Pages

29 April 2018

Catatan Kecil Kancah Politik Nasional 2018



Oleh: Martin Simamora, S.IP

Pancasila, Masihkah Dasar  Persatuan Hati Bagi Kita? Jika Tidak, Kita Akan Saling Merobek dan Saling Membinasakan

Mengapa Fenomena Politik Bisa Mengintimidasi?

Apa yang saya maksud dengan fenomena politik, adalah berbagai macam kegiatan atau aktivitas politik mulai dari yang diselenggarakan oleh negara seperti pilkada dan pilpres, hingga aktivitas bersifat organisasi kepartaian seperti pengkaderan, perekrutan, pemetaan konstituen dari tahun ke tahun, pemetaan kebutuhan sospolek konstituennya atau bahkan lebih luas lagi sehingga partai dapat secara kongkrit dan otentik menjawab kebutuhan dan mengembangkan program-program yang dapat memberikan kemajuan. Dan semua itu baik, produktif dan benar sejauh selaras dengan upaya memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang begitu multi-etnik.

Tetapi, tentu saja, kita harus mengakui kalau belakangan ini, kita sedang melihat perwajahan politik yang nampaknya mulai membahayakan. Fenomena-fenomena politik yang  bersalutkan intimidasi sebagai ekspresi perbedaan haluan atau orientasi politik, kian hari telah menjadi praktik sehari-hari yang lazim. Dan ini berbahaya sekali, ketika ini dibiarkan, sedang terjadi sebuah pergeseran kultur politik nasioanal yang pada awalnya bersifat kebangsaan yang satu, bangsa Indonesia, secara gradual menjadi bersifat keideologian yang tidak mengokohkan kebangsaan Indonesia satu dalam Pancasila dan Konstitusi 1945. Maksud saya, ketika fenomena politik semakin tajam meretakan kerekatan kesatuan dan persatuan bangsa dan eksistensi negara Kesatuan Republik Indonesia, kita sungguh-sungguh dalam bahaya yang tak terbayangkan bisa terjadi di negeri tercinta ini.


Ini sedang terjadi. Misalkan saja,  tadi pada hari ini pada Care Free Day sampai harus terjadi fenomena politik intimidatif pada momen non politis, pada momen netral dimana seharusnya semua warga ibu kota dapat secara rileks beraktivitas. 

Nampaknya kita sedang bergeser dan terus menjauh dari akar jati diri politik kebangsaan kita yang seharusnya harus secara cermat dan cerdik berhati-hati dalam membangun dan menggerakan fenomena politik yang bagaimanapun demi kemenangan yang diagendakan. Saya ingin mengutip pandangan Bung Hatta yang terdapat dalam ulasan  Sri Edi Swasono pada kompas.com, 1 Juni 2013  berikut ini, mari kita memperhatikannya:

Persatuan yang utama
Tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan. Pada 20 April 1932, Mohammad Hatta menyatakan: ”Dengan persatuan kita maksud persatuan bangsa, satu bangsa yang tidak dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik, tetapi kalau datang marabahaya yang menimpa pergerakan, di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun ’persatuan’ dan kita menolak ’persatéan’,” (Daulat Rakyat, 1932). Yang dimaksud Hatta sebagai ”persatuan” adalah adanya ”persatuan hati” yang membuat kita ”berdiri sebaris”.

Lama sesudah itu, dengan senang hati Hatta menyambut lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar ”persatuan hati”, sebagai ”ruh ideologi kebersamaan dan asas kekeluargaan” yang senantiasa ia perjuangkan. Bahkan, pada saat Bung Hatta berbeda pendapat keras dengan Bung Karno (1960), Bung Hatta tetap memegang teguh Pancasila, yang disebutnya sebagai filsafat negara Indonesia, yang ”dilahirkan oleh Bung Karno”. Saya kutipkan pandangan Hatta yang mulia, halus pekerti, ideologis, dan religius sebagai berikut: ”Dengan dasar-dasar ini, sebagai pimpinan dan pegangan pemerintah negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia, serta persaudaraan bangsa-bangsa. Dengan bimbingan, dasar-dasar yang tinggi dan murni itu akan dilaksanakan tugas yang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar. Demikianlah harapan kaum idealis yang merumuskan filsafat negara dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam saat yang bersejarah, yang menentukan nasib bangsa. Satu ciptaan mungkin terlalu tinggi bagi manusia biasa melaksanakannya. Namun, sebagai pegangan untuk menempuh jalan yang baik sangat diperlukan. Dasar-dasar itu menuntut kepada manusia Indonesia, kepada pemimpin-pemimpin politik, dan kepada orang-orang negara untuk melatih diri, supaya sanggup berbuat baik dan jujur, sesuai dengan janji yang dibuat di muka Tuhan.”


