Pages

23 September 2017

SEMPURNA SEPERTI BAPA (Bagian 1)



Astrid Sihombing


Matius 5:48 : “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”

Pengertian apa itu “Sempurna seperti Bapa” adalah suatu pemahaman yang harus berangkat dari teks dan konteks yang dimaksudkan oleh Penulis Injil ini, yaitu Matius. Mengapa demikian? Karena memang hanya Matius sajalah yang mencatat perkataan Tuhan Yesus bahwa “kita harus sempurna seperi Bapa”, sehingga jikalau ayat ini kita lepaskan keluar konteksnya lalu dimaknai sedemikian rupa sehingga “melepaskan” maksud sebenarnya yang dimaksud oleh Matius, maka jelaslah kita akan tersesat dalam pemahamannya. Dalam Perjanjian Baru tidak ada satu pun ayat yang menyinggung mengenai “sempurna seperti Bapa”, kecuali satu satunya dalam Matius 5:48 ini. Oleh sebab itu kita harus memahaminya dengan tepat dan sesuai dengan maksud penulisnya, dan tidak boleh menggunakan ayat itu untuk memasukan konsep pengertian kita sendiri.

Tentunya untuk dapat memahami arti “sempurna seperti Bapa” kita harus membaca dan memahami seluruh Pasal 5 ini agar dapat memaknai dengan tepat yang dimaksud oleh penulis Injil Matius.


UCAPAN BAHAGIA DIBUKIT
Pasal 5 ayat 1 -12 : Tuhan Yesus dalam ucapan bahagianya ini sedang mengajarkan mengenai standart hidup yang tidak semua orang bisa melakukannya. Standart hidup dalam ayat ini adalah suatu standart nilai hidup yang hanya bisa diperagakan oleh mereka yang sudah menjadi anak anak Allah.

Ini bukan standart umum moral manusia, tetapi suatu standart nilai hidup dalam Kerajaan Allah. Ucapan bahagia ini bukanlah mengenai syariat agama tetapi suatu kehidupan yang hanya dapat dimiliki dan diperagakan oleh mereka yang SUDAH MEMILIKI RELASI dengan Allah sedemikian rupa sehingga memiliki gairah hidup berbeda dengan “yang lainnya”. JIkalau belum dan tidak memiliki Relasi denan Allah maka standart nilai ini hanya menjadi sekedar gagasan agamawi saja. Suatu gagasan yang seharusnya (idealistik) tetapi tetapi tidak bisa dilakukan, sekedar theologia dan bukan praktis hidup. Untuk dapat menghidupi standart nilai dalam Ucapan Bahagia yang Kristus ajarkan ini kita terlebih dahulu harus memiliki relasi dengan Allah sebagai anak anakNya sehingga kita memiliki gairah dan kodratNya.

Ucapan Bahagia yang disampaikan oleh Tuhan Yesus bahwa mereka yang berbahagia adalah mereka yang - miskin dihadapan Allah, berdukacita (meratap), lemah lembut, suci hatinya, membawa damai, dan rela teraniaya – adalah suatu kehidupan yang hanya bisa diperagakan dan dihidupi oleh mereka yang telah mengalami dan berelasi dengan Allah. Manusia berdosa kita (sinful nature) tidak dapat menghidupi kehidupan dalam Ucapan Bahagia tersebut.


GARAM DAN TERANG DUNIA
Pasal 5:13-16 : Tuhan Yesus kembali menegaskan mengenai Garam dan Terang Dunia dimana perbuatan baik yang kita lakukan itu merupakan HASIL RELASI DIRI KITA DENGAN BAPA. (ayat 16 “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya didepan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang disorga.”). Perbuatan baik kita haruslah sedemikian rupa merupakan hasil dari relasi kita dengan Bapa, sehigga ketika kita berbuat baik itu bukan karena sekedar pencapaian moralitas tetapi akibat kita berkeadaan sebagai anak anak Bapa.

