten akan mencapai konklusi demikian. Tolong hal-hal ini jangan dilihat sebagai fitnah, karena memang bukan. Hal-hal ini adalah kesimpulan, yang walaupun tidak muncul dari bibir Kalvinis, tetapi dapat ditelusuri akan menjadi hasil dari Kalvinisme. Kecuali kalau saya bilang: “Budi Asali berkhotbah bahwa manusia tidak perlu bertanggung jawab.” Nah, itu baru fitnah. Tetapi kalau saya bilang: Kalvinisme yang dianut Budi Asali, jika ditelusuri secara logis dan konsisten, akan bermuara pada hilangnya tanggung jawab manusia, maka itu bukan fitnah. Itu adalah hasil analisis saya terhadap Kalvinisme berdasarkan Alkitab dan logika. Pembaca boleh setuju, boleh tidak, tidak ditentukan oleh Tuhan.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Coba kita lihat apakah kata-kata anda di atas ini benar. Saya akan kutip ulang kata-kata anda sendiri di bawah ini:
“Semua pendahuluan di atas mengantar saya kepada topik inti dari tulisan ini, yaitu kedaulatan Allah dan hubungannya dengan kebebasan manusia. Dalam kekristenan ada satu kelompok yang banyak berbicara mengenai “kedaulatan Allah,” yaitu kelompok Kalvinis. Kalvinis membuat premis dasar dari pemahaman mereka akan “kedaulatan Allah.” Menurut mereka, karena Allah berdaulat, maka Allah pastilah telah menetapkan segala sesuatu. Segala sesuatu artinya adalah segala sesuatu. Jadi, setiap tindakan manusia maupun malaikat, setiap pikiran manusia maupun malaikat, telah ditentukan oleh Tuhan. Lebih lanjut lagi, Tuhan sudah menentukan dari semula, bahkan sebelum penciptaan, bahwa Dia akan menciptakan sebagian manusia untuk diselamatkan, dan Dia akan menciptakan sebagian manusia untuk dibinasakan. Keselamatan atau kebinasaan ditentukan oleh Allah tanpa pertimbangan apapun di luar diri Allah! Lebih lanjut lagi, sesuai dengan pemilihan keselamatan/kebinasaan itu, Allah hanya akan menyediakan keselamatan bagi yang terpilih selamat. Dan Allah akan memaksakan (memberi tanpa dapat ditolak) “kasih karunia”Nya kepada orang-orang yang terpilih untuk selamat ini”.

Perhatikan bagaimana anda menulis. Di atas anda mulai dengan menunjukkan ajaran Calvinisme, yang memang saya akui sebagai ajaran Calvinisme. Di bawah (pada kalimat terakhir), tanpa menyebutkan bahwa itu HANYA merupakan kesimpulan anda, anda mengatakan Dan Allah akan memaksakan (memberi tanpa dapat ditolak) “kasih karunia”Nya kepada orang-orang yang terpilih untuk selamat ini. Ini bukan ajaran Calvinisme! Tetapi siapapun yang membaca tulisan anda ini tidak akan menganggap ini sebagai kesimpulan anda, tetapi akan menganggap bahwa itulah ajaran Calvinisme! Ini yang saya katakan sebagai fitnah. Dan hal-hal seperti ini muncul sangat banyak dalam tulisan-tulisan anda maupun anak buah anda!

Mau contoh lagi, Liauw? Baca kutipan dari tulisan anda di bawah ini:
“Jadi, janganlah ada Kalvinis yang marah jika saya berkata, “allahnya Kalvinis adalah allah yang merencanakan dosa, dan yang mengharuskan manusia berbuat dosa.” Kalau anda Kalvinis, dan anda shock dengan pernyataan ini, maka anda belum tahu pengajaran Kalvinis yang sejati. Terus terang pertama kali saya mempelajari Kalvinisme, saya juga shock dengan deklarasi demikian. Tetapi setelah saya selidiki pengajaran tokoh-tokoh Kalvinis itu sendiri, saya dapatkan bahwa benar demikian. Dan sebelum saya dapat protes terhadap deklarasi mereka, para Kalvinis menyuguhkan dulu suatu premis lain lagi: “Kalau Allah mahatahu, itu berarti Allah telah menetapkan segala sesuatu, termasuk dosa.””.
Yang saya beri garis bawah ganda, bukan ajaran Calvinisme. Tetapi perhatikan kata-kata anda yang saya beri garis bawah tunggal. Itu jelas kelihatan bukan sebagai sekedar kesimpulan anda. Anda menyatakan secara explicit bahwa itu memang ajaran dari para tokoh-tokoh Calvinist!

Saya masih bisa memberi jauh lebih banyak lagi contoh-contoh, Liauw, tetapi saya rasa tidak perlu. Saya sudah membuktikan bahwa anda memang memfitnah para Calvinist, dan berarti termasuk memfitnah saya! Masih merasa aneh kalau saya melakukan tindakan ‘ad hominem’, mengatai anda tolol dsb?? Bagi saya, saya lebih baik dimaki tolol dari pada difitnah!

Sekarang bandingkan dengan cara saya menulis pada waktu saya membicarakan, bukan ajaran Arminianisme, tetapi konsekwensi dari ajaran Arminianisme. Saya beri kutipan saya dari tulisan yang lalu.
Dengan cara yang sama saya bisa menyerang Arminianisme. Kepercayaan Arminianisme bahwa keselamatan bisa hilang membuat seorang Kristen harus berusaha taat, tidak murtad dsb, kalau mau tetap selamat. Kalau mau konsisten, maka ini menjadi ajaran keselamatan karena iman + perbuatan baik. Tetapi puji Tuhan, Arminianisme yang sejati melakukanketidakkonsistenan yang menguntungkan (felicitous inconsistency)dengan tetap mempercayai keselamatan karena iman saja!”.
Perhatikan, Liauw, bagaimana saya betul-betul membedakan antara ajaran Arminianisme yang sesungguhnya, dan konsekwensi dari ajaran itu menurut saya. Dengan menulis seperti ini saya tidak memfitnah Arminianisme. Sangat berbeda dengan cara anda, Liauw!

Jadi, Liauw, dari pada berbelit-belit untuk membenarkan diri, sebaliknya anda mengaku salah dan minta maaf saja kepada semua Calvinist yang telah anda fitnah! Jangan tiru Adam dan Hawa pada waktu pertama kali berbuat dosa!

Tidak pernah dalam mimpi saya sekalipun, saya berpikir bahwa karya tulis saya akan membuat semua Kalvinis berubah. Orang yang telah menggolongkan dirinya dalam suatu kelompok, cenderung sulit untuk melihat segala sesuatu dengan netral.

Tujuan utama saya adalah orang-orang yang masih sedang menyelidiki dan mencari. Jika anda ingin tahu tentang kedaulatan Allah, kebebasan manusia, dan keselamatan, maka harapan saya buku ini bisa bermanfaat dalam anda mempelajari Alkitab. Ingatlah bahwa Alkitab adalah standar tertinggi.

Tetapi bagi para Kalvinis yang masih rela untuk menguji sistem yang telah mereka yakini selama ini, saya yakin buku ini juga akan bermanfaat. Saya minta untuk membaca karya tulis ini dengan hati yang terbuka, yang siap untuk menguji setiap premis dasar, membandingkannya dengan Alkitab. Sesudah menyelesaikan buku ini, setuju atau tidak setuju, adalah kebebasan anda! Tetapi suatu hari nanti, kita semua akan berdiri di hadapan Allah, mempertanggungjawabkan bagaimana kita menggunakan kebebasan yang telah Ia anugerahkan itu.
Tanggapan saya:
Saya pasti akan menerima apa yang anda katakan / ajarkan, kalau itu memang punya dasar Alkitab yang lebih kuat dari pandangan saya, dan bisa menggugurkan argumentasi-argumentasi saya. Dalam hidup saya sebagai orang Kristen, saya sudah banyak kali berubah pandangan. Dulu saya sendiri Arminian, dan pada waktu pertama kali mendengar ajaran Calvinisme tentang predestinasi, saya tidak bisa menerima. Tetapi setelah mendengar dengan hati terbuka, dan tunduk pada Alkitab, apa dasar-dasar dari doktrin tentang predestinasi, maka saya menerimanya.

Demikian juga pada waktu pertama kali mendengar tentang doktrin ‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas), saya tidak bisa menerimanya. Tetapi setelah mendengar argumentasi dari Alkitab yang diberikan, saya melihat bahwa saya tidak mungkin menolak doktrin itu tanpa sekaligus menolak Alkitabnya. Demikian juga pada waktu mendengar doktrin penentuan segala sesuatu (termasuk dosa), saya mula-mula menolak. Tetapi lagi-lagi setelah membaca argumentasi-argumentasi yang betul-betul didasarkan Alkitab, saya tunduk dan menerima ajaran itu. Jadi, kalau sekarang anda bisa menghancurkan argumentasi-argumentasi saya dan memberikan dasar Alkitab yang lebih kuat dari yang saya punyai, anda pasti bisa ‘mempertobatkan’ saya!

Tanggapan: Semoga anda masih bisa membuka mata!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Pasti Liauw, tetapi penuhi persyaratan saya, yaitu hancurkan semua argumentasi-argumentasi saya, dengan menggunakan Alkitab / Firman Tuhan yang ditafsirkan secara benar dan menyeluruh (bukan hanya main comot satu ayat, lalu mengabaikan ayat yang lain)!
Sayangnya, sampai sekarang saya tak melihat argumentasi apapun dari anda yang bisa menggoyahkan kepercayaan Calvinist saya!

Saya berani mengclaim diri saya sebagai orang yang betul-betul tunduk kepada Firman Tuhan!
Sedikit kesaksian saya, Liauw. Banyak tahun yang lalu, setelah lulus dari RTS (Reformed Theological Seminary), Jackson, Mississippi, pada tahun 1988, saya masih belum mempercayai bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Suatu hari saya berdebat dengan satu istri pendeta dan anaknya. Mereka percaya bahwa Allah menentukan segala sesuatu termasuk dosa, saya tidak. Saya hanya percaya Allah mengijinkan dosa. Dalam debat itu saya menang, karena mereka sebagai orang awam tak hafal / tahu ayat-ayat pendukung kepercayaan mereka. Setelah pulang, saya membaca buku Loraine Boettner, seorang ahli theologia Reformed, berjudul ‘Reformed Doctrine of Predestination’. Pada waktu saya membaca argumentasinya tentang hubungan kemahatahuan Allah dengan penentuan segala sesuatu, saya langsung tahu bahwa itu adalah suatu argumentasi berdasarkan gabungan Alkitab dan logika, yang tidak mungkin bisa saya bantah. Saya lalu membaca tentang hal-hal itu lebih banyak lagi, baik dari buku-buku para ahli theologia Reformed maupun dari Calvin sendiri, dan saya melihat dasar Alkitab dari ajaran itu ternyata luar biasa kuatnya, dan seperti saya telah katakan, tidak bisa saya tolak tanpa menolak Alkitabnya sendiri. Itu yang menyebabkan saya berubah pandangan, dan saya menerima secara mutlak ajaran tentang Allah menentukan segala sesuatu dalam arti kata yang mutlak. Cerita / kesaksian saya belum selesai, Liauw. Setelah itu saya datangi istri pendeta dan anaknya yang tadinya berdebat dengan saya, dan saya beritahu mereka kalau saya yang salah, mereka yang benar, tetapi mereka tak bisa memberikan argumentasi yang baik dan saya ajar mereka bagaimana seharusnya memberikan argumentasi untuk mendukung ajaran Reformed / Calvinisme ini.

Jadi, kalau ada ajaran yang memang mempunyai dasar Alkitab lebih kuat dari saya, percayalah Liauw, saya akan bertobat! Tetapi terus terang, saya sedikitpun tak percaya anda mampu melakukan itu. Jangankan anda, seandainya Yakobus Arminius dibangkitkan dari antara orang mati, saya berani debat lawan dia, dan saya yakin dia tak bisa memberikan argumentasi berdasarkan Alkitab, untuk menghancurkan argumentasi saya. Saya punya buku dia, 3 volume (dalam bentuk software), Liauw, dan menurut saya, argumentasinya konyol!

Sebaliknya, saya juga berharap, debat ini, yang memang saya dukung dengan banyak ayat-ayat Alkitab, bisa mempertobatkan anda, dan menghentikan anda menyesatkan orang-orang lain, dan menghentikan anda menyerang ajaran yang sangat indah dan sehat dari Calvinisme, yang anda kira sebagai salah / sesat!
Moga-moga anda mau membuka mata anda dan bersikap fair, Liauw! Tetapi itu memang tidak mungkin terjadi, kalau Allah tak bekerja dan membuka mata anda!


II. Kedaulatan Allah menurut Kalvinis
A. Allah Menetapkan Segala Sesuatu
Premis dasar dari Kalvinisme menegaskan bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang menetapkan segala sesuatu. Dengan kata lain, setiap perbuatan, tindakan, maupun pikiran semua makhluk hidup, telah ditetapkan oleh Allah sebelumnya. Ini adalah premis dasar dari Kalvinisme. Untuk membuktikan bahwa Kalvinis sungguh percaya seperti itu, kita akan melihat kutipan pengajaran berbagai tokoh Kalvinis.
Tanggapan saya:
Dalam hal ini saya setuju dengan anda, bahwa itu memang ajaran Calvinisme / Reformed yang sebenarnya. Tetapi perlu anda ketahui bahwa di Indonesia tokoh Reformed Pdt. Stephen Tong (dan juga mayoritas anak buahnya) tidak setuju dengan ajaran itu, dan karena itu menurut saya dia bukan Calvinist / Reformed yang sejati.
John Gill berkata, “Pendeknya, segala sesuatu tentang semua individu di dunia, yang pernah ada, yang ada, atau yang akan ada, semuanya sesuai dengan dekrit-dekrit Allah, dan menurut pada dekrit-dekrit itu; lahirnya berbagai manusia ke dalam dunia, waktu terjadinya, semua hal-hal yang terjadi berhubungan dengan itu; semua peristiwa dan kejadian yang dialami manusia, sepanjang hidup mereka; tempat tinggal mereka, posisi mereka, panggilan hidup mereka, dan pekerjaan mereka; kondisi mereka berhubungan dengan kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kesulitan dan kemakmuran; kapan mereka akan meninggalkan dunia, dan semua hal yang berkaitan dengan itu; semuanya sesuai dengan rencana dan kehendak Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)

Semua orang Kristen lahir baru percaya bahwa Allah memiliki rencana dalam hidup tiap-tiap individu. Semua orang percaya yakin bahwa waktu kelahiran ataupun kematian ada di tangan Tuhan. Semua orang beriman juga mengakui bahwa segala hal yang dia nikmati dalam hidupnya adalah berkat-berkat Tuhan.
Tetapi Kalvinis tidak puas sampai di situ. Kalvinis menegaskan bahwa semua yang terjadi dalam hidup seseorang, termasuk tindakannya, pikirannya, kesukaan-kesukaannya, pilihan-pilihannya, semuanya telah ditetapkan oleh Tuhan sejak kekekalan dalam dekrit-dekrit rahasia. Untuk memastikan bahwa benar inilah yang dipercayai Kalvinis, kita lihat lagi beberapa kutipan.
Budi Asali berkata, “Karena itu kalau kita percaya bahwa Allah itu berdaulat, maka kita juga harus percaya bahwa Ia menetapkan segala sesuatu.” Berkhof memperjelas posisi Reformed: “Theologia Reformed menekankan kedaulatan Allah atas dasar mana Ia secara berdaulat telah menentukan dari sejak kekekalan apapun yang akan terjadi…” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan saya:
a) Ini memang kata-kata Louis Berkhof tetapi anda mengutipnya dari buku saya. Mengapa tidak memberi petunjuk tentang hal itu?
b) Dalam buku saya, kutipan dari Louis Berkhof lebih panjang, dan ada dasar Alkitabnya. Mengapa anda potong?
‘A half truth is a whole lie!’.
Tanggapan:
Lho, kenapa anda menghilangkan footnote saya? Pembaca boleh membaca artikel saya yang lengkap yang berisikan footnote (http://www.graphe-ministry.org/downloads/Kedaulatan_Allahpandangan_Alkitabiah.pdf). Di situ jelas saya memberitahu bahwa kutipan dari Berkhof ini berasal dari tulisan Budi Asali. Mungkin anda mengutip dari bentuk blog, tetapi dalam bentuk blog sekalipun, mestinya ada endnote-nya.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Kalau memang demikian, saya minta maaf dan saya tarik kembali kata-kata saya (hanya dalam hal ini, bukan dalam semua hal yang lain). Saya tidak membaca tulisan anda langsung dari blog anda; saya bukan orang yang senang menjelajahi internet, dan saya juga tak punya waktu untuk itu. Tetapi orang mengcopy tulisan anda lalu mengemailkan kepada saya. Mungkin footnote-nya / endnote-nya terhapus.

Tanggapan Steven E.L
Adalah hak saya sebagai penulis untuk mengutip seberapa yang saya perlu. Poin di sini adalah untuk menunjukkan bahwa Berkhof percaya Allah menentukan segala sesuatu. Apakah ini kebohongan? Apakah saya mengutip di luar konteks dan sebenarnya Berkhof tidak percaya demikian? Saya belum berbicara mengenai dasar yang dipakai Kalvinis jadi saya tidak kutip dasar yang dipakai Berkhof. Apa ini tidak boleh?
Kalau mau bicara dasar, mungkin seluruh buku Berkhof harus saya kutip untuk mendapatkan “the whole picture.” Ini kan suatu serangan yang sangat tidak perlu dan petty.
Saya tidak habis pikir mengapa anda merasa perlu untuk senantiasa menuduh saya berbohong dalam tanggapan anda. Mungkin prejudice, atau mungkin taktik serangan ad hominem untuk mencoba membuat saya terlihat lemah. Biarlah pembaca yang dapat menilai.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Seingat saya, sampai akhirpun anda tidak menunjukkan kalau Louis Berkhof memberikan dasar ayat. Dan kalau demikian, itu tidak fair. Memang bukan harus menuliskan seluruh buku Berkhof (jangan bicara secara hyperbole, Liauw! That is absurd!). Tetapi kalau anda mengutip kata-kata Louis Berkhof dalam persoalan penentuan segala sesuatu, seharusnya anda juga memberikan argumentasi Alkitab yang ia pakai. Ini yang saya maksudkan dengan ‘the whole Truth’!
Dalam persoalan ini tak ada prejudice / prasangka atau ad hominem atau apapun. Saya tetap beranggapan bahwa kalau mengutip pandangan seseorang tentang suatu pokok tertentu maka kita juga harus memberikan dasar Alkitabnya. Kalau tidak, maka seolah-olah orang itu memberikan pengajaran tanpa dasar Alkitab.
Saya beri contoh, Liauw. Saksi Yehuwa memberikan kutipan yang ‘kurang ajar’ dari Encyclopedia Britannica tentang Tritunggal. Akan saya kutipkan dari buku saya tentang Saksi Yehuwa di bawah ini.

·        Dalam buku ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 6, mereka berkata: “The New Encyclopedia Britannica menyatakan: ‘Kata Tritunggal atau doktrinnya yang jelas tidak terdapat dalam Perjanjian Baru’”.
·        Dalam buku ‘Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab’, hal 393, mereka memberikan kutipan yang lebih panjang dari Encyclopedia Britannica itu: “Kata Tritunggal, maupun doktrin Tritunggal yang jelas, tidak terdapat dalam Perjanjian Baru. Yesus dan pengikut-pengikutnya juga tidak bermaksud menentang Shema dalam Perjanjian Lama: ‘Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!’ (Ul. 6:4). ... Doktrin ini berkembang secara bertahap selama beberapa abad dan melalui banyak perdebatan. ... Menjelang akhir abad ke-4 ... doktrin Tritunggal pada dasarnya mengambil bentuk yang sampai sekarang dipertahankan.”.

Sekarang, untuk menunjukkan kekurang-ajaran Saksi-Saksi Yehuwa, saya akan membandingkan kutipan sebagian dari mereka, dengan kutipan penuh dari Encyclopedia Britannica 2000.

Encyclopedia Britannica 2000:
“in Christian doctrine, the unity of Father, Son, and Holy Spirit as three persons in one Godhead. Neither the word Trinity nor the explicit doctrine appears in the New Testament, nor did Jesus and his followers intend to contradict the Shema in the Old Testament: ‘Hear, O Israel: The Lord our God is one Lord’ (Deuteronomy 6:4). The earliest Christians, however, had to cope with the implications of the coming of Jesus Christ and of the presumed presence and power of God among them--i.e., the Holy Spirit, whose coming was connected with the celebration of the Pentecost. The Father, Son, and Holy Spirit were associated in such New Testament passages as the Great Commission: ‘Go therefore and make disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit’ (Matthew 28:19); and in the apostolic benediction: ‘The grace of the Lord Jesus Christ and the love of God and the fellowship of the Holy Spirit be with you all’ (2 Corinthians 13:14). Thus, the New Testament established the basis for the doctrine of the Trinity. The doctrine developed gradually over several centuries and through many controversies. Initially, both the requirements of monotheism inherited from the Old Testament and the implications of the need to interpret the biblical teaching to Greco-Roman religions seemed to demand that the divine in Christ as the Word, or Logos, be interpreted as subordinate to the Supreme Being. An alternative solution was to interpret Father, Son, and Holy Spirit as three modes of the self-disclosure of the one God but not as distinct within the being of God itself. The first tendency recognized the distinctness among the three, but at the cost of their equality and hence of their unity (subordinationism); the second came to terms with their unity, but at the cost of their distinctness as ‘persons’ (modalism). It was not until the 4th century that the distinctness of the three and their unity were brought together in a single orthodox doctrine of one essence and three persons. The Council of Nicaea in 325 stated the crucial formula for that doctrine in its confession that the Son is ‘of the same substance (homoousios) as the Father,’ even though it said very little about the Holy Spirit. Over the next half century, Athanasius defended and refined the Nicene formula, and, by the end of the 4th century, under the leadership of Basil of Caesarea, Gregory of Nyssa, and Gregory of Nazianzus (the Cappadocian Fathers), the doctrine of the Trinity took substantially the form it has maintained ever since. Copyright © 1994-2000 Encyclopædia Britannica, Inc.”.

Terjemahannya:
“Dalam doktrin Kristen, kesatuan dari Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi dalam satu keAllahan. Baik kata Tritunggal maupun doktrinnya yang EXPLICIT tidak muncul / tampak dalam Perjanjian Baru, juga Yesus maupun para pengikutNya tidak bermaksud untuk menentang Shema dalam Perjanjian Lama: ‘Dengarlah hai orang Israel, TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa’ (Ulangan 6:4). Tetapi orang-orang Kristen mula-mula harus menghadapi pengertian tentang datangnya Yesus Kristus dan tentang anggapan tentang kehadiran dan kuasa dari Allah di antara mereka, yaitu Roh Kudus, yang kedatanganNya dihubungkan dengan perayaan dari Pentakosta. Bapa, Anak, dan Roh Kudus digabungkan / disatukan dalam text-text Perjanjian Baru seperti Amanat Agung: ‘Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus’ (Matius 28:19); dan dalam pemberian berkat rasuli: ‘Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian’ (2Kor 13:13). Dengan cara ini / Karena itu, Perjanjian Baru menegakkan / memperlihatkan / membuktikan dasar untuk doktrin dari Tritunggal. Doktrin ini berkembang secara perlahan-lahan selama berabad-abad dan melalui banyak kontroversi / perdebatan. Pada awalnya, tuntutan monotheisme dari Perjanjian Lama maupun adanya kebutuhan untuk menafsirkan ajaran alkitabiah kepada agama-agama Yunani-Romawi kelihatannya menuntut bahwa keilahian dalam Kristus sebagai Firman, atau LOGOS, ditafsirkan sebagai lebih rendah dari pada Allah. Pemecahan alternatif adalah dengan menafsirkan Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagai tiga mode / cara penyingkapan diri sendiri dari Allah yang esa, tetapi tidak berbeda dalam diri Allah sendiri. Kecenderungan yang pertama mengakui perbedaan di antara ketiganya, tetapi dengan mengorbankan kesetaraan dan karena itu juga kesatuan mereka (subordinationisme); yang kedua sesuai dengan kesatuan mereka, tetapi dengan mengorbankan perbedaan mereka sebagai ‘pribadi-pribadi’ (modalisme). Baru pada abad ke 4lah perbedaan dari ketiganya dan kesatuan mereka dipersatukan dalam suatu doktrin orthodox tunggal tentang satu hakekat dan tiga pribadi. Sidang Gereja Nicea pada tahun 325 menyatakan formula yang sangat penting untuk doktrin itu dalam pengakuannya bahwa Anak adalah ‘dari zat yang sama (HOMOOUSIOS) dengan Bapa’, sekalipun pengakuan itu berkata-kata sangat sedikit tentang Roh Kudus. Selama setengah abad selanjutnya, Athanasius mempertahankan dan menghaluskan / membersihkan formula Nicea itu, dan pada akhir dari abad keempat, dibawah pimpinan dari Basil dari Kaisarea, Gregory dari Nyssa, dan Gregory dari Nazianzus, (Bapa-bapa Kappadokia), doktrin Tritunggal mendapat bentuk secara kokoh yang dipertahankannya sejak saat itu. Hak cipta © 1994-2000 Encyclopædia Britannica, Inc..

Catatan:
¨       bagian yang saya beri garis-bawah tunggal adalah bagian yang dikutip oleh Saksi-Saksi Yehuwa, sedangkan yang saya beri garis bawah ganda / dobel, adalah bagian, yang secara kurang ajar mereka loncati, padahal itu adalah bagian yang sangat penting. Pengutipan sebagian, dan pembuangan bagian yang seharusnya penting untuk dikutip, membuat Encyclopedia Britannica kelihatannya mengatakan sesuatu yang berbeda dengan yang seharusnya.
¨       kata ‘EXPLICIT’ diterjemahkan ‘yang jelas’ oleh Saksi-Saksi Yehuwa, dan ini jelas merupakan terjemahan yang menyesatkan. Dalam Perjanjian Baru dan bahkan dalam seluruh Kitab Suci memang tidak ada dasar yang explicit untuk doktrin Allah Tritunggal (misalnya ayat yang mengatakan bahwa Allah itu satu hakekatNya, tetapi ada dalam 3 pribadi yang setara). Tetapi dasar-dasar yang jelas, jelas ada. Dan Encyclopedia Britannica 2000 sendiri memberikan 2 text yang dipakai sebagai bukti / dasar dari doktrin Allah Tritunggal, yaitu Mat 28:19 dan 2Kor 13:13.
¨       untuk ayat terakhir ini penomoran ayat antara Kitab Suci Indonesia dan Kitab Suci Inggris berbeda satu angka; dalam Kitab Suci Indonesia 2Kor 13:13; dalam Kitab Suci Inggris 2Kor 13:14.

Dari pengutipan sebagian, yang membuat artinya berbeda dengan aslinya, yang lalu digunakan sebagai tuduhan / fitnahan, maka saya kira tidak terlalu berlebihan kalau saya mengubah nama mereka, dari ‘Saksi-Saksi Yehuwa’ menjadi ‘Saksi-Saksi palsu Yehuwa’. Atau dalam bahasa Inggris dari ‘Jehovah’s Witnesses’ menjadi ‘Jehovah’s false Witnesses’.

Hehehe, lagi-lagi setelah menyerang ajarannya, saya serang orangnya. ‘Ad Hominem’ lagi, Liauw?

Sampai di sini kita perlu berhenti sebentar dan bertanya kepada Kalvinis: “Apakah segala sesuatu yang dimaksud di sini benar-benar berarti segala sesuatu?” Pertanyaan ini penting, karena Kalvinis sering memiliki interpretasi sendiri mengenai kata “segala” atau “semua.” Ketika Alkitab mengatakan bahwa Yesus mati bagi “semua manusia,” Kalvinis bersikukuh bahwa “semua” yang dimaksud adalah “semua orang pilihan.” Jangan-jangan, maksud Kalvinis adalah bahwa Allah menetapkan “segala sesuatu yang pilihan saja.” Tetapi kita dipuaskan oleh para Kalvinis bahwa memang mereka percaya Allah menetapkan segala sesuatu tanpa kecuali.
David West berkata, “Allah menetapkan sejak awal segala sesuatu, baik yang beranimasi (bergerak/hidup), maupun yang tidak beranimasi (diam/mati). DekritNya mencakup semua malaikat, baik yang baik maupun yang jahat.” Tow dan Khoo memperjelas: “Dengan kuasa yang tak terbatas dan hikmat yang tak terbatas, Allah telah sejak kekekalan lampau, memutuskan dan memilih dan menetapkan segala peristiwa yang terjadi tanpa kekecualian, sampai dengan kekekalan yang akan datang.” Melanchthon menghilangkan segala keraguan kita dengan berkata bahwa “Segala sesuatu terjadi sesuai dengan ketetapan ilahi; bukan hanya pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan secara eksternal, tetapi bahkan juga pikiran-pikiran yang kita pikirkan secara internal.”
Tanggapan saya:
Saya tidak tahu siapa David West maupun Tow dan Khoo, tetapi saya tahu bahwa Melanchton bukan seorang Calvinist! Ia adalah orang Arminian seperti anda! Jadi, kalau kutipan anda benar, maka ternyata ada orang-orang Arminian yang juga percaya doktrin Reformed / Calvinist ini!

Tanggapan:
Kalau seseorang percaya bahwa Allah menetapkan segala pikiran manusia, maka apapun label-nya, maka jelas ia menganut semacam Kalvinisme. Mengenai Melanchton sendiri, setahu saya (bisa salah) dia awalnya Kalvinis, tetapi belakangan bergeser dari Kalvinismenya.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Menurut saya itu tidak benar. Apakah seadanya orang yang percaya predestinasi adalah Calvinist? Bagaimana kalau ia percaya predestinasi tetapi tidak percaya bahwa Kristus mati disalib untuk dosa-dosanya? Ia bukan saja bukan Calvinist, tetapi bahkan bukan Kristen!
Bagaimana kalau ada orang percaya kalau keselamatan tidak bisa hilang, tetapi ia sendiri bahkan belum pernah diselamatkan? Lagi-lagi, ia bukan saja bukan Calvinist, tetapi bahkan belum Kristen!

Luther boleh dikatakan adalah Calvinist, tetapi Melanchton tidak! Sayang gereja Lutheran mengikuti pandangan Melanchton, dan bukannya pandangan Luther (kecuali dalam hal-hal tertentu). Jadi gereja Lutheran adalah Arminian!

By the way, bagian ini sama sekali bukan merupakan topik pokok, tetapi anda punya waktu untuk menjawabnya. Jadi jangan beralasan tak punya waktu untuk hal-hal detail apalagi kalau itu merupakan hal pokok!



B. Allah Menetapkan Dosa
Satu hal yang mengganggu saya ketika merenungkan pernyataan-pernyataan Kalvinis bahwa “Allah menetapkan segala sesuatu,” adalah masalah dosa. Kalau Allah menetapkan segala sesuatu, maka berarti Iamenetapkan juga semua dosa yang pernah diperbuat, yang sedang diperbuat, dan yang akan diperbuat. Ini berarti bahwa Allah-lah yang menetapkan agar Adam dan Hawa makan buah yang Ia larang. Bukankah lucu bila Allah melarang mereka makan buah itu, tetapi Ia pula yang menetapkan agar mereka makan buah itu?
Tanggapan saya:
a) ‘Lucu’ itu kan logika anda. Jangan berargumentasi hanya menggunakan logika. Inikah argumentasi berdasarkan Alkitab yang anda sebutkan di atas?
b) Dari kutipan yang anda berikan dari buku saya di atas jelas bahwa anda sudah membaca buku saya itu. Dalam buku saya, saya memberikan argumentasi dalam persoalan kejatuhan Adam dan Hawa yang sudah ditentukan. Mengapa argumentasi saya tak dibahas? Bingung bagaimana mematahkannya?
Tanggapan:
Saya tidak hanya berargumen menggunakan logika. Di tempat lain saya sudah berikan alasan Alkitab mengapa Allah tidak mungkin menentukan dosa. Salah satunya adalah sifat Kudus Allah yang jelas diajarkan dalam Alkitab. Mengingat kekudusan Allah, burden of proof ada pada Kalvinis untuk membuktikan Allah yang maha kudus bisa menentukan manusia untuk berdosa. Terlepas dari bukti Alkitab, logika adalah komponen yang essensial dalam berargumen dan membangun doktrin. Toh, Kalvinis akan setuju bahwa suatu doktrin haruslah secara logis konsisten dan harmonis. Jadi, sangatlah sah jika saya mengajukan suatu observasi bahwa tidak logis (lucu) bahwa Allah melarang Adam dan Hawa makan buah, tetapi lalu menetapkan mereka makan buah itu. Justru anda tidak menjawab hal ini sama sekali. Atau tepatnya, anda berkata: “lucu itu kan logika anda.” Ya, itu memang lucu dalam logika
saya, dan saya yakin juga lucu dalam logika mayoritas manusia. Bahkan, ini juga tidak Alkitabiah, karena tidak ada satu pun ayat yang mengatakan bahwa Allah menentukan Adam dan Hawa untuk makan buah itu.
Saya tidak pernah membaca buku yang anda tulis. Saya menanggapi sebuah artikel yang anda tulis, yang saya terima dari pengikut anda (Cahaya) dalam bentuk elektronik, yaitu “kedaulatan/penetapan Allah dan kebebasan/tanggung jawab manusia.” Saya tidak ingat ada argumen anda tentang Adam dan Hawa di sana.
Kenapa anda tidak langsung saja masukkan di sini argumen anda itu? Takut saya tanggapi?

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Kalau anda berargumentasi berdasarkan kekudusan Allah bahwa Allah tidak mungkin menentukan dosa, itu menggunakan ayat Alkitab secara tak langsung. Saya menggunakan ayat yang langsung mempersoalkan hal itu. Misalnya Luk 22:22 dan Kis 4:27-28, keduanya betul-betul berbicara secara explicit tentang penentuan dosa. Mana yang lebih kuat, yang implicit seperti dasar anda, atau yang explicit seperti dasar saya?
Sebagai contoh: sudah umum bahwa orang Arminian menggunakan Yoh 3:16 sebagai dasar bahwa semua orang bisa diselamatkan (tak ada predestinasi) karena adanya kata-kata ‘barangsiapa’ dalam ayat itu. Jadi itu tergantung orangnya. Asal ia mau, ia bisa percaya. Ini argument implicit. Ayat saya adalah ayat yang explicit yaitu Yoh 6:44,65 :
“(44) Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepadaKu, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman. ... (65) Lalu Ia berkata: ‘Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorangpun dapat datang kepadaKu, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.’”.

Jelas bahwa 2 ayat ini secara explicit membicarakan dapat atau tidak seseorang dari dirinya sendiri untuk datang kepada Kristus. Sekali lagi, mana yang lebih kuat: ayat implicit seperti Yoh 3:16, ayat explicit seperti Yoh 6:44,65?
Ini yang saya maksud dengan anda tidak memberikan dasar Alkitab. Dasar-dasar anda implicit semua. Memang harus diakui bahwa menarik ajaran implicit itu boleh saja, asal menariknya benar. Yesus dalam Mat 22:22-32 (khususnya perhatikan ay 32nya), juga menarik ajaran implicit. Tetapi yang jadi masalah adalah kalau menarik ajaran implicitnya dilakukan secara ngawur!

Bagaimana tahu ngawur atau tidak? Pada waktu ajaran implicit itu bertentangan dengan ayat yang explicit, maka itu pasti salah! Dan itu kasus anda!
Burden of proof? Buktinya adalah ayat-ayat explicit yang menyatakan Allah menentukan dosa. Luk 22:22 dan Kis 4:27-28 tadi, apakah itu bukan bukti. Lalu apa arti ayat-ayat itu????
Kalau berdasarkan kedua ayat itu jelas Allah menentukan dosa, dan ayat lain mengatakan Allah itu kudus, saya akan menyimpulkan bahwa sekalipun Allah menentukan dosa, itu tidak melanggar kekudusan Allah. Ia menentukan, tetapi yang berbuat dosa bukan Dia!
Makanya Calvinisme tetap memegang pernyataan ‘God is not the author of sin’ (= Allah bukan pencipta dosa). Dan ini didukung dengan mengajarkan bahwa sekalipun Allah menentukan dosa, dalam pelaksanaan dosa itu Ia bekerja secara pasif, yaitu menarik kasih karuniaNya dan membiarkan second causes (setan dan / atau manusia) untuk menggoda orang yang ditentukan untuk berbuat dosa itu, sehingga orang itu pasti jatuh. Tetapi ia sendiri yang melakukan. Jadi Allah tetap kudus / suci!

Sekarang tentang Adam dan Hawa. Anda mengatakan tidak logis (lucu) bahwa Allah melarang Adam dan Hawa makan buah, tetapi lalu menetapkan mereka makan buah itu”.
Allah juga melarang orang membunuh dan berkhianat. Tetapi mengapa Ia menentukan Yudas Iskariot berkhianat dan menentukan orang-orang untuk membunuh Yesus? Untuk jelasnya saya kutipkan saya ayat-ayatnya.
Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.

Baca ayat sebelumnya, yang jelas membicarakan Yudas Iskariot. Jadi, ini juga bicara tentang dia. Pengkhianatan itu dosa, tetapi ditentukan / ditetapkan oleh Allah!
Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.

Jadi, jelas bahwa ayat-ayatnya ada secara explicit dimana apa yang Allah larang ternyata Ia tentukan untuk manusia lakukan. Ini explicit. Sedangkan yang anda anggap tidak logis / lucu, itu hanya kesimpulan (implicit) dari anda.
Sekarang setelah saya berikan ayat-ayatnya, yang menunjukkan bahwa Allah menentukan apa yang Ia larang, beranikah anda mengatakan Alkitab itu tidak logis / lucu?

Anda menyebut-nyebut tentang ‘lucu dalam logika mayoritas manusia’. Saya tak peduli pandangan mayoritas manusia. Mayoritas manusia, bahkan mayoritas orang Kristen, tidak mengerti Alkitab, bahkan salah mengerti tentang Alkitab. Saya hanya peduli Alkitab / Firman Tuhan. Kebenaran bukan persoalan demokrasi, seakan-akan yang banyak itu yang benar, Liauw! Pada jaman Yesus hidup di dunia ada berapa orang yang percaya Dia? Hanya segelintir. Tetapi yang segelintir itu yang benar!

Anda mengatakan bahwa logika adalah komponen yang penting dalam membangun doktrin. Saya setuju, selama logika itu tidak bertabrakan dengan Alkitab / Firman Tuhan. Jadi, penggunaan logika tidak mutlak. Kalau mutlak, bagaimana kita bisa percaya doktrin Allah Tritunggal? Bapa itu Allah, Anak itu Allah, Roh Kudus itu Allah, tetapi hanya ada satu Allah. Coba jabarkan sehingga logis! Tak bisa bukan? Tetapi anda percaya bukan? Juga Yesus itu 100 % Allah dan 100 % manusia, tetapi Ia hanya satu pribadi. Coba jabarkan itu secara logis. Tak bisa juga bukan? Tapi anda percaya kan?
Jadi, saya percaya pada penggunaan logika. Saya juga menggunakannya, tetapi tetap terbatas pada Firman Tuhan. Kalau logika itu bertentangan dengan Firman Tuhan, itu harus dibuang!

Tentang anda katakan tak ada satu ayatpun mengatakan kalau Allah menentukan Adam dan Hawa makan buah itu, memang benar. Tetapi apakah kita baru boleh percaya suatu ajaran kalau ada satu ayat yang secara explicit berbunyi sesuai dengan ajaran itu? Kalau memang rumusnya demikian, bagaimana anda bisa percaya pada doktrin Allah Tritunggal? Jelas tak harus ada satu ayat yang secara explicit mengatakan demikian, tetapi sudah cukup kalau banyak ayat-ayat (yang tak explicit) bisa disimpulkan menjadi pandangan itu.
Kembali ke persoalan dosa Adam dan Hawa, ada banyak ayat yang menunjukkan Allah menentukan dosa. Itu sudah saya berikan. Jadi, kalau Allah menentukan Adam dan Hawa makan buah, itu tidak mustahil. Selanjutnya, hal-hal kecil seperti jatuhnya burung pipit dan rontoknya rambut kita ditentukan oleh Allah (Mat 10:29-30), masakan tentang kejatuhan Adam dan Hawa, yang merupakan suatu persoalan yang sangat besar, tidak ada penentuan? Kalau ditentukan tak jatuh, maka mereka pasti tak jatuh (bdk. Ayub 42:2 - rencana Allah tidak mungkin gagal). Kalau tak ada penentuan sama sekali kok aneh, karena hal-hal kecil ditentukan, kok hal besar tidak.
By the way, bagian yang terakhir ini sudah ada dalam tulisan saya yang lalu, tetapi anda tidak ingat saya pernah menjawab argumentasi anda tentang dosa Adam dan Hawa? Coba baca lagi tulisan saya yang lalu, Liauw!

Disamping itu masih ada Ef 1:11 :


“Aku katakan ‘di dalam Kristus’, karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan--kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya.

Perhatikan kata-kata ‘segala sesuatu’ itu, Liauw. Di sini saya yakin artinya memang ‘segala sesuatu’. Berarti mencakup dosa Adam dan Hawa!

Masih kurang, Liauw? Saya tambahi lagi. Dalam kekekalan (minus tak terhingga) pada saat belum ada apapun, Allah tahu tidak kalau Adam dan Hawa akan makan buah itu? Sudah pasti tahu bukan? Sekarang apa yang Ia ketahui itu pasti terjadi atau tidak? Sudah pasti ya, bukan? Jadi hal itu pada minus tak terhingga, sudah tertentu. Kalau sudah tertentu, saya tanya: kok bisa pada minus tak terhingga dosa Adam dan Hawa sudah tertentu? Kalau saya, saya jawab: karena Allah menentukan. Sekarang kalau anda tak setuju, berikan  jawaban alternatif!!! Dan jangan lari dari serangan ini, Liauw!