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pancasila dan Ide Persatuan", https://nasional.kompas.com/read/2013/06/01/02540342/pancasila.dan.ide.persatuan.

Kalau persatuan dikorbankan dengan mengedepankan persatean, maka yang mengemuka adalah fenomena politik yang mengintimidasi, tidak ada lagi yang membuat kita berdiri  dalam persatuan hati yang membuat kita berdiri sebaris!

Pancasila adalah dasar persatuan hati itu! Apakah bangsa ini secara total masih menjadikan Pancasila sebagai dasar persatuan hati itu? Ya… sejarah yang akan membuktikannya, apakah kerinduan Bung Hatta tersebut benar-benar akan terpelihara di sepanjang eksistensi republik ini.

Ketika Bung Hatta menyatakan ini: ”Dengan persatuan kita maksud persatuan bangsa, satu bangsa yang tidak dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik, tetapi kalau datang marabahaya yang menimpa pergerakan, di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun ’persatuan’ dan kita menolak ’persatéan’,” maka seharusnya apapun haluan politik yang diusung, tidak boleh sama sekali mengingkari dasar bagi setiap kita untuk memiliki fundamental persatuan hati.

Ketika kita memiliki  sesuatu yang lebih besar dari Pancasila, sebetulnya kita sedang memasuki periode yang telah jauh hari diperingatkan  oleh Bung Hatta agar jangan sampai kita masuki: “Dengan persatuan kita maksud persatuan bangsa, satu bangsa yang tidak dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik, tetapi kalau datang marabahaya yang menimpa pergerakan, di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun ’persatuan’ dan kita menolakpersatéan.”



Peran Aktif Warga Gereja Sebagai Bagian Utuh Negara Kesatuan Republik Indonesia
Jadi apakah yang dapat dilakukan oleh warga gereja sebagai bagian utuh Negara Kesatuan Republik Indonesia? Jawabnya: jadilah warga negara yang aktif menyuarakan pentingnya kesatuan negeri ini, tempat di mana saya dan anda dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan dirinya sebagai manusia-manusia produktif, berguna bagi bangsa dan negara ini. Bukankah Alkitab meminta kita untuk memiliki kepedulian yang begitu tinggi dan spiritual bagi negara dan para pemimpin negara kita dimana kita hidup? Tentu anda ingat dengan nas Kitab Suci ini:

▄1 Timotius 2:1-2 Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan.

▄1 Petrus 2:17 Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!

▄Roma 13:1-3 Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah…. Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya.

Jikalau ada warga gereja diberi anugerah olah Tuhan berada di tempat-tempat terhormat dan menentukan kebijakan negara dan apalagi menjadi kepercayaan pemerintah, maka  berikanlah yang terbaik dari dirimu sebagai orang yang takut akan Tuhan, yang menghormati negaranya dengan penuh pengabdian. Surat Roma bahkan mendorong ini agar itulah yang menjadi prestasi bagi seorang yang beriman kepada Kristus: perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya. Saya tertarik untuk mengutipkan kisah J. Leimena berikut ini sehingga dapat pendorong bagi kita untuk berkarya bagi negara kita dalam Tuhan yang telah mengasihi kita:

Dalam buku Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengatakan bahwa Johannes Leimena adalah seorang yang paling jujur yang pernah ia temui. Bung Karno juga selalu memanggil Leimena dengan panggilan ‘Domine’, yang artinya pendeta. Panggilan ini kan secara tersirat membuktikan kepercayaan Bung Karno. Ini terbukti, Bung Karno tujuh kali mengangkat Leimena sebagai pejabat presiden setiap kali Bung Karno melawat ke luar negeri.- Koran Sulindo,” Johannes Leimena, Politik untuk Melayani Rakyat
Pada waktu-waktu seperti ini, jika anda sebagai gereja diberi kesempatan untuk berkontribusi lebih besar daripada  umumnya warga gereja, saya pikir inilah momentum yang tepat untuk mau bertindak dalam doa, karya dan berkolaborasi bersama dengan anak-anak bangsa lainnya yang masih sangat percaya bahwa dalam perbedaan, persatuan adalah  sebuah keniscayaan yang harus diperjuangkan.

Kita tidak perlu untuk saling merobek dan saling membinasakan, tetapi kita wajib mau untuk berdiri besama dalam satu barisan, agar negeri ini tetap menjadi rumah persatuan, bukan persatean.

Soli Deo Gloria

No comments:

Post a Comment