Inilah perbedaan perbuatan baik yang dilakukan dalam agama agama lain, mereka berbuat baik sebagai proses dan pencapaian moralitas, perbuatan baik yang dilakukan dalam agama karena didorong untuk mencapai keadaan tertentu sampai pada titik diperhitungkan atau dipantaskan masuk Surga, atau perberbuatan baik yang dilakukan dalam agama sedemikian rupa sampai pada titik berhasil tidak dimasukan kedalam neraka. Perbuatan baik mereka adalah menjadi sebab, menjadi dasar dan menjadi tujuan untuk mencapai keadaan tertentu.

Perbuatan baik didalam Kristus bagi orang orang percaya adalah perbuatan baik yang lahir karena mereka telah berkeadaan menjadi anak anak Allah, sehingga apa yang mereka lakukan bukan lagi pencapaian tetapi akibat karena mereka anak Allah.

Pada ayat 13 dan ayat 14 Tuhan Yesus menggunakan analogi garam dan terang. Mengapa? karena memang garam itu seharusnya mengasinkan dan terang itu menerangi dan bukan sebaliknya kita dituntut untuk menjadi asin barulah menjadi garam dan harus menerangi barulah menjadi terang.

Karena memang menjadi asin itu adalah hakekat garam, dan menerangi itu adalah hakekat terang. Menjadi asin dan menerangi bukanlah suatu pencapaian tetapi karena memang mereka garam dan terang.

Seekor burung bisa terbang itu bukanlah suatu pencapaian, walaupun untuk bisa terbang burung tersebut haruslah berproses; mulai dari belajar terbang, kemudian bisa terbang sampai dengan terbang secara sempurna. Anak burung bisa terbang sampai menjadi sangat lihai terbangnya bukanlah suatu pencapaian tetapi memang hakekat burung haruslah bisa terbang.(Kutipan analogi dari Witnees Lee). Seekor anak ayam sekalipun dilatih oleh pelatih hebat sampai kapanpun tidak akanbisa terbang, karena memang dia anak ayam danbukan burung. Demikian juga perbuatan baik kita, bukanlah supaya kita menjadi anak Bapa,tetapi justru karena kita adalah anak anak Allah Bapa maka hakekat kita adalah melakukan perbuatan baik.

Sekali lagi untuk bisa mengasinkan, maka kita harus menjadi garam, dan untuk bisa menerangi maka kita harus menjadi terang. Ini adalah perbuatan baik karena relasi kita dengan Allah sebagai anakNya.


SEMPURNA SEPERTI BAPA
Pasal 5: 17-19 : Tuhan Yesus menegaskan bahwa kedatanganNya bukanlah untuk MENIADAKAN hukum Taurat melainkan untuk MENGGENAPINYA.

Ayat ayat ini menjelaskan hubungan Tuhan Yesus dengan Hukum Taurat, dimana Dia menegaskan kalau tujuan kedatanganNya adalah untuk menunaikan penggenapan Hukum Taurat. Dia menggenapi sepenuhnya tuntutan Hukum Taurat sehingga tidak ada yang tersisa, semua tuntutan hukum Taurat telah digenapi dengan kematianNya, sehingga Ia kini berhak membatalkan Hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya.

“Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap tiap orang yang percaya.” – Roma 10:4

“…sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah MEMBATALKAN hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi manusia baru didalam diriNya…” ( Efesus 2:15).

Maksud dan tujuan Tuhan Yesus menggenapi seluruh tuntutan hukum Taurat dengan kematianNya sehingga Ia berhak membatalkan perintah dan tuntutannya (karena sudah digenapiNya), adalah agar dapat memulai suatu tatanan standart nilai hidup yang baru bagi orang percaya kepadaNya, yaitu menjadi manusia baru.