Lebih mengerikan lagi adalah pemikiran bahwa Allah yang menetapkan semua pembunuhan yang pernah terjadi. Jika Allah menetapkan segala sesuatu, maka tindakan semua pemerkosa ditentukan oleh Allah. Sesuai dengan pernyataan Melanchthon, bahwa Allah menentukan “…juga pikiran-pikiran yang kita pikirkan secara internal,” maka semua benci, iri hati, kesombongan, pikiran kotor, hawa nafsu, pikiran perzinahan, juga terjadi karena ditetapkan demikian dalam dekrit Allah.

Apakah anda terganggu dengan semua itu? Saya tahu bahwa saya terganggu, karena saya tidak bisa membayangkan bahwa Allah yang MAHAKUDUS menetapkan satu dosa pun untuk terjadi, jangankan semua dosa yang pernah dan akan ada! Oleh karena itu, saya berulang mengecek, apa benar itu yang dipercayai para Kalvinis? Boettner menegaskan: “Bahkan kejatuhan Adam, dan melaluinya kejatuhan umat manusia, bukanlah suatu kebetulan atau kecelakaan, tetapi sudah ditetapkan demikian dalam keputusan rahasia Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya) Perhatikan bahwa Kalvinis bukan hanya berbicara mengenai “mengizinkan dosa.” Kalvinis berbicara mengenai “menetapkan dosa.” Ada perbedaan yang besar antara “menetapkan” dan “mengizinkan.” Ada Kalvinis yang mencoba untuk
menyamarkan doktrin mereka dengan menggunakan bahasa “izin.”
Tanggapan saya:
Calvin sendiri bahkan tidak senang dengan istilah ‘ijin’ itu, dan ini terlihat dari 2 kutipan kata-kata Calvin di bawah ini.
Calvin: “God wills that the false king Ahab be deceived; the devil offers his services to this end; he is sent, with a definite command, to be a lying spirit in the mouth of all the prophets (1Kings 22:20,22). If the blinding and insanity of Ahab be God’s judgment, the figment of bare permission vanishes: because it would be ridiculous for the Judge only to permit what he wills to be done, and not also to decree it and to command its execution by his ministers” [= Allah menghendaki bahwa raja Ahab yang tidak benar ditipu; setan menawarkan pelayanannya untuk tujuan ini; ia dikirim, dengan perintah yang pasti, untuk menjadi roh dusta dalam mulut semua nabi (1Raja 22:20,22). Jika pembutaan dan kegilaan Ahab adalah penghakiman Allah, isapan jempol tentang ‘sekedar ijin’ hilang: karena adalah menggelikan bagi sang Hakim untuk hanya mengijinkan apa yang Ia kehendaki untuk dilakukan, dan tidak juga menetapkannya dan memerintahkan pelaksanaannya oleh pelayanpelayanNya] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.
Calvin: “Those who are moderately versed in the Scriptures see that for the sake of brevity I have put forward only a few of many testimonies. Yet from these it is more than evident that they babble and talk absurdly who, in place of God’s providence, substitute bare permission - as if God sat in a watchtower awaiting chance events, and his judgments thus depended upon human will”(= Mereka yang betul-betul mengetahui Kitab Suci melihat bahwa untuk singkatnya saya hanya memberikan sedikit dari banyak kesaksian. Tetapi dari kesaksian-kesaksian ini adalah lebih dari jelas bahwa mereka mengoceh dan berbicara secara menggelikan yang, menggantikan providensia Allah dengan ‘sekedar ijin’ - seakan-akan Allah duduk di menara pengawal menunggu kejadian-kejadian yang terjadi secara kebetulan, dan dengan demikian penghakimanNya tergantung pada kehendak manusia) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.
Memang para Calvinist yang lain mau menggunakan kata ‘ijin’ tetapi bukan dengan motivasi seperti yang Liauw katakan. Untuk Liauw, saya beri nasehat: Jangan menebak motivasi Calvinist dalam menggunakan kata ‘izin’, kalau anda tidak mengetahuinya. Itu merupakan fitnah! Kalau Calvinist memang mau menyamarkan mengapa dalam
penggunaan kata ‘ijin’, mengapa gerangan mereka sering / pada umumnya lalu memberikan tambahan penjelasan bahwa ‘itu bukan sekedar ijin’?
Contoh:
Herman Hoeksema: “Nor must we, in regard to the sinful deeds of men and devils, speak only of God’s permission in distinction from His determination. Holy Scripture speaks a far more positive language. We realize, of course, that the motive for speaking God’s permission rather than of His predetermined will in regard to sin and the evil deeds of men is that God may never be presented as the author of sin. But this purpose is not reached by speaking of God’s permission or His permissive will: for if the Almighty permits what He could just as well have prevented, it is from an ethical viewpoint the same as if He had committed it Himself. But in this way we lose God and His sovereignty: for permission presupposes the idea that there is a power without God that can produce and do something apart from Him, but which is simply permitted by God to act and operate. This is dualism, and it annihilates the complete and absolute sovereignty of God. And therefore we must maintain that also sin and all the wicked deeds of men and angels have a place in the counsel of God, in the counsel of His will. Thus it is taught by the Word of God” (= Juga kita tidak boleh, berkenaan dengan tindakan-tindakan berdosa dari manusia dan setan, berbicara hanya tentang ijin Allah dan membedakannya dengan penentuan / penetapanNya. Kitab Suci berbicara dengan suatu bahasa yang jauh lebih positif. Tentu saja kita menyadari bahwa motivasi untuk menggunakan istilah ‘ijin Allah’ dari pada ‘kehendakNya yang sudah ditetapkan lebih dulu’ berkenaan dengan dosa dan tindakan-tindakan jahat dari manusia adalah supaya Allah tidak pernah dinyatakan sebagai pencipta dosa. Tetapi tujuan ini tidak tercapai dengan menggunakan ‘ijin Allah’ atau ‘kehendak yang mengijinkan dari Allah’: karena jika Yang Maha Kuasa mengijinkan apa yang bisa Ia cegah, dari sudut pandang etika itu adalah sama seperti jika Ia melakukan hal itu sendiri. Tetapi dengan cara ini kita kehilangan Allah dan kedaulatanNya: karena ijin mensyaratkan suatu gagasan bahwa ada suatu kekuatan di luar Allah yang bisa menghasilkan dan melakukan sesuatu terpisah dari Dia, tetapi yang diijinkan oleh Allah untuk bertindak dan beroperasi. Ini merupakan dualisme, dan ini menghapuskan kedaulatan Allah yang lengkap dan mutlak. Dan karena itu kita harus mempertahankan bahwa juga dosa dan semua tindakan-tindakan jahat dari manusia dan malaikat mempunyai tempat dalam rencana Allah, dalam keputusan kehendakNya. Demikianlah diajarkan oleh Firman Allah) - ‘Reformed Dogmatics’, hal 158.

Louis Berkhof:It is customary to speak of the decree of God respecting moral evil as permissive. By His decree God rendered the sinful actions of man infallibly certain without deciding to effectuate them by acting immediately upon and in the finite will. This means that God does not positively work in man ‘both to will and to do’, when man goes contrary to His revealed will. It should be carefully noted, however, that this permissive decree does not imply a passive permission of something which is not under the control of the divine will. It is a decree which renders the future sinful acts absolutely certain, but in which God determines (a)not to hinder the sinful self-determination of the finite will; and (b)to regulate and control the result of this sinful self-determination” [= Merupakan kebiasaan untuk berbicara tentang ketetapan Allah berkenaan dengan kejahatan moral sebagai bersifat mengijinkan. Oleh ketetapanNya Allah membuat tindakan-tindakan berdosa dari manusia menjadi pasti tanpa menetapkan untuk menyebabkan mereka terjadi dengan bertindak langsung dan bertindak dalam kehendak terbatas (kehendak manusia) itu. Ini berarti bahwa Allah tidak secara positif bekerja dalam manusia ‘baik untuk menghendaki dan untuk melakukan’, pada waktu manusia berjalan bertentangan dengan kehendakNya yang dinyatakan. Tetapi harus diperhatikan baik-baik bahwa ketetapan yang bersifat mengijinkan tidak berarti suatu ijin pasif dari sesuatu yang tidak ada di bawah kontrol dari kehendak ilahi. Itu merupakan suatu ketetapan yang membuat tindakan berdosa yang akan datang itu pasti secara mutlak, tetapi dalam mana Allah menentukan (a) tidak menghalangi keputusan yang berdosa yang dilakukan sendiri oleh kehendak terbatas / kehendak manusia; dan (b) mengatur dan mengontrol akibat / hasil dari keputusan berdosa ini] - ‘Systematic Theology’, hal 105.

Juga mengapa di bawah ini R. C. Sproul menjelaskan bahwa mengijinkan pada hakekatnya juga menentukan / menghendaki? Sekarang maukah anda mengakui bahwa kata ‘menyamarkan’ yang anda gunakan itu merupakan suatu fitnah? Mau mengaku dosa kepada Allah sekarang juga, Liauw? Ingat, ajaran anda sendiri mengatakan bahwa keselamatan bisa hilang! Memfitnah, dan tak mau mengakuinya dan bertobat darinya, akan menghancurkan keselamatan anda (kalau anda pernah mempunyainya!)!

Tanggapan:
Pada dasarnya, manusia membedakan antara mengizinkan dan menentukan. Tentunya anda sendiri akan mengakui bahwa non-Kalvinis tidak memiliki masalah dengan Allah mengizinkan dosa, tetapi memiliki masalah dengan Allah menentukan dosa. Jadi, ketika ada Kalvinis yang memakai kata mengizinkan, itu membuat kabur apa yang sebenarnya Kalvinis ajarkan. Memang ada Kalvinis, seperti yang anda kutip, yang menjelaskan bahwa maksud mereka “izin” adalah “menentukan.” Tetapi ada juga yang tidak sedemikian jelas. Ini bukan fitnah. Bisa saja mereka tidak sadar, tetapi sadar tidak sadar, implikasi penuh dari ajaran
Kalvinis menjadi “tersamar” oleh penggunaan kata “mengizinkan” daripada “menentukan.”
Lagi pula, anda salah total mengenai konsep saya akan “kehilangan keselamatan.” Ini tentunya karena anda telah mengkategorikan saya sebagai Arminian dan mengaplikasikan apa yang anda ketahui tentang Arminian pada umumnya pada diri saya. Saya tidak percaya bahwa orang yang telah selamat akan hilang keselamatannya oleh dosa.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Saya kira anda memang bodoh, Liauw, karena tak mengerti apa yang anda bicarakan. Anda mencampur-adukkan antara rencana / penetapan Allah, yang terjadi pada minus tak terhingga, dengan Providensia Allah, yang terjadi dalam sejarah, yang merupakan pelaksanaan dari rencana Allah itu.
Dalam rencana Allah, Ia memang menentukan hal-hal yang merupakan dosa sekalipun. Dalam pelaksanaan / Providensia Allah, Ia mengijinkan, sesuai dengan penetapanNya, terjadinya dosa itu. Tetapi Calvinist mengatakan, bukan ‘sekedar mengijinkan’. Ia mengatur, sekalipun secara pasif, sehingga dosa itu PASTI terjadi.
Saya kira dari kutipan-kutipan di atas sudah jelas terlihat bahwa sebetulnya para Calvinist tidak senang dengan istilah ‘ijin’ itu. Tetapi itu sudah menjadi istilah yang salah kaprah, sama seperti istilah ‘kebebasan kehendak’. Karena itu para Calvinist dengan segan tetap menggunakan kedua istilah itu, tetapi dengan penjelasan sehingga jangan artinya menjadi salah.

Kalau anda tetap berkeras bahwa itu menyebabkan ajaran Calvinisme menjadi ‘tersamar’, maka saya jawab: itu hanya tersamar, bagi orang yang baca sedikit-sedikit tulisan / buku-buku dari para Calvinist. Kalau mereka baca semua, itu pasti akan jelas. Salah siapa mereka baca sedikit-sedikit? Bahkan Alkitab, kalau dibaca sedikit-sedikit bisa menyebabkan kesesatan!

O, saya baru tahu kalau anda tak percaya keselamatan bisa hilang. Baguslah, agak berkurang kesesatan anda dari pada yang saya duga.
Tetapi, saudara Cahaya memberikan saya file tulisan anda dari internet, yang menekankan kalau anda percaya bahwa keselamatan bisa hilang. Saya akan berikan tulisan anda di bawah ini sebagai bukti (saya beri warna ungu).

BAHAYA CALVINISME–TULIP: Perseverance of the Saints

Perseverance of the Saints

Poin terakhir Calvinisme ini adalah kesimpulan akhir dari seluruh rangkaian nalar John Calvin yang dipungutnya dari Agustinus. Sebagaimana poin satu hingga empat tidak memiliki dasar Alkitab, maka sudah jelas kesimpulan akhirnya juga tidak alkitabiah. Dasar dari Perseverance of the Saints Calvinisme bukanlah pada ayat-ayat Alkitab tetapi pada jalur nalar mereka yang jika Allah memilih seseorang, menebusnya dengan kematian Yesus Kristus, dan telah menerapkan kepadanya anugerah yang tidak bisa ditolak, maka apapun yang terjadi pada orang tersebut, ia tidak akan binasa lagi. Ia pasti akan masuk Sorga! Itulah jalan nalar Calvinisme yang menjadi dasar konsep Perseverance of the Saints Calvinisme.

Mereka selalu berargumentasi bahwa jika Allah yang memegang orang tersebut, dan jika Allah yang memelihara iman orang tersebut, maka jika ia sampai tidak masuk Sorga maka itu berarti Allah telah gagal. Argumentasi ini sama dengan, jika penebusan Yesus Kristus mencakup seluruh dunia, atau semua manusia, lantas kenyataannya tidak semua orang masuk Sorga, maka penebusan Kristus terhadap mereka yang masuk Neraka telah gagal.

Kedua jalan nalar ini didasarkan pada konsep manusia tidak memiliki kehendak bebas untuk menolak anugerah Allah. Bahwa manusia lebih rendah dari anjing, karena najing saja bisa memilih mau datang kepada tuannya atau tidak ketika dipanggil namanya’. Calvinis percaya bahwa manusia yang belum menjadi Kristen tidak memiliki kebebasan untuk menolak anugerah Allah, dan sesudah menjadi Kristen, atau “diselamatkan” ia lebih tidak memiliki kehendak bebas lagi. Ia bagaikan boneka keramik yang jika pecah maka pemiliknyalah yang harus disalahkan. Sehingga keselamatan akhir dari seorang Calvinis sepenuhnya tergantung pada cengkeraman Allah atas dirinya. Kalau kelak ternyata ia gagal masuk Sorga, sepenuhnya bukanlah kesalahannya, melainkan kegagalan Allah. Sekali lagi dasar konsep Perseverance of the Saints Calvinisme adalah manusia tiadk memiliki kehendak bebas, tidak bisa berpikir, atau sekedar boneka.

Sebaliknya Alkitab mengajarkan bahwa manusia setelah jatuh ke dalam dosa sama sekali tidak kehilangan kesadaran diri seperti manusia jatuh dari gedung lantai sepuluh yang pingsan total, melainkan dalam Kejadian 3:22, dikatakan menjadi tahu akan yang baik dan yang jahat, bahkan ada pernyataan dari Allah sendiri bahwa manusia telah menjadi salah satu Allah.

Allah adalah pribadi yang tahu tentang yang baik dan yang jahat, namun Ia memiliki keseimbangan dan memiliki standar kebaikan serta memiliki kuasa untuk mengendalikan diriNya. Seluruh sifat Allah memiliki keseimbangan. Sebaliknya manusia menjadi tahu akan yang baik dan yang jahat dengan tanpa memiliki keseimbangan, tanpa memiliki pengendalian diri, dan dirinya sendiri tidak bisa menjadi standar kebenaran, sehingga ketika ia menjadi allah bagi dirinya sendiri ia akan berakhir dalam kebinasaan oleh pengetahuannya tentang yang jahat. Inilah alasan Allah tidak mau manusia memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat itu. Sama sekali bukan karena Allah egois melainkan Allah tahu jika manusia memiliki pengetahuan yang jahat dengan tanpa kemampuan pengendalian diri dan keseimbangan antara sifat kemanusiaannya, maka hasil akhirnya akan negatif.

Namun Allah telah menciptakannya dengan kemampuan berpikir dan kemampuan mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, dan tentu kita lebih senang dengan keadaan kemanusiaan kita daripada diciptakan seperti robot sekalipun ada resiko. Karena memiliki kemampuan dan kebebasan memilih maka Hawa telah memilih untuk dirinya, demikian juga Adam. Tetapi Adam dan Hawa akan kita jumpai di Sorga karena mereka percaya kepada janji Allah untuk mengutus Juruselamat. Buktinya ketika Hawa melahirkan Kain, ia menyangka telah melahirkan Sang Juruselamat.


Kej 4:1 Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain; maka kata perempuan itu: “Aku telah mendapat seorang anak laki-laki DENGAN PERTOLONGAN TUHAN.”

Kata “dengan pertolongan” yang saya sengaja cetak huruf besar tebal itu tidak ada dalam bahasa aslinya. Sesungguhnya …. Lebih tepat diterjemahkan “seorang laki-laki yang adalah YAHWEH.” Kata adalah direct object mark (tanda obyek langsung), seperti ‘saya makan pisang’ sebelum kata pisang harus ada kata ..(et). Jadi kelihatannya Hawa yang telah jatuh ke dalam dosa sangat percaya janji Allah untuk mengirim Juruselamat, dan ia tahu bahwa Sang Juruselamat itu adalah Allah sendiri yang akan menjadi manusia, sehingga ketika ia melahirkan Kain, ia menyangka bahwa itu adalah Sang Juruselamat.

Allah tahu keadaan Adam dan Hawa bahkan semua manusia. Allah tahu bahwa mereka akan berbuat ini dan itu. Tetapi Allah tidak menetapkan mereka melakukan hal-hal yang jahat sebagaimana diyakini oleh para calvinis. Para Calvinis selalu mengaitkan antara kemahatahuan Allah dengan predestinasi Allah, bahkan mereka berkata bahwa Allah tahu karena Allah menetapkan (mempredestinasikan). Ini kesimpulan bahwa Allah telah menetapkan seorang wanita diperkosa maka Allah tahu akan kejadian itu. Orang berdosa yang menentang Allah memperkosa perempuan berdosa yang juga menentang Allah adalah siklus perbuatan orang berdosa. Dan Allah telah memutuskan untuk mengadili manusia bukan hanya pada perbuatan mereka bahkan sampai kepada pikiran mereka.

Sesungguhnya tidak ada seorang Calvinis pun yang dapat memastikan dirinya akan masuk Sorga karena tidak ada seorang calvinis pun yang tahu pasti bahwa dirinya termasuk dalam orang-orang pilihan. Mereka hanya yakin begitu saja bahwa mereka adalah orang-orang pilihan. Dengan kata lain jika orang-orang tidak akan percaya, itu adalah karena Allah tidak memberikan iman kepada mereka, karena mereka bukan orang-orang yang dipilih Allah. Dan dalam kenyataan jika mereka menemukan orang-orang yang tadinya beriman, terus kemudian tidak beriman lagi, biasanya mereka meyimpulkan bahwa orang tersebut dari awalnya memang tidak dikasih iman oleh Allah. Jadi, siapapun di kalangan calvinis, bahkan yang paling giat sekalipun kalau suatu hari dia mundur dari iman, mereka akan simpulkan bahwa memang dari sejak awal orang itu sebenarnya tidak diberi iman karena ia bukan orang pilihan.

Karena iman itu adalah pemberian Allah maka adalah tanggung jawab Allah untuk memberikan iman yang kuat, dan kalau ternyata iman seseorang tidak kuat, tentu itu adalah karena Allah telah memberikan iman yang mutunya rendah. Jadi bisa disimpulkan bahwa jika di gereja Reform atau Presbyterian ada anggota-anggota jemaat dengan kondisi keteguhan iman yang bervariasi, itu karena Allah memberikan jenis keteguhan iman yang bervariasi. Pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa Gembala Jemaat tidak perlu mengadakan berbagai usaha pemupukan iman karena menurut mereka iman seseorang sepenuhnya adalah tanggung jawab Allah. Karena Allah yang bertanggung jawab, maka mereka simpulkan bahwa iman seorang yang telah diplih Allah tidak mungkin bisa gagal, bahkan tidak mungkin bisa mundur, karena kalau mereka sampai mundur maka ia bukan orang pilihan, atau Allah gagal menjaga iman orang itu. Tentu mereka akan memilih yang pertama daripada menuduh Allah gagal.

Itu adalah jalan nalar Calvinisme, sekalipun kadang mereka menyangkalnya. Mereka membuat pernyataan, dan kemudian dari pernyataan mereka kita menarik kesimpulan yang logis, sehingga mereka terpojok, dan kemudian mereka menyangkal kesimpulan itu. Tetapi sesungguhnya apa kata Alkitab? Alkitab berkata bahwa iamn timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus (Rm 10:17). Bahkan sebelumnya, yaitu pada ayat 9 hingga 15, Paulus berargumentasi,

Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan. Karena Kitab Suci berkata: “Barangsiapa yang percaya kepada Dia, tidak akan dipermalukan.” Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya. Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!”

Jelas sekali bahwa iman timbul dari mendengarkan pemberitaan Injil. Kalimat “Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia” adalah sebuah statemen bahwa manusia tidak bisa percaya kepada sesuatu yang tidak pernah didengarnya.

Kalau iman timbul dari pendengaran akan firman Kristus, dan iman itu kemudian perlu dipelihara (II Tim 4:7), dan iman itu harus bertumbuh (Ef 4:11-15) maka valid sekali untuk menyimpulkan bahwa ada aspek tanggung jawab manusia untuk tetap beriman setelah yang bersangkutan diselamatkan. Orang yang telah diselamatkan harus bertekun di dalam iman (Kis 14:22, Kol 1:23, I Tim 2:15). Tidak dibenarkan bagi orang yang telah diselamatkan untuk melepas tanggung jawab tetap setia sampai mati (Why 2;10). Bahkan Ibr 3:14 mengatakan bahwa yang bersangkutan harus memegang teguh Injil.


Ibr 3:14 Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula

Apakah berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita bisa dikategorikan upaya manusia untuk keselamatannya? Tentu saja tidak! Karena yang dimaksudkan bukan kita memegang buku atau kitab Injil yang terbuat dari kertas. Maksud ‘berpegang’ itu tentu bukan dengan tangan, melainkan dengan hati dan pikiran yang arti keseluruhannya ialah tetap percaya. Hal yang hamper sama diungkapkan dalam I Kor 15:2,

Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padanya, seperti yang telah kuberitakan kepadamu — kecuali kalau kamu telah sia-sia saja menjadi percaya

Nasehat ini jelas kepada orang yang telah diselamatkan, bahwa mereka sekalipun telah diselamatkan mereka perlu berpegang teguh pada Injil. Sekali lagi bukan memegang dengan jasmani melainkan tidak berubah keyakinan. Bahkan ada kalangan Baptis yang one-point Calvinist salah mengerti sehingga mereka menuduh pihak yang menekankan tanggung jawab manusia sebagai menekankan keselamatan oleh usaha manusia. Tetap pada keyakinan semula itu bukan usaha, melainkan sikap. Namun toh apapun juga, itulah yang diperintahkan firman Tuhan.

Benarlah perkataan ini: “Jika kita mati dengan Dia, kita pun akan hidup dengan Dia; jika kita bertekun, kita pun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Dia pun akan menyangkal kita; jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya. (II Tim 2:11-13)

Perhatikan bunyi ayat terkutip di atas, “jika kita menyangkal Dia, Dia pun akan menyangkal kita.” Bisakah orang yang telah diselamatkan menyangkal Tuhan? Apakah orang yang telah diselamatkan kehilangan kesadaran diri dan kebebasan untuk memilih? Apakah orang yang telah diselamatkan berubah menjadi robot? Lalu ada yang menjawab, bukankah “jika kita tidak setia, Dia tetap setia?” Betul sekali! Tetapi tidak dikatakan bahwa ia setia kepada orang yang tidak setia, melainkan Ia tetap Allah yang setia. Sekalipun Lucifer tidak setia, Ia tetap Allah yang setia. Mengapa? Karena Ia tidak dapat menyangkal dirinya. Menyangkal adalah sikap, sedangkan setia adalah sifat. Sifat Allah tidak pernah berubah sekalipun langit dan bumi berubah. Ia adalah Allah yang setia. Ia setia kepada firmanNya, setia kepada janjiNya. Ia tidak pernah berjanji untuk tetap menyelamatkan orang yang menyangkaliNya. Ia hanya berjanji akan menyelamatkan orang yang setia kepadaNya. Untuk itu saya aman jika saya memegang teguh janjiNya. Saya memegang teguh InjilNya. Saya pasti masuk Sorga, bukan karena keyakinan yang belum pasti bahwa saya dipilih melainkan karena saya memegang teguh InjilNya, dan janji setiaNya.

Jadi bagaimana, Liauw? Anda percaya keselamatan bisa hilang atau tidak? Anda bertobat, atau anda berdusta?
By the way, tulisan tolol dengan penafsiran-penafsiran ‘gila’ dari anda ini akan saya tanggapi dan habisi, Liauw! Dan saya tak butuh waktu 15 bulan untuk menjawab dan menghancurkan tulisan tolol seperti ini.


R. C. Sproul, agak bingung membedakan antara “menentukan” dengan “mengizinkan.” Dia berkata, “ Jika Ia [Allah] mengizinkan sesuatu, maka Ia pasti memutuskan untuk mengizinkannya. Jika Ia memutuskan untuk mengizinkan sesuatu, maka dalam arti tertentu Ia menentukannya. … Mengatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi adalah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu berdaulat atas segala ciptaanNya. Jika ada sesuatu yang bisa terjadi di luar izinNya yang berdaulat, maka apa yang terjadi itu menghalangi kedaulatanNya. Jika Allah menolak untuk mengizinkan sesuatu dan hal itu tetap terjadi, maka apapun yang menyebabkan hal itu terjadi mempunyai otoritas dan kuasa yang lebih besar dari Allah sendiri.”
Tanggapan saya:
a) Yang bingung R. C. Sproul atau anda, Liauw? Mungkin anda kurang pintar untuk mengerti kata-kata R. C. Sproul. Bagi saya, dan semua orang yang cukup cerdas, kata-kata R. C. Sproul sama sekali tidak membingungkan. Bagian yang mana yang membingungkan? Akan saya jelaskan!
b) Kata-kata R. C. Sproul juga anda kutip dari buku saya, tanpa memberi petunjuk. Mengapa? Supaya anda dianggap terpelajar karena banyak referensi yang anda gunakan sementara sebenarnya anda hanya menggunakan buku saya (atau setidaknya mayoritas dari buku saya)??

Tanggapan:
Justru inilah salah satu contoh “penyamaran” tadi. Saya tidak mengatakan bahwa Sproul punya maksud jahat di sini. Tetapi, yang jelas, manusia pada umumnya membedakan antara mengizinkan dan menentukan. Kalimat Sproul: “Jika ada sesuatu yang bisa terjadi di luar izinNya yang berdaulat, maka apa yang terjadi itu menghalangi kedaulatanNya.” Non-Kalvinis pun akan mengiyakan kalimat ini! Inilah mengapa saya katakan “menyamarkan.”

Anda tidak melihat footnote-footnote saya sama sekali, saya banyak mengatakan bahwa saya memang mengutip dari artikel Budi Asali. Mengapa saya mau mengutip anda, padahal saya punya kebanyakan dari buku-buku yang anda juga kutip ini? Pertimbangan utama adalah supaya saya tidak dituduh salah menerjemahkan! Dalam footnote saya, kalau saya tidak berikan informasi penerbitnya, berarti memang saya kutip dari sumber sekunder, salah satunya dari tulisan Budi Asali! Permasalahannya adalah anda mengacukepada artikel saya yang tidak lengkap yang sudah dihilangkan footnotenya.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Menurut saya anda sama sekali salah mengerti Sproul. Dia maksudnya ingin membuktikan bahwa kalaupun dikatakan ‘Allah mengijinkan’, itu akhirnya menunjukkan bahwa ‘Allah memang menghendaki hal itu terjadi’. Ini sama sekali bukan menyamarkan, tetapi menggempur pandangan Arminian, dengan menunjukkan bahwa mereka tak bisa lari dengan menggunakan istilah ‘ijin’, karena kalau digunakan istilah itu, akhirnya artinya juga menuju pada ‘Allah menghendaki’.

Kembali kepada Sproul, anda menuduhnya ‘agak bingung’, dan itu saya serang. Mana jawaban anda? Sproul yang bingung, atau anda terlalu bodoh sehingga bingung tentang kata-katanya yang sebetulnya sangat jelas?

Tentang tak ada footnote itu, saya sudah minta maaf di atas.


Kalau Kalvinis hanya mengatakan bahwa “Allah mengizinkan dosa,” maka saya setuju! Mengizinkan dosa berbeda dengan menetapkan dosa. Memberi izin berarti bahwa kehendak untuk melakukan berasal dari pribadi lain, dan pihak pemberi izin melakukan supervisi. Menetapkan sesuatu berarti kehendak untuk melakukan berasal dari yang menetapkan itu.

Tanggapan saya:
Salah! Coba beri contoh satu orang Calvinist saja yang berpendapat bahwa ‘Menetapkan sesuatu berarti kehendak untuk melakukan berasal dari yang menetapkan itu’. Itu kesimpulan anda yang anda masukkan ke dalam ajaran Calvinisme! Lagi-lagi suatu fitnahan, Liauw!

Tanggapan:
Ha, ha...lagi-lagi fitnah. Kalau guru menetapkan murid untuk berdiri di depan kelas, artinya guru memang berkehendak murid itu berdiri di depan kelas. Kalau guru mengizinkan murid untuk berdiri di depan kelas, belum tentu guru berkehendak murid berdiri di depan kelas! Dia hanya memberi izin. Murid boleh berdiri di depan kelas, boleh juga tidak. Kehendak sang guru tidak dibicarakan.

Sudah mengerti perbedaan mengizinkan dengan menentukan? Sudah mengerti arti dari menentukan? Ini kesimpulan saya? Ya, memang ini kesimpulan saya yang didukung oleh pengertian sebuah kata sebagaimana digunakan dalam masyarakat. Jadi, ini bukan fitnah! Kecuali Kalvinis menggunakan kata menetapkan dengan definisi yang sama sekali berbeda dengan umum, yang toh artinya bukan salah saya kalau saya salah mengerti maksud mereka! Jadi, kalau Allah menetapkan manusia untuk berdosa, berarti Allah memang berkehendak manusia itu berdosa! Anda mau sangkal pernyataan ini? Ini berbeda dengan mengatakan bahwa Allah mengizinkan manusia berdosa! Saya yakin pembaca mengerti, saya harap anda juga mengerti!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Untuk menjawab saya berikan kata-kata Sproul di atas (sebagian saja), yang berbunyi “Jika Ia [Allah] mengizinkan sesuatu, maka Ia pasti memutuskan untuk mengizinkannya. Jika Ia memutuskan untuk mengizinkan sesuatu, maka dalam arti tertentu Ia menentukannya.
Kalau Ia memang tak menghendaki, Ia tidak akan memutuskan untuk mengijinkannya! Jadi, akhirnya sama saja.
Pandangan masyarakat? Saya sudah katakan, saya tak peduli apa kata orang banyak. Kebanyakan orang tak mengerti theologia, dan kebenaran bukan persoalan demokrasi.

Anda mengatakan ‘
bukan salah saya kalau saya salah mengerti maksud mereka’. Tentu saja salah anda! Mengapa? Karena anda tak membaca dengan teliti seluruh tulisan mereka, tetapi sudah berani-beraninya mengomentari.
Sama seperti ketika saya menuduh anda tadi, padahal dalam footnote ada penjelasan anda, apakah salah saya? Tentu saja salah saya, karena tak teliti membaca, atau membaca dari sumber yang kurang lengkap. Karena itu, secara fair saya minta maaf, bukan seperti anda yang ngotot / berkeras membenarkan diri seperti orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat!

Pada waktu saya membaca buku Loraine Boettner, saya mula-mula juga mengira ia mempunyai pandangan bahwa Allah mengijinkan dosa, tetapi karena saya membaca terus, maka akhirnya saya tahu apa yang ia maksudkan dengan ‘mengijinkan’ itu.
Jadi, kalau anda membaca hanya sebagian, lalu salah mengerti, jelas anda memang salah!

Bukan hanya para Calvinist, tetapi bahkan Alkitab sendiri juga mempunyai sangat banyak pernyataan-pernyataan, yang kalau dibaca sendirian, terpisah dari bagian-bagian lain dari Alkitab, akan menghasilkan ajaran sesat.
Misalnya: Yoh 5:28-29 - “(28) Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suaraNya, (29)  dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.
Kalimat terakhir ini, yang saya garis-bawahi, kelihatannya menunjukkan keselamatan karena perbuatan baik! Sekarang pertanyaannya, kalau seseorang membaca bagian itu dan lalu menyimpulkan bahwa kita bisa diselamatkan karena perbuatan baik, apakah itu salah dia? Bukan salah dia, Liauw? Lalu salah siapa?

Salah Roh Kudus, yang membimbing rasul Yohanes dalam menuliskan kata-kata itu? Kalau saja orang itu membaca seluruh Alkitab, ia akan tahu adanya ayat-ayat seperti Ef 2:8-9, Gal 2:16,21, Ro 3:24,27-28 dsb, yang semuanya menentang ajaran keselamatan karena perbuatan baik! Dan karena itu, ia harus menafsirkan Yoh 5:28-29 dengan cara yang berbeda. Kalau ia membaca hanya bagian akhir dari Yoh 5:28-29 itu, tanpa membaca sisa Alkitab yang lain, sehingga lalu mendapatkan ajaran sesat, itu memang salah dia!
Lalu apa bedanya dengan anda? Anda membaca tulisan para Calvinist sepotong-sepotong, tetapi sudah berani menyimpulkan, dan hebatnya tetap mengaku tidak salah! Betul-betul ‘self-righteous’!


Kalvinis-kalvinis lain lebih jujur dan dengan terus terang menyatakan bahwa Allah menetapkan dosa. Arthur Pink membuat jelas bagi kita: “Jelaslah bahwa adalah kehendak Allah dosa harus masuk ke dalam dunia, sebab kalau tidak demikian maka ia [dosa] telah tidak masuk, karena tidak ada sesuatupun yang terjadi selain yang telah didekritkan Allah sejak kekal. Lebih lanjut lagi, masalah ini lebih dari sekedar memberi izin semata, karena Allah hanya mengizinkan apa yang Ia kehendaki.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan saya:
Dari kutipan yang anda berikan, Arthur Pink JUGA Berbicara tentang ijin! Perhatikan kata-kata anda yang saya beri warna merah!

Tanggapan:
Ya, dan Pink mengakui bahwa izin itu berbeda dari menentukan! Ini inti yang ingin saya sampaikan. Jadi, Kalvinis jangan bilang “Allah mengizinkan.” Kalvinis bilanglah: “Allah menentukan”! Karena konotasi kedua kalimat ini berbeda, dan implikasinya berbeda.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda tidak menjawab serangan saya tetapi menghindarinya secara licik. Kata-kata anda ‘Kalvinis-kalvinis lain lebih jujur dan dengan terus terang menyatakan ...’, jelas menunjukkan bahwa anda membedakan Pink dengan para Calvinist yang lain (yang kurang jujur). Padahal Pink juga menggunakan istilah ‘ijin’, jadi apa bedanya dengan para Calvinist yang lain? Itu serangan saya. Pura-pura tidak mengerti?
Anda mengatakan ‘Pink mengakui bahwa izin itu berbeda dari menentukan!’. Anda tak bisa membaca atau sangat bodoh, Liauw? Pink mengatakan pada kalimat terakhir Lebih lanjut lagi, masalah ini lebih dari sekedar memberi izin semata, karena Allah hanya mengizinkan apa yang Ia kehendaki”.
Bagian yang saya beri garis bawah tunggal menunjukkan bahwa Pink tidak memaksudkan ‘sekedar ijin’, dan bagian yang saya beri garis bawah ganda menunjukkan bahwa Pink memaksudkan bahwa kalau dikatakan ‘mengijinkan’ itu artinya ‘menghendaki’! Dia justru menyamakan, bukan membedakan! Sudah ngantuk atau memang bodoh, Liauw?


Pink melanjutkan, “Bukan hanya mataNya [Allah] yang mahatahu melihat Adam memakan buah yang terlarang itu, tetapi Ia telah mendekritkan sebelumnya bahwa ia [Adam] harus melakukannya.” Palmer menegaskan, “Adalah Alkitabiah untuk mengatakan bahwa Allah telah menetapkan dosa. Jika dosa berada di luar rencana Allah, maka tidak ada satupun hal penting dalam kehidupan yang dikuasai oleh Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)

Tanggapan saya
:
Lagi-lagi anda mengutip kata-kata Edwin Palmer dari saya dan mengutipnya hanya sebagian. Kalau anda teruskan kutipan itu, Edwin Palmer menunjukkan logika yang hebat, karena memang, seperti ia katakan, sangat sedikit, kalau ada, tindakan-tindakan manusia yang betul-betul sempurna. Tidak sempurna berarti berdosa, bukan demikian Liauw? Dan kalau semua tidak sempurna, semua berdosa, dan semua ada di luar rencana Allah!
Edwin H. Palmer: “It is even Biblical to say that God has foreordained sin. If sin was outside the plan of God, then not a single important affair of life would be ruled by God. For what action of man is perfectly good? All of history would then be outside of God’s foreordination: the fall of Adam, the crucifixion of Christ, the conquest of the Roman Empire, the battle of Hastings, the Reformation, the French Revolution, Waterloo, the American Revolution, the Civil War, two World Wars, presidential assassinations, racial violence, and the rise and fall of nations” (= Bahkan adalah sesuatu yang Alkitabiah untuk mengatakan bahwa Allah telah menentukan dosa lebih dulu. Jika dosa ada di luar rencana Allah, maka tidak ada satupun peristiwa kehidupan yang penting yang diperintah / dikuasai / diatur oleh Allah. Karena tindakan apa dari manusia yang baik secara sempurna? Seluruh sejarah juga akan ada di luar penentuan lebih dulu dari Allah: kejatuhan Adam, penyaliban Kristus, penaklukan kekaisaran Romawi, pertempuran Hastings, Reformasi, Revolusi Perancis, Waterloo, Revolusi Amerika, Perang saudara Amerika, kedua perang dunia, pembunuhan presiden, kejahatan / kekejaman rasial, dan bangkitnya dan jatuhnya bangsa-bangsa) - ‘The Five Points of Calvinism’, hal 82.

Tanggapan:
Untuk kata-kata Edwin Palmer ini, saya tidak mengutip anda, melainkan dari sumber saya sendiri. Mengapakah anda berprasangka bahwa hanya anda yang memiliki akses kepada Edwin Palmer?

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Jangan menghindar, Liauw! Saya tak peduli anda mengutip Palmer dari siapa, tetapi pengutipan sebagian, yang membuang logika dan kekuatan argumentasi dari Palmer, merupakan sesuatu yang kurang ajar, tak berbeda dengan Saksi Yehuwa yang mengutip sebagian dari Encyclopedia Britannica, yang sudah saya beri contohnya di atas!

Logika anda dan Palmer justru salah di sini, karena kalian (Kalvinis) mengidentikkan “menguasai” (rule) dengan “menentukan segala sesuatu.” Bukanlah suatu keharusan logis bahwa seorang yang berdaulat itu menentukan segala sesuatu yang dilakukan oleh pribadi-pribadi di bawah dirinya. It is not a logical necessity! Dan karena ini bukan suatu logical necessity, maka tidak perlu untuk membaca Alkitab dengan premis dasar tersebut. Dan kalau seseorang tidak membaca Alkitab dengan premis dasar bahwa Allah telah menentukan agar manusia berdosa, maka ia tidak akan menemukan pengajaran itu dalam Alkitab.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda secara tak tahu malu selalu menghindari serangan dengan pura-pura tidak mengerti serangan saya, dan lalu  membelokkan pembicaraan. Palmer memaksudkan, semua, atau hampir semua tindakan manusia, adalah dosa. Karena itu, kalau dosa tak termasuk dalam rencana / penetapan Allah, maka sangat sedikit, kalau ada, hal-hal yang direncanakan oleh Allah. Ini tak masuk akal! Allah yang maha kuasa tak punya rencana, dan semua berjalan semaunya sendiri, tak dikendalikan oleh Allah? Itu yang disebut berdaulat?
Eh, bukannya menjawab, anda lari membicarakan ‘menguasai’ dan ‘menentukan’. Saya tak pedulikan kata-kata anda yang terakhir ini, karena memang sangat menyimpang. Jawab serangan Palmer itu, Liauw!

Kutipan terakhir dari Palmer mengandung permainan kata-kata yang cukup berbahaya. Tidak ada orang lahir baru yang mengajarkan bahwa “dosa berada di luar rencana Allah.” Saya percaya bahwa dosa sangat diperhitungkan oleh Allah dalam rencanaNya. Sekali lagi, ini berbeda dengan mengatakan bahwa Allah menetapkan dosa. Jika saya sudah tahu bahwa besok akan hujan, maka hujan bisa ada dalam perencanaan saya, tanpa sedikitpun dapat dikatakan bahwa saya menetapkan hujan. Oleh karena itu, penggunaan kata “rencana” harus diperjelas. Kalvinis percaya bahwa Allah menetapkan dosa, jadi mereka percaya bahwa Allah merencanakan dosa. Merencanakan dosa tentu berbeda dengan sekedar “dosa ada dalam rencana Allah.”

Tanggapan saya:
Rencana Allah sangat luas, dan memang mencakup dosa. Ia betul-betul merencanakan supaya dosa itu terjadi. Itu yang dimaksud dengan ‘dosa ada dalam rencana Allah’, dan itu jelas juga sama dengan ‘dosa ditetapkan / direncanakan oleh Allah’. Tetapi ini berbeda dengan kata-kata ‘dosa sangat diperhitungkan oleh Allah dalam rencanaNya’. Kalau yang terakhir ini bisa diartikan bahwa Ia hanya tahu kalau dosa bakal ada, dan dalam rencanaNya, Ia juga merencanakan bagaimana cara menangani dosa yang akan muncul itu. Ini pandangan Arminianisme!

Tanggapan:
Saya setuju, konsep anda memang berbeda dengan konsep saya. Anda berkata bahwa Allah “merencanakan supaya dosa itu terjadi.” Itu berarti Allah menghendaki adanya dosa di dunia. Itu berarti Allah menghendaki manusia berdosa, karena Ia merancang manusia agar berdosa. Ini adalah konsep yang sangat tidak Alkitabiah dan bertentangan dengan sifat kudus Allah. Allah membenci dosa dan kejahatan (misal Amsal 6:16, Yes. 61:8; Zak. 8:17). “allah” yang menetapkan dan menentukan hal-hal yang dia benci, pastilah schizophrenic, atau tidak berdaulat (dipaksa melakukannya)!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Awas, Liauw, jangan menghujat Allah! Allah yang anda katakan ‘schizophrenic’ adalah Allah yang diajarkan oleh Alkitab. Mau bukti, bahwa Allah memang menentukan dosa? Saya kutipkan dari buku ‘providence of God’ saya.

Bahwa dalam Rencana Allah juga tercakup dosa bisa terlihat dari:

.......................................

2)   Rencana Allah tentang penebusan dosa oleh Kristus (1Pet 1:19-20) me-nunjukkan adanya Rencana / penentuan terjadinya dosa, karena bahwa penebusan dosa sudah ditentukan, itu jelas menunjukkan bahwa:

a)  Dosa manusia yang akan ditebus oleh Kristus itupun harus juga sudah ditentukan! Karena kalau tidak, bisa-bisa penebusan dosa itu tidak terjadi.

b)  Pembunuhan / penyaliban yang dilakukan terhadap Kristus, yang jelas merupakan suatu dosa yang sangat hebat, jelas juga sudah ada dalam Rencana Allah.
Kis 2:23 - Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu.
Charles Hodge: “The crucifixion of Christ was beyond doubt foreordained of God. It was, however, the greatest crime ever committed. It is therefore beyond all doubt the doctrine of the Bible that sin is foreordained” (= Penyaliban Kristus tidak diragukan lagi ditentukan lebih dulu oleh Allah. Tetapi itu adalah tindakan kriminal terbesar yang pernah dilakukan. Karena itu tidak perlu diragukan lagi bahwa dosa ditentukan lebih dulu merupakan doktrin / ajaran dari Alkitab) - ‘Systematic Theology’, vol I, hal 544.
Charles Hodge: “it is utterly irrational to contend that God cannot foreordain sin, if He foreordained (as no Christian doubts) the crucifixion of Christ” [= adalah sama sekali tidak rasionil untuk berpendapat bahwa Allah tidak bisa menentukan dosa, jika Ia menentukan (seperti yang tidak ada orang kristen yang meragukan) penyaliban Kristus] - ‘Systematic Theology’, vol I, hal 547.

3)    Dosa / kejatuhan Adam mempunyai 3 kemungkinan:

a)   Adam ditentukan untuk tidak jatuh.
Kemungkinan ini harus dibuang, karena kalau Adam direncanakan untuk tidak jatuh, maka ia pasti tidak jatuh (ingat bahwa Rencana Allah tidak bisa gagal - lihat pelajaran II, point B,C di atas).

b)   Allah tidak merencanakan apa-apa tentang hal itu.
Ini juga tidak mungkin karena kalau Allah mempunyai Rencana / kehendak tentang hal-hal yang remeh / tidak berarti seperti jatuhnya burung pipit ke bumi atau rontoknya rambut kita (bdk. Mat 10:29-30), bagaimana mungkin tentang hal yang begitu besar dan penting, yang menyangkut kejatuhan dari ciptaanNya yang tertinggi, Ia tidak mempunyai Rencana?

c)   Allah memang merencanakan / menetapkan kejatuhan Adam ke dalam dosa.
Inilah satu-satunya kemungkinan yang tertinggal, dan inilah satu-satunya kemungkinan yang benar, dan ini menunjukkan bahwa dosa sudah ada dalam Rencana Allah.

Jerome Zanchius: “That he fell in consequence of the Divine decree we prove thus: God was either willing that Adam should fall, or unwilling, or indifferent about it. If God was unwilling that Adam should transgress, how came it to pass that he did? ... Surely, If God had not willed the fall, He could, and no doubt would, have prevented it; but He did not prevent it: ergo, He willed it. And if he willed it, He certainly decreed it, for the decree of God is nothing else but the seal and ratification of His will. He does nothing but what He decreed, and He decreed nothing which He did not will, and both will and decree are absolutely eter­nal, though the execution of both be in time. The only way to evade the force of this reasoning is to say that ‘God was indifferent and unconcerned whether man stood or fell’. But in what a shameful, unwor­thy light does this represent the Deity! Is it possible for us to imagine that God could be an idle, careless spectator of one of the most important events that ever came to pass? Are not ‘the very hairs of our head are numbered’? Or does ‘a sparrow fall to the ground without our heavenly Father’? If, then, things the most trivial and worthless are subject to the appointment of His decree and the control of His providence, how much more is man, the masterpiece of this lower creation?” (= Bahwa ia (Adam) jatuh sebagai akibat dari ketetapan ilahi kami buktikan demikian: Allah itu atau menghendaki Adam jatuh, atau tidak menghendaki, atau acuh tak acuh / tak peduli tentang hal itu. Jika Allah tidak menghendaki Adam melanggar, bagaimana mungkin ia melanggar? ... Tentu saja, jika Allah tidak menghendaki kejatuhan itu, Ia bisa, dan tidak diragukan Ia akan mencegahnya; tetapi Ia tidak mencegahnya: jadi, Ia menghendakinya. Dan jika Ia menghendakinya, Ia pasti menetapkannya, karena ketetapan Allah tidak lain adalah meterai dan pengesahan kehendakNya. Ia tidak melakukan apapun kecuali apa yang telah Ia tetapkan, dan Ia tidak menetapkan apapun yang tidak Ia kehendaki, dan baik kehendak maupun ketetapan adalah kekal secara mutlak, sekalipun pelaksanaan keduanya ada dalam waktu. Satu-satunya cara untuk menghindarkan kekuatan dari pemikiran ini adalah dengan mengatakan bahwa ‘Allah bersikap acuh tak acuh dan tidak peduli apakah manusia itu jatuh atau tetap berdiri’. Tetapi alangkah memalukan dan tak berharganya terang seperti ini dalam menggambarkan Allah! Mungkinkah bagi kita untuk membayangkan bahwa Allah bisa menjadi penonton yang malas dan tak peduli terhadap salah satu peristiwa yang terpenting yang akan terjadi? Bukankah ‘rambut kepala kita dihitung’? Atau apakah ‘seekor burung pipit jatuh ke tanah tanpa Bapa surgawi kita’? Jika hal-hal yang paling remeh dan tak berharga tunduk pada penentuan ketetapanNya dan pada kontrol dari providensiaNya, betapa lebih lagi manusia, karya terbesar dari ciptaan yang lebih rendah ini?) - ‘The Doctrine of Absolute Predestination’, hal 88-89.

4)   Mengingat bahwa boleh dikatakan semua tindakan manusia bersifat dosa / mengandung dosa, maka kalau dosa tidak tercakup dalam Rencana Allah, hanya sangat sedikit hal-hal yang tercakup dalam Rencana Allah.

Edwin H. Palmer: “It is even Biblical to say that God has foreordained sin. If sin was outside the plan of God, then not a single important affair of life would be ruled by God. For what action of man is perfectly good? All of history would then be outside of God’s foreordination: the fall of Adam, the crucifixion of Christ, the conquest of the Roman Empire, the battle of Hastings, the Reformation, the French Revolution, Waterloo, the American Revolution, the Civil War, two World Wars, presidential assassinations, racial violence, and the rise and fall of nations” (= Bahkan adalah sesuatu yang Alkitabiah untuk mengatakan bahwa Allah telah menentukan dosa lebih dulu. Jika dosa ada di luar rencana Allah, maka tidak ada satupun peristiwa kehidupan yang penting yang diperintah / dikuasai / diatur oleh Allah. Karena tindakan apa dari manusia yang baik secara sempurna? Seluruh sejarah juga akan ada di luar penentuan lebih dulu dari Allah: kejatuhan Adam, penyaliban Kristus, penaklukan kekaisaran Romawi, pertempuran Hastings, Reformasi, Revolusi Perancis, Waterloo, Revolusi Amerika, Perang saudara Amerika, kedua perang dunia, pembunuhan presiden, kejahatan / kekejaman rasial, dan bangkitnya dan jatuhnya bangsa-bangsa) - ‘The Five Points of Calvinism’, hal 82.

Edwin H. Palmer: “If sin were outside of God’s decree, then very little would be included in this decree. All the great empires would have been outside of God’s eternal, determinative decrees, for they were built on greed, hate, and selfishness, not for the glory of the Triune God. Certainly the following rulers, who influenced world history and countless numbers of lives, did not carry out the expansion of their empires for the glory of God: Pharaoh, Nebuchadnezzar, Cyrus, Alexander the Great, Ghenghis Khan, Caesar, Nero, Charles V, Henry VIII, Napoleon, Bismarck, Hitler, Stalin, Hirohito. If sin were beyond the foreordination of God, then not only were these vast empires and their events outside God’s plan, but also all the little daily events of every non Christians are outside of God’s power. For whatever is not done to the glory of the Christian God and out of faith in Jesus Christ is sin. ... The acts of the Christian are not perfect - even after he is born again and Christ is living in him. Sin still clings to him; he is not perfect until he is in heaven. For example, he does not love God with all of his heart, mind, and soul, nor does he truly love his neighbor as himself. Even his most admirable deeds are colored by sin. ... if sin is outside the decree of God, then the vast percentage of human actions - both the trivial and the significant - are removed from God’s plan. God’s power is reduced to the forces of nature, such as spinning of the galaxies and the laws of gravity and entropy. Most of history is outside His control” [= Seandainya dosa ada di luar ketetapan Allah, maka sangat sedikit yang termasuk dalam ketetapan ini. Semua kekaisaran yang besar akan ada di luar ketetapan Allah yang kekal dan bersifat menentukan, karena mereka dibangun pada keserakahan, kebencian, dan keegoisan, bukan untuk kemuliaan Allah Tritunggal. Pasti pemerintah-pemerintah di bawah ini, yang mempengaruhi sejarah dunia dan tak terhitung banyaknya jiwa, tidak melakukan perluasan kekaisaran mereka untuk kemuliaan Allah: Firaun, Nebukadnezar, Koresy, Alexander yang Agung, Jengggis Khan, (Yulius) Caesar, Nero, Charles V, Henry VIII, Napoleon, Bismarck, Hitler, Stalin, Hirohito. Seandainya dosa ada di luar penentuan lebih dulu dari Allah, maka bukan saja kekaisaran-kekaisaran yang luas ini dan semua peristiwa yang berhubungan dengan mereka ada di luar rencana Allah, tetapi juga semua peristiwa sehari-hari yang remeh dari setiap orang non Kristen ada di luar kuasa Allah. Karena apapun yang tidak dilakukan bagi kemuliaan Allah Kristen dan di luar iman dalam Yesus Kristus adalah dosa. ... Tindakan-tindakan dari orang Kristenpun tidak sempurna - bahkan setelah ia dilahirkan kembali dan Kristus hidup dalam dia. Dosa tetap melekat padanya; ia tidak sempurna sampai ia ada di surga. Misalnya, ia tidak mengasihi Allah dengan segenap hati, pikiran, dan jiwanya, juga ia tidak sungguh-sungguh mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Bahkan tindakan-tindakannya yang paling mengagumkan / terpuji diwarnai oleh dosa. ... jika dosa ada di luar ketetapan Allah, maka sebagian besar dari tindakan-tindakan manusia - baik yang remeh maupun yang penting - dikeluarkan dari rencana Allah. Kuasa Allah direndahkan sampai pada kekuatan-kekuatan alam, seperti menggerakkan galaxy dan hukum-hukum gravitasi dan entropi. Bagian terbesar dari sejarah ada di luar kontrolNya] - ‘The Five Points of Calvinism’, hal 97,98.

5)   Ayat-ayat Kitab Suci yang menunjukkan adanya dosa dalam Rencana Allah:
·        Kel 3:19 - “Tetapi Aku tahu bahwa raja Mesir tidak akan membiarkan kamu pergi, kecuali dipaksa oleh tangan yang kuat”.
·        Ul 31:16-21 - “(16) TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Ketahuilah, engkau akan mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangmu dan bangsa ini akan bangkit dan berzinah dengan mengikuti allah asing yang ada di negeri, ke mana mereka akan masuk; mereka akan meninggalkan Aku dan mengingkari perjanjianKu yang Kuikat dengan mereka. (17) Pada waktu itu murkaKu akan bernyala-nyala terhadap mereka, Aku akan meninggalkan mereka dan menyembunyikan wajahKu terhadap mereka, sehingga mereka termakan habis dan banyak kali ditimpa malapetaka serta kesusahan. Maka pada waktu itu mereka akan berkata: Bukankah malapetaka itu menimpa kita, oleh sebab Allah kita tidak ada di tengah-tengah kita? (18) Tetapi Aku akan menyembunyikan wajahKu sama sekali pada waktu itu, karena segala kejahatan yang telah dilakukan mereka: yakni mereka telah berpaling kepada allah lain. (19) Oleh sebab itu tuliskanlah nyanyian ini dan ajarkanlah kepada orang Israel, letakkanlah di dalam mulut mereka, supaya nyanyian ini menjadi saksi bagiKu terhadap orang Israel. (20) Sebab Aku akan membawa mereka ke tanah yang Kujanjikan dengan sumpah kepada nenek moyang mereka, yakni tanah yang berlimpah-limpah susu dan madunya; mereka akan makan dan kenyang dan menjadi gemuk, tetapi mereka akan berpaling kepada allah lain dan beribadah kepadanya. Aku ini akan dinista mereka dan perjanjianKu akan diingkari mereka. (21) Maka apabila banyak kali mereka ditimpa malapetaka serta kesusahan, maka nyanyian ini akan menjadi kesaksian terhadap mereka, sebab nyanyian ini akan tetap melekat pada bibir keturunan mereka. Sebab Aku tahu niat yang dikandung mereka pada hari ini, sebelum Aku membawa mereka ke negeri yang Kujanjikan dengan sumpah kepada mereka.’”.
·        2Sam 12:11-12 - “(11) Beginilah firman TUHAN: Bahwasanya malapetaka akan Kutimpakan ke atasmu yang datang dari kaum keluargamu sendiri. Aku akan mengambil isteri-isterimu di depan matamu dan memberikannya kepada orang lain; orang itu akan tidur dengan isteri-isterimu di siang hari. (12) Sebab engkau telah melakukannya secara tersembunyi, tetapi Aku akan melakukan hal itu di depan seluruh Israel secara terang-terangan” (Bdk. 2Sam 16:22).
Ini menunjukkan bahwa dosa terkutuk Absalom, dimana ia meniduri istri-istri Daud / ayahnya, adalah sesuatu yang sudah ditentukan sebe­lumnya.
·        2Raja 8:11-13 - “(11) Elisa menatap dengan lama ke depan, lalu menangislah abdi Allah itu. (12) Hazael berkata: ‘Mengapa tuanku menangis?’ Jawab Elisa: ‘Sebab aku tahu bagaimana malapetaka yang akan kaulakukan kepada orang Israel: kotanya yang berkubu akan kaucampakkan ke dalam api, terunanya akan kaubunuh dengan pedang, bayinya akan kauremukkan dan perempuannya yang mengandung akan kaubelah.’ (13) Sesudah itu berkatalah Hazael: ‘Tetapi apakah hambamu ini, yang tidak lain dari anjing saja, sehingga ia dapat melakukan hal sehebat itu?’ Jawab Elisa: ‘TUHAN telah memperlihatkan kepadaku, bahwa engkau akan menjadi raja atas Aram.’”.
Ini menunjukkan bahwa kekejaman Hazael sudah ditentukan sebelumnya.
·        Yes 6:8-10 - “(8) Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: ‘Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?’. Maka sahutku: ‘Ini aku, utuslah aku!’. (9) Kemudian firmanNya: ‘Pergilah, dan katakanlah kepada bangsa ini: Dengarlah sungguh-sungguh, tetapi mengerti: jangan! Lihatlah sungguh-sungguh, tetapi menanggap: jangan! (10) Buatlah hati bangsa ini keras dan buatlah telinganya berat mendengar dan buatlah matanya melekat tertutup, supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik dan menjadi sembuh.’” (Bdk. Mat 13:13-15 / Mark 4:12 / Luk 8:10  Yoh 12:40  Kis 28:26-27).
Ini menunjukkan bahwa Allah sudah menentukan bahwa Yehuda akan menolak Firman Tuhan yang akan disampaikan oleh Yesaya, dan Allah juga sudah menentukan bahwa orang-orang Yahudi akan menolak Kristus.
·        Daniel 11:36 - “Raja itu akan berbuat sekehendak hati; ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya terhadap setiap allah. Juga terhadap Allah yang mengatasi segala allah ia akan mengucapkan kata-kata yang tak senonoh sama sekali, dan ia akan beruntung sampai akhir murka itu; sebab apa yang telah ditetapkan akan terjadi.
Ini menunjukkan bahwa dosa dari raja ini, dimana ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya terhadap setiap allah, dan akan mengucapkan kata-kata tak senonoh terhadap Allah, sudah ditetapkan, dan karena itu pasti akan terjadi.
·        Hab 1:12 - “Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa.
Biarpun penindasan yang dilakukan oleh orang Kasdim terhadap orang Israel / Yehuda merupakan hukuman Tuhan bagi mereka, tetapi itu tetap merupakan suatu dosa. Tetapi ayat ini mengatakan bahwa hal itu ditetapkan / ditentukan oleh Tuhan!
·        Mat 18:7 - “Celakalah dunia dengan segala penyesatan­nya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya!”.
Ini menunjukkan bahwa penyesatan harus ada. Ini jelas adalah dosa, tetapi ini telah ditetapkan oleh Allah.
·        Mat 24:5,10-12,24 - “(5) Sebab banyak orang akan datang dengan memakai namaKu dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang. ... (10) dan banyak orang akan murtad dan mereka akan saling menyerahkan dan saling membenci. (11) Banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang. (12) Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin. ... (24) Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga”.

Ini menunjukkan bahwa nabi-nabi palsu dan Mesias-mesias palsu pasti akan ada, dan juga pasti banyak orang akan mengikut mereka.
·        Mat 26:31,33-35 - “(31) Maka berkatalah Yesus kepada mereka: ‘Malam ini kamu semua akan tergoncang imanmu karena Aku. Sebab ada tertulis: Aku akan membunuh gembala dan kawanan domba itu akan tercerai-berai. ... (33) Petrus menjawabNya: ‘Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.’ (34) Yesus berkata kepadanya: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.’ (35) Kata Petrus kepadaNya: ‘Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.’ Semua murid yang lainpun berkata demikian juga”.
Larinya murid-murid meninggalkan Yesus, dan penyangkalan Petrus sebanyak 3 x sudah ditentukan sebelumnya. Bagaimanapun kerasnya keinginan Petrus dan murid-murid yang lain untuk menolak terjadi­nya hal itu, akhirnya hal itu tetap terjadi.
·        Luk 17:25 - “Tetapi Ia harus menanggung banyak penderitaan dahulu dan ditolak oleh angkatan ini”.
Perhatikan kata ‘harus’ di sini. Penolakan dan penyiksaan terhadap Yesus itu harus terjadi.
·        Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan”.

Ayat ini menunjukkan bahwa pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas terhadap Yesus, yang jelas adalah suatu dosa, telah ditetapkan oleh Allah.
·        Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kis 3:18 - “Tetapi dengan jalan demikian Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankanNya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya harus menderita”.

Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.

Ayat-ayat di atas ini menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap Kristus (ini adalah dosa yang paling terkutuk) sudah ditentu­kan sejak semula. Perhatikan khususnya kata-kata ‘menurut maksud dan rencanaNya’ dalam Kis 2:23, dan juga kata ‘tentukan’ dalam Kis 4:28. Jelas ini bukan sekedar menunjuk pada foreknowledge (= penge-tahuan lebih dulu) dari Allah, tetapi menunjuk pada foreordination (= penetapan lebih dulu) dari Allah.
·        1Tim 4:1 - “Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan”.

Ini menunjukkan bahwa orang-orang akan murtad dan mengikuti ajaran-ajaran sesat sudah ditentukan sebelumnya.
·        2Tim 3:1-5a - “(1) Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. (2) Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, (3) tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, (4) suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. (5a) Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya”.
Ini menunjukkan bahwa kebrengsekan orang-orang pada akhir jaman sudah ditetapkan dan pasti akan terjadi.
·        2Tim 4:3-4 - “(3) Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. (4) Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng”.

Ini menunjukkan bahwa kebrengsekan dari orang-orang kristen KTP ini, yang tidak mau mendengar kebenaran, tetapi mencari ajaran yang menyenangkan telinganya, sudah ditentukan pasti akan terjadi.
·        Wah 6:11 - “Dan kepada mereka masing-masing diberikan sehelai jubah putih, dan kepada mereka dikatakan, bahwa mereka harus beristirahat sedikit waktu lagi hingga genap jumlah kawan-kawan pelayan dan saudara-saudara mereka, yang akan dibunuh sama seperti mereka”.
Istilah ‘genap’ menunjukkan bahwa jumlah orang yang dibunuh sudah ditentukan.

Kalau saudara membaca ayat-ayat di atas ini, mungkin saudara mengatakan bahwa ayat-ayat di atas itu hanya menunjukkan bahwa Allah mengetahui lebih dulu akan adanya dosa atau Allah menubuatkan adanya dosa, tetapi Allah tidak menentukan adanya dosa. Untuk menjawab ini perhatikan beberapa hal di bawah ini:

a) Sekalipun bisa diartikan bahwa sebagian dari ayat-ayat di atas memang cuma menunjukkan bahwa Allah hanya mengetahui lebih dulu atau menubuatkan dosa, tetapi sebagian yang lain yaitu Daniel 11:36  Luk 22:22  Kis 2:23  Kis 4:27-28 secara explicit / jelas menunjukkan bahwa Allah menetapkan dosa, karena ayat-ayat itu menggunakan istilah-istilah:
¨      ‘ditetapkan’ (Daniel 11:36).
¨      ‘ditetapkan’ (Luk 22:22).
¨      ‘menurut maksud dan rencanaNya’ (Kis 2:23).
¨    ‘segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan  kehendakMu (Kis 4:28).

b)  Kalau Tuhan menubuatkan tentang akan terjadinya suatu hal tertentu, itu disebabkan karena Ia sudah lebih dulu menentukan terjadinya hal itu.
Ini terlihat dari:
¨      perbandingan Mat 26:24 dengan Luk 22:22.
Mat 26:24 - “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan”.
Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan”.
Kedua ayat ini paralel dan sama-sama berbicara tentang pengkhianatan Yudas, tetapi kalau Mat 26:24 mengatakan bahwa hal itu ‘sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia’, yang hanya menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena sudah dinubuatkan, maka Luk 22:22 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘seperti yang telah ditetapkan’, yang menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena sudah ditetapkan oleh Allah dalam kekekalan.
¨      perbandingan Kis 2:23  Kis 3:18 dan Kis 4:27-28.
Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kis 3:18 - “Tetapi dengan jalan demikian Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankanNya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya harus menderita”.
Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu.
Semua ayat di atas ini berbicara tentang penderitaan / penyaliban yang dialami oleh Kristus. Tetapi kalau Kis 3:18 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘menggenapi apa yang telah difirmankannya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya’, yang hanya menunjuk-kan bahwa hal itu terjadi karena sudah dinubuatkan, maka Kis 2:23 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘menurut maksud dan rencanaNya’ dan Kis 4:28 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu’, yang jelas menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena sudah ditentukan oleh Allah dalam kekekalan.
¨      Yes 44:26a - “Akulah yang menguatkan perkataan hamba-hambaKu dan melaksanakan keputusan-keputusan yang diberitakan utusan-utusanKu”.
Perhatikan bahwa apa yang diberitakan (dinubuatkan) oleh utusan-utusan Tuhan itu adalah keputusan dari Tuhan.
¨      Yes 46:10-11 - “(10) yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: KeputusanKu akan sampai, dan segala kehendakKu akan Kulaksanakan, (11) yang memanggil burung buas dari timur, dan orang yang melaksanakan putusanKu dari negeri yang jauh. Aku telah mengatakannya, maka Aku hendak melangsungkannya, Aku telah merencanakannya, maka Aku hendak melaksanakannya”.
Perhatikan bahwa dalam Yes 46:10a dikatakan bahwa Tuhan ‘memberitahukan’, tetapi dalam Yes 46:10b-11a dikatakan bahwa itu adalah ‘keputusanKu’, ‘kehendakKu’, dan ‘putusanKu’. Selanjutnya Yes 46:11b terdiri dari 2 kalimat paralel yang sebetulnya memaksudkan hal yang sama, tetapi kalimat pertama menggunakan istilah ‘mengatakannya’, yang hanya menunjukkan nubuat Allah, sedangkan kalimat kedua menggunakan istilah ‘merencanakannya’, yang jelas menunjuk pada rencana / ketetapan Allah.
¨      Yer 4:28 - “Karena hal ini bumi akan berkabung, dan langit di atas akan menjadi gelap, sebab Aku telah mengatakannya, Aku telah merancangnya, Aku tidak akan menyesalinya dan tidak akan mundur dari pada itu”.
Ayat ini baru mengatakan ‘Aku telah mengatakannya’ dan lalu langsung menyambungnya dengan ‘Aku telah merancangnya’. Ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan mengatakan sesuatu kepada nabi-nabi (yang lalu dinubuatkan oleh para nabi itu), karena Tuhan telah merancang / merencanakannya.
¨      Amos 3:7 - “Sungguh, Tuhan Allah tidak berbuat sesuatu tanpa menyatakan keputusanNya kepada hamba-hambaNya, para nabi”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Tuhan kepada pada nabi (dan lalu dinubuatkan oleh nabi-nabi itu) adalah keputusanNya [NIV: ‘his plan’ (= rencanaNya)].
¨      Rat 2:17a - “TUHAN telah menjalankan yang dirancangkanNya, Ia melaksanakan yang difirmankanNya.
Bagian akhir dari ayat ini mengatakan bahwa Tuhan melaksanakan yang difirmankanNya / dinubuatkanNya; tetapi bagian awal dari ayat ini mengatakan bahwa Tuhan menjalankan yang dirancangkanNya. Jelas bahwa apa yang dinubuatkan adalah apa yang dahulu telah dirancangkanNya.
¨      Rat 3:37 - “Siapa berfirman, maka semuanya jadi? Bukankah Tuhan yang memerintahkannya?”.
NIV: ‘Who can speak and have it happen if the Lord has not decreed it’ (= Siapa yang bisa berbicara dan membuatnya terjadi jika Tuhan tidak menetapkannya?).
Ini jelas menunjukkan bahwa tidak ada nabi atau siapapun juga yang bisa menubuatkan apapun kecuali Tuhan lebih dulu menetapkan hal itu.
¨      Yes 28:22b - “sebab kudengar tentang kebinasaan yang sudah pasti yang datang dari Tuhan ALLAH semesta alam atas seluruh negeri itu”.
NIV: ‘The Lord, the LORD Almighty, has told me of the destruction decreed against the whole land’ (= Tuhan, TUHAN yang mahakuasa, telah memberitahu aku tentang kehancuran yang telah ditetapkan terhadap seluruh negeri itu).
Ini jelas menunjukkan bahwa kehancuran yang oleh Tuhan diberitahukan kepada Yesaya, dan lalu dinubuatkan oleh Yesaya, merupakan ketetapan Allah (decree of God).

Jadi, kalau dalam Kitab Suci dinubuatkan sesuatu, itu tidak sekedar berarti bahwa Allah hanya tahu lebih dulu bahwa hal itu akan terjadi (foreknowledge) dan lalu memberitahukan hal itu kepada manusia, tetapi itu berarti bahwa Allah sudah menetapkan lebih dulu akan hal itu (foreordination) dan lalu memberitahukan ketentuan / rencanaNya itu kepada manusia! Dengan demikian jelas bahwa ayat-ayat diatas yang seakan-akan hanya memberitahukan akan adanya dosa-dosa tertentu, sebetulnya menunjukkan bahwa dosa-dosa tertentu itu sudah ditetapkan dan karenanya harus terjadi!

Masih kurang ayat-ayatnya, Liauw? Saya tambah lagi banyak ayat yang akan mengagetkan anda! Lihat ayat-ayat di bawah ini (lagi-lagi kutipan dari buku saya yang berjudul ‘Providence of God’):

Ada sangat banyak ayat Kitab Suci yang menunjukkan hubungan Providence dan dosa, seperti:
·        Kej 45:5-8 - “(5) Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu. (6) Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai. (7) Maka Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagian besar dari padamu tertolong. (8) Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir”.
Khususnya perhatikan kata-kata ‘Allah menyuruh aku mendahului kamu’ (ay 5,7) dan ‘bukan kamu yang menyuruh aku ke sini tetapi Allah’ (ay 8). Bdk. Maz 105:17 - diutusNyalah seorang mendahului mereka: Yusuf, yang dijual sebagai budak’.
Semua ini menunjukkan bahwa penjualan Yusuf ke Mesir, yang jelas adalah suatu dosa, merupakan pekerjaan Allah, yang melakukan semua itu untuk melaksanakan rencana tertentu.
Dalam tafsirannya tentang bagian ini, Calvin berkata:
“Good men are ashamed to confess, that what men undertake cannot be accomplished except by the will of God; fearing lest unbridled tongues should cry out immediately, either that God is the author of sin, or that wicked men are not to be accused of crime, seeing they fulfil the counsel of God. But although this sacrilegious fury cannot be effectually rebutted, it may suffice that we hold it in detestation. Meanwhile, it is right to maintain, what is declared by the clear testimonies of Scripture, that whatever men may contrive, yet, amidst all their tumult, God from heaven overrules their counsels and attempts; and, in short, does, by their hands, what he himself decreed” (= Orang-orang saleh malu mengakui, bahwa apa yang manusia lakukan tidak bisa tercapai kecuali oleh kehendak Allah; karena mereka takut bahwa lidah-lidah yang tidak dikekang akan segera berteriak, bahwa Allah adalah pencipta dosa, atau bahwa orang jahat tak boleh dituduh karena kejahatannya, mengingat mereka menggenapi rencana Allah. Tetapi sekalipun kemarahan yang tidak senonoh ini tidak bisa dibantah secara efektif, cukuplah kalau kita menganggapnya sebagai sesuatu yang menjijikkan. Sementara itu, adalah benar untuk mempertahankan, apa yang dinyatakan oleh kesaksian yang jelas dari Kitab Suci, bahwa apapun yang manusia usahakan / rencanakan, di tengah-tengah segala keributan mereka, Allah dari surga menguasai rencana dan usaha mereka, dan, singkatnya, melakukan dengan tangan mereka apa yang Ia sendiri tetapkan).
Calvin melanjutkan dengan berkata: “Good men, who fear to expose the justice of God to the calumnies of the impious, resort to this distinction, that God wills some things, but permits others to be done. As if, truly, any degree of liberty of action, were he to cease from governing, would be left to men. If he had only permitted Joseph to be carried into Egypt, he had not ordained him to be the minister of deliverance to his father Jacob and his sons; which he is now expressly declared to have done. Away, then, with that vain figment, that, by the permission of God only, and not by his counsel or will, those evils are committed which he afterwards turns to a good account” (= Orang-orang saleh, yang takut membuka keadilan Allah terhadap fitnahan dari orang-orang jahat, memutuskan untuk mengadakan pembedaan ini, yaitu bahwa Allah menghendaki beberapa hal, tetapi mengijinkan hal-hal yang lain untuk dilakukan. Seakan-akan Ia berhenti dari tindakan memerintah, dan memberikan kebebasan bertindak tertentu kepada manusia. Jika Ia hanya mengijinkan Yusuf untuk dibawa ke Mesir, Ia tidak menetapkannya untuk menjadi pembebas bagi ayahnya Yakub dan anak-anaknya; yang dinyatakan secara jelas telah dilakukanNya. Maka singkirkanlah isapan jempol yang sia-sia yang mengatakan bahwa hanya karena ijin Allah, dan bukan karena rencana atau kehendakNya, hal-hal yang jahat itu dilakukan, yang setelah itu Ia balikkan menjadi sesuatu yang baik).
·        Kej 50:20 - “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar”.

Ini secara explicit menunjukkan bahwa sekalipun saudara-saudara Yusuf mereka-rekakan / memaksudkan yang jahat terhadap Yusuf, tetapi Allah telah mereka-rekakannya / memaksudkannya untuk kebaikan! Jadi, jelas bahwa Allah bekerja menggunakan dosa dari saudara-saudara Yusuf demi kebaikan Yusuf / Israel.
Dalam tafsirannya tentang bagian ini, Calvin berkata:
“The selling of Joseph was a crime detestable for its cruelty and perfidy; yet he was not sold except by the decree of heaven. For neither did God merely remain at rest, and by conniving for a time, let loose the reins of human malice, in order that afterwards he might make use of this occasion; but, at his own will, he appointed the order of acting which he intended to be fixed and certain. Thus we may say with truth and propriety, that Joseph was sold by the wicked consent of his brethren, and by the secret providence of God” (= Penjualan terhadap Yusuf adalah suatu kejahatan yang menjijikkan karena kekejaman dan pengkhianatannya; tetapi ia tidak dijual kecuali oleh ketetapan dari surga. Karena Allah bukannya semata-mata berdiam diri, dan sambil menutup mata / pura-pura tidak melihat untuk sementara waktu, melepaskan kendali terhadap keinginan jahat manusia, supaya setelah itu ia bisa menggunakan kejadian ini; tetapi, pada kehendakNya sendiri, Ia menetapkan urut-urutan tindakan yang Ia maksudkan untuk menjadi tetap dan tertentu. Jadi kita bisa berkata dengan benar dan tepat, bahwa Yusuf dijual oleh persetujuan jahat dari saudara-saudaranya, dan oleh providensia rahasia dari Allah).
·        Kel 1:8-10 - “(8) Kemudian bangkitlah seorang raja baru memerintah tanah Mesir, yang tidak mengenal Yusuf. (9) Berkatalah raja itu kepada rakyatnya: ‘Bangsa Israel itu sangat banyak dan lebih besar jumlahnya dari pada kita. (10) Marilah kita bertindak dengan bijaksana terhadap mereka, supaya mereka jangan bertambah banyak lagi dan - jika terjadi peperangan - jangan bersekutu nanti dengan musuh kita dan memerangi kita, lalu pergi dari negeri ini.’”.