Manusia baru memiliki tatanan nilai moral yang baru. Apakah itu? Perbuatan baik bukan karena tuntutan dan ketentuan suatu hukum tertentu tetapi perbuatan baik yang lahir karena hakekatnya menjadi manusia baru. Manusia yang berkeadaan anak anak Allah. Menjadi manusia baru (berkeadaan anak Allah) dahulu barulah bisa hidup dengan standart nilai yang baru. Perbuatan baik yang kita lakukan bukanlah sedemikian hebat dan agungnya sampai perbuatan baik tersebut membuat kita dipantaskan dan dilayakkan menjadi anak Allah, tetapi justru sebaliknya….kita harus berbuat baik karena sudah berkeadaan manusia baru menjadi anak Allah.

Jadi dalam ayat 17-19 ini Tuhan Yesus sedang menjelaskan hubungan diriNya dengan hukum Taurat, dimana kedatanganNya ini akan menggenapi dan mengakhiri “masa berlakunya Hukum Taurat” melalui kematianNya kemudian memulai “masa manusia baru” bagi kita.


PERBEDAAN TUNTUTAN HUKUM TAURAT DAN STANDAR KRISTUS
Dalam ayat 20-48, Tuhan Yesus mulai mendeskripsi (mengurai secara detail perbedaan) standart nilai manusia baru dengan standart nilai hukum Taurat. Mari kita lihat secara perlahan.
Ayat 20 : Tuhan Yesus menegaskan bahwa jika hidup keagamaanmu (dikaiosune : kelakuan/perilaku, perbuatan seharti hari) tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli ahli Taurat dan orang orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk kedalam Kerajaan Sorga.

Ayat ini secara gamblang memberikan jalan masuk ke dalam Kerajaan Surga melalui hidup perbuatan baik. Jikalau seseorang dengan perbuatan baiknya ingin masuk Kerajaan Sorga HARUSLAH ORANG TERSEBUT MEMILIKI KEHIDUPAN YANG LEBIH BENAR dari ahli ahli Taurat dan orang orang Farisi.


Ahli ahli Taurat dan orang orang Farisi ini adalah dua kelompok masyarakat yang sangat memahami dan mentaati segala perintah dan ketentuan hukum Taurat secara detil dan ketat. Secara lahirian perilaku mereka nyaris tanpa cacat, karena kehidupan keagamaan mereka akan menjadi contoh bagi masyarakat Yahudi lainnya. Untuk bisa masuk kerajaan Surga maka perbuatan baik kita harus LEBIH BENAR dari mereka.

Pengertian “lebih benar” disini dalam bahasa Yunani nya menggunakan pengertian “lebih benar dalam arti kuantitas dan juga kualitasnya” dan kuantitas jumlah kebaikannya harus “berlimpah limpah” (“perisseuo”- “pleion pleon”).

Inilah standart nilai yang dituntut dari kita untuk kita bisa masuk kedalam Kerajaan Surga apabila melalui perbuatan baik, harus lah perbuatan baik tersebut, lebih benar dan lebih banyak (berlimpah banyaknya) dari para ahli Taurat dan orang Farisi, jikalau tidak pastilah tidak akan memenuhi kuota untuk masuk kedalam Kerajaan Sorga.

Ayat 21-26 : Membandingkan Hukum Taurat yang mengatakan “jangan membunuh”; standart Kristus mengatakan “kita marah dan mengatakan kafir harus dihukum, dan mengatakan “jahil” kepada saaudara kita maka harus masuk neraka. Standart Kristus untuk masuk surga dengan berbuat baik harus lebih benar dan lebih melimpah dari standart Hukum Taurat. Sebab itu Tuhan Yesus menegaskan bahwa korban pembakaran (hubungan dengan Allah secara agama) menjadi tidak berarti kalau tidak berdamai dengan orang yang kita marahi, kita katakana kafir dan kita sebut jahil. Bahkan kita bisa masuk penjara karena hal tersebut akan menjadi masalah hukum.