bdk. Maz 105:25 - “diubahNya hati mereka (orang Mesir) untuk membenci umatNya, untuk memperdayakan hamba-hambaNya”. Jelas dikatakan bahwa Tuhanlah yang mengubah hati orang Mesir untuk membenci Israel, supaya dengan demikian rencanaNya bisa terlaksana.
·        Kel 4:21  7:3,22  8:15,19,32  9:12  9:15-16 (bdk. Ro 9:15-18)  9:34-35  10:1-2,20,27  11:10  14:4,8,17. Berulang kali dikatakan bahwa Allah mengeraskan hati Firaun! Dan itulah yang menyebabkan hati Firaun menjadi keras. Bahkan setelah Firaun terpaksa membiarkan Israel meninggalkan Mesir, Tuhan lalu bekerja mengeraskan hati Firaun lagi, sehingga ia memerintahkan tentaranya untuk mengejar Israel. Tujuan Allah ialah supaya baik Israel maupun Mesir bisa melihat kuasaNya (Kel 10:1-2 14:4,17-18,30-31).
·        Ul 2:30 - “Tetapi Sihon, raja Hesybon, tidak mau memberi kita berjalan melalui daerahnya, sebab TUHAN, Allahmu, membuat dia keras kepala dan tegar hati, dengan maksud menyerahkan dia ke dalam tanganmu, seperti yang terjadi sekarang ini”.
Ayat ini mengatakan bahwa Allahlah yang mengeraskan hati Sihon supaya bisa menyerahkannya ke tangan Israel.
·        Yos 11:20 - “Karena TUHAN yang menyebabkan hati orang-orang itu menjadi keras, sehingga mereka berperang melawan orang Israel, supaya mereka ditumpas, dan jangan dikasihani, tetapi dipunahkan, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa”.
Ayat ini mengatakan bahwa Allah mengeraskan hati orang Kanaan supaya mereka tidak dikasihani tetapi ditumpas.
·        Hak 9:22-24 - “(22) Setelah tiga tahun lamanya Abimelekh memerintah atas orang Israel, (23) maka Allah membangkitkan semangat jahat di antara Abi-melekh dan warga kota Sikhem, sehingga warga kota Sikhem itu menjadi tidak setia kepada Abimelekh, (24) supaya kekerasan terhadap ketujuh puluh anak Yerubaal dibalaskan dan darah mereka ditimpakan kepada Abi-melekh, saudara mereka yang telah membunuh mereka dan kepada warga kota Sikhem yang membantu dia membunuh saudara-saudaranya itu”.
Ayat ini mengatakan bahwa Allah membangkitkan semangat jahat dalam diri orang-orang tertentu, supaya memberontak terhadap Abimelekh (anak Yerubaal / Gideon), supaya Ia bisa menghukum baik Abimelekh maupun orang-orang Sikhem karena pembunuhan yang mereka lakukan terhadap anak-anak Yerubaal / Gideon yang lain dalam Hak 9:1-5.
·        Hak 14:4 - “Tetapi ayahnya dan ibunya tidak tahu bahwa hal itu dari pada TUHAN asalnya: sebab memang Simson harus mencari gara-gara terhadap orang Filistin. Karena pada masa itu orang Filistin menguasai orang Israel”.
Simson mau kawin dengan orang Filistin / kafir (Hak 14:1-2), dan ayahnya menasehatinya untuk tidak melakukan hal itu, karena itu jelas adalah dosa (Hak 14:3). Dan dalam ay 4 dikatakan bahwa hal itu datang dari Tuhan, karena Tuhan menghendaki Simson mencari gara-gara terhadap orang Filistin!
·        1Sam 2:25b - “Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seseorang berdosa terhadap TUHAN, siapakah yang menjadi perantara baginya?’ Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka.
Ayat ini mengatakan bahwa Tuhan bekerja sehingga anak-anak Eli tidak menuruti nasehat ayahnya, karena Tuhan hendak membunuh mereka.
·        2Sam 12:11 - “Beginilah firman TUHAN: Bahwasanya malapetaka akan Kutimpakan ke atasmu yang datang dari kaum keluargamu sendiri. Aku akan mengambil isteri-isterimu di depan matamu dan memberikannya kepada orang lain; orang itu akan tidur dengan isteri-isterimu di siang hari. Sebab engkau telah melakukannya secara tersembunyi, tetapi Aku akan melakukan hal itu di depan seluruh Israel secara terang-terangan” (bdk. 2Sam 16:20-23).
Ayat ini menunjukkan bahwa peristiwa hubungan sex antara Absalom dan gundik-gundik Daud, yang bisa dikatakan merupakan perkosaan dan incest (perzinahan dalam keluarga) merupakan pekerjaan Tuhan!
·        2Sam 16:10-11 - “(10) Tetapi kata raja: ‘Apakah urusanku dengan kamu, hai anak-anak Zeruya? Biarlah ia mengutuk! Sebab apabila TUHAN berfirman kepadanya: Kutukilah Daud, siapakah yang akan bertanya: mengapa engkau berbuat demikian?’ (11) Pula kata Daud kepada Abisai dan kepada semua pegawainya: ‘Sedangkan anak kandungku ingin mencabut nyawaku, terlebih lagi sekarang orang Benyamin ini! Biarkanlah dia dan biarlah ia mengutuk, sebab TUHAN yang telah berfirman kepadanya demikian.
Daud / ayat ini mengatakan bahwa Tuhan ‘menyuruh’ Simei mengutuki Daud. Tetapi kata ‘menyuruh’ di sini tentu tidak bisa diartikan seakan-akan Tuhan betul-betul berfirman kepada Simei supaya mengutuki Daud. Kata ‘menyuruh’ di sini harus diartikan ‘bekerja sehingga’ atau ‘mengatur sehingga’. Penafsiran ini bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, karena penafsiran ini sejalan dengan beberapa ayat yang lain seperti:
*        Kej 45:7-8 yang mengatakan bahwa Allah ‘menyuruh’ Yusuf ke Mesir untuk memelihara Israel. Bandingkan juga dengan Maz 105:17 yang menggunakan istilah ‘diutusNya’. Padahal Allah sama sekali tidak pernah berfirman untuk menyuruh / mengutus Yusuf pergi ke Mesir. Yusuf pergi ke Mesir karena dipaksa oleh sikon, yaitu pada waktu ia dijual sebagai budak. Tetapi karena ini semua merupakan pengaturan Allah, maka digunakan istilah Allah ‘menyuruh’ / ‘mengutus’.
*        1Raja 17:4,9 dimana Allah berfirman kepada Elia bahwa Ia telah ‘memerintahkan’ burung gagak dan seorang janda di Sarfat untuk memberi makan Elia. Tetapi Allah tidak betul-betul berbicara kepada burung gagaknya, melainkan Allah hanya ‘mengatur’ sehingga burung gagak itu memberi makan Elia. Demikian juga dengan janda di Sarfat itu. Pada waktu Elia sampai di Sarfat, janda itu tidak tahu apa-apa tentang persoalan memberi makan Elia. Jadi jelas bahwa Tuhan tidak betul-betul berfirman kepadanya supaya ia memberi makan Elia. Tuhan hanya ‘mengatur’ supaya janda itu memberi makan Elia.
·        1Raja 11:14,23 - “(14) Kemudian TUHAN membangkitkan seorang lawan Salomo, yakni Hadad, orang Edom; ia dari keturunan raja Edom. ... (23) Allah membangkitkan pula seorang lawan Salomo, yakni Rezon bin Elyada, yang telah melarikan diri dari tuannya, yakni Hadadezer, raja Zoba”.
Ayat ini mengatakan bahwa Tuhanlah membangkitkan lawan-lawan untuk memberontak terhadap Salomo, padahal pemberontakan adalah suatu dosa (bdk. Ro 13:1-7).
·        1Raja 12:15,24 - “(15) Jadi raja tidak mendengarkan permintaan rakyat, sebab hal itu merupakan perubahan yang disebabkan TUHAN, supaya TUHAN menepati firman yang diucapkanNya dengan perantaraan Ahia, orang Silo, kepada Yerobeam bin Nebat. ... (24) Beginilah firman TUHAN: Janganlah kamu maju dan janganlah kamu berperang melawan saudara-saudaramu, orang Israel. Pulanglah masing-masing ke rumahnya, sebab Akulah yang menyebabkan hal ini terjadi.’ Maka mereka mendengarkan firman TUHAN dan pergilah mereka pulang sesuai dengan firman TUHAN itu” (bdk. 2Taw 10:15  11:4).
Bagian ini menunjukkan bahwa Tuhan bekerja sehingga Rehabeam menolak nasehat yang baik dari tua-tua, karena Tuhan mau memecah Israel.
·        1Raja 22:19-23 - “(19) Kata Mikha: ‘Sebab itu dengarkanlah firman TUHAN. Aku telah melihat TUHAN sedang duduk di atas takhtaNya dan segenap tentara sorga berdiri di dekatNya, di sebelah kananNya dan di sebelah kiriNya. (20) Dan TUHAN berfirman: Siapakah yang akan membujuk Ahab untuk maju berperang, supaya ia tewas di Ramot-Gilead? Maka yang seorang berkata begini, yang lain berkata begitu. (21) Kemudian tampillah suatu roh, lalu berdiri di hadapan TUHAN. Ia berkata: Aku ini akan membujuknya. TUHAN bertanya kepadanya: Dengan apa? (22) Jawabnya: Aku akan keluar dan menjadi roh dusta dalam mulut semua nabinya. Ia berfirman: Biarlah engkau membujuknya, dan engkau akan berhasil pula. Keluarlah dan perbuatlah demikian! (23) Karena itu, sesungguhnya TUHAN telah menaruh roh dusta ke dalam mulut semua nabimu ini, sebab TUHAN telah menetapkan untuk menimpakan malapetaka kepadamu.’” (bdk. 2Taw 18:19-22).
Ini merupakan bagian Kitab Suci yang sangat aneh! Tuhan ‘kongkalikong’ / melakukan kolusi dengan setan? Tidak, karena ini lagi-lagi menunjukkan Tuhan sebagai first cause dan setan sebagai second cause pada peristiwa penyesatan oleh nabi-nabi palsu terhadap Ahab.
·        1Taw 10:4,14 - “(4) Lalu berkatalah Saul kepada pembawa senjatanya: ‘Hunuslah pedangmu dan tikamlah aku, supaya jangan datang orang-orang yang tidak bersunat ini memperlakukan aku sebagai permainan.’ Tetapi pembawa senjatanya tidak mau, karena ia sangat segan. Kemudian Saul mengambil pedang itu dan menjatuhkan dirinya ke atasnya. ... (14) dan tidak meminta petunjuk TUHAN. Sebab itu TUHAN membunuh dia dan menyerahkan jabatan raja itu kepada Daud bin Isai”.
Sekalipun dalam ay 4 dikatakan bahwa Saul mati bunuh diri, tetapi dalam ay 14 tetap dikatakan ‘Tuhan membunuh dia’.
·        2Taw 21:16-17 - “(16) Lalu TUHAN menggerakkan hati orang Filistin dan orang Arab yang tinggal berdekatan dengan orang Etiopia untuk melawan Yoram. (17) Maka mereka maju melawan Yehuda, memasukinya dan mengangkut segala harta milik yang terdapat di dalam istana raja sebagai jarahan, juga anak-anak dan isteri-isterinya, sehingga tidak ada seorang anak yang tinggal padanya kecuali Yoahas, anaknya yang bungsu”.
Ayat ini mengatakan bahwa Tuhan menggerakkan hati orang Filistin dan Arab untuk melawan Yoram.
·        2Taw 25:16 - “Waktu nabi sedang berbicara, berkatalah Amazia kepadanya: Apakah kami telah mengangkat engkau menjadi penasihat raja? Diamlah! Apakah engkau mau dibunuh?’ Lalu diamlah nabi itu setelah berkata: ‘Sekarang aku tahu, bahwa Allah telah menentukan akan membinasakan engkau, karena engkau telah berbuat hal ini, dan tidak mendengarkan nasihatku!’”.
2Taw 25:20 - “Tetapi Amazia tidak mau mendengarkan; sebab hal itu telah ditetapkan Allah yang hendak menyerahkan mereka ke dalam tangan Yoas, karena mereka telah mencari allah orang Edom”.
Penolakan Amazia terhadap nasehat nabi membuat nabi itu yakin / tahu bahwa Allah telah menentukan supaya Amazia tidak mendengarkan nasehatnya, karena Allah hendak menyerahkannya ke tangan Yoas. Jelas bahwa penolakan Amazia terhadap nasehat nabi, yang jelas merupakan suatu dosa, termasuk dalam pelaksanaan Rencana Allah.
·        2Taw 36:17 - TUHAN menggerakkan raja orang Kasdim melawan mereka. Raja itu membunuh teruna mereka dengan pedang dalam rumah kudus mereka, dan tidak menyayangkan teruna atau gadis, orang tua atau orang ubanan - semua diserahkan TUHAN ke dalam tangannya.
Ini menunjukkan bahwa kekejaman orang Kasdim terhadap Yehuda, yang jelas merupakan suatu dosa, adalah pekerjaan Tuhan.
·        Ayub 1:21 - “katanya: ‘Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!’”.
Ayub 42:11b - “Mereka menyatakan turut berdukacita dan menghibur dia oleh karena segala malapetaka yang telah ditimpakan TUHAN kepadanya ...”.
Kedua ayat di atas ini mengatakan bahwa semua malapetaka yang dialami Ayub, termasuk perampokan terhadap ternaknya, yang jelas merupakan dosa, adalah pekerjaan Tuhan.
·        Amsal 16:4 - “TUHAN membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing, bahkan orang fasik dibuatNya untuk hari malapetaka”.
Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan membuat orang fasik untuk hari malapetaka!
·        Yes 10:5-7,12,22-23 - “(5) Celakalah Asyur, yang menjadi cambuk murkaKu dan yang menjadi tongkat amarahKu! (6) Aku akan menyuruhnya terhadap bangsa yang murtad, dan Aku akan memerintahkannya melawan umat sasaran murkaKu, untuk melakukan perampasan dan penjarahan, dan untuk menginjak-injak mereka seperti lumpur di jalan. (7) Tetapi dia sendiri tidak demikian maksudnya dan tidak demikian rancangan hatinya, melainkan niat hatinya ialah hendak memunahkan dan hendak melenyapkan tidak sedikit bangsa-bangsa. ... (12) Tetapi apabila TUHAN telah menyelesaikan segala pekerjaanNya di gunung Sion dan di Yerusalem, maka Ia akan menghukum perbuatan ketinggian hati raja Asyur dan sikapnya yang engkuh sombong. ... (22) Sebab sekalipun bangsamu, hai Israel, seperti pasir di laut banyaknya, namun hanya sisanya akan kembali. TUHAN telah memastikan datangnya kebinasaan dan dari situ timbul keadilan yang meluap-luap. (23) Sungguh, kebinasaan yang sudah pasti akan dilaksanakan di atas seluruh bumi oleh Tuhan, TUHAN semesta alam”.
Text Kitab Suci ini menunjukkan bahwa penindasan oleh Asyur terhadap Israel merupakan pekerjaan Tuhan yang menggunakan Asyur sebagai ‘cambuk murka / tongkat amarah’ (ay 5). Tetapi karena penindasan itu sendiri adalah dosa, dan Asyur melakukannya dengan tujuan yang berbeda dengan tujuan Tuhan, maka akhirnya Asyur sendiri dihukum oleh Tuhan (ay 12).
·        Yes 63:17a - “Ya TUHAN, mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalanMu, dan mengapa Engkau tegarkan hati kami, sehingga tidak takut kepadaMu?”.
Ayat ini mengatakan bahwa kesesatan dan ketegaran hati merupakan pekerjaan Tuhan!
·        Yer 19:9 - Aku akan membuat mereka memakan daging anak-anaknya laki-laki dan daging anak-anaknya perempuan, dan setiap orang memakan daging temannya, dalam keadaan susah dan sulit yang ditimbulkan musuhnya kepada mereka dan oleh orang-orang yang ingin mencabut nyawa mereka”.
Tuhan membuat orang Yehuda mati oleh pedang lawan (Yer 19:7), dan membiarkan mayat mereka dimakan burung dan binatang (Yer 17:8), dan lalu dalam Yer 19:9 ini dikatakan sesuatu yang mengerikan dimana Tuhan membuat mereka memakan daging anaknya dan daging temannya sendiri! Perbuatan kanibal ini merupakan pekerjaan Tuhan! Bdk. juga dengan Yeh 5:8-10  Yes 49:26.
·        Yer 25:8-12 - “(8) Sebab itu beginilah firman TUHAN semesta alam: Oleh karena kamu tidak mendengarkan perkataan-perkataanKu, (9) sesungguhnya, Aku akan mengerahkan semua kaum dari utara - demikianlah firman TUHAN - menyuruh memanggil Nebukadnezar, raja Babel, hambaKu itu; Aku akan mendatangkan mereka melawan penduduknya dan melawan bangsa-bangsa sekeliling ini, yang akan Kutumpas dan Kubuat menjadi kengerian, menjadi sasaran suitan dan menjadi ketandusan untuk selama-lamanya. (10) Aku akan melenyapkan dari antara mereka suara kegirangan dan suara sukacita, suara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan, bunyi batu kilangan dan cahaya pelita. (11) Maka seluruh negeri ini akan menjadi reruntuhan dan ketandusan, dan bangsa-bangsa ini akan menjadi hamba kepada raja Babel tujuh puluh tahun lamanya. (12) Kemudian sesudah genap ketujuh puluh tahun itu, demikianlah firman TUHAN, maka Aku akan melakukan pembalasan kepada raja Babel dan kepada bangsa itu oleh karena kesalahan mereka, juga kepada negeri orang-orang Kasdim, dengan membuatnya menjadi tempat-tempat yang tandus untuk selama-lamanya”.
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan bekerja sehingga Babilonia menghancurkan Yehuda, tetapi sama seperti Asyur, akhirnya Babilonia juga dihukum Tuhan.
·        Yer 43:10-11 - “(10) lalu katakanlah kepada mereka: Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel: Sesungguhnya, Aku mengutus orang untuk menjemput Nebukadnezar, raja Babel, hambaKu itu, supaya ia mendirikan takhtanya di atas batu-batu yang telah Kusuruh sembunyikan ini, dan membentangkan permadani kebesarannya di atasnya. (11) Dan apabila ia datang, ia akan memukul tanah Mesir: Yang ke maut, ke mautlah! Yang ke tawanan, ke tawananlah! Yang ke pedang, ke pedanglah!”.
Ayat ini menunjukkan bahwa peristiwa dimana Babilonia menghancurkan Mesir, merupakan pekerjaan Tuhan .
·        Yer 47:6-7 - “(6) Ah, pedang TUHAN, berapa lama lagi baru engkau berhenti? Masuklah kembali ke dalam sarungmu, jadilah tenang dan beristirahatlah! (7) Tetapi bagaimana ia dapat berhenti? Bukankah TUHAN memerintahkannya? Ke Askelon dan ke tepi pantai laut, ke sanalah Ia menyuruhnya!’”.
Ayat ini menyatakan pedang Firaun / Mesir yang membunuhi orang Filistin, sebagai ‘pedang Tuhan’, dan pembantaian itu sebagai perintah Tuhan!
·        Yer 50:9 - “Sebab sesungguhnya, Aku menggerakkan dan membangkitkan terhadap Babel sekumpulan bangsa-bangsa yang besar dari utara; mereka akan mengatur barisan untuk melawannya, dari sanalah kota itu akan direbut. Panah-panah mereka adalah seperti pahlawan yang mujur, yang tidak pernah kembali dengan tangan hampa”.
Tuhan menggerakkan bangsa-bangsa besar dari Utara untuk menghancurkan Babel.
·        Rat 2:6b - “Di Sion TUHAN menjadikan orang lupa akan perayaan dan sabat.
Merayakan hari raya dan hari Sabat adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Tuhan, sehingga melupakan / melalaikan hal itu jelas merupakan suatu dosa. Tetapi ayat ini mengatakan bahwa Tuhanlah yang membuat hal itu!
·        Yeh 14:9 - “Jikalau nabi itu membiarkan dirinya tergoda dengan mengatakan suatu ucapan - Aku, TUHAN yang menggoda nabi itu - maka Aku akan mengacungkan tanganKu melawan dia dan memunahkannya dari tengah-tengah umatKu Israel”.
Ayat ini terletak dalam suatu kontex dimana Allah mengancam Israel. Ia berkata bahwa kalau ada orang yang pergi kepada seorang nabi palsu dan menanyakan petunjuk kepada nabi itu, maka Allah sendiri akan menjawab orang itu (Yeh 14:7). Lalu dalam Yeh 14:9 dikatakan bahwa pada waktu nabi palsu itu memberi petunjuk, yang tentunya merupakan petunjuk yang sesat, maka Tuhan yang menggoda nabi palsu itu.
·        Hab 1:6,12 - “(6) Sebab, sesungguhnya, Akulah yang membangkitkan orang Kasdim, bangsa yang garang dan tangkas itu, yang melintasi lintang bujur bumi untuk menduduki tempat kediaman, yang bukan kepunyaan mereka. ... (12) Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa.
Tuhan membangkitkan / menentukan orang Kasdim untuk membunuh / menghukum / menyiksa.
·        Zakh 14:2 - Aku akan mengumpulkan segala bangsa untuk memerangi Yerusalem; kota itu akan direbut, rumah-rumah akan dirampoki dan perempuan-perempuan akan ditiduri. Setengah dari penduduk kota itu harus pergi ke dalam pembuangan, tetapi selebihnya dari bangsa itu tidak akan dilenyapkan dari kota itu”.
Ayat ini mengatakan bahwa Tuhan bekerja mengumpulkan segala bangsa untuk memerangi Yehuda / Yerusalem dan mengalahkannya, lalu merampok dan bahkan melakukan pemerkosaan di sana.
·        Mat 11:25-27 - “(25) Pada waktu itu berkatalah Yesus: ‘Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. (26) Ya Bapa, itulah yang berkenan kepadaMu. (27) Semua telah diserahkan kepadaKu oleh BapaKu dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya”.
Tuhan menyembunyikan Injil terhadap orang bijak / pandai. Ini membuat mereka tidak mungkin bisa percaya kepada Kristus, padahal ketidakpercayaan kepada Kristus adalah dosa.
·        Yoh 12:39-40 - “(39) Karena itu mereka tidak dapat percaya, sebab Yesaya telah berkata juga: (40) ‘Ia telah membutakan mata dan mendegilkan hati mereka, supaya mereka jangan melihat dengan mata, dan menanggap dengan hati, lalu berbalik, sehingga Aku menyembuhkan mereka’” (bdk. Mark 4:11-12).
Tuhan bekerja sehingga Israel menjadi buta / degil dan tidak mau percaya, sesuai dengan nubuat Yesaya.
·        Ro 11:7-8,25 - “(7) Jadi bagaimana? Israel tidak memperoleh apa yang dikejarnya, tetapi orang-orang yang terpilih telah memperolehnya. Dan orang-orang yang lain telah tegar hatinya, (8) seperti ada tertulis: ‘Allah membuat mereka tidur nyenyak, memberikan mata untuk tidak melihat dan telinga untuk tidak mendengar, sampai kepada hari sekarang ini.’ ... (25) Sebab, saudara-saudara, supaya kamu jangan menganggap dirimu pandai, aku mau agar kamu mengetahui rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk”.
Ayat ini mengatakan bahwa orang-orang Israel itu menjadi tegar karena Allah membuat mereka tertidur, dan memberi mereka mata / telinga yang tidak dapat melihat / mendengar. Jelas bahwa ketegaran mereka merupakan pekerjaan Tuhan.
·        Ro 11:32 - “Sebab Allah telah mengurung semua orang dalam ketidak-taatan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahanNya atas mereka semua”.
Kata-kata ‘Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan’ jelas menunjukkan bahwa Allah bekerja sedemikian rupa sehingga orang-orang itu terus berbuat dosa.
·        2Tes 2:11-12 - “(11) Dan itulah sebabnya Allah mendatangkan kesesatan atas mereka, yang menyebabkan mereka percaya akan dusta, (12) supaya dihukum semua orang yang tidak percaya akan kebenaran dan yang suka kejahatan”.
Ayat ini mengatakan bahwa Allah mendatangkan kesesatan atas mereka, yang menyebabkan mereka percaya akan dusta!
·        Wah 17:17 (NIV) - “For God has put it into their hearts to accomplish his purpose by agreeing to give the beast their power to rule, until God’s words are fulfilled” (= Karena Allah telah memasukkan hal itu kedalam hati mereka untuk melaksanakan tujuanNya dengan menyetujui untuk memberikan binatang itu kuasa untuk memerintah, sampai firman Allah tergenapi).
Ini menunjukkan bahwa Allah bekerja dalam hati orang-orang itu sehingga orang-orang itu mau tunduk kepada binatang itu!

Kalau saudara betul-betul ingin mengetahui apakah doktrin Providence of God ini betul-betul merupakan ajaran Kitab Suci, bacalah dan renungkanlah semua ayat-ayat di atas ini dengan teliti, dan lalu renungkan satu hal ini: kalau saudara menolak doktrin Providence of God ini, bagaimana saudara menafsirkan semua ayat ini?

Jawab argumentasi-argumentasi di atas ini, Liauw, juga ayat-ayat Alkitabnya yang begitu banyak, dan jangan pernah lagi berkata ‘Alkitab tak pernah mengatakan Allah menentukan dosa’.
Setelah membaca begitu banyak ayat yang menunjukkan bahwa Allah memang menentukan dosa dan mengatur terjadinya dosa, masih beranikah anda mengatakan ““allah” yang menetapkan dan menentukan hal-hal yang dia benci, pastilah schizophrenic?. Kalau masih berani, anda memang sakit jiwa!

Tanggapan Steven E.L
Pandangan saya, dan yang saya yakin lebih Alkitabiah dan cocok dengan sifat Allah adalah: Allah menetapkan bahwa Dia akan menciptakan manusia sebagai pribadi (person) dalam gambar dan rupaNya, dan yang dapat bebas memilih untuk berdosa atau tidak berdosa. Allah tidak ingin manusia berdosa, tetapi telah menetapkan bahwa manusia bebas memilih. Dan kalau manusia memilih untuk berdosa, maka manusia akan binasa selamanya. Ini semua cocok dengan sifat Allah dan kedaulatan Allah!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Lucu juga anda percaya itu padahal tak ada satu ayatpun berbicara tentang ‘free will’.
Sekarang saya tanya, pada minus tak terhingga, apakah Allah tahu kalau manusia itu akan berdosa? Tentu tahu, bukan? Kalau Ia tahu, mungkinkah manusianya tidak berbuat dosa itu? Tidak mungkin, bukan? Kalau begitu, pada minus tak terhingga, dosa itu sudah tertentu. Kalau tertentu, siapa yang menentukan? Kalau bukan Allah, siapa, Liauw? Pertanyaan ini tidak pernah anda jawab, dan saya yakin sampai akhir jaman anda, atau orang Arminian manapun, tak bakal bisa menjawabnya!


Jadi, janganlah ada Kalvinis yang marah jika saya berkata, “allahnya Kalvinis adalah allah yang merencanakan dosa, dan yang mengharuskan manusia berbuat dosa.” Kalau anda Kalvinis, dan anda shock dengan pernyataan ini, maka anda belum tahu pengajaran Kalvinis yang sejati.
Tanggapan saya:
Pernyataan anda salah, Liauw! Dari mana kata ‘mengharuskan’ itu muncul? Itu tidak ada dalam theologia Calvinist.

Coba beri bukti siapa yang mengatakan demikian. Apa yang Allah tentukan / rencanakan, memang pasti terjadi.
Ayub 42:1-2 - “(1) Maka jawab Ayub kepada TUHAN: (2) ‘Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal”.
Tetapi ‘pasti terjadi’ sangat berbeda dengan ‘mengharuskan’. Kalau mengharuskan, berarti Allah memerintahkan dosa itu dilakukan. Itu tak pernah diajarkan oleh Calvinist manapun, Liauw! Lagi-lagi fitnah! Bicara tentang marah, saya tidak marah. Saya kasihan dengan anda yang begitu bodoh, sehingga menyerang ‘Calvinisme’ yang sebetulnya bukan Calvinisme! Lalu untuk apa saya marah?

Tanggapan:
Ha ha ha...lho...di tempat lain, anda sendiri yang mengatakan bahwa “pasti terjadi” dan “harus terjadi” itu sama! Anda perlu saya ingatkan kata-kata anda sendiri? Jadi kalau Kalvinis bilang: “Allah memastikan manusia berdosa,” maka menurut kalian itu sama saja dengan “Allah mengharuskan manusia berdosa.”
Bung, Kalvinis boleh saja tidak memakai kata “mengharuskan.” Saya tidak kutip satu Kalvinis-pun di sini.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda tak mengerti atau pura-pura tak mengerti? Anda bodoh atau pura-pura bodoh? ‘Harus’ berbeda dengan ‘mengharuskan’! Tak bisa lihat itu? Atau pura-pura tak melihat.
Kata ‘pasti’ dan ‘harus’ dalam kalimat-kalimat tertentu mengarah pada arti yang sama. Seperti ‘pasti terjadi’ dan ‘harus terjadi’. Tetapi arti katanya sebetulnya berbeda. Kalau saya katakan ‘seorang anak harus sekolah’, apakah sama dengan ‘seorang anak pasti sekolah’?
Memastikan, ya, tetapi mengharuskan, tidak. Mengapa? Karena kata ‘mengharuskan’, mengandung suatu perintah. Misalnya: ‘saya mengharuskan anak saya pergi ke sekolah’. Adanya arti perintah ini yang saya tentang! Calvinisme tak pernah mengajarkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat dosa. Tetapi kalau Ia menentukan / memastikan seseorang berbuat dosa, itu benar.

Tetapi konsep “mengharuskan” itu ekivalen dengan apa yang Kalvinis ajarkan! Ini hasil analisis saya yang saya paparkan dalam artikel ini.
Kalvinis boleh saja segan memakai kata “mengharuskan” karena mereka tahu betapa buruknya kalau konsep mereka yang sejati dipaparkan dengan kata-kata demikian!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Itu berarti anda perlu belajar bahasa Indonesia, dengan lebih baik, Liauw! Theologia adalah persoalan kata. Jadi, kelihatannya beda sedikit, bisa sebetulnya beda sangat banyak! Tetapi otak anda yang kecil itu kelihatannya tak bisa melihat (atau pura-pura tak melihat) hal ini!

Makanya jangan salahkan saya kalau saya sebut anda sebagai pemfitnah!

Tetapi Kalvinis mengajarkan bahwa Allah telah menentukan manusia untuk berdosa. Dan manusia tidak punya pilihan lain. Saya tanya kepada anda atau Kalvinis lain: Bisakah Adam dan Hawa memilih untuk tidak berdosa? Jawaban anda sebagai Kalvinis adalah: Tidak!! Karena Allah sudah tetapkan mereka berdosa! Jadi sebenarnya mereka tidak punya pilihan! Percuma saja anda bilang bahwa mereka berdosa dengan kerelaan hati, karena kerelaan hati itu kan Tuhan yang tetapkan juga!! Anda mau menyangkal?

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Sampai di sini saya tidak menyangkal.
Tanggapan Steven E.L
Kerelaan hati tidak ada hubungan dengan harus tidak harus – nya sesuatu hal. Saya bisa saja diharuskan melakukan sesuatu, tetapi saya senang melakukannya. Yang penting dalam konsep keharusan adalah: apakah ada alternatif lain! Kalau ada alternatif lain, maka tidak harus. Kalau tidak ada alternatif lain, maka itu HARUS!!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Saya tak bicara tentang kerelaan hati di sini; lagi-lagi anda nyelonong tidak karuan.
Saya yakin dari kata-kata anda ini, anda memang tak mengerti bahasa Indonesia dengan baik. Kalau tak ada alternatif lain, itu PASTI bukan HARUS, apalagi mengharuskan.

Jadi, kalau Allah tetapkan manusia berdosa, tidak memberi mereka pilihan lain, dan mereka tidak bisa tidak berdosa, apa itu tidak sama dengan MENGHARUSKAN????? Anda boleh saja teriak Fitnah 1000 kali! Pembaca yang silakan memutuskan apakah analisis saya fair atau tidak.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Tidak sama, Liauw. ‘Memastikan’, bukan ‘mengharuskan’! Mengharuskan mengandung makna perintah, dan Calvinisme tak percaya Allah memerintahkan manusia untuk berbuat dosa!
Saya beri contoh supaya jelas beda kedua kata itu.
·    Kalau saya melihat seorang mabuk mengendarai sepeda motor, saya bisa memastikan dia bakal jatuh atau menabrak. Tetapi apakah saya mengharuskan ia untuk menabrak?
·  Dokter memeriksa penyakit orang itu, dan lalu memastikan bahwa ia terkena kanker. Apakah sama dengan kalau dikatakan bahwa dokter itu memeriksa penyakit orang itu dan lalu mengharuskan orang itu terkena kanker?
Kalau dengan contoh-contoh ini anda belum mengerti maksud saya, dan anda tetap berkeras bahwa ‘memastikan’ sama dengan ‘mengharuskan’, anda benar-benar orang idiot yang tegar tengkuk! Jangan bermain-main kata dengan saya, Liauw! Anda tak bakalan menang!

Saya cukup berkata ‘Liauw memfitnah’ 1-2 x, tak perlu 1000 x, nanti Tuhan yang tetapkan anda memang memfitnah atau bukan. Pembaca? Hmm, anda menggantungkan kebenaran pada pembaca? Lihat-lihat pembaca yang pintar atau yang bodoh seperti anda.

Terus terang pertama kali saya mempelajari Kalvinisme, saya juga shock dengan deklarasi demikian. Tetapi setelah saya selidiki pengajaran tokoh-tokoh Kalvinis itu sendiri, saya dapatkan bahwa benar demikian. Dan sebelum saya dapat protes terhadap deklarasi mereka, para Kalvinis menyuguhkan dulu suatu premis lain lagi: “Kalau Allah mahatahu, itu berarti Allah telah menetapkan segala sesuatu, termasuk dosa.”

C. Allah Tahu Karena Allah Menetapkan
Semua orang Kristen lahir baru tentunya percaya bahwa Allah memiliki sifat mahatahu. Allah tahu segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Allah tahu tentang segenap perbuatan, kejadian, peristiwa, bahkan pikiran, perasaan, dan hal-hal yang paling tersembunyi sekalipun. Bukan hanya itu saja, Allah juga tahu semua kemungkinan yang bisa terjadi, dan semua alternatif dari realita.

Tanggapan saya:
Untuk yang saya beri warna merah, saya tidak setuju. Hal-hal yang dari sudut Allah betul-betul contingent (bisa terjadi bisa tidak terjadi), tidak mungkin bisa diketahui oleh siapapun, termasuk oleh Allah. Kalau bisa terjadi A atau B atau C, dan sama sekali tak ada ketentuan akan terjadi yang mana, lalu Allah tahu apa tentang hal itu? Misalnya Dia tahu bahwa yang akan terjadi adalah A, maka apa yang Ia tahu itu sudah pasti terjadi. Itu berarti A itu sudah tertentu, bukan lagi merupakan sesuatu yang contingent!
Kalau hal-hal yang contingent dari sudut kita, maka memang Allah tahu akan hal itu, karena dari sudut Allah, apa yang contingent bagi kita bukan contingent bagi Dia!

Tanggapan:
Artinya anda menyangkali kemahatahuan Tuhan. Saya percaya bahwa Allah tahu segala sesuatu, bahkan hal-hal yang contingent sekalipun. Bagaimana Tuhan bisa tahu? Saya tidak bisa jelaskan mekanismenya, itulah kemahatahuan. Sama seperti saya tidak bisa jelaskan bagaimana Allah bisa mahakuasa, atau bisa mahaada.
Praktisnya begini: Kalau bisa terjadi A, B, dan C, maka ini adalah true contingency. Kalau yang akan terjadi adalah A, maka Allah sudah tahu bahwa A. Kalau yang akan terjadi adalah B, maka Allah sudah tahu adalah B. Intinya, tetap ada pilihan yang riil, tetapi apapun pilihan itu, Allah tahu dengan persis. Apakah mekanisme pengetahuan ini bisa dijelaskan secara sempurna, mungkin tidak. Tetapi itulah kemahatahuan yang tidak perlu merusak contingency atau free-will!
Dalam pandangan Pdt. Asali, tidak ada true contingency dalam alam semesta ini. Manusia mengira ia punya pilihan, tetapi sebenarnya tidak ada pilihan. Alkitab tidak menggambarkan alam semesta yang seperti ini. Dan pandangan ini membuat Allah menetapkan dosa, persis seperti premis Kalvinisme.
Ada satu pernyataan yang pernah saya baca yang saya sangat setujui:
“Kalvinisme membuat misteri pada karakter Allah: mengapa Allah yang maha kudus menetapkan dosa? Non-Kalvinis mengakui ada misteri pada natur Allah: bagaimana mekanisme kerja kemahatahuan.”
Saya lebih baik mengaku tidak bisa menjelaskan 100% mekanisme kemahatahuan, daripada harus menjelaskan mengapa Allah yang mahakudus menetapkan dosa.
Dengan pandangan anda, bahwa kemahatahuan Allah membuat tidak ada true contingency, dan bahwa Allahpun tidak bisa tahu hal-hal yang betul-betul contingent, tidak heran ada orang yang jatuh pada open theism!
Saya sendiri sangat tidak setuju dengan open theism. Adalah orang-orang yang menerima premis anda tentang pengetahuan Tuhan yang akhirnya jatuh kepada open theism daripada mengorbankan karakter Allah! Renungkanlah!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda nyerocos tanpa memperhatikan apa yang saya katakan, karena jawaban atas kata-kata / argumentasi anda sudah ada dalam kata-kata saya yang sedang anda tanggapi. Saya kutip ulang kata-kata saya di atas, tetapi sekarang saya garis-bawahi bagian yang perlu diperhatikan berkenaan dengan hal ini.
“Hal-hal yang dari sudut Allah betul-betul contingent (bisa terjadi bisa tidak terjadi), tidak mungkin bisa diketahui oleh siapapun, termasuk oleh Allah. Kalau bisa terjadi A atau B atau C, dan sama sekali tak ada ketentuan akan terjadi yang mana, lalu Allah tahu apa tentang hal itu? Misalnya Dia tahu bahwa yang akan terjadi adalah A, maka apa yang Ia tahu itu sudah pasti terjadi. Itu berarti A itu sudah tertentu, bukan lagi merupakan sesuatu yang contingent!”
Masih nggak ngerti, Liauw? Kalau masih nggak ngerti, IQ anda memang rendah.

Saya beri beberapa kutipan di bawah ini:
Barnes’ Notes (tentang Kis 2:23): To foresee a contingent event, that is, to foresee that an event will take place when it may or may not take place, is an absurdity. Foreknowledge, therefore, implies that for some reason the event will certainly take place. What that reason is, the word itself does not determine. As, however, God is represented in the Scriptures as purposing or determining future events; as they could not be foreseen by him unless he had so determined, so the word sometimes is used in the sense of determining beforehand, or as synonymous with decreeing, Rom. 8:29; 11:2. In this place the word is used to denote that the delivering up of Jesus was something more than a bare or naked decree. It implies that God did it according to his foresight of what would be the best time, place, and manner of its being done. It was not the result merely of will; it was will directed by a wise foreknowledge of what would be best. And this is the case with all the decrees of God” (= Melihat lebih dulu suatu peristiwa yang bisa terjadi bisa tidak, berarti melihat lebih dulu bahwa suatu peristiwa akan terjadi, pada saat itu bisa terjadi atau bisa tidak terjadi, merupakan sesuatu yang menggelikan. Karena itu, pengetahuan lebih dulu, menunjukkan secara implicit untuk alasan tertentu peristiwa itu pasti akan terjadi. Tetapi karena Allah digambarkan dalam Kitab Suci sebagai merencanakan atau menentukan peristiwa-peristiwa yang akan datang; karena hal-hal itu tidak bisa dilihat lebih dulu olehNya kecuali Ia lebih dulu menentukannya demikian, maka kata itu kadang-kadang digunakan dalam arti ‘menentukan lebih dulu’, atau sinonim dengan ‘menetapkan’, Ro 8:29; 11:2. Di tempat ini kata itu digunakan untuk menunjukkan bahwa penyerahan Yesus merupakan sesuatu yang lebih dari pada sekedar suatu ketetapan semata-mata atau biasa. Ini secara implicit menunjukkan bahwa Allah melakukannya sesuai dengan penglihatan lebih duluNya tentang apa yang akan merupakan saat, tempat dan cara yang terbaik, tentang pelaksanaan hal itu. Itu bukan semata-mata akibat / hasil dari kehendak; itu merupakan kehendak yang diarahkan oleh suatu pengetahuan lebih dulu yang bijaksana tentang apa yang terbaik. Dan ini adalah kasus dari semua ketetapan-ketetapan Allah).
Louis Berkhof: “Actions that are in no way determined by God, directly or indirectly, but are wholly dependent on the arbitrary will of man, can hardly be the object of divine foreknowledge” (= Tindakan-tindakan yang tidak ditentukan oleh Allah dengan cara apapun, secara langsung atau tidak langsung, tetapi sepenuhnya tergantung pada kehendak manusia yang mutlak, tidak mungkin bisa merupakan obyek dari pra-pengetahuan ilahi) - ‘Systematic Theology’, hal 68.
Catatan: kata ‘hardly’ di sini tidak boleh diterjemahkan ‘hampir tidak’ seperti biasanya, tetapi harus diterjemahkan ‘improbable’ (= ‘tidak mungkin’) atau ‘not at all’ (= ‘sama sekali tidak’). Arti seperti ini memang diberikan dalam Webster’s New World Dictionary (College Edition).

Loraine Boettner: “Foreordination in general cannot rest on foreknow-ledge; for only that which is certain can be foreknown, and only that which is predetermined can be certain” (= Secara umum, penentuan lebih dulu tidak bisa didasarkan pada pengetahuan lebih dulu; karena hanya apa yang tertentu yang bisa diketahui lebih dulu, dan hanya apa yang ditentukan lebih dulu yang bisa tertentu) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 99.

William G. T. Shedd: “The Divine decree is the necessary condition of the Divine foreknowledge. If God does not first decide what shall come to pass, he cannot know what will come to pass. An event must be made certain, before it can be known as a certain event. ... So long as anything remains undecreed, it is contingent and fortuitous. It may or may not happen. In this state of things, there cannot be knowledge of any kind” (= Ketetapan ilahi adalah syarat yang perlu dari pengetahuan lebih dulu dari Allah. Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Suatu peristiwa / kejadian harus dipastikan, sebelum peristiwa itu bisa diketahui sebagai peristiwa yang tertentu. ... Selama sesuatu tidak ditetapkan, maka sesuatu itu bersifat tergantung / mungkin dan kebetulan. Itu bisa terjadi atau tidak terjadi. Dalam keadaan demikian, tidak bisa ada pengetahuan apapun tentang hal itu) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol I, hal 396-397.

B. B. Warfield: “... God foreknows only because He has pre-determined, and it is therefore also that He brings it to pass; His foreknowledge, in other words, is at bottom a knowledge of His own will” (= ... Alah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri) - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 281.

John Owen: “Out of this large and boundless territory of things possible, God by his decree freely determineth what shall come to pass, and makes them future which before were but possible. After this decree, as they commonly speak, followeth, or together with it, as others more exactly, taketh place, that prescience of God which they call ‘visionis,’ ‘of vision,’ whereby he infallibly seeth all things in their proper causes, and how and when they shall some to pass” (= Dari daerah yang besar dan tak terbatas dari hal-hal yang mungkin terjadi ini, Allah dengan ketetapanNya secara bebas menentukan apa yang akan terjadi, dan membuat mereka yang tadinya ‘mungkin terjadi’ menjadi ‘akan datang’. Setelah ketetapan ini, seperti yang pada umumnya mereka katakan, berikutnya, atau bersama-sama dengan ketetapan itu, seperti orang lain katakan dengan lebih tepat, terjadilah ‘pengetahuan yang lebih dulu’ dari Allah yang mereka sebut VISIONIS, ‘dari penglihatan’, dengan mana Ia, secara tidak mungkin salah, melihat segala sesuatu dalam penyebabnya yang tepat, dan bagaimana dan kapan mereka akan terjadi) - ‘The Works of John Owen’, vol 10, hal 23.

Walaupun Non-Kalvinis mempercayai Allah mahatahu, Kalvinis memiliki pengertian yang lain tentang kemahatahuan. Kalvinis percaya bahwa jika Allah mahatahu, berarti Allah menentukan segala sesuatu.
Logika Kalvinis berjalan seperti ini: “Bayangkan suatu saat (minus tak terhingga) dimana alam semesta, malaikat, manusia, dsb belum diciptakan. Yang ada hanyalah Allah sendiri. Ini adalah sesuatu yang alkitabiah, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu (Kej 1 Yoh 1:1-3). Pada saat itu, karena Allah itu mahatahu (1Sam 2:3 – “Karena TUHAN itu Allah yang mahatahu”), maka Ia sudah mengetahui segala sesuatu (dalam arti kata yang mutlak) yang akan terjadi, termasuk dosa. Semua yang Ia tahu akan terjadi itu, pasti terjadi persis seperti yang Ia ketahui. Dengan kata lain, semua itu sudah tertentu pada saat itu. Kalau sudah tertentu, pasti ada yang menentukan (karena tidak mungkin hal-hal itu menentukan dirinya sendiri). Karena pada saat itu hanya ada Allah sendiri, maka jelas bahwa Ialah yang menentukan semua itu.”

Saya akan memperjelas lagi dengan mengambil suatu contoh kasus imajiner, yaitu seorang bernama Budi yang suatu hari tertentu memilih untuk memakai baju merah. Allah sudah mengetahui bahwa Budi akan memakai baju merah pada hari itu. Pengetahuan Allah akan hal ini sudah sejak kekekalan lampau. Dan, pengetahuan Allah tentu tidak dapat salah atau gagal, karena Ia Allah dan Ia mahatahu. Jadi, menurut filosofi Kalvinis, Budi tidak memiliki pilihan lain. Kalau Budi pada hari itu memilih baju biru, maka pengetahuan Allah menjadi salah, dan ini tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, walaupun tampaknya seolah-olah Budi menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih baju merah dari berbagai pilihan berwarna-warni baju di lemari, menurut Kalvinis sebenarnya Budi sudah ditetapkan untuk memilih baju merah, dan bahwa Budi tidak bisa memilih baju warna lain karena Allah sudah tahu dia akan pilih merah, dan pengetahuan Allah
tidak bisa salah.

Tanggapan saya:
Bukan ‘seolah-olah’, Liauw!

Tanggapan:
Memang “seolah-olah.” Anda tidak setuju karena anda punya definisi yang salah tentang “bebas.” Seperti saya sudah kutipkan dari Webster, bahwa “bebas” mengandung pengertian dapat memilih dari dua atau lebih alternatif. Tidak ada alternatif sejati dalam dunia Kalvinis, karena semua sudah ditetapkan! Jadi yang ada adalah alternatif “semu,” atau “seolah-olah” tadi.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Bukan ‘seolah-olah’! Anda mengatakan ‘seolah-olah’ karena anda percaya free will dalam arti yang dimaksudkan oleh Arminianisme. Saya mengatakan ‘bukan seolah-olah’ karena saya menggunakan arti bebas yang dimaksudkan oleh Calvinisme.
Tak ada gunanya menggunakan Webster. Gunakan Alkitab dulu untuk menunjukkan bahwa manusia memang ‘bebas’ dalam arti seperti yang dimaksudkan oleh Arminianisme! Kalau ini bisa anda lakukan, baru saya mau membicarakan arti ‘bebas’ menurut Webster!

Sedemikian yakinnya Kalvinis akan jalur logika dan kesimpulan ini, sehingga Boettner berkata, “Kecuali Arminianisme menyangkal pengetahuan lebih dulu dari Allah, ia tidak mempunyai pertahanan di hadapan kekonsistenan logis dari Calvinisme; karena pengetahuan lebih dulu secara tidak langsung menunjuk pada kepastian, dan kepastian secara tidak langsung menunjuk pada penetapan lebih dulu.”

Tanggapan saya:
Asal tahu saja, argumentasi Loraine Boettner dalam hal ini, yang membuat saya, yang tadinya hanya menganggap Allah hanya mengijinkan dosa, akhirnya percaya bahwa ternyata Alkitab mengajarkan bahwa Allah menentukan dosa. Saya mengaminkan kata-kata Boettner itu dengan segenap hati! Dan saya yakin argumentasi ini tidak bakal bisa digugurkan oleh siapapun juga! Saya belum pernah tahu ada orang manapun bisa menghancurkan argumentasi ini! Dan saya tantang anda untuk melakukannya!

Tanggapan:
Nah, anda sendiri mengakui bahwa mengizinkan berbeda dari menentukan. Saya hanya sayangkan bahwa anda belum bertemu pengajaran yang alkitabiah sebelum anda membaca Boettner. Justru penjelasan saya sudah mematahkan Boettner, hanya karena anda menutup hati, sehingga langsung mencap-nya “tolol” dan “bodoh.” Tidak ada yang lebih buta daripada orang yang tidak mau melihat.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda cuma berbelit-belit secara bodoh. ‘Mengijinkan’ yang saya maksud di sini adalah ’mengijinkan’ yang dimaksudkan oleh Arminianisme (ingat pada saat itu saya Arminian!), yaitu ‘betul-betul sekedar ijin’. Itu memang berbeda dengan ‘menentukan’. Tetapi ‘mengijinkan’ dalam arti dari Calvinisme, bukan berarti sekedar mengijinkan. Itu berarti Allah menentukan apa yang Ia ijinkan terjadi itu, dan lalu mengatur terjadinya hal itu, biarpun Ia mengatur secara pasif.

Anda mengatakan: Saya hanya sayangkan bahwa anda belum bertemu pengajaran yang alkitabiah sebelum anda membaca Boettner. Justru penjelasan saya sudah mematahkan Boettner, hanya karena anda menutup hati, sehingga langsung mencap-nya “tolol” dan “bodoh.” Tidak ada yang lebih buta daripada orang yang tidak mau melihat”.
Maafkan saya yang pikun, Liauw, tetapi saya dari 15 bulan yang lalu menunggu-nunggu jawaban anda untuk mematahkan argumentasi Loraine Boettner yang saya katakan tidak mungkin bisa anda patahkan sampai kapanpun, tetapi sampai detik ini saya yang pikun ini tak pernah ingat anda pernah menjawab, apalagi mematahkan, argumentasi ini! Kalau memang benar anda pernah menjawab, tolong ulangi jawaban anda, karena saya tidak bisa menemukannya! Anda seorang pendusta dan penipu, Liauw!

Bukan hanya itu, Kalvinis juga menyimpulkan bahwa Allah mahatahu karena Ia menetapkan segala sesuatu. Shedd berkata, “Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi.” Warfield menambahkan, “Allah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri.” Baik anda Kalvinis maupun Non-Kalvinis, anda perlu membaca dan meresapi apa makna dari pernyataan Kalvinis: Allah tidak bisa tahu suatu peristiwa jika Ia tidak menentukan peristiwa itu. Bukankah ini justru mengecilkan kemahatahuan Tuhan?

Tanggapan saya:
Terus terang, bahwa bagian ini mula-mula juga membingungkan saya, karena sangat sukar. Tetapi setelah saya renungkan, saya yakin kata-kata itu benar, dan sama sekali tidak mengecilkan kemahatahuan Allah. Kalau kata-kata R. C. Sproul di atas tadi sudah tak bisa anda mengerti, maka saya yakin anda tidak bakal mengerti bagian ini, biarpun anda renungkan sampai akhir jaman!

Tanggapan:
Sebaliknya, saya mengerti penuh apa yang mereka maksudkan. Saya tanya kepada anda: Bisakah anda, Budi Asali, mengetahui sesuatu yang anda tidak tentukan? Jawabannya adalah Ya! (contoh, anda bisa tahu hukumhukum fisika, padahal anda tidak menentukan hukum-hukum itu) Kenapa Allah tidak bisa? Saya berargumen dari yang kecil ke yang besar. Anda bisa berkelit dengan berkata bahwa Allah beda dengan manusia! Benar, tetapi itu tidak membantu anda dalam hal ini, karena perbedaan Allah dengan manusia adalah bahwa Allah jauh melebihi manusia, bukan justru kalah dari manusia. Ingat, kita bukan bicara tentang dosa atau sesuatu yang bertentangan dengan sifat Allah, melainkan pengetahuan. Dalam konsep anda, Allah kalah dari manusia dan malaikat.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda memang goblog, Liauw. Goblog dalam segala hal, termasuk dalam memberikan illustrasi! Hukum-hukum fisika dijadikan ilustrasi? Ini sangat tidak cocok, karena yang sedang kita bicarakan adalah apa yang akan terjadi, sedangkan hukum-hukum fisika itu sudah ada! Jadi, argumentasi anda ini sedang gugur, karena tak cocok sama sekali.

Manusia, tidak bisa menentukan apa yang akan datang, dan karena itu manusia tidak bisa tahu apa yang akan terjadi (kecuali diberi tahu oleh Tuhan). Jadi, dalam hal ini sama saja dengan Tuhan. Seandainya Ia tidak menentukan lebih dulu apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa tahu apa yang akan terjadi. Merupakan sesuatu yang kontradiksi untuk mengatakan bahwa Allah tahu dengan pasti hal-hal yang akan datang yang belum pasti terjadinya!

Allah memang kalah dari manusia dalam sedikitnya satu hal. Kalah goblog, apalagi dibandingkan dengan manusia seperti anda!

Sampai dengan titik ini, saya belum memberikan ayat-ayat Alkitab ataupun argumen-argumen untuk menyatakan kesalahan posisi Kalvinis. Sampai dengan titik ini, tujuan utama saya adalah untuk menjelaskan pada anda, apa yang sebenarnya Kalvinis percayai. Oleh karena itulah saya tidak sekedar menjelaskan dengan kata-kata saya sendiri, tetapi mengutip langsung dari sumber-sumber Kalvinis. Boettner, Melanchthon, Pink, Sproul, Palmer, Warfield, Shedd, adalah nama-nama besar Kalvinis. Mereka diakui oleh dunia sebagai Kalvinis. Masih banyak lagi tokoh Kalvinis yang akan saya kutip nanti. Tetapi saya ingin anda tahu bahwa saya tidak mengada-ada atau melakukan misrepresentasi terhadap pengajaran Kalvinis.

Tanggapan saya:
Jangan berdusta, Liauw! Ada yang anda kutip dari sumber langsung (itupun mungkin). Tetapi banyak yang anda kutip secara tidak langsung, karena anda kutip melalui buku saya! Mau saya buktikan? Enak ya kalau mengutip dari saya, ada bahasa Inggrisnya dan ada terjemahannya sekalian! Anda berdusta dan memfitnah banyak sekali, Liauw! Tidak takut keselamatan anda hilang? Ternyata orang yang percaya keselamatan bisa hilang berdosa seenaknya sendiri! Padahal mereka biasanya menuduh bahwa orang-orang Calvinist, yang mempercayai keselamatan tidak bisa hilang itulah, yang berdosa seenaknya sendiri!

Tanggapan:
Daripada sembarang menuduh, sebaiknya anda dapatkan dulu artikel asli saya, bukan yang disunat semua footnote-nya! Anda harus meminta maaf kepada saya karena telah banyak menuduh saya asal comot dari tulisan anda, padahal saya memberikan referensinya dalam footnote! Bukan salah saya kalau anda memakai versi yang tidak ada footnote. Sebenarnya saya yang memfitnah, atau anda yang memfitnah? Dan orangorang yang saya kutip dari anda, tetap saya kutip “langsung” dari sumber Kalvinis! Karena anda adalah sumber Kalvinis! Ingat, saya bukan sedang menulis karya ilmiah atau thesis, tetapi sedang menulis artikel bebas, dan saya tidak mengikat diri secara ketat kepada tata cara penulisan thesis. Kata “langsung” jangan diartikan bahwa semua sumber saya adalah primary source. Yang saya ingin tekankan adalah bahwa sumber
saya “Kalvinis,” misalnya anda, yang saya percaya tidak akan memelintir kata-kata Kalvinis lain untuk menjatuhkan Kalvinis. Saya bukan mengutip orang-orang yang menyalahnafsirkan Kalvinis. Selain itu ada sumber-sumber primary lain.

Sekali lagi anda salah total dalam menebak-nebak kepercayaan saya tentang security of believer. Jangan pikir saya memegang konsep Wesleyan tentang security of believer. Mungkin karena anda merasa yakin anda orang pilihan jadi tidak apa sembarang menebak?

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Hmmm, saya tadinya lupa kalau anda pernah mengatakan ‘mengutip langsung’. Itu menyebabkan saya tadi minta maaf kepada anda. Tetapi setelah ingat akan hal ini, saya kira saya justru perlu menarik kembali permintaan maaf saya di atas.
Coba perhatikan kata-kata anda yang saya kutip ulang di sini:Oleh karena itulah saya tidak sekedar menjelaskan dengan kata-kata saya sendiri, tetapi mengutip langsung dari sumber-sumber Kalvinis. Boettner, Melanchthon, Pink, Sproul, Palmer, Warfield, Shedd, adalah nama-nama besar Kalvinis. Mereka diakui oleh dunia sebagai Kalvinis. Masih banyak lagi tokoh Kalvinis yang akan saya kutip nanti”.
Setelah mengatakan mengutip langsung dari sumber-sumber Kalvinis, anda lalu menyebutkan nama-nama dari para tokoh Calvinist. Itu PASTI membuat orang menganggap (dan ini tak bisa disalahkan) bahwa anda mengutip langsung dari orang-orang tersebut.
Lalu anda mengatakan Dan orang-orang yang saya kutip dari anda, tetap saya kutip “langsung” dari sumber Kalvinis! Karena anda adalah sumber Kalvinis!”.
Apakah ‘mengutip dari anda’ tidak bertentangan dengan ‘mengutip langsung’, Liauw? Anda tak bisa bahasa Indonesia?
Tak peduli di footnote anda mengatakan apa, tetapi kata-kata ’mengutip langsung’ tidak bisa diterima! Itu adalah kutipan tidak langsung!
Mau gunakan Kamus besar bahasa Indonesia untuk kata ‘langsung’, Liauw? Salah satu arti yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang kata ‘langsung’ adalah ‘tidak dengan perantaraan’. Anda mengutip dengan memakai saya sebagai perantaraan. Itu tidak langsung, Liauw! Jadi, anda pendusta!

Lalu untuk membela diri anda mengatakan “Ingat, saya bukan sedang menulis karya ilmiah atau thesis, tetapi sedang menulis artikel bebas, dan saya tidak mengikat diri secara ketat kepada tata cara penulisan thesis. Kata “langsung” jangan diartikan bahwa semua sumber saya adalah primary source. Yang saya ingin tekankan adalah bahwa sumber saya “Kalvinis,” misalnya anda, yang saya percaya tidak akan memelintir kata-kata Kalvinis lain untuk menjatuhkan Kalvinis. Saya bukan mengutip orang-orang yang menyalahnafsirkan Kalvinis. Selain itu ada sumber-sumber primary lain.”.
Yang saya pikirkan, Liauw, adalah: kalau anda tak merasa salah, mengapa perlu membela diri seperti itu? Hehehe, justru pembelaan diri yang begitu kuat, membuktikan kalau anda merasa salah!
‘Primary source’ artinya adalah ‘sumber orisinil’. Bahwa ‘primary’ bisa berarti ‘original’ ditunjukkan oleh Webster! Memang bisa diartikan ‘utama’ tetapi kelihatannya artinya jadi malah tidak karuan.
Jadi, bagaimana mungkin ‘langsung’ tak berarti mengutip dari ‘primary source’?????? Mengada-ada untuk membela diri, itu menyebabkan rasa bersalah anda justru terbuka, Liauw. Kasihan deh lu!


Nah, sebelum saya menjelaskan letak kesalahan dari premis dasar Kalvinisme, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk melihat konsekuensi dari premis dasar Kalvinisme. Saya ingin tahu, jika seseorang memegang pandangan Kalvinisme ini secara konsisten, apa yang akan terjadi.
Tanggapan saya:
Saya belum membaca bagian di bawah ini, tetapi dari kata ‘konsekuensi’ yang anda gunakan, saya tahu bahwa bakal muncul fitnahan lagi, karena konsekwensi yang anda maksudkan, pasti bukan yang Calvinisme ajarkan!

Tanggapan:
Bung, kalau tidak suka dengan analisis saya, buktikan kesalahannya. Jangan bilang itu fitnah! Itu adalah hasil analisis saya yang jujur. Anda bebas menerima, bebas menolak konsekuensi ini. Pembaca juga bebas menilai. Saya sudah dengan jujur berkata bahwa Kalvinis kebanyakan menolak konsekuensi-konsekuensi ini, tetapi hal-hal ini toh adalah konsekuensi Kalvinisme. Sepertinya anda hanya berlindung di balik kata-kata “fitnah,” “tolol,” dan “bodoh.”

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Hei, ini ramalan saya, yang saya dasarkan pada pengalaman berdebat dengan orang-orang salah / sesat seperti anda. Dan nanti akan terbukti kalau ramalan saya benar!
Tak ada orang yang bebas menerima atau bebas menolak. Kalau suatu argumentasi betul-betul didasarkan pada ayat Alkitab yang ditafsirkan secara benar, maka tak ada orang bebas menolak! Yang menolak, adalah orang brengsek!
Justru karena anda selalu menggunakan konsekwensi (yang salah laginya), tetapi tak pernah menggunakan ayat Alkitab yang kuat, maka saya katakan, secara benar, bahwa anda bodoh, tolol, dan sebagainya.


III. Konsekuensi Pandangan Kalvinisme
Logika dan Alkitab mengajarkan kita bahwa untuk segala tindakan dan kepercayaan, pasti ada konsekuensi yang mengikuti. “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Gal. 6:7). Oleh sebab itulah kita mengajari anak-anak kita bahwa tindakan mereka akan membawa konsekuensi. Kalau mereka nakal, kita pukul atau hukum untuk mengajarkan konsekuensi negatif untuk tindakan seperti itu. Sebaliknya kalau mereka melakukan yang baik, kita beri insentif. Ini kita lakukan, karena kita ingin menanamkan pada anak-anak bahwa tindakan dan perilaku mereka akan membawa konsekuensi.
Sebagai contoh lain, Alkitab selalu mengajarkan bahwa orang yang sungguh-sungguh beriman, pasti akan menghasilkan buah. Iman sejati selalu diikuti oleh pekerjaan baik. Memang ada orang yang tidak memiliki buah walaupun mengklaim diri percaya pada Tuhan Yesus. Tentunya mereka ini tidak benar-benar percaya.
Demikian juga dengan Kalvinisme. Jika premis dasar Kalvinisme benar, yaitu bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu sejak kekekalan, bahkan dosa, dan bahwa kemahatahuan Allah (yang adalah karena penetapanNya) menyebabkan manusia tidak memiliki pilihan lain selain apa yang Allah tetapkan itu, maka:

A. Manusia Tidak Memiliki Kehendak Bebas
Jika Tuhan sudah menetapkan segala sesuatu, termasuk tindakan, pikiran, dan keputusan semua makhlukNya, sebagaimana diajarkan Kalvinisme, maka secara logis tidak ada satupun makhluk yang memiliki kehendak bebas. Manusia pun tidak memiliki kehendak bebas. Bahkan, kalau mau dipikirkan secara konsisten, maka kita tidak bisa mengatakan, “keputusan Budi untuk memakai baju merah.” Keputusan itu bukanlah keputusan Budi, melainkan keputusan atau ketetapan Allah. Budi hanyalah agen pelaksana ketetapan Allah.

Tanggapan saya:
Hehehe, saya benar, kan? Saya cukup mengerti ‘cara berpikir / logika’ yang bodoh dari orang Arminian. Konsekwensi yang anda maksudkan muncul dari ‘logika / cara berpikir’ anda, bukan dari Alkitab, yang merupakan dasar ajaran Calvinisme.
Ini lagi-lagi fitnahan, karena Calvinisme tidak mengajar demikian! Ajaran Calvinisme, Budi pakai baju merah itu memang keputusan / penetapan Allah, tetapi sekaligus juga adalah keputusan Budi sendiri! By the way, pada saat ini Budi memilih untuk tidak pakai baju, karena cuaca sedang panas, dan Budi memilih untuk menjawab tulisan tolol dari
seorang Arminian supaya jangan banyak orang disesatkan oleh kata-kata tolol itu .

Dan itupun sesuai dengan ketentuan / penetapan Allah! Budi sama sekali tidak merasa dipaksa oleh Allah, itu betul-betul kemauannya, tetapi itu juga adalah ketetapan Allah, yang tidak bisa tidak terjadi!

Tanggapan:
Saya sudah paparkan argumen saya, anda sama sekali tidak dapat melawannya selain berkata bahwa itu adalah “logika” saya. Saya akan biarkan pembaca yang menilai apakah logika saya itu sesuai dengan logika pada umumnya atau tidak. Anda mengatakan bahwa Kalvinisme didasarkan pada Alkitab, tetapi itu hanyalah karena anda membaca Alkitab dengan prasangka bahwa Allah menetapkan segala sesuatu. Saya tidak membaca Alkitab dengan prasangka itu dan sama sekali tidak melihat bahwa Alkitab mengajarkan Allah menetapkan segala sesuatu termasuk dosa. Mengutip segudang penulis Kalvinis juga tidak dapat membantu anda di sini.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Hmmm, berulang kali anda mengatakan sudah menjawab, sudah memberi argumentasi, sudah memaparkan argumentasi, dan sebagainya. Tetapi seingat saya tidak ada. Mungkin anda menunda jawaban anda ini sampai 15 bulan dengan harapan orang lupa apa yang sudah atau belum anda katakan dalam tulisan sebelumnya. Juga supaya orang lupa, dan orang memang pasti lupa, apa yang sudah saya berikan untuk menghancurkan tulisan saya sebelumnya!

Saya ingin ingatkan anda bahwa dengan istilah ‘konsekwensi’, maka itu memang adalah logika anda! Saya bukannya sama sekali menentang ‘konsekwensi’ tetapi saya tahu dengan pasti bahwa ada banyak ‘konsekwensi’ yang diambil secara salah. Misalnya kalau Saksi Yehuwa mengatakan bahwa karena Ul 6:4 mengatakan Allah itu esa, maka konsekwensinya ya tidak ada kejamakan apapun dalam diri Allah, dan Allah itu tunggal secara mutlak. Ini juga konsekwensi, tetapi diambil secara salah, karena diambil tanpa mempedulikan ayat-ayat yang menunjukkan adanya semacam kejamakan dalam diri Allah, seperti kata ‘Kita’ dalam Kej 1:26, dan sebagainya.

Dan itulah yang anda lakukan. Mengambil konsekwensi tanpa mempedulikan ayat-ayat Alkitab yang bertentangan dengan konsekwensi anda. Di atas saya sudah beri berpuluh-puluh ayat yang secara jelas / explicit menunjukkan bahwa Allah menentukan dosa dan mengatur (secara pasif) terjadinya dosa. Sedangkan anda hanya berbekalkan ‘kekudusan Allah’, yang anda katakan, konsekwensinya adalah tidak mungkin Allah itu menentukan dosa. Jadi, bagaimana mungkin saya menerima konsekwensi yang anda berikan? Itu memang hanya logika anda, yang tak sesuai dengan Alkitab. Bisakah anda membuktikan bahwa Allah yang kudus tak bisa menentukan dosa? Dari mana rumus ini?

Kata-kata ‘pada umumnya’ yang anda katakan, lagi-lagi menunjukkan kalau anda memperhatikan pandangan umum. Saya tidak peduli pandangan umum! Kebenaran bukan persoalan demokrasi!
Saya membaca Alkitab dengan prasangka? Hehe, sebelum saya tahu adanya doktrin penentuan dosa, saya sudah sering heran pada waktu membaca ayat-ayat Alkitab yang saya berikan di atas. Jadi, mana bisa saya membaca dengan prasangka?
Anda memang tidak membaca Alkitab dengan prasangka itu, tetapi:
·         mungkin dengan prasangka sebaliknya.
·         mungkin dengan mata tertutup.
Tidak melihat? Mungkin bahkan anda tak pernah baca Alkitab! Baca ayat-ayat yang puluhan jumlahnya yang saya berikan di atas, Liauw!
Saya memang mengutip banyak kata-kata para Calvinist, tetapi saya mengutip lebih banyak lagi ayat-ayat Alkitab! Tak mau percaya kata-kata para Calvinist tak masalah. Tetapi pada waktu saya menunjukkan ayat-ayat yang memang mendukung kata-kata para Calvinist itu, dan anda tetap tak mempercayainya, maka saya menganggap anda sebagai orang yang tak percaya Firman Tuhan!

Loraine Boettner:Perhaps the relationship between divine sovereignty and human freedom can best be summed up in these words: God so presents the outside inducements that man acts in accordance with his own nature, yet does exactly what God has planned for him to do” (= Mungkin hubungan antara kedaulatan ilahi dan kebebasan manusia bisa disimpulkan dengan cara terbaik dengan kata-kata ini: Allah memberikan dorongan / bujukan dari luar sedemikian rupa sehingga manusia bertindak sesuai dengan dirinya, tetapi melakukan secara tepat apa yang Allah telah rencanakan baginya untuk dilakukan) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 38.

Tanggapan:
Perhatikan kata-kata Boettner: “manusia...melakukan secara tepat apa yang Allah telah rencanakan baginya untuk dilakukan.” Jadi, Allah merencanakan manusia untuk berdosa, dan “memberikan dorongan/bujukan dari luar sedemikian rupa sehingga” manusia berdosa!! Ini kata-kata Boettner sendiri yang Asali kutip! Bayangkan Allah “mendorong” dan “membujuk” manusia sedemikian rupa sehingga manusia berdosa!! Fitnah? Kalau ini tidak membuat anda meragukan premis dasar Kalvinisme, anda buta!!
Apakah fitnah kalau saya katakan: Boettner (dan Asali) mengajarkan bahwa Allah membujuk manusia untuk berdosa? Mau bilang saya fitnah lagi? Cocokkan dengan kutipan yang anda sendiri berikan! Tidak efek kalau anda bilang bahwa manusia itu bertindak sesuai dengan dirinya: 1. Yang ciptakan manusia itu seperti apa adalah Tuhan juga; 2. Yang memberikan dorongan dan bujukan agar manusia bertindak sedemikian rupa adalah Allah.

Saya tidak menyangkal bahwa Allah mempengaruhi manusia. Tetapi Allah mempengaruhi manusia bukan dalam hubungan cause and effect, karena Allah telah ciptakan manusia sebagai pribadi (person). Allah mempengaruhi manusia dalam bentuk influence and response. Hubungan cause and effect cocok untuk benda-benda mati. Berhubungan dengan pribadi tidaklah dengan relasi cause and effect, melainkan
influence and response. Allah adalah pribadi, Allah bisa memutuskan sesuatu dari dirinya sendiri. Manusia diciptakan sebagai pribadi, jadi manusia juga bisa memutuskan sesuatu dari dirinya sendiri. Ini adalah bagian dari diciptakannya manusia sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Tentu rentang/lingkup hal-hal yang mungkin bagi Allah jauh lebih besar dari lingkup manusia, tetapi hakekat seorang “pribadi” adalah berpikir sendiri, merasa sendiri, dan memutuskan sendiri. Tidak diragukan bahwa keputusan manusia itu dipengaruhi oleh banyak hal, tetapi tidak ada dari pengaruh-pengaruh itu yang memastikan/menentukan keputusan tersebut.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda memang orang kurang ajar yang memutar-balikkan kata-kata. Saya tak pernah menuduh anda memfitnah dalam hal ini. Saya mengakui kalau Calvinisme mengajarkan Allah menentukan dosa dan mengatur (secara pasif) terjadinya dosa! Menuduh bahwa saya mengatakan anda memfitnah dalam hal ini, itu yang merupakan fitnahan dari anda terhadap saya!
Ini harus membuat saya meragukan premis dasar Calvinisme? Kalau tidak saya buta? Hehehe, betul-betul idiot! Apa argumentasi anda untuk mengharuskan seperti itu? Saya melihat banyak sekali ayat-ayat, yang sudah saya tunjukkan, yang mendukung premis dasar itu. Justru siapapun tak percaya hal itu, setelah melihat banyak ayat itu, adalah orang buta rohani dan tegar tengkuk!

Anda menekankan kata ‘membujuk’, dan anda menganggapnya salah? Hehehe, coba lihat ayat di bawah ini, Liauw!
1Raja 22:19-23 - “(19) Kata Mikha: ‘Sebab itu dengarkanlah firman TUHAN. Aku telah melihat TUHAN sedang duduk di atas takhtaNya dan segenap tentara sorga berdiri di dekatNya, di sebelah kananNya dan di sebelah kiriNya. (20) Dan TUHAN berfirman: Siapakah yang akan membujuk Ahab untuk maju berperang, supaya ia tewas di Ramot-Gilead? Maka yang seorang berkata begini, yang lain berkata begitu. (21) Kemudian tampillah suatu roh, lalu berdiri di hadapan TUHAN. Ia berkata: Aku ini akan membujuknya. TUHAN bertanya kepadanya: Dengan apa? (22) Jawabnya: Aku akan keluar dan menjadi roh dusta dalam mulut semua nabinya. Ia berfirman: Biarlah engkau membujuknya, dan engkau akan berhasil pula. Keluarlah dan perbuatlah demikian! (23) Karena itu, sesungguhnya TUHAN telah menaruh roh dusta ke dalam mulut semua nabimu ini, sebab TUHAN telah menetapkan untuk menimpakan malapetaka kepadamu.’” (bdk. 2Taw 18:19-22).

Seluruh kata-kata anda yang saya letakkan dalam kotak itu, Liauw, mana dasar Alkitabnya??? Ini bukan sekedar logika anda??
Sekarang saya akan bahas kata-kata anda dengan menggunakan Alkitab, Liauw! Anda bilang bukan cause (= penyebab) dan effect (= akibat / hasil), bukan? Coba bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini, dan perhatikan bagian yang saya garis-bawahi!
Yos 11:20 - “Karena TUHAN yang menyebabkan hati orang-orang itu menjadi keras, sehingga mereka berperang melawan orang Israel, supaya mereka ditumpas, dan jangan dikasihani, tetapi dipunahkan, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa”.
1Raja 12:15,24 - “(15) Jadi raja tidak mendengarkan permintaan rakyat, sebab hal itu merupakan perubahan yang disebabkan TUHAN, supaya TUHAN menepati firman yang diucapkanNya dengan perantaraan Ahia, orang Silo, kepada Yerobeam bin Nebat. ... (24) Beginilah firman TUHAN: Janganlah kamu maju dan janganlah kamu berperang melawan saudara-saudaramu, orang Israel. Pulanglah masing-masing ke rumahnya, sebab Akulah yang menyebabkan hal ini terjadi.’ Maka mereka mendengarkan firman TUHAN dan pergilah mereka pulang sesuai dengan firman TUHAN itu” (bdk. 2Taw 10:15  11:4).

2Tes 2:11-12 - “(11) Dan itulah sebabnya Allah mendatangkan kesesatan atas mereka, yang menyebabkan mereka percaya akan dusta, (12) supaya dihukum semua orang yang tidak percaya akan kebenaran dan yang suka kejahatan”.

Jawab saya, Liauw, anda atau saya yang Alkitabiah?


Charles Haddon Spurgeon: (tentang tentara yang tidak mematahkan kaki Kristus tetapi menusukNya dengan tombak - Yoh 19:33-34).
They acted of their own free will, and yet at the same time they fulfilled the eternal counsel of God. Shall we never be able to drive into men’s mind the truth that predestination and free agency are both facts? Men sin as freely as birds fly in the air, and they are altogether responsible for their sin; and yet everything is ordained and foreseen of God. The foreordination of God in no degree interferes with the responsibility of man. I have often been asked by persons to reconcile the two truths. My only reply is - They need no reconciliation, for they never fell out. Why should I try to reconcile two friends? Prove to me that the two truths do not agree. In that request I have set you a task as difficult as that which you propose to me. These two facts are parallel lines; I cannot make them unite, but you cannot make them cross each other” (= Mereka bertindak dengan kehendak bebas mereka, tetapi pada saat yang sama mereka menggenapi rencana yang kekal dari Allah. Apakah kita tidak akan pernah bisa menancapkan ke dalam pikiran manusia kebenaran bahwa predestinasi dan kebebasan agen / manusia duaduanya merupakan fakta? Manusia berbuat dosa sebebas burung-burung yang terbang di udara, dan mereka semuanya bertanggung jawab untuk dosa mereka; tetapi segala sesuatu ditetapkan dan dilihat lebih dulu oleh Allah. Penetapan lebih dulu dari Allah sama sekali tidak mengganggu tanggung jawab manusia. Saya sering ditanya oleh orang-orang untuk mendamaikan dua kebenaran ini. Jawaban saya hanyalah - Mereka tidak membutuhkan pendamaian, karena mereka tidak pernah bertengkar. Mengapa saya harus mendamaikan 2 orang sahabat? Buktikan kepada saya bahwa dua kebenaran itu tidak setuju / cocok. Dalam permintaan itu saya telah memberimu suatu tugas yang sama sukarnya seperti yang kaukemukakan kepada saya. Kedua fakta ini adalah garis-garis yang paralel; saya tidak bisa membuat mereka bersatu, tetapi engkau tidak bisa membuat mereka bersilangan) - ‘A Treasury of Spurgeon on The Life and Work of Our Lord, vol VI - The Passion and Death of Our Lord’, hal 670-671.

Tanggapan:
Saya suka banyak khotbah-khotbah Spurgeon, tapi dalam hal ini dia sedang mencoba membela Kalvinisme (dan Spurgeon pun bukan Kalvinis yang konsisten, misalnya dia percaya Unlimited Atonement), dan gagal total. Dia menantang: buktikan kepada saya bahwa dua kebenaran itu tidak setuju/cocok. Well, kalau memang tidak ada ketidakcocokan, saya rasa tidak akan ada kontroversi antara Kalvinis-Arminian sepanjang abad. Segala sesuatunya sudah ditentukan, maka berarti tidak ada pilihan. Tidak ada pilihan maka tidak ada kebebasan! Janganlah berpura-pura bahwa tidak ada pertentangan, melainkan dapatkah rangka theologi Kalvinisme menyelesaikan masalah logis yang muncul? Dan mengejek semua orang yang memunculkan masalah logis ini dengan tuduhan “bodoh” dan “tolol” tidak membantu sama sekali!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Ada beberapa hal yang akan saya berikan sebagai jawaban:

1)   Saya kutip ulang kata-kata Liauw bagian atas, dengan membuang yang ada dalam tanda kurung (saya ganti dengan titik-titik), yang menurut saya diletakkan secara tidak pada tempatnya.
Liauw berkata: Saya suka banyak khotbah-khotbah Spurgeon, tapi dalam hal ini dia sedang mencoba membela Kalvinisme ........., dan gagal total. Dia menantang: buktikan kepada saya bahwa dua kebenaran itu tidak setuju/cocok. Well, kalau memang tidak ada ketidakcocokan, saya rasa tidak akan ada kontroversi antara Kalvinis-Arminian sepanjang abad. Segala sesuatunya sudah ditentukan, maka berarti tidak ada pilihan. Tidak ada pilihan maka tidak ada kebebasan! Janganlah berpura-pura bahwa tidak ada pertentangan, melainkan dapatkah rangka theologi Kalvinisme menyelesaikan masalah logis yang muncul?”.
Pertama-tama, Liauw, pertentangan Calvinisme dan Arminianisme bukan hanya dalam persoalan ini, tetapi dalam banyak persoalan yang lain.
Kedua, Liauw, mari kita baca dulu Yoh 19:31-34 - “(31) Karena hari itu hari persiapan dan supaya pada hari Sabat mayat-mayat itu tidak tinggal tergantung pada kayu salib--sebab Sabat itu adalah hari yang besar--maka datanglah orang-orang Yahudi kepada Pilatus dan meminta kepadanya supaya kaki orang-orang itu dipatahkan dan mayat-mayatnya diturunkan. (32) Maka datanglah prajurit-prajurit lalu mematahkan kaki orang yang pertama dan kaki orang yang lain yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus; (33) tetapi ketika mereka sampai kepada Yesus dan melihat bahwa Ia telah mati, mereka tidak mematahkan kakiNya, (34) tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambungNya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air”.
Coba bayangkan apa yang ada dalam pikiran tentara-tentara Romawi itu. Dia diperintah untuk mematahkan kaki (yang memang mempercepat kematian orang yang disalib), dan mereka memang mematahkan kaki-kaki dari kedua penjahat disamping Yesus (karena mereka belum mati). Tetapi pada waktu mereka melihat Yesus, mereka melihat kalau Dia sudah mati. Mereka menggunakan logika mereka. Tujuan pematahan kaki adalah mempercepat kematian.

Apa gunanya mempercepat kematian, kalau orangnya sudah mati? Jadi, mereka tidak mematahkan kaki Yesus (ini pasti diatur Allah, untuk melaksanakan rencanaNya dan untuk menggenapi nubuat tentang hal itu, karena nubuat Perjanjian Lama mengatakan ‘tak ada tulangnya yang dipatahkan’ - ay 36 bdk Kel 12:46  Bil 9:12  Maz 34:21).

Tetapi anehnya, lalu mengapa mereka menusuk Yesus dengan tombak, padahal tak ada perintah untuk melakukan hal itu? Lagi-lagi, ini pasti diatur oleh Allah untuk melaksanakan rencanaNya dan juga menggenapi nubuat tentang hal itu (ay 37 bdk Zakh 12:10  Wah 1:7).
Dari semua ini jelas terlihat bahwa tentara-tentara itu menggunakan pikiran / logika mereka, tetapi pada saat yang sama mereka melakukan persis seperti yang Allah tetapkan!

Saya beri tambahan kata-kata Spugeon berkenaan dengan hal ini.

Charles Haddon Spurgeon: “Two things are predicted: not a bone of him must be broken, and he must be pierced. ... He must not only be pierced with the nails, and so fulfill the prophecy, ‘They pierced my hands and my feet’; but he must be conspicuously pierced, so that he can be emphatically regarded as the pierced one. How were these prophecies, and a multitude more, to be accomplished? Only God himself could have brought to pass the fulfillment of prophecies which were of all kinds, and appeared to be confused, and even in contradiction to each other. It would be an impossible task for the human intellect to construct so many prophecies, and types, and foreshadowings, and then to imagine a person in whom they should all be embodied. But what would be impossible to men has been literally carried out in the case of our Lord. ... That which lies immediately before us was a complicated case; for if reverence to the Saviour would spare his bones, would it not also spare his flesh? If a coarse brutality pierced his side, why did it not break his legs? How can men be kept from one act of violence, and that an act authorized by authority, and yet how shall they perpetrate another violence which had not been suggested to them? But, let the case be as complicated as it was possible for it to have been, infinite wisdom knew how to work it out in all points; and it did so” [= Dua hal diramalkan: tidak satu tulangNya yang boleh dipatahkan, dan Ia harus ditusuk / ditikam. ... Ia bukan hanya harus ditusuk dengan paku-paku, dan dengan demikian menggenapi nubuat: ‘mereka menusuk tangan dan kakiku’ (Maz 22:17b); tetapi Ia harus ditusuk / ditikam secara menyolok, sehingga Ia bisa dianggap dengan tegas sebagai ‘Yang ditusuk / ditikam’. Bagaimana nubuat-nubuat ini, dan banyak lagi yang lain, bisa dicapai / digenapi? Hanya Allah sendiri yang bisa melaksanakan penggenapan dari nubuat-nubuat yang beraneka ragam, yang kelihatannnya kacau / membingungkan, dan bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Merupakan tugas yang mustahil bagi pikiran manusia untuk menyusun begitu banyak nubuat, type, dan bayangan, dan lalu membayangkan seorang pribadi dalam siapa semua itu harus diwujudkan. Tetapi apa yang mustahil bagi manusia telah dilaksanakan secara hurufiah dalam kasus Tuhan kita. ... Apa yang terletak persis di hadapan kita adalah kasus yang rumit; karena jika hormat kepada sang Juruselamat menyebabkan tentara itu tidak mematahkan tulangNya, bukankah rasa hormat itu juga akan menyebabkan ia juga membiarkan dagingNya? Jika kebrutalan yang kasar menusuk / menikam sisi / rusukNya, mengapa kebrutalan itu tidak mematahkan kaki-kakiNya? Bagaimana manusia bisa ditahan dari satu tindakan kekerasan / kekejaman, dan itu merupakan tindakan yang telah disahkan oleh orang yang berwenang, dan bagaimana ia melakukan kekerasan / kekejaman yang lain yang tidak pernah diusulkan / dianjurkan kepadanya? Tetapi biarlah kasus ini serumit apapun, hikmat yang tak terbatas tahu bagaimana mengerjakannya secara keseluruhan; dan demikianlah dilakukannya] -  ‘A Treasury of Spurgeon on The Life and Work of Our Lord’, vol VI - ‘The Passion and Death of Our Lord’, hal 667,668.

Charles Haddon Spurgeon: “It did not seem at all likely that when the order was given to break the legs of the crucified, Roman soldiers would abstain from the deed. ... Roman soldiers are apt to fulfil their commission very literally, ... The order is given to break their legs; two out of the three have suffered, and yet no soldier may crush a bone of that sacred body. They see that he is dead already, and they break not his legs. As yet you have only seen one of the prophecies fulfilled. He must be pierced as well. And what was that which came into that Roman soldier’s mind when, in a hasty moment, he resolved to make sure that the apparent death of Jesus was a real one? Why did he open that sacred side with his lance? He knew nothing of the prophecy. ... Why, then, does he fulfil the prediction of the prophet? There was no accident or chance here. Where are there such things? The hand of the Lord is here, and we desire to praise and bless that omniscient and omnipotent Providence which thus fulfilled the word of revelation. God hath respect unto his own word, and while he takes care that no bone of his Son shall be broken, he also secures that no text of Holy Scripture shall be broken” (= Kelihatannya sama sekali tidak mungkin bahwa pada saat perintah diberikan untuk mematahkan kaki-kaki dari orang-orang yang disalib, tentara-tentara Romawi itu tidak melakukan tindakan tersebut. ... Tentara-tentara Romawi cenderung untuk menggenapi perintah mereka secara hurufiah, ... Perintah diberikan untuk mematahkan kaki-kaki mereka; 2 dari 3 orang yang disalib telah mengalami hal itu, tetapi tidak ada tentara yang boleh meremukkan satu tulangpun dari tubuh yang kudus / keramat itu. Mereka melihat bahwa Ia sudah mati, dan mereka tidak mematahkan kaki-kakiNya. Tetapi engkau baru melihat satu dari nubuat-nubuat itu yang digenapi. Ia juga harus ditusuk / ditikam. Dan apa yang masuk ke dalam pikiran dari tentara Romawi itu pada waktu dalam saat yang begitu singkat ia memutuskan untuk memastikan bahwa Yesus yang kelihatannya sudah mati itu betul-betul sudah mati? Mengapa ia membuka sisi / rusuk yang kudus / keramat itu dengan tombaknya? Ia tidak tahu apa-apa tentang nubuat itu. ... Lalu mengapa ia menggenapi ramalan dari sang nabi? Tidak ada kebetulan di sini. Dimana ada hal seperti itu? Tangan Tuhan ada di sini, dan kami ingin memuji dan memuliakan Providence yang mahatahu dan mahakuasa yang dengan demikian menggenapi kata-kata wahyu. Allah menghormati FirmanNya sendiri, dan sementara Ia memperhatikan supaya tidak ada tulang AnakNya yang dipatahkan, Ia juga memastikan supaya tidak ada text Kitab Suci yang kudus yang dipatahkan / dilanggar) - ‘A Treasury of Spurgeon on The Life and Work of Our Lord’, vol VI - ‘The Passion and Death of Our Lord’, hal 668,669.

Catatan: Liauw mengatakanSegala sesuatunya sudah ditentukan, maka berarti tidak ada pilihan. Tidak ada pilihan maka tidak ada kebebasan!”.
Jelas bahwa ia memaksudkan kebebasan dalam arti yang digunakan oleh Arminianisme. Memang Calvinist beranggapan bahwa kebebasan seperti itu tidak ada. Kalau Allah menentukan tentara-tentara itu tidak mematahkan kaki Yesus tetapi menusuknya dengan tombak, maka pasti itulah yang akan terjadi. Tetapi mereka tetap melakukan dengan kemauan mereka sendiri. Tak ada apapun yang memaksa tangan mereka melakukan hal itu. Ini yang dimaksud oleh Calvinisme sebagai ‘kebebasan’.

Jadi, menurut saya, dalam arti ‘kebebasan’ menurut Calvinisme, Spurgeon benar pada waktu mengatakan kedua hal ini tidak bertentangan.

2)   Sekarang saya akan bahas kata-kata Liauw dalam bagian yang ada dalam tanda kurung, yang berbunyi sebagai berikut: “dan Spurgeon pun bukan Kalvinis yang konsisten, misalnya dia percaya Unlimited Atonement”.

Spurgeon percaya ‘Unlimited Atonement’ (= Penebusan tak Terbatas)? Anda sudah gila, Liauw? Buktikan, jangan asal ngomong. Dan jangan ngomong apa yang anda tidak ketahui! Anda memfitnah Spurgeon! Saya yakin 1000% Spurgeon percaya ‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas)! Dan saya buktikan dengan kutipan-kutipan di bawah ini.

Loraine Boettner mengutip kata-kata Charles Haddon Spurgeon:
“If Christ has died for you, you can never be lost. God will not punish twice for one thing. If God punished Christ for your sins He will not punish you. ‘Payment God’s justice cannot twice demand; first, at the bleeding Saviour’s hand, and then again at mine.’ How can God be just if he punished Christ, the substitute, and then man himself afterwards?” (= Jika Kristus telah mati untuk kamu, kamu tidak pernah bisa terhilang. Allah tidak akan menghukum dua kali untuk satu hal. Jika Allah menghukum Kristus untuk dosa-dosamu Ia tidak akan menghukummu. ‘Pembayaran keadilan Allah tidak bisa menuntut dua kali; pertama, pada tangan Kristus yang berdarah, dan lalu lagi pada tanganku’. Bagaimana Allah bisa adil jika Ia menghukum Kristus, sang Pengganti, dan lalu manusia itu sendiri setelahnya?) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 155.
Catatan: Boettner tidak menunjukkan dari buku Spurgeon yang mana dia mendapatkan kata-kata itu. Tetapi tak masalah karena di bawah ini saya punya kata-kata Spurgeon sendiri, yang mengatakan hal yang kurang lebih sama.