Ayat 27-30 : Hukum Taurat mengatakan “Jangan Berzinah”; standart Tuhan Yesus “siapa yang melihat perempuan dan menginginkan dalam hatinya (pen-berahi), sudah berzinah dalam hatinya. Patut dicampakan ke dalam neraka.

Ayat 31-32 : Hukum Taurat mengatur tentang perceraian, tetapi Tuhan Yesus memberikan standart bahwa orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah telah menjadikan istrinya berzinah bila dia menikah dengan laki laki lain. Perceraian akan mengakibatkan perzinahan pada pernikahan berikutnya dengan pasangan yang berbeda. Perceraian menjadi hampir mustahil dalam standart Kristus.

Ayat 33-37 : Hukum Taurat mengatur “jangan bersumpah palsu”, tetapi Tuhan Yesus menetapkan “jangan bersumpah demi apapun” cukup berkata dan bersikap jujur. Orang yang tidak jujur dalam perkataan dan perbuatannya adalah dari Iblis.

Ayat 38-42 : Hukum Taurat mengatur “mata ganti mata, gigi ganti gigi”, tetapi standart Tuhan Yesus haruslah kita berbuat baik terhadap mereka yang telah berbuat jahat kepada kita, dan bahkan memberikan apa yang diminta orang lain, dan tidak boleh menolak orang yang mau meminjam kepada kita. Mengalahkan kejahatan dengan berbuat baik, dan tidak ada peluang bagi orang percaya untuk membalas.

Ayat 43-44 : Hukum Taurat mengatur “Kasihilah sesama manusia tetapi bencilah musuh”, Tuhan Yesus memberikan standart agar mengasihi musuh dan berdoa buat mereka yang menganiaya kita.

Dalam Matius Pasal 5 ini, jelas konteksnya adalah Tuhan Yesus sedang membandingkan diriNya dengan Hukum Taurat. Kedatangan diriNya untuk menggenapi dan membatalkan segala perintah dan ketentuan Hukum Taurat tentunya dengan cara menunaikannya terlebih dahulu. Kemudian Dia menegaskan bahwa standart nilai Hukum Taurat adalah standart moral umum yang semua agama dan budaya manusia mengajarkannya, tetapi standart nilai hidup yan dituntut oleh TUhan Yesus adalah standart hidup yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh manusia biasa. Standart nilai yang Tuhan Yesus tetapkan hanyalah bisa dimungkinkan terpenuhi oleh manusia baru yang dimulai didalam diriNya. Standart nilai yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus inilah yang membuat kita menjadi anak anak Bapa di Sorga. Dia mengatakan “karena dengan demikianlah kamu menjadi anak anak Bapamu yang di Sorga…” (Matius 5:45).

Dalam konteks melakukan perbuatan baik kita harus memenuhi standart nilai yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus sehingga menjadi lebih benar, lebih baik dan lebih melimpah dari perbuatan baik yang dituntut oleh Hukum Taurat. Perbuatan baik yang sedemikian rupa sehingga memenuhi standart hidup menjadi anak Allah. “Karena itu, hidup kita haruslah sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” dengan demikian kamu menjadi anak anak Bapa yang di Sorga (ayat 45, 48). Pertanayaannya…bisakah kita memenuhi standart nilai tersebut?? Pertanyaan tersebut akan bisa dijawab setelah memahami apa itu arti sempurna.

Kata sempurna yang digunakan dalam Matius 5: 48 adalah “teleios” yaitu suatu pengertian yang menunjuk suatu proses yang sudah selesai, lengkap, dan sampai sampai keujungnya. Tentunya kata sempurna (teleios) ini bukan suatu keadaan yang tidak terukur dan bukan suatu keadaan yang tidak memiliki batas. Sempurna ini disini berarti suatu proses yang sudah selesai lengkap dan sampai keujungnya, ini menunjukan adanya suatu batas dan keadaan untuk berhenti, sehingga tidak lebih dari “sempurna”. Oleh sebab itu kata “teleios” ini kadang bisa juga digunakan sebagai suatu tahapan yang selesai dari proses yang panjang. Satu tahapan selesai (teleios) kemudian dilanjutkan dalam tahapan berikutnya sampai prosesnya selesai. Setiap tahapan tersebut dapat disebut “teleios”.