Charles Haddon Spurgeon: “Memory looks back on past sins with deep sorrow for the sin, but yet with no dread of any penalty to come; for Christ has paid the debt of His people to the last jot and tittle, and received the divine receipt; and unless God can be so unjust as to demand double payment for one debt, no soul for whom Jesus died as a substitute can ever be cast into hell. It seems to be one of the very principles of our enlightened nature to believe that God is just; we feel that it must be so, and this gives us our terror at first; but is it not marvelous that this very same belief that God is just, becomes afterwards the pillar of our confidence and peace! If God is just, I, a sinner alone and without a substitute, must be punished; but Jesus stands in my stead and is punished for me; and now, if God is just, I, a sinner, standing in Christ, can never be punished (= Ingatan melihat ke belakang kepada dosa-dosa yang lalu dengan kesedihan yang dalam untuk dosa, tetapi tanpa rasa takut terhadap hukuman yang akan datang; karena Kristus telah membayar hutang umatNya sampai pada hal yang paling kecil / remeh, dan telah menerima kwitansi ilahi; dan kecuali Allah itu bisa begitu tidak adil / benar sehingga menuntut pembayaran dobel untuk satu hutang, tidak ada jiwa, untuk siapa Yesus mati sebagai pengganti, bisa dicampakkan ke dalam neraka. Kelihatannya merupakan satu prinsip dari diri kita yang sudah diterangi untuk percaya bahwa Allah itu adil / benar; kita merasa bahwa haruslah demikian, dan ini mula-mula memberikan kita rasa takut; tetapi tidakkah merupakan sesuatu yang mengagumkan bahwa kepercayaan yang sama bahwa Allah itu adil / benar, setelah itu lalu menjadi pilar / tonggak dari keyakinan dan damai kita! Jika Allah itu adil / benar, saya, seorang yang berdosa, sendirian dan tanpa seorang pengganti, harus dihukum; tetapi Yesus telah menggantikan saya dan dihukum untuk saya; dan sekarang, jika Allah itu adil / benar, saya, seorang yang berdosa, berdiri dalam Kristus, tidak pernah bisa dihukum) - ‘Morning and Evening’, September 25, morning.
Perhatikan kata-kata ‘His people’ (= umatNya). Bukan untuk setiap individu dalam dunia ini, tetapi untuk ‘umatNya’. Disamping itu, dia mengatakan bahwa “tidak ada jiwa, untuk siapa Yesus mati sebagai pengganti, bisa dicampakkan ke dalam neraka”. Kalau Spurgeon mempercayai ‘Universal Atonement’ (= Penebusan Universal), maka dia harus percaya Universalisme (= pandangan yang mengatakan bahwa pada akhirnya semua manusia, tanpa kecuali, akan masuk surga), dan itu tidak mungkin! Jadi jelas Spurgeon mempercayai ‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas).
Spugeon adalah seorang dari gereja Baptis yang juga adalah seorang Calvinist, karena ia menerima 5 points Calvinisme, dan bahkan menerima penentuan segala sesuatu, termasuk dosa. Satu-satunya perbedaan doktrinal antara Spurgeon dan para Calvinist adalah dalam persoalan baptisan, karena ia menolak baptisan bayi, dan juga menggunakan baptisan selam.

3)   Sekarang saya akan membahas kalimat terakhir dari kata-kata Liauw di atas yang berbunyi:Dan mengejek semua orang yang memunculkan masalah logis ini dengan tuduhan “bodoh” dan “tolol” tidak membantu sama sekali!”.
Tanggapan saya:
Liauw, anda sangat ceroboh, atau memang mau memfitnah? Saya tidak pernah memaki orang Arminian maupun Arminianisme sebagai ‘bodoh / tolol’ dalam persoalan ini! Dalam banyak persoalan lain, saya memang menganggap orang Arminian / Arminianisme sebagai bodoh / tolol, tetapi tidak dalam hal ini!

4)   Satu bagian lagi dari kata-kata Liauw yang akan saya bahas adalah kata-kata “dapatkah rangka theologi Kalvinisme menyelesaikan masalah logis yang muncul?”.
Bagaimana anda bisa menyangkal bahwa anda hanya menggunakan logika? Saya lebih baik menyangkal logika, dari pada menyangkal Alkitab / Firman Tuhan!
Dalam banyak hal saya menyangkal logika. Dalam persoalan doktrin Allah Tritunggal / Kristologi, semua orang Kristen boleh dikatakan ‘menyangkal logika’, tetapi tunduk pada Firman Tuhan.
Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.
Ayat ini berbicara tentang Yudas Iskariot. Jelas ia sudah ditetapkan untuk mengkhianati Yesus, tetapi ia tetap bertanggung jawab atas tindakannya, dan karena itu Yesus berkata ‘celakalah’. Kalau ia tidak mempunyai kebebasan sama sekali, tidak mungkin ia dianggap bertanggung jawab. Jadi, ayat ini membicarakan penetapan Allah dan kebebasan / tanggung jawab manusia.

Mau ayat lain?
Mat 18:7 - “Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya”.
Kata ‘harus’ menunjukkan adanya penetapan dalam hal itu, sedangkan kata ‘celakalah’ menunjukkan adanya tanggung jawab, dan karena itu adanya kebebasan (dalam arti Calvinisme!).

Mau ayat lain lagi?
Roma 9:19-21 - “(19) Sekarang kamu akan berkata kepadaku: ‘Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkanNya? Sebab siapa yang menentang kehendakNya?’ (20) Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau membentuk aku demikian?’ (21) Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?”.
Terjemahan dari Ro 9:19 agak kurang jelas.
NIV (ay 19): “One of you will say to me: Then why does God still blame us? For who resists his will?” (= Salah satu dari kamu akan berkata kepadaku: Lalu mengapa Allah masih menyalahkan kita? Karena siapa yang menahan / menolak kehendakNya?).

Ada beberapa hal yang bisa didapatkan dari Ro 9:19-21 ini:

a)Jawaban Paulus terhadap pertanyaan dalam ay 19 tidak akan demikian:
1.   Seandainya Arminian benar bahwa Allah tidak menentukan, tetapi hanya mengetahui lebih dulu.
2.   Seandainya Hyper-Calvinist benar bahwa Allah memang menentukan dan karena itu manusia tidak bertanggung jawab.
Jawaban ini hanya cocok kalau Reformed / Calvinisme, yang mempercayai bahwa Allah menentukan tetapi manusia tetap bertanggung jawab, adalah pandangan yang benar.

b)Sebetulnya Paulus tidak menjawab pertanyaan dalam ay 19 itu yaitu bagaimana kedaulatan dan penetapan Allah itu bisa harmonis dengan tanggung jawab manusia. Dengan jawaban dalam ay 20-21 itu, secara tidak langsung ia berkata: ‘Pokoknya Allah sudah menetapkan kedua hal itu (kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia), dan kita manusia tidak berhak membantah’.

Calvin, dalam komentarnya tentang Ro 9:14, berkata sebagai berikut:
“Let this then be our sacred rule, to seek to know nothing concerning it, except what Scripture teaches us: when the Lord closes his holy mouth, let us also stop this way, that we may not go farther” [= Biarlah ini menjadi peraturan kudus kita, berusaha mengetahui hal itu (doktrin Predestinasi) hanya sejauh yang diajarkan oleh Kitab Suci: pada waktu Tuhan menutup mulutNya yang kudus, biarlah kita juga berhenti dan tidak pergi lebih jauh].

Kata-kata ini penting kita camkan pada waktu menghadapi hal-hal yang memang tidak dijelaskan oleh Kitab Suci dalam persoalan Predestinasi, misalnya bagaimana kedaulatan Allah dan kebebasan manusia bisa ada bersama-sama, juga bagaimana Allah yang suci dan kasih bisa menetapkan dosa dan kebinasaan, dsb.

Sebagai serangan terakhir dalam bagian ini, saya bertanya balik kepada anda, Liauw: “dapatkah rangka theologi Arminianisme menyelesaikan masalah Firman Tuhan yang muncul?””.


Barnes’ Notes (tentang Kis 2:23): “We have here a striking and clear instance of the doctrine that the decrees of God do not interfere with the free agency of people. This event was certainly determined beforehand. Nothing is clearer than this. It is here expressly asserted; and it had been foretold with undeviating certainty by the prophets. God had, for wise and gracious purposes, purposed or decreed in his own mind that his Son should die at the time and in the manner in which he did; for all the circumstances of his death, as well as of his birth and his life, were foretold; and yet in this the Jews and the Romans never supposed or alleged that they were compelled or cramped in what they did. They did what they chose. If in this case the decrees of God were not inconsistent with human freedom, neither can they be in any case. Between those decrees and the freedom of man there is no inconsistency, unless it could be shown - what never can be that God compels people to act contrary to their own will . In such a case there could be no freedom. But that is not the case with regard to the decrees of God” (= belum diterjemahkan ).

Tanggapan:
Kesalahan terletak pada asumsi bahwa jika Allah sudah merencanakan dan menetapkan bahwa Yesus Kristus harus mati, maka berarti Allah menetapkan juga perilaku orang-orang pada zaman Yesus. Jadi, kematian Yesus Kristus dihasilkan melalui penentuan Allah, secara cause and effect, atas tindakan-tindakan manusia. Dalam skema ini, manusia-manusia yang terlibat tidak memiliki opsi riil untuk berbuat selain dari menyalibkan Yesus. Tetapi, karena mereka melakukannya dengan “senang,” maka dinyatakan sebagai suatu “tindakan bebas.” Padahal, mereka tidak bisa tidak menyalibkan Yesus. Yudas Iskariot tidak bisa tidak mengkhianati Yesus. Ini yang diusung oleh Kalvinis sebagai kebebasan. Saya katakan bahwa Allah memang merencanakan dan menetapkan kematian Yesus Kristus. Tetapi ini tidak berarti Allah menetapkan/menentukan aksi-aksi setiap individu yang terkait.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Saya potong di sini, Liauw. Menurut anda, Allah menentukan kematian Yesus. Yang tidak ditentukan aksi-aksi dari manusia. Sekarang saya tanya: kalau aksi / tindakan manusia itu tidak ditentukan, maka bisa saja manusia itu tidak membunuh Yesus. Maka rencana Allah menjadi gagal, dan ini bertentangan dengan Ayub 42:2 yang mengatakan ‘tak ada rencanaMu yang gagal’!
Siapa yang membunuh, siapa yang mengkhianat juga harus ditentukan, karena kalau tidak, dan tahu-tahu tidak ada orang yang melakukan hal itu, maka rencana Allah gagal juga.

Saya beri kutipan dari buku ‘Providence’ saya sendiri:

Rencana Allah tentang penebusan dosa oleh Kristus (1Pet 1:19-20) me-nunjukkan adanya Rencana / penentuan terjadinya dosa, karena bahwa penebusan dosa sudah ditentukan, itu jelas menunjukkan bahwa:
a)   Dosa manusia yang akan ditebus oleh Kristus itupun harus juga sudah ditentukan! Karena kalau tidak, bisa-bisa penebusan dosa itu tidak terjadi.
b)   Pembunuhan / penyaliban yang dilakukan terhadap Kristus, yang jelas merupakan suatu dosa yang sangat hebat, jelas juga sudah ada dalam Rencana Allah.
Kis 2:23 - Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu.
Charles Hodge: “The crucifixion of Christ was beyond doubt foreordained of God. It was, however, the greatest crime ever committed. It is therefore beyond all doubt the doctrine of the Bible that sin is foreordained” (= Penyaliban Kristus tidak diragukan lagi ditentukan lebih dulu oleh Allah. Tetapi itu adalah tindakan kriminal terbesar yang pernah dilakukan. Karena itu tidak perlu diragukan lagi bahwa dosa ditentukan lebih dulu merupakan doktrin / ajaran dari Alkitab) - ‘Systematic Theology’, vol I, hal 544.
Charles Hodge: “it is utterly irrational to contend that God cannot foreordain sin, if He foreordained (as no Christian doubts) the crucifixion of Christ” [= adalah sama sekali tidak rasionil untuk berpendapat bahwa Allah tidak bisa menentukan dosa, jika Ia menentukan (seperti yang tidak ada orang kristen yang meragukan) penyaliban Kristus] - ‘Systematic Theology’, vol I, hal 547.

Perhatikan bahwa dalam Kis 2:23 kata kerja ‘menyalibkan’ dan ‘membunuh’ disebutkan secara explicit dan dihubungkan dengan maksud dan rencana Allah!
Perhatikan bahwa dalam Kis 4:27-28 nama-nama Herodes dan Pontius Pilatus disebutkan secara explicit, dan itu dihubungkan dengan penentuan Allah!


Lalu bagaimana Allah bisa memastikan Yesus disalibkan sesuai dengan rencanaNya? Kombinasi dari berbagai hal:
1. Kemahatahuan Allah (foreknowledge, yang memang dijadikan dasar dalam Kis. 2:23, lihat versi KJV), Allah tahu apa yang akan dilakukan manusia, tanpa perlu menentukan pilihan itu.

Tanggapan balik dari Budi Asali:

1)   Hmmm, anda belum pernah bisa menjelaskan argumentasi saya tentang kemahatahuan Allah dan penentuan Allah. Kalau Allah tahu, maka itu pasti terjadi, dan kalau pasti terjadi, itu tertentu, dan kalau tertentu, siapa yang menentukan selain Allah??? Jadi, adalah omong kosong kalau Allah tahu tanpa menentukan!

2)   Kis 2:23 (KJV): Him, being delivered by the determinate counsel and foreknowledge of God, ye have taken, and by wicked hands have crucified and slain: (= Ia, yang diserahkan oleh rencana yang sudah tertentu dan pra-pengetahuan Allah, telah engkau ambil, dan oleh tangan-tangan jahat telah engkau salibkan dan bunuh).
Anda mau berlindung dibalik kata ‘foreknowledge’ (= pra-pengetahuan)? Jangan lupa ada kata-kata ‘the determinate counsel’ (= rencana yang sudah tertentu)! Ini tak bisa anda hindari bukan????


2. Intervensi Allah atas dunia, baik itu dalam bentuk cause and effect terhadap benda-benda mati, maupun dalam bentuk influence and response terhadap makhluk-makhluk pribadi yang telah Ia ciptakan.

3. Kemahahikmatan Allah, sehingga berdasarkan foreknowledge-Nya, maupun intervensiNya, tanpa melanggar kepribadian dari manusia (manusia tetap bisa memilih), hikmat Allah sedemikian sehingga dapat merancang kematian Yesus persis seperti yang Ia ingini.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda mengatakan Allah maha tahu, dan tahu persis apa yang akan terjadi. Lalu Allah memberikan influence / pengaruh sehingga manusia memberikan response / tanggapan persis seperti yang Ia tahu. Response / tanggapannya tak bisa berbeda sedikitpun, bukan? Anda tak bisa menyangkal ini, karena pada point 3. anda mengatakan “persis seperti yang Ia ingini”. Bagaimana manusia anda katakantetap bisa memilih kalau toh pilihannya harus persis seperti yang Allah inginkan? Anda buang kemana logika anda, Liauw?

Anehnya, anda juga menggunakan katamerancang’!!!! Tadi anda bilang Ia hanya tahu, sekarang anda bilang Ia ‘merancang’. Merancang sama dengan merencanakan, bukan? Tanpa anda sadari, anda menjadi Calvinist, Liauw!!!!


Charles Hodge: “God can control the free acts of rational creatures without destroying either their liberty or their responsibility” (= Allah bisa mengontrol tindakan-tindakan bebas dari makhluk-makhluk rasionil tanpa menghancurkan kebebasan ataupun tanggung jawab mereka) - ‘Systematic Theology’, vol II, hal 332.
Saya berpendapat bahwa bagian yang harus diperhatikan dalam kata-kata Charles Hodge ini adalah ‘God can’ (= Allah bisa).
Kalau saya membuat sebuah film, maka saya akan menyusun naskah, dimana setiap pemain sudah ditentukan harus bertindak apa atau berkata apa. Tetapi sedikit atau banyak selalu ada kebebasan bagi para pemain. Kalau saya tidak memberikan kebebasan sama sekali, maka para pemain itu akan menjadi robot, yang tidak lagi mempunyai kebebasan apapun.

Tetapi Allah berbeda dengan saya atau dengan manusia lain. Allah bisa menentukan dan mengontrol segala sesuatu sampai detail-detail yang sekecil-kecilnya, tanpa menghancurkan kebebasan manusia! Bagaimana Ia bisa melakukan hal itu, merupakan suatu mystery bagi kita, tetapi yang jelas Kitab Suci menunjukkan bahwa Allah memang menentukan dan menguasai segala sesuatu, tetapi manusia tetap mempunyai kebebasan.

Tanggapan:
Pernyataan anda: “Allah bisa menentukan dan mengontrol segala sesuatu sampai detail-detail yang sekecilkecilnya, tanpa menghancurkan kebebasan manusia!”
Saya tidak ada masalah dengan “mengontrol” segala sesuatu, asal dalam definisi yang tepat. Allah mengontrol dunia sampai detail terkecil! Amin! Mengontrol dalam pengertian supervisi, dalam pengertian bahwa semua dalam izin dan pengetahuan Allah. Ya, amin!

Tetapi bahwa Allah menetapkan segala sesuatu, termasuk tindakan makhluk-makhluk yang Ia ciptakan sebagai pribadi, maka saya tidak aminkan. Allah tidak menetapkan apa yang manusia akan lakukan. Kalau Allah menetapkan apa yang manusia akan lakukan, maka per definisi, manusia itu tidak bebas. Ini bukan masalah Allah bisa atau tidak bisa. Ini adalah masalah definisi dari bebas itu sendiri. Ini sama saja mengatakan bahwa Allah bisa membuat segitiga yang bersisi empat. Bukan ke”bisa”an Allah atau kemampuan Allah yang dipertanyakan, tetapi definisi dari segitiga – atau tepatnya definisi dari bebas. Konsep penentuan segala sesuatu ini tidak cocok dengan definisi kata “bebas.” Jadi, ini bukan misteri, melainkan kontradiksi logika. Artinya, sebelum melihat Alkitab bahkan, sudah jelas bahwa ada pertentangan logis dalam Kalvinisme itu sendiri. Apalagi kalau ditambah bukti Alkitab! Jelas anda tidak bisa menjelaskan mengapa kasus seperti ini bisa dikatakan bebas karena anda sendiri mengacu kepada MISTERI. Tetapi saya katakan bahwa misteri ini adalah misteri yang sama sekali tidak diperlukan dan hanya muncul karena kekeh mempertahankan premis bahwa Allah menentukan segala sesuatu, suatu premis yang tidak dituntut oleh logika maupun Alkitab.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda boleh memberikan definisi anda tentang kata ‘mengontrol’ tetapi anda mengecam para Calvinist yang memberikan definisi tentang kata ‘kebebasan’! Tidakkah itu semau gue, Liauw??
Mengontrol harus diartikan betul-betul mengendalikan sehingga tak ada apapun yang terjadi di luar kemauan / kehendak Allah.
Anda mengatakan Allah tidak menentukan / menetapkan. Lalu Allah mengontrol untuk menyesuaikan dengan apa? Ini tidak masuk akal, Liauw!
Kalau dalam Calvinisme, ada rencana / ketetapan Allah. Lalu Allah mengontrol segala sesuatu sehingga semua terjadi sesuai kehendak Allah itu. Tetapi kalau dalam pandangan anda tak ada ketetapan Allah, lalu Dia mengontrol untuk menyesuaikan dengan apa?
Mungkin anda mengatakan ‘dengan apa yang ia tahu (pra-pengetahuan)’. Saya jawab: apa yang Ia tahu, pasti terjadi. Tak perlu dikontrolpun pasti terjadi. Lalu untuk apa dikontrol??


Jika diteruskan secara logis dan konsisten, maka premis dasar Kalvinisme (Allah menetapkan segala sesuatu) menjadikan seluruh ciptaan Allah dan seluruh rangkaian peristiwa sejak penciptaan hingga kekekalan nanti, sebagai sebuah sandiwara atau film yang sudah dinaskahkan. Setiap kata-kata, tindakan, dan aksi, telah dinaskahkan sesuai dengan keinginan sutradara. Manusia, anda dan saya, hanyalah salah satu pemain, yang tidak dapat melakukan apapun selain dari yang telah dinaskahkan (didekritkan sejak kekekalan). Lebih parah lagi, seorang aktor masih memiliki ruang improvisasi, tetapi Kalvinis menyatakan bahwa hal yang terkecilpun sudah ditetapkan oleh Tuhan. Dengan kata lain, manusia tidak lebih dari robot, yang harus melakukan ketetapan Allah. Kalau ada yang protes, saya hanya perlu mengingatkan bahwa adalah Kalvinis (John Gill) yang mengatakan: “Pendeknya, segala sesuatu tentang semua individu di dunia, yang pernah ada, yang ada, atau yang akan ada, semuanya sesuai dengan dekrit-dekrit Allah, dan menurut pada dekrit-dekrit itu.”.

Tanggapan saya:
Lagi-lagi logika anda, tanpa Alkitab! Calvinisme pun mengakui bahwa ada suatu misteri di sini, bagaimana Allah menetapkan, tetapi manusia bisa dengan bebas melakukan. Tetapi itu adalah fakta Alkitab, dan itu juga adalah fakta dalam kehidupan sehari-hari.
Yang jelas, konklusi anda merupakan fitnahan lagi, karena tak ada satu Calvinist-pun yang percaya bahwa manusia itu seperti robot!

Kata-kata John Gill itu saya setuju, tetapi berbeda dengan anda, saya tidak menyimpulkan dari kata-kata itu bahwa Calvinisme mempercayai manusia sebagai robot! Kata ‘harus’ yang saya garis-bawahi itu juga salah! Kata ‘pasti’ lebih cocok!

Tanggapan:
Ha ha ha...ya pasti logika saya dong...masa saya pakai logika orang lain. Namanya juga saya yang berlogika. Yang jelas anda tidak dapat mematahkan logika saya! Ini terbukti dari fakta bahwa anda hanya mengatakan “misteri” yang sudah saya patahkan.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda membanggakan logika anda, saya membanggakan dasar Firman Tuhan saya. Anda mau jadi orang yang logis atau yang Alkitabiah?
Saya dari tadi sudah mematahkan logika anda, dan anda tak pernah mematahkan argumentasi saya.
Anda kelihatannya tak mau ada ‘misteri’, Liauw? Coba jelaskan kepada saya seluruh doktrin Allah Tritunggal, sehingga masuk akal, dan tak tersisa satu ‘misteri’pun!


Bahwa segala sesuatu sudah ditentukan bukanlah fakta Alkitab. Sampai sekarang anda sama sekali tidak bisa menunjukkan satu ayat pun yang berbunyi bahwa segala sesuatu, termasuk tindakan manusia yang disengaja, itu ditentukan oleh Allah.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Di atas, saya sudah berikan berpuluh-puluh, Liauw!

Apalagi kehidupan sehari-hari! Kehidupan sehari-hari justru mengajari kita bahwa tindakan manusia itu bebas, tidak ditentukan sebelumnya, dan bahwa ia dapat memilih antara banyak pilihan!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Justru kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan adanya ‘kebebasan’ dalam arti seperti yang diberikan oleh para Calvinist! Tetapi menggunakan ‘kebebasan’ dalam arti Arminianisme, akan bertentangan dengan banyak sekali ayat yang sudah saya berikan di atas yang menunjukkan bahwa Allah menentukan segala sesuatu.

Bung...sebelum saya tunjukkan dari Alkitab, justru saya tunjukkan dulu bahwa ada masalah ketidakkonsistenan logis dalam Kalvinisme!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Dul, anda belum pernah menunjukkan dari Alkitab, dan tidak akan pernah!
Dan saya juga bisa menunjukkan adanya ketidak-konsistenan dalam Arminianisme, Dul! Ini saya kutip dari buku ‘Providence of God’ saya.

Jika penentuan lebih dulu dari Allah itu bertentangan dengan kebebasan manusia, maka perlu saudara ketahui bahwa pengetahuan lebih dulu dari Allah, yang jelas harus dipercaya oleh semua orang kristen, juga bertentangan dengan kebebasan manusia. Bukankah kalau Allah tahu bahwa hari ini saudara akan berbuat ini atau itu, maka hal itu pasti terjadi? Lalu dimana kebebasan saudara?

Loraine Boettner: “The Arminian objection against foreordination bears with equal force against the foreknowledge of God. What God foreknows must, in the very nature of the case, be as fixed and certain as what is foreordained; and if one is inconsistent with the free agency of man, the other is also. Foreordination renders the events certain, while foreknowledge presupposes that they are certain” (= Keberatan Arminian terhadap penentuan lebih dulu mengandung / menghasil-kan  kekuatan yang sama terhadap pengetahuan lebih dulu dari Allah. Apa yang Allah ketahui lebih dulu pastilah sama tertentunya dan pastinya seperti apa yang ditentukan lebih dulu; dan jika yang satu tidak konsisten dengan kebebasan manusia, yang lain juga demikian. Penentuan lebih dulu membuat peristiwa-peristiwa pasti / tertentu, sedangkan pengetahuan lebih dulu mensyaratkan bahwa mereka itu pasti / tertentu) - ‘The Reformed Doctrine of Predesti-nation’, hal 42.

Karena itu, kalau ada orang Arminian yang menggunakan hal ini untuk menyerang doktrin Reformed ini, maka serangannya ini, bisa menjadi boomerang bagi doktrin mereka sendiri!


Tetapi pada kenyataannya, setelah saya tunjukkan dari Alkitabpun, anda tidak mau menerima kebenaran!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Dul, anda pendeta pembual. Anda belum pernah menunjukkan dari Alkitab. Anda mau membohongi para pembaca yang tidak mengikuti debat ini dengan serius? Selama ini anda hanya memakai logika anda, yang sebetulnya juga tidak terlalu logis! Saya sejak dari mulai menjawab tulisan ini, sampai saat ini, menunggu-nunggu, dengan sia-sia, argumentasi anda yang didasarkan pada Alkitab, yang sampai saat ini tidak bisa saya jumpai!


Anda tidak berani mengambil kesimpulan yang tepat dari kata-kata John Gill! Memang tidak ada Kalvinis yang mengajarkan bahwa manusia itu robot! Apa saya memfitnah lagi? Bukankah terus terang saya katakan sekarang bahwa saya belum pernah membaca ada Kalvinis yang mengatakan bahwa manusia itu robot?

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Dalam tulisan anda sebelumnya anda memfitnah, Dul! Dan memfitnah dengan sangat banyak / sering! Sekarang, setelah saya desak, anda terpaksa mengakui bahwa tak ada Calvinist yang menganggap manusia sebagai robot! Dan anda bersikap seakan-akan saya yang salah dalam menuduh anda memfitnah! Apakah saya, dan juga para pembaca debat ini, harus mengerti apa yang tidak ada dalam tulisan anda sebelumnya itu? Anda MEMANG pemfitnah, Dul!

Tetapi, yang saya tekankan adalah bahwa itulah KONSEKUENSI KALVINISME yang begitu pahit sehingga para pengikutnya tidak mau menelannya! Dengan tidak mau menelannya, mereka menghadapi suatu kontradiksi logis yang disembunyikan dibalik misteri. Tentu anda sebagai Kalvinis akan protes kalau saya pakai istilah robot! Saya sudah tahu itu. Saya hanya mau celikkan mata kalian. Biarlah pembaca yang lain yang bisa menilai, apa benar pengajaran seperti itu memang membuat manusia mirip dengan sebuah robot! Yang semua tindakannya menurut pada dekrit-dekrit Allah (Gill di atas)! Kalau manusia tidak pernah jatuh dalam dosa, doktrin ini masih dapat saya bayangkan sejenak. Tetapi mengingat bahwa segala tindakan manusia itu jahat belaka (sesuatu yang Kalvinis selalu junjung), maka artinya seluruh dekrit Allah atas manusia adalah agar manusia bertindak jahat! Inilah Kalvinisme. Take it or leave it!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Tak ada konsekwensi yang pahit dari ajaran Calvinisme. Semuanya manis, dan saya telan dengan sukacita! Konsekwensi yang anda katakan pahit itu adalah konsekwensi yang mengada-ada, karena secara sama harus dihadapi juga oleh orang yang menganut pandangan Arminian. Mau saya tunjukkan?
Anda sendiri, dan semua Arminian, percaya Allah maha tahu. Kalau demikian, pada detik ini siapapun melakukan apapun, Allah sudah tahu, dan apa yang diketahui Allah itu pasti dilakukan oleh orang itu. Jadi, dalam pandangan Arminian / anda, secara sama anda dihadapkan dengan problem yang sama, yaitu robot! Jadi, apakah saya percaya segala sesuatu ditentukan oleh Allah, atau anda percaya bahwa segala sesuatu diketahui oleh Allah, menghasilkan ‘konsekwensi pahit’ yang sama, yaitu kita adalah robot!
Tetapi saya tidak percaya dengan konsekwensi itu. Saya percaya kita bukan robot. Karena apa? Karena Alkitab tak pernah gambarkan kita sebagai robot! Tetapi pada saat yang sama, dari berpuluh-puluh ayat di depan, terlihat dengan jelas Allah memang menentukan segala sesuatu. Keduanya saya terima dengan sukacita, bukan dengan pahit!

Anda mengatakan “mengingat bahwa segala tindakan manusia itu jahat belaka (sesuatu yang Kalvinis selalu junjung), maka artinya seluruh dekrit Allah atas manusia adalah agar manusia bertindak jahat! Inilah Kalvinisme. Take it or leave it!”.
Lagi-lagi memfitnah! Yang jahat belaka itu tindakan dari manusia yang tidak percaya kepada Kristus! Yang sudah percaya, karena adanya pekerjaan Roh Kudus, bisa berbuat baik (sekalipun memang tetap tidak secara sempurna).
Tidak percaya kalau semua orang yang tidak percaya sama sekali tak bisa berbuat baik, dengan kata lain, selalu berbuat dosa? Coba perhatikan ayat-ayat ini:
·        Kej 6:5 - “Ketika dilihat TUHAN bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, ...”.
·        Kej 8:21b - “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya.
·        Ro 6:20 - “Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran.
·        Ro 8:7-8 - “(7) Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya. (8) Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah.
·        Yoh 8:34b - “setiap orang yang berbuat dosa adalah hamba dosa”.
·        Ro 3:10-12 - “(10) seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. (11) Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. (12) Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.

Calvinisme memang menjunjung tinggi ajaran, bahwa orang yang tidak percaya sama sekali tidak bisa berbuat baik, atau, selalu berbuat dosa. Dan karena ajaran itu memang didukung oleh banyak ayat Firman Tuhan, maka dengan menjunjung tinggi ajaran / kepercayaan seperti itu, Calvinist / Calvinisme menjunjung tinggi Firman Tuhan!
Dan anda bertanya ‘Take it or leave it’? I take it, Liauw! You leave it? It means that you leave the Bible / God’s Word!


Saya tidak menyangkal bahwa ada misteri, ada hal-hal yang tidak kita ketahui, tetapi misteri itu bukanlah pada definisi kata! Jangan membengkokkan definisi dari kata bebas” dan berlindung di balik misteri. Saya juga percaya misteri, misalnya: Misteri bagaimana Allah bisa sedemikian berhikmat, sehingga dapat merancang kematian Yesus Kristus tanpa menentukan tindakan manusia. Ini adalah misteri karena saya tidak dapat menyelami kedalaman hikmat Allah.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Hmmm, berargumentasi seenak perutnya sendiri. Kalau anda boleh menganggap itu sebagai misteri, apa alasannya dalam hal-hal lain kami tak boleh anggap sebagai misteri?
Membengkokkan arti kata ‘bebas’ dan berlindung dibalik misteri? Anda memang IQnya rendah. Siapa yang mengatakan bahwa kata ‘bebas’ dalam Calvinisme berurusan dengan misteri? Kalau ‘bebas’ dan ‘kedaulatan Allah’ / ‘penentuan Allah’ itu misteri.
Pengartian suatu kata, diharuskan untuk disesuaikan dengan seluruh Firman Tuhan / Alkitab. Sebagai contoh: kalau dalam Yak 2:14-26 kata ‘iman’ dan ‘perbuatan’ diartikan secara sama dengan pada waktu Paulus menggunakannya, maka akan terjadi tabrakan frontal antara Paulus dengan Yakobus, atau antara ayat dengan ayat dalam Firman Tuhan. Jadi, harus diartikan secara berbeda. Itu anda sebut membengkokkan? Lucu sekali.
Sama halnya dalam persoalan ini. Jelas dari puluhan ayat yang saya berikan di depan, Allah menentukan segala sesuatu. Jadi, tak mungkin manusia bebas dalam arti seperti yang dimaksudkan oleh Arminianisme! Karena itu kami menyesuaikan arti ‘bebas’ dengan ayat-ayat yang menunjukkan penentuan Allah, sehingga mendapatkan definisi kata ‘bebas’ seperti yang dipercayai oleh Calvinisme! Membengkokkan? Bukan, Liauw, bukan kami membengkokkan, tetapi otak anda yang bengkok!


Juga seperti yang saya katakan, ada misteri tentang kemahatahuan Allah. Allah mahatahu tanpa menentukan tindakan manusia. Kalau manusia pilih A, Allah sudah tahu sejak kekekalan. Kalau manusia pilih B, Allah sudah tahu sejak kekekalan. Faktanya, manusia bisa pilih A bisa pilih B. Bagaimana Allah bisa tahu true contigency sebelum saatnya? Itulah kemahatahuan! Itulah misteri. Itulah kemahatahuan, saya tidak sepenuhnya mengerti kemahatahuan!
Ini berbeda dengan Kalvinisme yang mengajarkan bahwa menentukan manusia untuk pilih A dan karena itu Allah tahu manusia akan pilih A, dan manusia itu tidak bisa pilih B lagi. Misteri yang saya akui adalah misteri tentang sifat Allah: kemahatahuanNya,kemahakuasaanNya,kemahahikmatanNya. Ini misteri yang wajar karena memang saya tidak bisa menyelami sifat-sifat Allah sedemikian rupa.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Lagi-lagi suatu kontradiksi, yang menurut ‘hikmat’ anda OK saja. Kalau kami yang melakukan, kami salah. Lucu sekali! Kalau Allah sudah tahu, maka itu pasti terjadi, tidak mungkin bisa ada kebebasan untuk melakukan yang lain. Pasti melakukan seperti yang telah diketahui Allah!
‘True contingency’ yang anda bicarakan dalam kasus seperti itu adalah omong kosong yang tolol. ‘Contingent’ artinya bisa terjadi, bisa tidak. Kalau apa yang Allah ketahui bisa terjadi, bisa tidak, maka itu berarti Allah bisa salah pengetahuanNya! Anda menghujat Allah, Liauw! Dan anda melakukan itu dibalik kata ‘misteri’! Yang betul-betul ‘misteri’ bagi saya adalah bagaimana orang sebodoh anda bisa jadi doktor!


Kalvinis mengedepan misteri yang berbeda. Misal:
1. Misteri bagaimana Allah bisa menentukan segala tindakan manusia, tetapi manusia itu tetapi bisa bebas. Ini membuat kita bertanya-tanya akan definisi dari “bebas” yang dipakai oleh Kalvinis. Dalam misteri kemahatahuan, saya dapat berkata bahwa saya tidak mengerti sepenuhnya tentang “kemahatahuan” tetapi Kalvinis tidak dapat memakai cara yang sama karena kalau begitu mereka mengakui bahwa mereka tidak sepenuhnya mengerti tentang “kebebasan.”
2. Misteri bagaimana Allah yang maha kudus bisa menetapkan manusia untuk berdosa. Ini adalah misteri bukan tentang sifat Allah, tetapi tentang karakter Allah.
Kesimpulan pribadi saya: lebih baik meletakkan misteri pada sifat Allah daripada karakter Allah. Pembaca silakan menilai!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Dari awal sampai akhir omongan anda cuma itu-itu saja, tak ada variasi argumentasi! Bosan saya. Yang ini sudah saya jawab / jelaskan di atas, dan tak perlu saya ulang lagi!
Tentang kesimpulan anda di atas, ada ketololan yang baru, yang saya garis-bawahi itu. Karakter dan sifat bedanya apa, Liauw? Memang mungkin artinya tak sama persis, tetapi dalam kontext ini, saya tidak melihat bagaimana kedua kata itu bisa dibedakan?


Calvin: “we posited a distinction between compulsion and necessity from which it appears that man, while he sins of necessity, yet sins no less voluntarily” (= kami menempatkan suatu perbedaan di antara pemaksaan dan kepastian dari mana terlihat bahwa manusia, sementara ia pasti berdosa, tetapi ia berdosa dengan sukarela) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter IV, No 1.

Tanggapan:
Mengutip Calvin tidak serta merta membuat doktrin anda menjadi benar. Lagipula, menurut saya terjemahan anda ini kurang tepat. Compulsion boleh diterjemahkan pemaksaan. Tetapi necessity baiknya diterjemahkan keharusan. Certainty diterjemahkan kepastian. Saya heran anda mau membedakan antara “harus” dan “pasti” di sini, sedangkan ketika saya membedakan kedua kata ini, justru anda olok-olok!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Jangankan mengutip Calvin, mengutip Alkitabpun belum tentu menjadikan doktrin anda benar. Kalau mengutip Alkitab, tetapi menyalah-tafsirkan, maka tetap muncul ajaran salah atau sesat.
Saya mengutip Calvin untuk menunjukkan bahwa itu memang ajaran Calvin, dan juga karena saya tahu Calvin adalah orang yang Alkitabiah!
Dan kata-kata Calvin ini memang benar, karena menyamakan ‘pemaksaan’ dan ‘kepastian’ seperti yang anda lakukan di atas, merupakan suatu kebodohan. Saya sudah memberi contoh-contoh di atas dan tak perlu saya ulangi.

Hmm, menyalahkan terjemahan saya? Mau adu bahasa Inggris dengan saya, Liauw? Hehehe, mungkin saya kalah, sekalipun belum tentu. Tetapi kalau anda adu dengan terjemahan dalam tulisan saya, sama saja anda adu bahasa Inggris dengan penulis kamus (karena saya menterjemahkan menggunakan kamus Webster) dan saya yakin anda bukan tandingan para penulis kamus.
Kata ‘necessity’ saya terjemahkan ‘kepastian’ tetapi anda katakan seharusnya diterjemahkan ‘keharusan’. Dalam Webster salah satu arti yang diberikan adalah ‘anything that is inevitable’ (= apapun yang tak terhindarkan). Saya kok yakin itu lebih cocok diterjemahkan ‘kepastian’ dari pada ‘keharusan’! Sebetulnya kedua kata itu tak terlalu berbeda, tetapi karena kata ‘keharusan’ bisa diartikan seakan-akan itu diperintahkan, maka saya tak mau gunakan itu, karena itu pasti bukan yang dimaksudkan oleh Calvin dalam kata-katanya di atas!
Kata ‘certainty’ memang artinya ‘kepastian’, tetapi apa urusannya dengan ini? Calvin tak gunakan kata itu. Dan kalau ‘certainty’ berarti ‘kepastian’, tak berarti ‘necessity’ tak bisa punya arti yang sama.

Anda berkata “Saya heran anda mau membedakan antara “harus” dan “pasti” di sini, sedangkan ketika saya membedakan kedua kata ini, justru anda olok-olok!”.
Anda pikun atau sakit jiwa, Liauw? Yang menyamakan dari tadi diatas adalah anda, yang membedakan adalah saya, dan sekarang anda membalik omongan anda?
Supaya jelas bahwa di atas anda menyamakan, saya kutip ulang kata-kata anda.
Anda berkata: “Jadi, kalau Allah tetapkan manusia berdosa, tidak memberi mereka pilihan lain, dan mereka tidak bisa tidak berdosa, apa itu tidak sama dengan MENGHARUSKAN????? Anda boleh saja teriak Fitnah 1000 kali! Pembaca yang silakan memutuskan apakah analisis saya fair atau tidak.”.
Allah menentukan, maka pasti terjadi, Itu anda anggap sama dengan ‘mengharuskan’, sedang saya (lihat jawaban saya di atas) membedakannya!


Kalau manusia membuat robot, tentunya segala tindakan, perkataan, dan sifat dari robot itu, adalah sesuai dengan programnya. Bukankah ini sama dengan deskripsi Kalvinis, bahwa segala tindakan, perkataan, dan segala sesuatu mengenai individu, sesuai dan menurut pada “dekrit” (program) Allah?
Allah tentu jauh lebih canggih dari manusia, sehingga kalau Allah membuat robot, dia bisa membuat robot itu memiliki perasaan dan kesadaran diri. Tidakkah pandangan Kalvinis membuat manusia masuk ke dalam kategori robot-robot canggih? Robot yang sadar diri dan memiliki perasaan. Robot yang berpikir bahwa ia memilih sesuatu, yang mengira bahwa ia memutuskan berbagai hal, tetapi yang bagaimanapun juga adalah robot karena ia tidak bisa melakukan selain dari “program”nya (dekrit Allah).
Kalvinis sering membantah dan mengatakan bahwa dia percaya manusia punya kehendak bebas. Budi Asali berkata, “…Allah menentukan segala-galanya, dan itu berarti bahwa Allah juga menentukan bahwa orang itu akan melakukan tindakan itu secara bebas.” Dalam kalimat lain, Asali memperjelas, “Sekalipun Allah menentukan dan mengatur terjadinya dosa, tetapi saat dosa itu terjadi, manusia melakukan dosa itu dengan kemauannya sendiri! Ini menunjukkan bahwa kebebasan manusia tidak dibuang!”
Tetapi permasalahannya adalah, Kalvinis memiliki suatu definisi “bebas” yang aneh. Walaupun tindakan itu sudah ditetapkan Allah, dan manusia tidak bisa melakukan selain dari ketetapan itu, manusia masih dikatakan “bebas.” Webster mendefinisikan “free will” (Indonesia: kehendak bebas) sebagai berikut:
freedom of decision or of choice between alternatives kebebasan pengambilan keputusan atau memilih antara alternatif-alternatif Jadi, jelaslah bahwa “ kehendak bebas” berarti dapat memilih antara dua atau lebih alternatif. Jika tidak bisa memilih alternatif lain, maka tidak ada kebebasan. Argumen Kalvinis bahwa “walaupun Allah menentukan, tetapi manusia melakukannya dengan kemauan sendiri,” adalah suatu tipuan!