Seperti sebuah “benih” telah menjadi pohon yang berbuah, atau seorang anak yang telah menjadi dewasa, atau suatu perjalanan yang telah sampai tujuan; itu semua yang dimaksud dengan “teleios” atau sempurna. Jadi sempurna adalah suatu tahapan proses yang telah sampai kepada tujuannya.

Harus juga dipahami apabila pengertian sempurna sesuai arti kata ”teleios” ini dikenakan kepada Allah, maka jelaslah kata sempurna disini dapat mereduksi dan mendegradasi diri Allah yang memang sudah SEMPURNA keberadaanNya, karena memang Allah tidak pernah mengalami suatu proses “menjadi” sempurna. Allah selalu Sempurna dan tidak pernah tidak sempurna sehingga harus menjadi sempurna. Karena keberadaanNya bukanlah hasil dari suatu proses tetapi kesempurnaanNya berada dalam DiriNya. (self existing in perfect or perfection in His self existing). Tidak ada suatu ukuran sempurna yang dapat dikenakan kepada Allah karena Allah adalah ukuran kesempurnaan.

Oleh sebab itu Matius 5: 48 ini kata sempurna bila dikenakan kepada kita (“hendaklah kamu sempurna……”) maka berarti suatu proses untuk menjadi, sedang kata sempurna bila dikenakan untuk Allah (“sempurna seperti Bapamu di Sorga”) haruslah diartikan bahwa kesempurnaanNya itu identik dengan keberadaan diriNya sendiri.


Pengertiannya sama ketika Rasul Yohanes menyebut Allah adalah Kasih (I Yohanes 4:8); Allah memang mengasihi dan kita harus mengasihi seperti Allah mengasihi. Allah mengasihi karena memang keberadaanNya Dia adalah Kasih, dan kita harus mengasihi karena memang kita sedang mengalami proses menjadi “seperti” Allah mengasihi.

Jadi ayat ini lebih tepat diartikan sebagai berikut : “ Bapamu di sorga mengasihi semua orang dengan sempurna, kalian harus begitu juga.”

Kalimat ini sebangun pemahamannya dengan Lukas 6:36 : “Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu adalah murah hati.”.

Jadi “menjadi sempurna seperti Bapa” bukanlah dalam arti bahwa kita bisa dapat sempurna seperti Bapa, melainkan kita bisa mengasihi dan melakukan apa yang menjadi standar nilai Tuhan Yesus karena kita anak anak Bapa di Sorga. Seharusnya karena kita anak anakNya kita menjadi seperti Dia dalam mengasihi.

Jadi haruslah dimengerti bahwa Matius 5:48 adalah penegasan Tuhan Yesus bahwa kita harus bisa mengasihi seperti Bapa mengasihi , dan bukan diartikan KESEMPURNAAN BAPA harus menjadi tujuan perjuangan kita dalam berbuat baik, sama sekali bukan itu.

Jika begitu maka pertanyaannya apakah kita bisa sempurna seperti Bapa di sorga? Tentu tidak akan pernah bisa karena semua kesempurnaan Bapa adalah hakekat DiriNya sendiri.

Pertanyaan berikutnya…apakah kita bisa memenuhi standart dan nilai seperti yang Tuhan Yesus tuntut agar kita dapat menjadi anak anak Bapa di sorga? Menjadi anak anak Bapa di Sorga artinya menjadi sempurna sepeti Bapa di sorga.

Kalau menjadi sempurna yang dimaksud adalah “teleios” yaitu proses menuju selesai….menuju ujungnya…menuju sampai lengkap…iya kita bisa sempurna. Tetapi kapankah itu terjadi?

No comments:

Post a Comment