Menurut Kalvinis, segalanya ditentukan Allah. Jadi, kemauan orang itupun ditentukan Allah! Orang itu mau melakukan suatu tindakan, karena Allah menetapkan bahwa dia mau! Dia tidak bisa tidak mau! Dia tidak punya pilihan! Dia tidak bisa mau melakukan apapun selain yang Allah tetapkan! Apakah manusia seperti ini bisa dikatakan memiliki kehendak bebas? Tidak mungkin, kecuali anda meredefinisi “bebas”! Yang paling baik yang bisa dikatakan Kalvinis adalah: Allah menciptakan manusia yang merasa bebas, mengira dirinya bebas, dan bahkan seolaholah bebas, tetapi sebenarnya, semua tindakan, perasaan, pilihan, pikirannya, telah ditentukan Allah dalam dekrit-dekrit rahasia sejak kekekalan.
Jelas sekali bahwa Kalvinisme yang konsisten membawa kepada konsekuensi bahwa manusia tidak bebas. Kalvinisme sendiri mencoba untuk membenturkan antara kebebasan Allah dengan kemahatahuan Allah. Kalau Allah mahatahu, kata Kalvinis, artinya manusia tidak bisa memilih selain dari yang diketahui Allah.
Jadi, Kalvinis sendiri sebenarnya mengakui bahwa manusia tidak bebas! Tetapi dengan tarikan nafas lain, dia mau mengatakan manusia itu bebas! Ini namanya berbicara dolak-dalik, atau bisa juga disebut tidak konsisten!

Tanggapan saya:
Anda menggunakan istilah ‘free will’. Kalau anda memang Alkitabiah, tolong berikan ayat Alkitab mana yang berbicara tentang free will?? Calvin / orang-orang Reformed sebetulnya memang menentang istilah itu. Yang bebas adalah orangnya, bukan kehendaknya. Alkitab memang mengajar seperti yang Calvin / orang Reformed ajarkan.
Apa kata ‘Allah’ yang saya beri warna merah dalam kata-kata anda di atas itu tidak salah, Liauw? Seharusnya ‘manusia’?

Tanggapan:
Ya, itu salah tulis. Kebebasan manusia. Saya setuju bahwa yang bebas adalah orangnya, tetapi tidak ada masalah dengan istilah free will, karena itu adalah suatu metonymy. “Kehendak” adalah bagian dari seorang individu, sehingga istilah free will mengacu kepada orang yang memiliki will itu. Saya sudah tahu bahwa ada orang yang tidak senang dengan istilah free will, tetapi tetap memakainya karena sudah umum dan tidak ada kesalahpahaman yang muncul. Juga, mengapa memakai istilah free will, karena kadang-kadang orang itu fisiknya tidak bebas, dalam pengertian mungkin dipenjara, atau dipasung atau diikat, tetapi ada bagian dari orang itu yang tetap bebas, yaitu kehendaknya. Jadi, istilah free will tetap berguna. Alkitab ada mengandung istilah freewill: 17 kali bahkan dalam konteks freewill offering. (Lev. 22:18, 21, 23; 23:38; Num. 15:3; 29:39; Deut. 12:6, 17; 16:10; 23:23; 2 Chr. 31:14; Ezr. 1:4; 3:5; 7:13, 16; 8:28; Ps. 119:108).


Tanggapan balik dari Budi Asali:
Liauw, kalau tak becus bahasa Inggris jangan pakai bahasa Inggris! Atau anda menggunakan bahasa Inggris hanya untuk menipu pembaca yang tak mengerti bahasa Inggris?
Free will ( dua kata) berbeda dengan freewill (satu kata).
Free will artinya ‘kehendak bebas’, freewill artinya ‘sukarela’.
Kata yang terakhir ini dalam Webster dituliskan ‘free-will’ dan diartikan ‘voluntarily’ (= dengan sukarela), dan memang dibedakan dengan ‘free will’, yang diartikan oleh Webster sebagai ‘the human will regarded as free from restraints, compulsions’ (= kehendak manusia yang dianggap bebas dari pengekangan, pemaksaan).
Semua ayat yang anda pakai menggunakan kata ‘freewill’ bukan ‘free will’. Yang pakai kata ‘free will’ tidak ada, Dul!


Saya pernah membaca seorang Kalvinis berkata bahwa freewill offering (persembahan sukarela) tidak ada hubungannya dengan free will yang dibicarakan dalam debat Kalvinis. Tetapi ini adalah asumsi yang salah, karena banyak sekali hubungannya.

Persembahan-persembahan lain adalah keharusan dalam situasi-situasi yang memang mengharuskan persembahan itu. Tetapi persembahan sukarela (free will offering) tidak pernah diharuskan. Jadi, orang Israel bebas memilih, boleh mempersembahkan persembahan sukarela (freewill offering) boleh juga tidak.

Itulah sebabnya dinamai freewill offering. Ini adalah salah satu bukti dari Alkitab bahwa kehendak bebas manusia itu berarti manusia itu dapat memilih antara dua atau lebih pilihan, sesuatu yang Kalvinis tolak.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Lho, anda sendiri di bagian atas kata-kata anda ini sudah tahu kalau arti dari freewill adalah ‘sukarela’, tetapi tahu-tahu dalam kalimat terakhir, kok bisa loncat ke ‘kehendak bebas’ dari mana?
Kalau dikatakan ada hubungannya, OK. Tetapi dua kata itu tetap artinya berbeda!

Hanya melihat pada ayat-ayat ini, dan mengabaikan ayat-ayat yang menunjukkan penentuan Allah merupakan suatu metode penafsiran yang rawan untuk masuk ke dalam kesesatan. Dimana-mana kelihatannya ada pilihan bagi manusia. Itu hanya menunjukkan dari sudut pandang manusia.

Tetapi ayat-ayat yang menunjukkan penentuan Allah, betul-betul menunjukkannya dari sudut pandang Allah. Tentu yang benar adalah yang dari sudut pandang Allah, dan karena itu ayat-ayat dari sudut pandang manusia harus ditafsirkan berdasarkan ayat-ayat yang dari sudut pandang Allah.
Saya percaya waktu Yesus menubuatkan bahwa Petrus akan menyangkal Dia 3 x, Yesus menubuatkan apa yang sudah ditentukan. Seakan-akan Petrus bisa memilih, dan dia mati-matian mengatakan tak akan melakukan hal itu. Tetapi kenyataannya bagaimana, Liauw?

Dia tetap menyangkal Yesus, sesuai dengan nubuat dan ketentuan Allah, tetapi dia tetap melakukannya dengan kehendaknya sendiri!


Saya memang membenturkan kebebasan manusia (dalam ajaran Arminianisme) dengan kemahatahuan Allah. Anda tidak bisa menjawab argumentasi itu, bukan? Lalu anda membelokkan dengan mengatakan ‘Jadi, Kalvinis sendiri sebenarnya mengakui bahwa manusia tidak bebas!. Coba jawab argumentasi itu, jangan lari darinya. Kalau Allah maha tahu, Ia pasti tahu saat ini anda akan berbuat apa. Apakah ada kemungkinan bahwa pada saat ini anda tidak melakukan hal itu? Jawab ini, Liauw!

Tanggapan:
Saya sudah jawab di tempat lain, tetapi anda tidak memperhatikan dengan baik.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Hmmm, kamu pendusta dan penipu, Liauw! Kamu tak pernah jawab, tetapi terus mengaku sudah menjawab. Saya tak pernah lihat jawabanmu! Ulang lagi, kalau memang pernah jawab. Hanya copy, lalu paste, tak ada masalah bukan?


Ya Allah mahatahu. Dia tahu saya sekarang sedang mengetik. Apakah itu berarti saya tidak mungkin sedang minum? Sama sekali tidak! Saya bisa saja memilih untuk tidur, makan, minum, mengetik, atau sejumlah pilihan lain saat ini (dalam batasan saya sebagai manusia). Bagaimana dengan kemahatahuan Allah? Jawabannya sebenarnya sederhana. Kalau saya memilih untuk minum, maka Allah sudah tahu saya saat ini sedang minum. Kalau saya memilih untuk tidur, itu pula yang telah diketahui Allah. Kalau saya memilih untuk makan, idem, Allah sudah tahu sejak kekekalan bahwa saya sedang makan sekarang. Dengan memahami kemahatahuan dengan cara demikian, kita menghilangkan “misteri” atau tension antara kemahatahuan Allah dengan kebebasan manusia.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Omongan tolol yang tak masuk akal. Dibengkokkan tak karuan!
Sekarang yang Allah tahu apa? Jangan diubah-ubah! Kalau Dia tahu bahwa saat ini anda akan mengetik, bisakah pada waktu terjadi, anda ternyata bukan mengetik tetapi minum? Kalau bisa, itu berarti pengetahuan Allah salah!


Manusia benar-benar bebas, bukan “bebas” bohongan versi Kalvinis (dibahas dibawah ini), dan Allah tetap mahatahu dan pengetahuanNya tetap tidak mungkin gagal. Apakah saya bisa menjelaskan dengan 100% bagaimana mekanisme Allah bisa mahatahu seperti itu? Mungkin tidak. Itu misteri sifat Allah, dan manusia memang tidak bisa memahami seratus persen sifat Allah. Bisakah anda menjelaskan mekanisme kemahakuasaan Allah? Saya yakin tidak. Tetapi minimal, dengan model ini, saya tetap konsisten pada pengajaran Alkitab bahwa manusia itu bebas dan Allah mahatahu, dan saya tidak perlu bingung tentang apa itu “bebas.” Misteri bukanlah pada apa definisi dari “bebas” dan juga bukan pada karakter Allah (mengapa Allah yang maha kudus menetapkan dosa, mengapa Allah yang maha kasih menetapkan sebagian manusia untuk berdosa lalu masuk neraka?)

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Perhatikan, bahwa di atas anda sudah katakan kalau misteri itu dihilangkan, tetapi sekarang anda bilang misteri itu masih ada! Lucu sekali, Liauw!
Lalu perhatikan yang saya beri garis bawah ganda. Di atas anda bilang bisa memahami, bahkan anda katakan ‘jawabannya sederhana’. Di bawah anda bilang tidak bisa. Bagus sekali, doktor Arminian! Anda bukan doktor, kalau masuk gereja saya, saya suruh masuk Sekolah Minggu atau ikut katekisasi. Atau saya suruh ke psikolog / psikiater dulu, lalu RSJ, dan baru Sekolah Minggu / katekisasi!!

Kalau anda mengatakan Jadi, Kalvinis sendiri sebenarnya mengakui bahwa manusia tidak bebas!’, maka saya bisa menjawab ini. Saya / Calvinist memang mengakui bahwa sebenarnya manusia tidak bebas! Tetapi dalam arti apa? Dalam arti Arminianisme! Arminianisme mengartikan ‘bebas’ itu dalam arti bahwa dalam setiap titik dari kehidupannya, manusia itu bisa memilih untuk melakukan apapun yang ia kehendaki. Kami, orang Reformed / Calvinist, tidak mempercayai kebebasan seperti itu! Pada setiap titik dalam hidupnya, semua ditentukan oleh Allah, sehingga manusia itu pasti melakukan apapun yang Allah tentukan. Tetapi, pada waktu ia melakukan apa yang Allah tentukan itu, ia melakukannya dengan kemauan / kehendaknya sendiri. Ini yang kami artikan sebagai ‘bebas’! Anda menganggap ini sebagai definisi yang aneh dari kata ‘bebas’? Aneh tidak aneh tak jadi soal. Yang penting Alkitabiah atau tidak.

Tanggapan:
Definisi “bebas” yang anda sebut “Arminian” itu perlu diperjelas: tentu kebebasan manusia hanyalah dalam lingkup apa yang mungkin bagi manusia. Contoh, manusia tidak bisa memilih untuk terbang atau menjadi mahatahu, karena itu bukan pada lingkup manusia. Tetapi intinya adalah: manusia memiliki pilihan yang riil, dan ia bisa berbuat A atau berbuat B. Itu tidak ditentukan Allah atau siapapun selain dirinya sendiri. Pengaruh tetap ada, tetapi pengaruh-pengaruh itu tidak determinative. Lebih lanjut lagi, definisi “bebas” yang anda sebut Arminian itu, sebetulnya adalah definisi umat manusia pada umumnya. Saya sudah kutipkan Webster tentang free will: (yang sama sekali anda tidak tanggapi)
freedom of decision or of choice between alternatives kebebasan pengambilan keputusan atau memilih antara alternatif-alternatif Artinya, dalam kata bebas itu sendiri sudah inheren pengertian bahwa ada alternatif yang bisa ditempuh.
Masalah dia senang/tidak senang melakukannya bukanlah masalah bebas atau tidak bebas. Misal: Seseorang teroris yang ditangkap dijatuhi hukuman mati. Dalam pikirannya yang kacau, dia senang dapat mati karena mengira itu menjadikan dia martir. Dia berjalan ke tiang tembak dengan kehendaknya sendiri. Dia tersenyum, dia senang akan mati hari itu. Tetapi apakah dia bebas? Tidak, dia tidak bebas. Dia tidak bisa memilih untuk tidak mati, dan karena itu dia tidak bebas. Saya rasa pembaca yang berlogika dapat mengerti hal ini dengan sangat baik.
Kalvinis tidak punya hak untuk mengambil suatu kata, yaitu “bebas,” yang sudah memiliki arti publik yang jelas, lalu memberikan arti lain kepada kata ini, lalu menuduh semua orang yang tidak sepaham dengan mereka sedang memfitnah mereka!
Dengan pengakuan Pdt. Budi Asali tentang definisi “bebas” dari Kalvinisme, saya sebenarnya sudah dapat berkata: I rest my case. Silakan pembaca lihat saat ini, apakah definisi “bebas” dari Kalvinisme itu memang benar-benar bebas atau tidak.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Tak usah tanya pembaca. Saya memang katakan bahwa ‘bebas’ dalam arti yang digunakan Calvinisme, bukan berarti ‘bebas mutlak’.
Sekarang tentang arti dari Webster. Saya tak bermasalah dengan arti itu, karena Webster bukan buku theologia. Ia bisa saja memberikan arti sesuai dengan kelihatannya, atau arti seperti yang dipercayai oleh Arminianisme. Dan dalam Webster punya saya, ia memberikan arti kedua sebagai berikut: “2. the doctrine that people have this; oppossed to determinism” (= doktrin / ajaran bahwa orang-orang / manusia mempunyai ini; bertentangan dengan determinism).
Lalu pada entry ‘determinism’ Webster memberi arti: “1. the doctrine that everything is entirely determined by a sequence of causes. 2. the doctrine that one’s choice of action is not free but is determined by a sequence of causes independent of his will” (= 1. doktrin bahwa segala sesuatu sepenuhnya ditentukan oleh suatu rentetan penyebab-penyebab. 2. doktrin bahwa pilihan tindakan seseorang tidaklah bebas tetapi ditentukan oleh suatu rentetan penyebab-penyebab tak tergantung dari kehendaknya).
Jadi, kesimpulan saya, Webster memberikan arti free will menurut pandangan Arminian, dan arti dari ‘determinism’ menurut pandangan Calvinist, tanpa dia sendiri menyatakan yang mana yang benar.
Jadi, tak ada masalah dengan Webster! Sudah saya jawab, bukan, Liauw?

Anda bicara tentang arti publik yang jelas, seakan-akan merupakan keharusan menggunakan arti yang dipakai oleh orang-orang pada umumnya. Kalau memang begitu, saya tantang anda, coba jelaskan Yak 2:14-26, dengan arti publik yang jelas tentang kata ‘iman’, ‘perbuatan’, ‘dibenarkan’! Dan penjelasan tak boleh menabrak kata-kata Paulus dalam Ef 2:8-9, Gal 2:16,21 Ro 3:24,27-28 dan sebagainya. Ayo jawab! Hehe, bodoh sekali, mengharuskan pakai ‘arti publik’! Anda tak Alkitabiah, tetapi ‘publikiah’! Hehehe.


Dasar Alkitab dari ‘definisi yang aneh’ itu:
Dalam Kel 7:3 Allah berkata bahwa Ia akan mengeraskan hati Firaun, tetapi pada waktu ketetapan Allah itu terlaksana, ternyata Firaun mengeraskan hatinya sendiri (Kel 7:13,22 8:15,19,32 9:7,34-35).

Salah! Ketetapan Allah untuk mengeraskan hati Firaun bukan digenapi pada ayat-ayat yang mengatakan Firaun mengeraskan hatinya sendiri! Bagaimana sih anda ini. Jelas itu digenapi pada ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah mengeraskan hati Firaun (9:12 ;10:1, 20, 27). Lagipula, perikop-perikop ini tidak memberikan definisi dari “bebas.”
Perikop-perikop ini hanya mencatatkan bahwa Firaun mengeraskan hatinya sendiri, dan Allah juga mengeraskan hati Firaun. Tidak ada dikatakan bahwa “bebas” itu berarti “semua sudah ditentukan Allah tetapi karena manusia masih melakukan dengan senang, maka itu tetap bebas namanya.” Justru perikop ini mengajarkan bahwa Firaun-lah yang pertama mengeraskan hatinya, lalu Allah mengeraskan hatinya juga berdasarkan pilihan awal dia. Ingat, istilah “mengeraskan” itu sebenarnya netral, bisa positif bisa negatif. Kalau sesuatu yang positif dikeraskan, maka hasilnya positif, kalau sesuatu yang negatif dikeraskan, maka hasilnya negatif. Memang dalam Alkitab istilah “mengeraskan” dipakai dalam pengertian negatif, karena terjadi pada orang-orang yang memilih untuk menentang Tuhan. Tuhan mengeraskan hati Firaun, mengukuhkan dia dalam jalur yang telah ia pilih. Kalau Firaun memilih untuk taat, maka baguslah, ketaatannya itu akan dikukuhkan / dikeraskan. Tetapi jelas memang dalam konteks ini, Firaun tidak taat, dan Tuhan mengukuhkannya dalam ketidaktaatan yang ia telah pilih sendiri!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Memang nubuat bahwa Allah akan mengeraskan hati Firaun digenapi dengan fakta bahwa Allah memang mengeraskan hati Firaun, tetapi apakah Firaun pada saat itu maunya menuruti perintah Allah untuk membebaskan Israel? Sama sekali tidak. Ini dinyatakan oleh ayat-ayat yang saya berikan, yang menunjukkan bahwa Firaun mengeraskan hatinya sendiri! Jadi, Allah sudah menentukan supaya Firaun keras hati, bisakah ia tidak keras? Mustahil! Itu merupakan kebebasan yang tidak ia miliki, Liauw! Tetapi apakah ia dipaksa? Jadi robot? Tidak juga. Ia melakukan sesuai kehendaknya sendiri, karena dikatakan bahwa ia mengeraskan hatinya sendiri!
Hanya penjelasan begini dan anda tidak mengerti???

Text-text ini tak beri definisi dari kata ‘bebas’? Memang tidak, karena kebebasan itu (dalam arti yang diberikan oleh Arminianisme) memang tidak ada. Tetapi kebebasan dalam arti yang diberikan oleh Calvinisme terlihat secara kelewat jelas!

Anda mengatakan Tidak ada dikatakan bahwa “bebas” itu berarti “semua sudah ditentukan Allah tetapi karena manusia masih melakukan dengan senang, maka itu tetap bebas namanya.? Hmm, ini cara berargumentasi dari sekte sesat Saksi Yehuwa! Saya tanya: siapa yang haruskan muncul kata-kata persis seperti itu, baru artinya betul-betul demikian? Rumus dari mana? Buat sendiri? Kalau demikian, ayat mana dalam Alkitab yang mengatakan Allah itu satu hakekat dan 3 pribadi? Tak ada bukan? Tetapi anda percaya bukan? Jangan buat rumus sendiri, Liauw!

Anda mengatakan “Perikop-perikop ini hanya mencatatkan bahwa Firaun mengeraskan hatinya sendiri, dan Allah juga mengeraskan hati Firaun. ... Justru perikop ini mengajarkan bahwa Firaun-lah yang pertama mengeraskan hatinya, lalu Allah mengeraskan hatinya juga berdasarkan pilihan awal dia.”.

Lucu juga penjelasan anda. Kalau Firaun sudah mengeraskan hatinya, untuk apa Allah mengeraskan lagi?
Juga bagian yang terdahulu tak anda berikan. Allah mengatakan dulu kalau Ia akan mengeraskan hati Firaun, dan ini tidak mungkin salah bukan? Maka itu, Firaun mengeraskan hatinya sendiri! Pada saat dikatakan Tuhan mengeraskan hati Firaun, tak ada yang salah dengan itu. Memang karena Tuhan mengeraskan, Firaun tidak mungkin melunakkan hatinya sendiri. Sebetulnya semua orang dari lahir sudah keras hatinya, karena semua lahir dalam dosa, punya kecenderungan untuk berdosa dan tidak bisa berbuat baik. Jadi, kalau dikatakan Allah mengeraskan, arti sebenarnya hanyalah Allah tidak melunakkan. Ia tidak perlu mengeraskan apa yang sudah keras. Manusianya juga tak perlu mengeraskan hatinya yang memang sudah keras. Tanpa pekerjaan Tuhan untuk melunakkan hatinya, manusia tidak mungkin bisa lunak. Anda percaya bahwa pertobatan adalah hasil dari kasih karunia Allah dalam diri orang itu, Liauw?

Juga perhatikan urut-urutan ayat tentang keras hatinya Firaun itu:
Kel 4:21 - “Firman TUHAN kepada Musa: ‘Pada waktu engkau hendak kembali ini ke Mesir, ingatlah, supaya segala mujizat yang telah Kuserahkan ke dalam tanganmu, kauperbuat di depan Firaun. Tetapi Aku akan mengeraskan hatinya, sehingga ia tidak membiarkan bangsa itu pergi”.

Kel 7:3 - “Tetapi Aku akan mengeraskan hati Firaun, dan Aku akan memperbanyak tanda-tanda dan mujizat-mujizat yang Kubuat di tanah Mesir”.

Dua ayat ini yang pertama kali muncul, yaitu Tuhan menyatakan bahwa Ia AKAN mengeraskan hati Firaun.

Kel 7:13 - “Tetapi hati Firaun berkeras, sehingga tidak mau mendengarkan mereka keduanya - seperti yang telah difirmankan TUHAN.

Kel 7:22 - “Tetapi para ahli Mesir membuat yang demikian juga dengan ilmu-ilmu mantera mereka, sehingga hati Firaun berkeras dan ia tidak mau mendengarkan mereka keduanya seperti yang telah difirmankan TUHAN.

Kel 8:15 - “Tetapi ketika Firaun melihat, bahwa telah terasa kelegaan, ia tetap berkeras hati, dan tidak mau mendengarkan mereka keduanya--seperti yang telah difirmankan TUHAN.

Kel 8:19 - “Lalu berkatalah para ahli itu kepada Firaun: ‘Inilah tangan Allah.’ Tetapi hati Firaun berkeras, dan ia tidak mau mendengarkan mereka--seperti yang telah difirmankan TUHAN.

Kel 8:32 - “Tetapi sekali inipun Firaun tetap berkeras hati; ia tidak membiarkan bangsa itu pergi”.

Kel 9:7 - “Lalu Firaun menyuruh orang ke sana dan sesungguhnyalah dari ternak orang Israel tidak ada seekorpun yang mati. Tetapi Firaun tetap berkeras hati dan tidak mau membiarkan bangsa itu pergi”.

Kel 9:12 - “Tetapi TUHAN mengeraskan hati Firaun, sehingga ia tidak mendengarkan mereka--seperti yang telah difirmankan TUHAN kepada Musa.

Kel 9:34-35 - “(34) Tetapi ketika Firaun melihat, bahwa hujan, hujan es dan guruh telah berhenti, maka teruslah ia berbuat dosa; ia tetap berkeras hati, baik ia maupun para pegawainya. (35) Berkeraslah hati Firaun, sehingga ia tidak membiarkan orang Israel pergi--seperti yang telah difirmankan TUHAN dengan perantaraan Musa.

Kel 10:20 - “Tetapi TUHAN mengeraskan hati Firaun, sehingga tidak mau membiarkan orang Israel pergi”.

Kel 10:27 - “Tetapi TUHAN mengeraskan hati Firaun, sehingga dia tidak mau membiarkan mereka pergi”.

Kel 11:10 - “Musa dan Harun telah melakukan segala mujizat ini di depan Firaun. Tetapi TUHAN mengeraskan hati Firaun, sehingga tidak membiarkan orang Israel pergi dari negerinya”.

Ayat-ayat di atas ini merupakan realita dari pernyataan Tuhan dalam Kel 4:21 & Kel 7:3 tadi. Kadang-kadang dikatakan Firaun mengeraskan hatinya (8 x), kadang-kadang dikatakan Allah mengeraskan hatinya (4 x). Dan banyak yang ditambahi kata-kata ‘seperti yang telah difirmankan Tuhan’ (6 x). Ini menunjukkan bahwa Firman Tuhan yang mengatakan bahwa Tuhan akan mengeraskan hati Firaun (Kel 4:21 & Kel 7:3) adalah penyebab dari semuanya.

Anda mengatakan “Firaunlah yang pertama mengeraskan hatinya, lalu Allah mengeraskan hatinya juga berdasarkan pilihan awal dia”.
Menurut saya tak ada pertama atau belakangan. Keduanya boleh dikatakan terjadi bersamaan, bahkan pengerasan (atau tindakan pasif ‘tidak melunakkan’) dilakukan dulu, dan karena itu Firaun mengeraskan hati. Kalau anda melihat bahwa kata-kata ‘Firaun mengeraskan hatinya’ muncul lebih dulu dari ‘Allah mengeraskan hatinya’, maka saya ingatkan bahwa itu muncul secara bergantian.
Kel 7:13 Kel 7:22  Kel 8:15 Kel 8:19  Kel 8:32  Kel 9:7 mengatakan Firaun mengeraskan hatinya. Lalu Kel 9:12 mengatakan Tuhan yang mengeraskan hatinya. Lalu Kel 9:34-35 mengatakan Firaun mengeraskan hatinya. Lalu Kel 10:20  Kel 10:27 Kel 11:10 mengatakan Tuhan yang mengeraskan hati Firaun. Pemunculan bergantian seperti ini tidak memungkinkan orang waras untuk menafsirkan bahwa Firaun mengeraskan hatinya dulu, dan baru sesudah itu Tuhan mengeraskan hatinya.

Sekarang perhatikan kelanjutannya.
Kel 14:4 - Aku akan mengeraskan hati Firaun, sehingga ia mengejar mereka. Dan terhadap Firaun dan seluruh pasukannya Aku akan menyatakan kemuliaanKu, sehingga orang Mesir mengetahui, bahwa Akulah TUHAN.’ Lalu mereka berbuat demikian.  (5) Ketika diberitahukan kepada raja Mesir, bahwa bangsa itu telah lari, maka berubahlah hati Firaun dan pegawai-pegawainya terhadap bangsa itu, dan berkatalah mereka: ‘Apakah yang telah kita perbuat ini, bahwa kita membiarkan orang Israel pergi dari perbudakan kita?’”.
Kel 14:8 - “Demikianlah TUHAN mengeraskan hati Firaun, raja Mesir itu, sehingga ia mengejar orang Israel. Tetapi orang Israel berjalan terus dipimpin oleh tangan yang dinaikkan”.
Kel 14:17 - “Tetapi sungguh Aku akan mengeraskan hati orang Mesir, sehingga mereka menyusul orang Israel, dan terhadap Firaun dan seluruh pasukannya, keretanya dan orangnya yang berkuda, Aku akan menyatakan kemuliaanKu”.
Tadinya Firaun dan orang Mesir sudah ‘bertobat’ (tak sungguh-sungguh), tetapi Tuhan mengeraskan hati Firaun sehingga ia sekarang menyesali keputusannya untuk melepaskan Israel, dan lalu mengejar mereka lagi. Perhatikan kata ‘SEHINGGA’ dan ‘Maka’ yang saya cetak dengan huruf besar. Itu jelas menunjukkan mana yang penyebab dan mana yang akibat.

Sekarang mari kita lihat contoh lain untuk membuktikan mana yang penyebab dan mana yang akibat.
1.   Ul 2:30 - “Tetapi Sihon, raja Hesybon, tidak mau memberi kita berjalan melalui daerahnya, sebab TUHAN, Allahmu, membuat dia keras kepala dan tegar hati, dengan maksud menyerahkan dia ke dalam tanganmu, seperti yang terjadi sekarang ini”.
Sihon tak mau beri ijin bagi Israel untuk lewat. Sebab apa? Penyebabnya dinyatakan secara explicit, yaitu “TUHAN, Allahmu, membuat dia keras kepala dan tegar hati”. Mengapa Tuhan keraskan dia? Karena Tuhan memang bermaksud untuk menyerahkan mereka ke dalam tangan Israel.
Perhatikan, Liauw, bahwa di sini sama sekali tidak dikatakan Sihon mengeraskan hatinya sendiri. Lalu, anda mau cari dalih apa lagi, Liauw???
2.   Yos 11:19-20 - “(19) Tidak ada satu kotapun yang mengadakan ikatan persahabatan dengan orang Israel, selain dari pada orang Hewi yang diam di Gibeon itu, semuanya telah direbut mereka dengan berperang. (20) Karena TUHAN yang menyebabkan hati orang-orang itu menjadi keras, sehingga mereka berperang melawan orang Israel, supaya mereka ditumpas, dan jangan dikasihani, tetapi dipunahkan, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa”.
Kecuali orang Gibeon tak ada yang mau menyerah atau mengikat persahabatan dengan orang Israel. Mengapa, Liauw? KARENA Tuhan yang menyebabkan hati orang-orang itu menjadi keras, SEHINGGA mereka berperang dan ditumpas!
Lagi-lagi, di sini tak ada kata-kata ‘orang-orang itu mengeraskan hati mereka sendiri’. Jadi, lagi-lagi anda tak bisa berdalih seperti dalam kasus Firaun!

3.2Taw 10:12-15 - “(12) Lusanya datanglah Yerobeam dengan segenap rakyat kepada Rehabeam, seperti yang dikatakan raja: "Kembalilah kepadaku lusa." (13) Raja Rehabeam menjawab mereka dengan keras; ia telah mengabaikan nasihat para tua-tua; (14) ia mengatakan kepada mereka menurut nasihat orang-orang muda: "Ayahku telah memberatkan tanggungan kamu, tetapi aku akan menambahnya; ayahku telah menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan cambuk yang berduri besi." (15) Jadi raja tidak mendengarkan permintaan rakyat, sebab hal itu merupakan perubahan yang disebabkan Allah, supaya TUHAN menepati firman yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Ahia, orang Silo, kepada Yerobeam bin Nebat”.
Sekalipun di sini tak ada kata-kata ‘keraskan hati’, ‘mengeraskan hati’ dsb, tetapi maksudnya sama saja. Rehabeam keras kepala, tak mau terima usul rakyatnya, dan lalu menjawab mereka dengan keras. Apa sebab / penyebabnya, Liauw? Lihat ay 15, bagian yang saya cetak dengan huruf besar dan warnai merah! Penyebabnya adalah Allah! Dan lagi-lagi di sini tak dikatakan Rehabeam mengeraskan hatinya sendiri! Tempat persembunyianmu bubar semua, Liauw!

Sebaliknya, kalau seseorang hatinya menjadi lunak, mau percaya dan taat, itu juga disebabkan karena Tuhan melunakkan hatinya!
Yeh 11:19-20 - “(19) Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat, (20) supaya mereka hidup menurut segala ketetapan-Ku dan peraturan-peraturanKu dengan setia; maka mereka akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka”.
Yeh 36:26 - Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat.
Kis 16:14 - “Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus.


Dalam Ayub 1:21 Ayub berkata bahwa ‘Tuhan yang mengambil’; tetapi dalam Ayub 1:15,17 orang-orang Syeba dan Kasdim melakukan perampokan itu dengan kemauan mereka sendiri.

Sama sekali tidak dikatakan bahwa Tuhan yang menentukan orang Syeba dan Kasdim untuk merampok! Saya sampai sekarang tidak habis pikir bagaimana orang yang mengaku Kristen bisa percaya bahwa Allah menentukan manusia untuk berdosa dan tidak bisa tidak berdosa. Ayub di sini mengakui bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Tuhan (ingat izin berbeda dengan penentuan). Jadi, perampokan terhadap Ayub diizinkan Tuhan. Dalam pengertian ini tidak salah Ayub berkata bahwa Tuhan yang mengambil.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Anda selalu menyimpangkan maksud saya. Di sini kita tidak berbicara soal penentuan dosa! Semua ini saya berikan untuk menunjukkan bahwa pada saat Tuhan menentukan dan melaksanakan rencanaNya, manusia melakukan dengan kemauannya sendiri, bukan karena dipaksa. Dan itu kami (Calvinist) anggap sebagai ‘bebas’.

Memang tak dikatakan Allah menentukan, tetapi:
·         dalam ayat-ayat lain dikatakan / Allah menentukan / menetapkan. Misalnya Luk 22:22  Kis 4:27-28 dan sebagainya.
·         bagaimana Ayub mengatakan ‘Tuhan yang mengambil’? Ini pasti menunjukkan adanya pekerjaan Allah yang menyebabkan perampok-perampok itu merampok milik Ayub. Dan Allah selalu bekerja untuk melaksanakan ketetapanNya! Kalau tidak, rencanaNya akan gagal, dan itu bertentangan dengan Ayub 42:2!

Anda mengatakan “Ayub di sini mengakui bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Tuhan (ingat izin berbeda dengan penentuan). Jadi, perampokan terhadap Ayub diizinkan Tuhan”.
Tolong tanya, Liauw, dari mana kata ‘ijin’ itu? Dalam text itu tak ada sama sekali!


Anda mengatakan “Saya sampai sekarang tidak habis pikir bagaimana orang yang mengaku Kristen bisa percaya bahwa Allah menentukan manusia untuk berdosa dan tidak bisa tidak berdosa”?
Sama, Liauw. Saya juga tak habis pikir bagaimana seseorang bisa menamakan diri Kristen, apalagi pendeta / doktor theologia, tetapi tidak bisa / tidak mau menerima ajaran yang dasar Alkitabnya luar biasa banyak, dan tak bisa dia jawab!

Yes 10:5-7 - Asyur adalah alat Tuhan untuk menghukum Israel, tetapi Asyur melakukan sendiri dengan motivasi yang lain.
Yes 10:5-7 - “(5) Celakalah Asyur, yang menjadi cambuk murkaKu dan yang menjadi tongkat amarahKu! (6) Aku akan menyuruhnya terhadap bangsa yang murtad, dan Aku akan memerintahkannya melawan umat sasaran murkaKu, untuk melakukan perampasan dan penjarahan, dan untuk menginjak-injak mereka seperti lumpur di jalan. (7) Tetapi dia sendiri tidak demikian maksudnya dan tidak demikian rancangan hatinya, melainkan niat hatinya ialah hendak memunahkan dan hendak melenyapkan tidak sedikit bangsa-bangsa”.
Catatan: yang saya beri garis bawah tunggal menunjukkan rencana Allah, yang saya beri garis bawah ganda menunjukkan bahwa mereka melaksanakan rencana Tuhan itu, tetapi dengan kehendak / motivasi mereka sendiri.

Benar sekali! Justru perikop ini jauh lebih cocok dengan model yang saya sampaikan: hikmat Allah dan kemahatahuan Allah memastikan bahwa tindakan-tindakan bebas manusia membawa efek yang Tuhan rencanakan. Tindakan manusia itu sendiri tidak ditentukan dan bebas, dan seringkali dalam rangka menentang Tuhan bahkan. Tetapi hikmat Allah dapat memutarbalikkan rencana jahat manusia menjadi kebakikan. Jadi karena ayat ini dapat masuk dengan manis ke dalam model yang saya sampaikan, tidak bisa dijadikan bukti Kalvinisme.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Debat dengan orang bodoh memang menjengkelkan, karena selalu tidak nyambung! Ingat, Liauw, apa yang sedang kita bicarakan di sini, dan jangan ngelantur! Kita di sini sedang membicarakan bahwa pada saat Allah menentukan, manusia pasti melakukannya, tetapi ia melakukan dengan kemauannya sendiri.
Bahwa Asyur disebut ‘cambuk murka’ Allah dan ‘tongkat amarah’ Allah, dan bahwa ‘Aku akan menyuruhnya / memerintahkannya’, menunjukkan bahwa Tuhan memang punya rencana untuk memakai mereka untuk menghajar bangsa Israel. Dan tidak bisa tidak, mereka memang melaksanakan ketetapan Allah itu, tetapi ternyata mereka punya rencana dan motivasi sendiri (ay 7 - ‘dia sendiri tidak demikian maksudnya, dst’), dan karena itu mereka disalahkan, dan akhirnya dihajar (ay 12-dst)!
Jadi, ayat ini justru cocok untuk Calvinisme!

Cocok / masuk dengan manis ke dalam pandangan anda? Anda mengatakan: “hikmat Allah dan kemahatahuan Allah memastikan bahwa tindakan-tindakan bebas manusia membawa efek yang Tuhan rencanakan. Tindakan manusia itu sendiri tidak ditentukan dan bebas, dan seringkali dalam rangka menentang Tuhan bahkan”.
Coba tunjukkan di bagian mana dari text itu terlihat kalau tindakan mereka bebas dan tidak ditentukan??? Jangan asal bicara!
Dan bagaimana anda menafsirkan kalau Tuhan menyuruh / memerintahkan mereka?

Sebaliknya, saya ingin bertanya kepada Kalvinis: bukankah (dalam ajaran Kalvinis) motivasi Asyur juga ditentukan oleh Tuhan? Kenapa tidak Tuhan berikan kepada Asyur motivasi yang benar? Jadi Tuhan mau pakai Asyur untuk hukum Israel, tetapi menentukan bagi mereka motivasi yang salah, lalu menyalahkan Asyur pula karena memiliki motivasi yang salah yang toh Tuhan tentukan bagi mereka! Betapa absurd!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Eh, mau ngatur Tuhan, Liauw? Absurd? Ini jawaban dari Paulus untuk orang-orang seperti anda, Liauw!
Ro 9:19-21 - “(19) Sekarang kamu akan berkata kepadaku: ‘Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkanNya? Sebab siapa yang menentang kehendakNya?’ (20) Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau membentuk aku demikian?’ (21) Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?”.
Protes seperti yang anda lakukan (bdk. ay 19), sudah dianitisipasi oleh Paulus, Liauw! Dan dari ay 20-21 terlihat bahwa ia mengecam orang yang dalam ay 19 itu mempertanyakan mengapa kalau Tuhan sudah menentukan, kok manusia harus bertanggung jawab pada waktu berbuat dosa.
Tetapi beberapa penafsir, termasuk Martin Luther, secara tepat mengatakan bahwa yang disalahkan adalah kalau manusia dengan sikap sombong, jahat, marah, bersungut-sungut mencoba membantah Allah dengan pertanyaan seperti ini. Ini terlihat dari kata ‘membantah’ dalam Ro 9:20, yang jelas menunjukkan sikap yang tidak benar dalam menanyakan pertanyaan ini. Dan saya percaya dalam sikap anda yang mengatakan ‘absurd’, anda termasuk golongan ini, Liauw!

Anda mengatakan Firman Tuhan ini absurd! Bertobatlah, Liauw! Logika anda yang tidak absurd?? Bahkan bijaksana? Alangkah kurang ajarnya pendeta yang tak pernah baca Alkitab ini, sampai-sampai berani mengatakan kata-kata Paulus sebagai ‘absurd’!

Betapa tidak masuk akal dan tidak masuk hati nurani! Kalau perikop ini bisa cocok dengan model saya, yang tidak menimbulkan masalah bagi karakter Tuhan, kenapa harus tetap pada model yang disuguhkan Kalvinisme yang menimbulkan masalah bagi karakter Tuhan?

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Lebih percaya pada akal / hati nurani manusia yang penuh dosa, atau pada Firman Tuhan, Liauw? Coba jelaskan Ro 9:19-21 itu dengan akalmu yang bodoh itu, Liauw!
Text itu tak menimbulkan masalah bagi karakter Tuhan dalam model anda? Saya sama sekali tak percaya. Masalahnya adalah: Allahnya jadi tidak berdaulat. Dan itu bagi kami merupakan masalah sangat besar, karena Allah yang tidak berdaulat bukanlah Allah!!
Tak ada masalah dengan karakter Tuhan dalam model kami. Cocok dengan kedaulatan mutlak dari Allah, dan kalau dihubungkan dengan kesucian Allah, saya tetap menganggap cocok.
Allah hanya menentukan dosa, bukan melakukan dosa. Kalau melakukan dosa, ya memang tak cocok. Allah merencanakan dosa, tetapi dalam terjadinya, Ia hanya bertindak pasif (menarik kasih karuniaNya, mengijinkan setan dan manusia untuk menggoda orang itu) sehingga dosa yang ditetapkan pasti terjadi!


Mau tahu definisi bebas yang benar dari Alkitab? Coba perhatikan satu contoh saja: Kisah Para Rasul 5:3-4. Tetapi Petrus berkata: "Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus dan menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu? 4 Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu? Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu dalam hatimu? Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah."
Ada beberapa poin:
  1. Petrus menghardik Ananias karena telah mendustai Roh Kudus, berbohong soal jumlah uang yang ia terima dari hasil penjualan tanahnya 
  2. Argumen Petrus adalah: Ananias tidak perlu berbohong, karena sebenarnya tidak ada pemaksaan terhadap dia untuk menjual rumahnya, atau keharusan bagi dia untuk mempersembahkan seluruh hasil penjualan. Artinya, Ananias sebagai tuan tanah punya kebebasan. 
  3. Dalam argumen ini, Petrus secara tidak langsung membeberkan inti dari kebebasan, yaitu bebas untuk memilih alternatif. Ananias bisa memilih untuk menjual tanah, bisa juga memilih untuk tidak menjual tanah. Setelah dijualpun, Ananias bisa memilih untuk mempersembahkan semua, bisa juga memilih untuk tidak mempersembahkan semua, tidak perlu berbohong. Jadi, ini cocok dengan definisi “bebas” yang memang dianut oleh non-Kalvinis: adanya alternatif yang riil. 
  4. Kalvinis tidak bisa mengelak dengan mengatakan bahwa Petrus hanya berbicara dari sudut pandang manusia. Karena tidak peduli sudut pandang apapun, yang penting adalah kenyataannya. Pada kenyataannya,apakah Ananias memiliki alternatif selain dari yang dia lakukan? Menurut Kalvinisme tidak ada, sedangkan menurut Petrus ada. Saya lebih percaya Petrus, bagaimana dengan anda? 
  5. Kalau Ananias sebenarnya tidak punya alternatif, adalah suatu kesalahan bagi Petrus untuk memarahi dia seolah-olah dia punya alternatif. Juga kembali ada masalah dilema moral bagi Allah, yang menentukan Ananias untuk berbohong, lalu marah ketika Ananias benar-benar melakukan ketetapan Allah untuk berbohong.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Saya lihat bahwa anda sebetulnya sudah tahu jawabannya tetapi anda mengeraskan hati seperti Firaun dengan tetap menolak jawaban yang benar itu. Jawaban yang benar sudah anda berikan dalam point no 4. Ini memang cerita yang diceritakan dari sudut pandang manusia. Dari sudut pandang manusia yang tidak maha tahu, kelihatannya Ananias bisa menjual atau tidak menjual, bisa memberikan semua atau menahan sebagian, atau tidak memberi semuanya. Bisa jujur atau berdusta. Tetapi dari sudut pandang Allah tidak demikian, karena semua sudah ditentukan. Dia hanya melakukan apa yang telah Allah tentukan untuk dia lakukan!
Kata-kata anda pada no 4 menunjukkan kebodohan anda. Untuk menunjukkannya saya akan kutip ulang kata-kata anda di sini.
4. Kalvinis tidak bisa mengelak dengan mengatakan bahwa Petrus hanya berbicara dari sudut pandang manusia. Karena tidak peduli sudut pandang apapun, yang penting adalah kenyataannya. Pada kenyataannya, apakah Ananias memiliki alternatif selain dari yang dia lakukan? Menurut Kalvinisme tidak ada, sedangkan menurut Petrus ada. Saya lebih percaya Petrus, bagaimana dengan anda?”.

Enak saja ngomong ‘tak peduli sudut pandang apapun? Ini omongan apa? Tolol bukan main. Segala sesuatu dilihat dari sudut pandang yang berbeda tentu menghasilkan pandangan yang berbeda. Sebagai contoh: ada banyak ayat Alkitab (tak perlu saya berikan, saya yakin anda tahu ayat-ayatnya), yang mengatakan ‘Allah menyesal’. Tetapi sebaliknya, ada banyak juga yang mengatakan ‘Allah tidak menyesal, karena Ia bukan manusia yang harus menyesal’. Bagaimana anda mengharmoniskan ayat-ayat ini, Liauw? Kalau saya / Calvinist mengharmoniskan dengan cara menafsirkan bahwa yang pertama menunjukkan hal itu dari sudut pandang manusia, sedangkan yang kedua dari sudut pandang Tuhan.
Tentang percaya Petrus atau tidak, itu tergantung Petrusnya bicara apa. Ada banyak saat dimana Petrus bicara ngawur dan bodoh. Apakah anda percaya Petrus dalam hal itu juga? Dalam kasus ini Petrus tidak salah, tetapi ia bicara dari sudut pandang manusia! Saya percaya Petrus dalam hal ini? Ya, tetapi ia bicara dari sudut pandang manusia. Dan dalam hal inipun Calvinisme percaya pada Petrus, tetapi juga menambahkan bahwa ia bicara dari sudut pandang manusia.
Tetapi kalau ditafsirkan bahwa Petrus memang memaksudkan (dari sudut pandang Allah) bahwa Ananias saat itu memang bisa memilih (seperti arti memilih dalam pandangan Arminianisme, maka saya tak percaya sama sekali teori tolol itu.

Sekarang saya bahas kata-kata anda pada no 5.
5. Kalau Ananias sebenarnya tidak punya alternatif, adalah suatu kesalahan bagi Petrus untuk memarahi dia seolah-olah dia punya alternatif. Juga kembali ada masalah dilema moral bagi Allah, yang menentukan Ananias untuk berbohong, lalu marah ketika Ananias benar-benar melakukan ketetapan Allah untuk berbohong”.

Berani sekali anda menyalahkan Petrus, padahal dia berbicara sesuai dengan kata-kata Paulus / Firman Tuhan dalam Ro 9:19-21, yang baru saya bahas di atas! Semua penjelasan saya tentang Ro 9:19-21 sudah menjawab semua keberatan anda pada no 5 ini.
Petrus tak salah, karena seperti diajarkan oleh Calvinisme, sekalipun seseorang ditentukan, dan tak bisa tidak pasti akan melakukan dosa itu, ia tetap dianggap berdosa.
Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.

Dalam Kis 5 itu tak ada kata-kata explicit bahwa Ananias mempunyai kebebasan, tetapi dalam Luk 22:22 ini ada kata-kata explicit ‘ditetapkan’ yang menunjukkan bahwa itu adalah penentuan Allah, dan pasti akan terjadi (bdk. Ayub 42:2). Tetapi di sini Yudas Iskariot tetap dipersalahkan, dan dikatakan ‘celakalah ...dst’. Dan yang mengucapkan kata-kata ini adalah Yesus, Liauw! Yesus memberikan dilema moral bagi Allah, Liauw?


B. Manusia Tidak Bertanggung Jawab Atas Tindakannya
Jika Allah telah menetapkan segala sesuatu, termasuk tindakan dan pikiran makhluk-makhluk ciptaanNya, dan makhluk-makhluk itu tidak dapat melakukan selain yang ditetapkan Allah, maka makhluk-makhluk itu tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka. Ini sebenarnya adalah konsekuensi yang mudah dimengerti dan mengalir secara logis dari konsekuensi yang pertama. Manusia yang telah ditentukan segala tindakan, pikiran, dan kemauannya, sejak kekekalan, adalah manusia yang tidak bebas dan bisa disamakan dengan robot. Manusia yang telah diprogram ini (telah didekritkan segala sesuatu tentang dirinya), dan yang tidak dapat bertindak selain sesuai programnya (dekrit), tentunya tidak bertanggung jawab atas isi “program” (dekrit) tersebut.

Tanggapan saya:
Lagi-lagi pakai logika, dan bukan hanya tak ada dasar Alkitabnya, tetapi bahkan bertentangan dengan Alkitab. Coba bandingkan kata-kata anda itu dengan ayat / text Alkitab di bawah ini, Liauw!
Ro 9:19-21 - “(19) Sekarang kamu akan berkata kepadaku: ‘Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkanNya? Sebab siapa yang menentang kehendakNya?’ (20) Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau membentuk aku demikian?’ (21) Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?”.
Text ini diberikan persis setelah Paulus mengarkan doktrin predestinasi (Ro 9:10-18). Paulus sudah memikirkan adanya orang-orang yang akan berpikir seperti anda, Liauw! Kalau Allah mem-predestinasi-kan orang-orang untuk selamat atau tidak selamat, dan itu pasti terjadi, mengapa orang yang tidak percaya lalu disalahkan? Dan karena itu,
Paulus memberikan Ro 9:19-21 itu! Ini Alkitab, Liauw!

Tanggapan:
Ya, saya sudah tahu anda suatu ketika pasti akan mengutip ayat ini, yang tentu saja dibaca dengan pengertian Kalvinistik.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Pengertian Calvinist? Coba berikan pengertian Arminianmu, Liauw! Kamu harus belajar Jiujitsu dulu untuk bisa memuntir ayat / text ini sehingga artinya tidak seperti yang saya berikan!


Yang jelas:
1. Anda tidak bisa menjawab logika saya, dan dengan demikian secara tidak langsung mengakui bahwa logika saya benar.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Saya menjawab logika anda dengan menggunakan Alkitab / Firman Tuhan. Mau percaya yang mana, para pembaca? Logika Liauw atau Firman Tuhan?
Logika / pikiran gunanya untuk mengerti Firman Tuhan, dan setelah itu, logika / pikiran harus tunduk pada Firman Tuhan. Kalau tidak mau, pikirkan ayat di bawah ini:
Amsal 3:5 - “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri”.
‘Menggunakan’ logika / pikiran berbeda dengan ‘bersandar’ pada logika / pikiran. Yang anda lakukan adalah yang kedua, yang dilarang oleh ayat ini!
Kalau anda mau bersandar pada logika, jawab pertanyaan saya ini, Liauw, dan jangan dihindari secara pengecut!
Apakah anda percaya doktrin Allah Tritunggal, bahwa Bapa itu Allah, Yesus itu Allah, dan Roh Kudus itu juga Allah, tetapi kita hanya punya satu Allah? Kalau ya, coba jelaskan itu dengan logika anda!
Apakah anda percaya Yesus adalah 100% Allah dan 100% manusia tetapi hanya satu pribadi? Kalau ya, coba jelaskan itu dengan logika anda!
Kalau dalam hal-hal ini logika boleh dikatakan tak digubris, karena Firman Tuhan jelas menyatakan hal-hal itu, lalu mengapa dalam kasus yang sedang kita bahas tidak boleh?

2. Hanya saja anda mencari pembenaran melalui penafsiran anda akan perikop Firman Tuhan tertentu.
Mengenai Roma 9, memang mengajarkan tentang election dan predestination, tetapi bukan dalam konsep Kalvinis. Saya juga percaya election dan predestinasi, tetapi bukan yang sama dengan yang Kalvinis percayai. Kalau kita menafsirkan Roma 9 sesuai dengan konteks, tanpa bias Kalvinis, dan dengan berpatokan pada bagian Firman Tuhan lainnya, maka perikop ini sama sekali tidak mengajarkan Unconditional Election/Unconditional Predestination.
Coba lihat konteksnya dari ayat 15: “Sebab Ia berfirman kepada Musa: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati."
Walaupun sering dipakai oleh Kalvinis untuk mendukung Unconditional Election, ayat ini sama sekali tidak mengajarkan demikian. Ayat ini mengajarkan bahwa Tuhanlah yang menentukan kriteria siapa yang akan mendapatkan belas kasihanNya. “Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati.” Amin!

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Kata ‘kriteria’ itu tak ada dalam text Ro 9, Liauw! Bahkan kebalikannya:
Ro 9:10-13 - “(10) Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. (11) Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, --supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya-- (12) dikatakan kepada Ribka: ‘Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda,’ (13) seperti ada tertulis: ‘Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau.’”.
Coba baca bagian-bagian yang saya garis-bawahi itu, Liauw. Kalau predestinasi memang dilakukan oleh Allah dengan menggantungkan pada apakah seseorang memenuhi kriteria atau tidak, lalu anda apakan bagian-bagian yang saya garis-bawahi itu?

Pertanyaannya: kepada siapakah Tuhan mau bermurah hati? Dari semua Firman Tuhan yang lain, jawabannya adalah: kepada orang yang percaya kepada Yesus Kristus.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Salah, Liauw! Terbalik! Karena Tuhan mau bermurah hati kepada seseorang, maka Ia lalu melahirbarukan orang itu dan memberinya iman. Iman adalah anugerah, Liauw! Ef 2:8-9  Fil 1:29. Lalu mengapa tak semua orang beriman? Karena tak semua dianugerahi. Mengapa tak semua dianugerahi? Karena ada predestinasi! Hanya orang pilihan yang dianugerahi!


16 Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah. Ayat ini mengajarkan bahwa kriteria ini berdasarkan kemurahan hati Allah, bukan karena manusia. Allah yang pegang kendali dan yang memutuskan kriteria keselamatan: iman kepada AnakNya.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Penafsiran yang seenak perutnya sendiri! Text ini tidak bicara tentang syarat keselamatan apakah itu perbuatan baik atau iman atau iman + perbuatan baik! Yang dibicarakan adalah pemilihan! Allah memilih Ishak, bukan Ismael (ay 6-9), lalu mem,ilih Yakub, bukan Esau (ay 10-13). Lalu muncul pertanyaan ‘apakah Allah tidak adil?’ (ay 14). Kalau ia bukan sedang mengajar predestinasi, pertanyaan ini tak akan muncul, Liauw!
Jadi, kemurahan hati yang dibicarakan dalam text ini adalah kemurahan hati yang muncul sebagai akibat dari predestinasi (orang pilihan diberi kemurahan hati). Demikian juga pengerasan hati yang dibicarakan dalam text ini adalah pengerasan hati yang muncul dari predestinasi (orang yang reprobate dikeraskan hatinya).
Coba tunjukkan dari textnya dimana ayat ini bicara tentang kriteria keselamatan??? Jawab ini, Liauw!


Bukan kehendak manusia yang menentukan kriteria ini. 17 Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi." 18 Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya.
Contoh kasus adalah Firaun, yang memilih untuk mengeraskan hatinya, dan tidak percaya kepada Tuhan. Akhirnya Tuhan mengeraskan hati Firaun juga. Tuhan tidak berbelas kasihan kepada Firaun karena Firaun tidak memenuhi kriteria yang Allah tetapkan, yaitu iman percaya. Melalui ketidakpercayaan Firaun ini, Tuhan memperlihatkan kuasaNya, dan namaNya menjadi masyhur.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Dalam text yang membuang perbuatan (ay 11), anda mengatakan bahwa Firaun yang memilih? Lucu sekali! Lalu mengapa Esau ditolak sebelum lahir, sebelum melakukan yang baik atau yang jahat. Jelas ia belum bisa mengeraskan hatinya, tetapi sudah ditolak! Tidak bisakah anda melihat bahwa anda sedang menafsirkan secara out of context. Rupanya anda sudah belajar jiujitsu sehingga mahir dalam puntir memuntir!
Perhatikan kata-kata anda yang saya garis-bawahi itu. Sama sekali tak cocok dengan bunyi ayatnya / kontextnya.
Ro 9:16-18 - “(16) Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah. (17) Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi." (18) Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendakiNya”.
Kalau Firaun dikeraskan karena ia mengeraskan hatinya, bukankah mengeraskan hati itu termasuk perbuatan, Liauw? Cocokkah ini dengan ay 16, pada bagian yang saya garis-bawahi itu?
Juga ay 17nya, menunjukkan kesengajaan Tuhan dalam membangkitkan (memunculkan dalam sejarah / di dunia) Firaun. Dan tujuannya supaya dengan kekerasan hatinya, yang memang sudah ditentukan Allah dengan predestinasiNya, ia mengundang hukuman Tuhan (10 tulah, penenggelaman Mesir di Laut Teberau), yang akan memuliakan Tuhan.
Jelas ada rencana Allah di sini, dan kalau semua itu tergantung apakah Firaun mau percaya atau mengeraskan hati, maka itu membuat rencana Allah tergantung manusia! Allah tergantung manusia?????? Lucu sekali! Yang maha kuasa dan maha besar tergantung kepada yang lemah, hina, dan berdosa?????

19 Sekarang kamu akan berkata kepadaku: "Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?"
Ayat ini mengantisipasi orang-orang yang akan berargumen, bahwa jika ketidakpercayaan Firaun membawa kemasyhuran bagi Allah mengapa Allah masih mempersalahkan Firaun? Ini mirip dengan argumen di Roma 3:7. Lebih lanjut lagi, ada orang yang berargumen, bahwa kalau Allah sudah tahu bahwa Firaun akan tidak beriman dan akan binasa, mengapa masih diciptakan?

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Mempraktekkan jiujitsu lagi, Liauw??? Kalau seperti anda katakan “Ayat ini mengantisipasi orang-orang yang akan berargumen, bahwa jika ketidakpercayaan Firaun membawa kemasyhuran bagi Allah mengapa Allah masih mempersalahkan Firaun?”, maka saya bertanya, apa gunanya potongan kalimat Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya? (ay 19b)? Bagian ini dalam terjemahan NIV/NASB diterjemahkan: ‘For who resists his will?’ (= Karena siapa yang menahan kehendakNya?). Bagaimana bagian ini bisa sesuai dengan tafsiran anda?

Adanya potongan ini mengharuskan kita untuk menafsirkan ay 19 ini sebagai antisipasi Paulus terhadap orang-orang yang mengatakan: “Mengapa orang yang berbuat dosa atau tidak percaya kepada Kristus masih disalahkan? Bukankah itu sudah kehendak / rencana Allah? Bukankah tidak bisa tidak orang-orang akan melakukan sesuai dengan kehendak / rencana Allah itu?”.

Ro 3:7 berbunyi: “Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaanNya, mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?”.

Ini jelas sangat berbeda, karena potongan kalimat seperti dalam ay 19b tidak ada di sini!!!

Juga tafsiran anda itu tidak akan cocok dengan ay 20-21.

20 Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?" 21 Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?”
Tuhan menjawab bahwa adalah hak prerogatifNya untuk menciptakan, walaupun Dia sudah tahu bahwa sebagian ciptaanNya akan binasa. Dari ayat-ayat ini, sebagaimana saya tunjukkan di atas, tidak perlu dibaca ke dalamnya tentang Unconditional Election, dan bahwa Allah sudah menetapkan segala tindakan manusia. Itu bertentangan dengan banyak sekali Firman Tuhan yang lain.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Ayatnya berkata bahwa penjunan / tukang periuk itu ‘membuat’ / ‘membentuk’ menjadi bejana yang jelek, bukannya ‘tahu kalau buatannya akan jadi jelek’! Tetapi anda lagi-lagi menggunakan jiujitsu anda untuk memuntirnya dan menafsirkannya seakan-akan itu berbicara tentang pra pengetahuan Allah saja.

Dan kalau mau menggunakan tafsiran anda, anda akan masuk ke dalam suatu kontradiksi, karena anda tak akan bisa mengharmoniskan antara ‘kasih Allah’ dan ‘tahu kalau ciptaanNya akan masuk neraka, tetapi tetap menciptakannya’! Seandainya anda tahu bahwa kalau anda punya anak, anak itu akan masuk neraka, apakah anda tetap membuat anak, Liauw?

Dan bagaimana seluruh penafsiran anda tentang Ro 9 ini bisa cocok dengan ay 14: “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil!”.
Pertanyaan ‘Apakah Allah tidak adil?’ hanya sesuai dengan penafsiran Calvinisme, karena doktrin ‘Unconditional Election’ (= Pemilihan yang tidak bersyarat) / predestinasi memang selalu menimbulkan pemikiran bahwa Allah itu tidak adil.
Tetapi sebetulnya tidak ada ketidak-adilan dalam hal itu. Allah berhak melakukan itu (ay 16,18,20-21).

Sebenarnya manusia mengerti akan hal ini dengan amat jelas. Bahkan Kalvinis pun mengerti akan hal ini jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada seorang Kalvinispun yang akan menyalahkan gerbong kereta api ketika kereta api menabrak orang. Kereta api itu hanya dapat berjalan di rel yang dibuat untuknya. Ia tidak dapat menyimpang ke kiri atau ke kanan. Walaupun gerbong kereta api itulah yang bergerak sepanjang rel, dan walaupun gerbong kereta api itulah yang menabrak, tetapi ia sama sekali tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi. Semuanya sudah ditentukan oleh oknum lain di luar dirinya. Oleh karena itu, Kalvinis yang se-Hyper apapun, tidak akan menuntut gerbong kereta api ke pengadilan. Jika ada pihak yang harus dituntut, maka itu adalah orang yang mengendalikan kereta itu, yang memilihkan rel baginya, dan yang mengatur kecepatannya. Ini membawa kita kepada konsekuensi yang ketiga.

Tanggapan saya:
Gerbong memang tak salah, karena ia benda mati yang tak punya kemauan. Tetapi masinisnya mungkin salah. Kami tak pernah menyamakan manusia dengan gerbong, yang adalah benda mati, tanpa kemauan. Anda yang melakukan itu, lalu menyerang kami seolah-olah kami setuju dengan penyamaan itu!

Tanggapan:
Ah, anda lupa bahwa ada kesamaan antara gerbong dengan “manusia” dalam konsep Kalvinis: sama-sama hanya dapat berjalan di rel yang sudah ditentukan. Anda mau menyangkal? Jelas ada banyak perbedaan antara gerbong dan manusia, tetapi dalam suatu perumpamaan, hanya ada satu aspek yang mau diperbandingkan. Dalam hal ini, saya sengaja memperbandingkan ada atau tidak adanya pilihan/alternatif. Bukankah menurut Kalvinis manusia tidak memiliki pilihan lain selain melakukan yang Tuhan dekritkan? Apakah ini pernyataan yang salah? Dan bukankah gerbong juga tidak memiliki pilihan lain selain berjalan di rel yang sudah ditentukan baginya? Jadi, dalam hal ini, “manusia versi Kalvinis” (ingat, saya tidak setuju dengan pandangan tentang manusia seperti ini) bisa disamakan dengan gerbong kereta, yang berdampak kepada ada atau tidaknya tanggung jawab atas “tabrakan” yang terjadi. Sekali lagi saya tekankan, masalah “kemauan” menjadi tidak penting karena tidak ada pilihan. Biarpun manusia itu melakukan dengan “senang,” tetapi tetap dia tidak bisa melakuan sebaliknya. Berarti dia tidak punya pilihan. Berarti unsur tanggung jawabnya tidak ada. Dan kita bertanya lagi, siapakah yang menentukan bahwa manusia itu akan senang berdosa? Bukankah Tuhan menentukan segala sesuatu? Ya, menurut Kalvinis.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Lucu sekali. Memang dalam suatu perumpamaan hanya satu atau dua (tidak semua) hal yang diperbandingkan. Tetapi kita sedang membahas suatu ajaran, yaitu ajaran Calvinist tentang predestinasi / penentuan dosa dan sebagainya. Menggunakan suatu ilustrasi yang hanya cocok sebagian, merupakan tindakan gila yang sangat tidak masuk akal. Kalau cocok sebagian, maka sebagian yang lain tidak cocok. Dan karena tidak cocok, tidak boleh digunakan dalam membahas dan menjelaskan suatu ajaran.
Anda senang dan bersemangat sekali kalau menggunakan ilustrasi / perumpamaan yang anda buat sendiri, Liauw! Mengapa? Karena bisa anda puntir dan arahkan kemana saja anda kehendaki??? Tetapi coba pakai Alkitab, kalau anda memang Alkitabiah!
Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.
Yang saya beri garis bawah tunggal menunjukkan penentuan / ketetapan Allah, yang pasti akan terjadi. Jadi, tidak bisa tidak, Yudas Iskariot akan mengkhianati Yesus. Tetapi yang saya beri garis bawah ganda menunjukkan bahwa ia dianggap bertanggung jawab oleh Yesus / Allah, karena kalau tidak, tidak akan muncul kata ‘celakalah’ itu!

Mau percaya ilustrasi / perumpamaan konyol anda sendiri, atau percaya Alkitab / Firman Tuhan, Liauw??????


Perhatikan kata-kata anda yang saya beri warna merah. Orang yang hyper-Calvinist justru memang tidak akan menyalahkan manusia pada waktu manusia itu berbuat dosa. Tetapi seorang Calvinist yang murni pasti akan menyalahkan orang itu, sekalipun orang itu melakukan dosa sesuai dengan ketentuan Allah. Mau dasar Alkitab, Liauw? Selain Ro 9:19-21 tadi, ada banyak ayat-ayat lain.

Tanggapan:
Justru itulah, kita bisa melihat bahwa yang anda tuduh hyper-Calvinist adalah seseorang yang dengan konsisten menerapkan Kalvinisme.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Memang sudah saya berikan kutipan dari Palmer yang mengatakan bahwa Arminianisme dan Hyper-Calvinisme memang mempunyai cara berpikir yang sama. Tak heran anda anggap Hyper-Calvinisme sebagai konsisten.
Hyper-Calvinist konsisten tetapi menjadi tidak Alkitabiah! Demikian juga dengan Arminianisme! Calvinisme, mau disebut tidak konsisten atau apapun, tetapi Alkitabiah!
Saya mau tanya: anda lebih peduli dengan ‘kekonsistenan / logika’ atau dengan ‘Alkitab / Firman Tuhan’?

Dan kalau anda katakan Calvinisme tidak konsisten, jangan lupa bahwa Arminianisme juga mempunyai banyak ketidak-konsistenan, seperti:
¨       percaya Allah kasih, tetapi percaya juga bahwa Allah tetap menciptakan orang-orang yang Ia tahu akan masuk neraka.
¨       percaya Allah suci, tetapi percaya juga Allah mengijinkan dosa masuk ke dalam dunia sehingga dunia menjadi begitu bejat.


Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.
Yudas Iskariot ditentukan untuk mengkhianati Yesus, tetapi pada waktu ia melakukan hal itu, ia dipersalahkan. Ini terlihat dari kata ‘celakalah’ yang Yesus ucapkan!
Mengomentari Luk 22:22 Spurgeon berkata: “The decree of God does not lessen the responsibility of man for his action. Even though it is predetermined of God, the man does it of his own free will, and on him falls the full guilt of it” (= Ketetapan Allah tidak mengurangi tanggung jawab manusia untuk tindakannya. Sekalipun hal itu sudah ditentukan lebih dulu oleh Allah, manusia melakukannya dengan kehendak bebasnya sendiri, dan pada dialah jatuh kesalahan sepenuhnya) - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 12, hal 18.

Tanggapan:
Teks yang anda kutip berkata bahwa kematian/pengkhianatan Yesus telah ditetapkan oleh Tuhan, tetapi teks TIDAK MENGATAKAN bahwa Yudas ditentukan untuk mengkhianati Yesus atau bahwa orang Yahudi & Romawi ditentukan untuk menyalibkan Yesus. Ada perbedaan antara kedua posisi ini!
Saya sangat setuju kalau dikatakan bahwa “kematian Yesus” telah ditetapkan oleh Allah. Ini adalah kata-kata persis dari teks Alkitab. Saya juga sangat setuju kalau dikatakan bahwa “pengkhianatan terhadap Yesus” telah Allah tetapkan, ini adalah kata-kata persis dari teks. Tetapi saya TIDAK SETUJU kalau dikatakan Allah menentukan Yudas untuk mengkhianati Yesus. Itu bukan kata-kata persis dari teks.
1. ALKITABIAH: Allah telah menentukan Yesus UNTUK DIKHIANATI DAN MATI DISALIBKAN (ini kata-kata persis Alkitab.
2. KALVINIS: Allah telah menentukan YUDAS UNTUK MENGKHIANATI YESUS DAN MENENTUKAN ORANG-ORANG YAHUDI UNTUK MENYALIBKAN YESUS (tidak ada ayat yang mengatakan ini).

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Jangan ngawur saja kalau bicara. Mau lihat Alkitab? Ayo lihat Alkitab. Jangan hanya Luk 22:22, tetapi mari kita baca mulai ay 21nya.
Luk 22:21-22 - “(21) Tetapi, lihat, tangan orang yang menyerahkan Aku, ada bersama dengan Aku di meja ini. (22) Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.
Ay 21 jelas bicara tentang Yudas Iskariot. Yesus memang sengaja tak mau menyebut namanya karena kalau disebutkan, murid-murid yang lain pasti akan membunuh Yudas Iskariot. Tetapi tanpa disebut namapun, bagi kita akan terlihat bahwa Yudas Iskariot yang dibicarakan. Kalau ay 21 membicarakan Yudas Iskariot, bisakah ay 22 tidak membicarakan dia? Lucu luar biasa! Anda bukan hanya mahir jiujitsu, tetapi juga cocok jadi pelawak, bukan pendeta!
Kalau ay 22 bicara tentang Yudas Iskariot, maka kata ‘ditetapkan’ jelas juga harus dihubungkan dengan Yudas Iskariot! Kalau masih kurang jelas lihat ayat paralelnya dalam Mat 26:23-24, yang juga menunjukkan secara kelewat jelas bahwa yang sedang dibicarakan adalah Yudas Iskariot!
Jadi adalah omong kosong kalau Allah hanya menetapkan Yesus dikhianati tetapi tak menetapkan Yudas Iskariot sebagai pengkhianatnya.

Disamping, kalau anda percaya Allah menetapkan ‘seseorang’ sebagai pengkhianat, berarti anda percaya Allah menetapkan dosa, bukan? Padahal di atas anda menyerang habis-habisan ajaran yang mengatakan Allah yang kudus menentukan dosa. Manusianya ditentukan atau tidak tak terlalu membuat perbedaan. Yang jelas dari sini anda percaya bahwa Allah menentukan terjadinya dosa! Kata-kata anda jadi boomerang, Liauw?

Kalvinis akan berkata bahwa kedua pernyataan di atas sama saja, dan mereka ayat yang mengatakan (1) untuk mengambil kesimpulan (2). Tetapi sebenarnya kedua pernyataan ini tidak sama, dan memperhatikan detil sangatlah penting dalam kasus ini. Allah memang telah menetapkan KEMATIAN YESUS DAN CARA KEMATIANNYA. Misalnya, dengan mengontrol timing kedatangan Yesus ke dunia, yaitu saat Romawi berkuasa, sehingga Yesus disalib, bukan ditembak mati, atau di-kursi listrik-kan. Juga, sebelum waktunya, Yesus selalu berhasil lolos dari orangorang yang mencoba menangkapNya. Bisa saja pada malam penangkapan Yesus menyembunyikan diri, tetapi Yesus sengaja ke taman Getsemani yang dikenal baik oleh Yudas. Jadi jelas, Allah tidak pasif, melainkan aktif menentukan kematian Yesus Kristus dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, misalnya pengkhianatan yang terjadi atasNya. Ini cocok dengan pernyataan Alkitab bahwa kematian Yesus dan juga pengkhianatan atas Yesus sudah Tuhan tentukan. Tetapi Allah tidak menentukan tindakan orang-orang yang terlibat! Para imam kepala punya pilihan yang riil, mereka bisa menerima Yesus atau menolak Yesus! Hal ini tidak Tuhan tentukan. Yudas punya pilihan yang riil, dia bisa mengkhianati Yesus, dia bisa juga tidak mengkhianati Yesus. Hal ini tidak Tuhan tentukan, dan Alkitab tidak pernah menyatakan bahwa pilihan Yudas ditentukan oleh Allah. Tuhan tahu kecenderungan hati Yudas, Tuhan tahu segala situasi kondisi yang akan muncul, Tuhan tahu pilihan apa yang akan Yudas ambil, Tuhan tahu bahwa imam-imam akan menawarkan Yudas 30 keping perak. Berdasarkan segala informasi yang Tuhan ketahui melalui kemahatahuanNya, Tuhan menentukan/memutuskan bahwa: Ya, Yesus akan dikhianati oleh Yudas Iskariot. Tuhan bisa saja menentukan bahwa Dia tidak akan berhasil dikhianati, tetapi dalam hikmatNya, Allah menentukan bahwa Yesus akan dikhianati.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Wow, sekarang anda percaya Allah menentukan Yudas Iskariot untuk mengkhianati Yesus. Tadi anda bilang itu tidak Alkitabiah! Anda punya logika yang sangat hebat, Doktor Liauw!!!!

Penentuan Tuhan ini tidak berarti pilihan Yudas sendiri ditentukan oleh Tuhan.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Terus terang, saya rasa saya ‘terlalu bodoh’ untuk mengerti kata-kata anda ini! Betul-betul luar biasa!!!! Hehehe. Jangan sampai tulisan ini dibaca orang banyak, Liauw, nanti semua orang bilang anda gila / tidak waras!

Perbedaan ini sangat penting untuk dipahami. Inilah yang masih memungkinkan adanya kehendak bebas bagi manusia (kehendak bebas yang sejati, bukan versi Kalvinis)! Inilah yang membuat Yudas Iskariot tetap bertanggung jawab! Karena bias Kalvinisme, para Kalvinis membaca Lukas 22:22 dan berkata bahwa: “Lihat, walaupun Allah menentukan tindakan Yudas, tetapi dia tetap bertanggung jawab.” Banyak orang membaca Alkitab tanpa bias Kalvinisme. Mereka bisa melihat bahwa Lukas 22:22 tidak mengatakan bahwa pilihan Yudas ditentukan oleh Allah (ini adalah oxymoron karena kalau pilihan Yudas ditentukan Allah, maka itu bukan pilihan Yudas lagi, melainkan pilihan Allah bagi Yudas). Justru klausa selanjutnya yang berbunyi: “celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan” membuktikan bahwa pilihan Yudas tidak ditentukan (oleh karena itu ada tanggung jawab pribadi), dan bahwa Yudas benar-benar bisa memilih untuk melakukan hal yang lain.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Hmm, pakai istilah yang saya saja tak mengerti, jangan lagi pembaca yang adalah orang awam. Saya perlu lihat kamus Webster yang mengatakan bahwa oxymoron adalah: “a figure of speech in which opposite or contradictory ideas or terms are combined (e.g., thunderous silence, sweet sorrow)” [= suatu kiasan dalam mana gagasan-gagasan atau istilah-istilah yang berlawanan atau bertentangan dikombinasikan / digabungkan (contoh: ketenangan yang seperti petir, kesedihan yang manis)].

Hebat sekali, jelas ada kata ‘dtetapkan’ dalam ay 22, dan dari ay 21 terlihat jelas kalau ay 22 membicarakan Yudas Iskariot, tetapi anda bisa tetap menyimpulkan ‘secara brilian’ bahwa Allah tidak menetapkan tindakan Yudas Iskariot dalam mengkhianati Yesus. Menurut saya, ini bukan oxymoron, tetapi moron (= dungu / tolol)!


Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
Apakah Herodes, Pontius Pilatus, tokoh-tokoh Yahudi, orang-orang Romawi, dsb tidak disalahkan? Sudah jelas ya!
Sekali lagi, yang Allah tentukan adalah kematian Yesus Kristus, dan detil-detil mengenai kematiannya. Orang-orang pada waktu itu bisa memilih untuk menggenapi nubuat secara negatif (menyalibkan Yesus), atau menggenapi nubuat secara positif (sebagai bagian dari murid Yesus). Fakta bahwa mereka dipersalahkan justru membuktikan bahwa pilihan-pilihan mereka tidak ditentukan Tuhan.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Kalau tadi, dalam Luk 22:22, biarpun dari ay 21 terlihat jelas bahwa Yudas Iskariot yang dimaksudkan, tetapi nama Yudas Iskariot tidak disebutkan secara explicit. Sekarang, dalam Kis 4:27-28 nama-nama Herodes, Pontius Pilatus disebutkan secara explicit, tetapi anda bisa tetap mengatakan bahwa mereka tidak ditetapkan untuk membunuh Yesus? Saya tak usah banyak bicara selain kata-kata ini: “Liauw, anda bersikap sangat kurang ajar terhadap Firman Tuhan, jangan main-main!”.


Mat 18:7 - “Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya!”.
Harus ada, berarti sudah ditentukan. Tetapi celakalah mereka. Ini menunjukkan mereka tetap dipersalahkan.

Justru ayat ini menegaskan bahwa pilihan untuk melakukan penyesatan tidak pernah Tuhan tentukan bagi seseorang. Itu pilihannya sendiri. Oleh karena itulah dia dituntut tanggung jawab. Bayangkan jika Allah menentukan Pdt. Asali untuk menyesatkan orang, lalu Tuhan tuntut pula tanggung jawab dari dirinya. Apa anda mau? Kalau sudah Tuhan tentukan, dan orang itu tidak punya pilihan lain, maka tanggung jawab lepas dari dirinya. Bahwa penyesatan harus ada, itu adalah pernyataan Tuhan berdasarkan kemahatahuanNya! Dia sudah tahu akan ada banyak orang yang akan melakukan penyesatan.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Bukan persoalan mau atau tidak mau. Tetapi Tuhan tentukan orang menyesatkan, dan lalu terjadi hal itu, tetapi Tuhan tetap tuntut tanggung jawabnya. Dalam realita, bukan Budi Asali, tetapi andalah, Liauw, yang ditetapkan Tuhan untuk melakukan penyesatan. Anda melakukannya dengan kemauan anda sendiri, bahkan dengan bersemangat melakukannya, sekalipun mungkin hati nurani anda, kalau itu masih ada, sudah memperingati anda. Tetapi Allah tetap akan meminta pertanggungan jawab dari anda!

Kalau mempersoalkan mau atau tidak mau, saya tanya: Allah menentukan orang berdosa yang tak punya Yesus sebagai Juruselamat akan masuk neraka. Kalau anda orang berdosa yang tak punya Juruselamat, lalu waktu Allah akan memasukkan anda ke neraka apakah anda mau? Tentu tidak. Tetapi mau atau tidak mau, anda akan masuk ke sana!

Jadi, sekali lagi, ini bukan soal mau atau tidak mau. Ini soal kebenaran, Liauw! Pertanyaan anda anda gunakan sebagai argumentasi? Lucu sekali, Liauw!


Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kata-kata ‘menurut maksud dan rencanaNya’ menunjukkan ketetapan Allah, sedangkan kata ‘durhaka’ menunjukkan bahwa mereka dipersalahkan.

Saya tidak perlu ulang lagi, maksud dan rencana Tuhan tidak berarti Tuhan menentukan tindakan manusia. Tuhan menentukan kematian Yesus Kristus. Berdasarkan kemahatahuanNya, Dia tahu manusia-manusia yang akan memilih dengan bebas (tanpa ditentukan) hal-hal tertentu, dan Dia merancang kematian Yesus berdasarkan hikmat dan pengetahuanNya.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
kata-kata ‘maksud dan rencana’ anda tafsirkan sebagai ‘pra-pengetahuan’? Saya juga tak perlu beri komentar banyak-banyak. Saya muak debat dengan orang yang terus main jiujitsu! Ikut MMA (Mixed Martial Arts) saja, Liauw! Bisa dapat uang banyak, dan lebih sedikit dosanya dari pada menjadi penyesat dan pemfitnah ajaran Calvinisme!


Anda tak menggunakan Alkitab, Liauw, tetapi saya menggunakannya. Terserah mau tunduk pada Alkitab atau tidak! Dan bagi para pembaca, terserah mau setuju pada logika Liauw, atau pada Alkitab / Firman Tuhan!

Wah, maukah tunduk kepada Alkitab? Alkitab berkata: “Mereka telah mendirikan bukit-bukit pengorbanan bagi Baal untuk membakar anak-anak mereka sebagai korban bakaran kepada Baal, suatu hal yang tidak pernah Kuperintahkan atau Kukatakan dan yang tidak pernah timbul dalam hati-Ku.” Yeremia 19:5.
Ayat ini jelas mengajarkan bahwa dosa Israel mempersembahkan anak kepada Baal adalah sesuatu yang tidak pernah timbul dalam hati Tuhan. Jadi, tidak mungkin Tuhan menentukan orang Israel melakukan ini! Anda mau tidak tunduk kepada Firman Tuhan?

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Oh, baru sekarang ada ayat Alkitab! Sayang sekali ditafsirkan ngawur. Anda tak pernah pakai ayat, makanya tak bisa menafsirkan! Anda terbiasa pakai jiujitsu, Liauw!
Sudah jelas Allah tak pernah memerintahkan untuk mempersembahkan anak-anak mereka sebagai korban bakaran! Tak ada yang aneh dengan ini.

Sedangkan kata-kata ‘tidak pernah timbul dalam hatiKu’ menurut saya mungkin itu menunjuk pada perintah untuk mengorbankan anak, bukan pada tindakan mengorbankan anak. Jadi artinya adalah, Allah tak pernah memikirkan untuk memerintahkan orang-orang mengorbankan anaknya sebagai korban bakaran!

Kemungkinan lain adalah seperti tafsiran Calvin. Saya berikan komentar Calvin tentang Yer 7:31 yang menggunakan kata-kata yang sama.
Calvin: The Prophet’s words then are very important, when he says, that God had commanded no such thing, and that it never came to his mind; as though he had said, that men assume too much wisdom, when they devise what he never required, nay, what he never knew. It is indeed certain, that there was nothing hid from God, even before it was done: but God here assumes the character of man, as though he had said, that what the Jews devised was unknown to him, as his own law was sufficient.
Jadi, Calvin menafsirkan bahwa Allah bukannya tidak tahu kalau itu akan terjadi, tetapi Ia berbicara seakan-akan Ia adalah manusia biasa.

Perlu juga anda perhatikan baik-baik, Liauw, dalam KJV diterjemahkan ‘neither came it into my mind’ (demikian juga terjemahan bahasa Inggris yang lain). Ini jelas tak bisa digunakan untuk mengatakan bahwa Allah tak pernah merencanakan dosa dalam hati / pikiranNya. Seandainya dikatakan ‘came out of my mind’ mungkin masih bisa anda menggunakan text ini untuk melawan Calvinisme!

Anda tanya apakah saya mau tunduk Firman Tuhan? Tentu saja ya, tetapi tidak pada Firman Tuhan yang dicampur dengan jiujitsu!

Anda cuma punya satu ayat, dan saya bisa hancurkan. Saya punya berpuluh-puluh ayat, coba bahas dan hancurkan, Liauw. Tetapi tolong tinggalkan ilmu jiujitsu anda!


Artikel ini sangat panjang, dan tanggapan Pdt. Asali lebih panjang lagi, jadi saya terpaksa jawab per bagian karena kekurangan waktu. Tetapi banyak argumen yang berulang-ulang. Ini jawaban part one dulu.

Tanggapan balik dari Budi Asali:
Yang memberikan argumentasi yang berulang-ulang / itu-itu saja adalah anda, Liauw. Argumentasi saya banyak dan bervariasi!

===
Sumber : Budi Asali, M.Div

catatan redaksi :
warna oranye dan ungu muda adalah respon Pak Budi, warna oranye adalah respon yang lebih baru sementara yang satunya respon awal


1 comment:

  1. Sebaiknya pak Liauw undang pak Budi untuk debat terbuka. Berani gak?

    ReplyDelete