Pages

23 July 2016

Dialog Ringan:

 Seputar Makna Teologis
Gelar Yesus sebagai Putera Allah

Oleh: Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.



Ungkapan "Anak”, tepat sekali seperti dikatakan orang sebelum kami, mempunyai dua makna: Pertama, “anak secara fisik”, seperti melahirkan seorang anak; dan Kedua, “yang dikiaskan sebagai anak”, karena dibuat demikian,meskipun dibedakan antara “lahir" dan“diciptakan”.
lrenaeus, The Reliques of the Elders lV,41-42.[1]

Apalagi, sebagian besar ayat-ayat ini (yang menentang paham “anak-anak Allah", penulis)ditujukan, menurut sebagian besar mufasir, kepada orang-orang Arab Mekah yangmengklaim bahwa dewi-dewi mereka, al-Lat, al-‘Uzza, dan Manat adalah anak-anak Tuhandan begitu pula dengan malaikat. Jadi, orang-orang Yahudi dan Kristen sering terkenagetahnya.
Mahmoud M. Ayoub, Profesor of Islamic
Studies pada Temple University, Philadelpia, USA.[2]




Tulisan ketiga ini, sudah barang tentu, merupakan sajian ringan, setelah kita melakukan “ziarah panjang” menelusuri sejarah. Mungkin saja kita dibuat pusing,capek, dan bingung. Mengapa beriman kepada Tuhan harus serumit itu? Apakah untuk menghadap Allah seorang harus menjadi filsuf atau teolog? Tentu saja, Tidak! Buktinya, Anda masih dapat menikmati tulisan terakhir ini, moga-moga saja dapat mewakili pergumulan-pergumulan, pertanyaan-pertanyaan, atau malahan keresahan-keresahan Anda selama ini. Temanya masih seputar Keesaan Allah, kedudukan Yesus sebagai Putera Allah,dan isu-isu teologis Islam-Kristen serta implikasinya dalam perjumpaan kedua “agama rumpun Ibrahim".

Pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam bentuk wawancara ini berasal dari pengalaman dalam berbagai seminar, undangan ceramah dan mengajar, baik di lingkungan Kristen maupun Islam di Jakarta, Surabaya, Denpasar, Manado, dan beberapa kota lain. Di lingkungan Kristen, tema ini selalu muncul dalam ceramah di gereja-gereja dan di sekolah-sekolah Teologi. Sedangkan di lingkungan Islam, IAIN “Sunan Kalijaga” Yogyakarta, IAIN“Sunan Gunung Jati” Bandung, dan Universitas Paramadina-Mulya, malah mengangkatnya dalam forum-forum ISCS tersendiri. Memang, di lingkungan Islam tema-tema ini ditanggapi jauh lebih antusias, apalagi di forum-forum dialog antar-iman, meskipun di sana-sini juga sering ditanggapi dengan “nada curiga”.


Id Al- Milad (Natal) Di Bethlehem: Sebuah Sisi dari Hubungan
Kekerabatan Kristen-Islam di Timur Tengah

Kebiasaan Presiden Palestina, mulai dari Yasser Arafat, sampai Mahmud Abbas selalu mengikuti Perayaan Natalan di gereja adalah fenomena menarik, karena fenomena semacam itu asing di Indonesia. Bisa dijelaskan bagaimana komentar Anda?


Menarik memang kalau kita cermati hubungan Kristen-Islam di negara-negara TimurTengah, khususnya di Palestina. Saya teringat dengan Natal di Bethlehem tahun 2001, Israel melarang Arafat pidato di gereja. Biasanya, Arafat duduk di kursi paling depan. Istrinya, Suha membaca lembaran liturgi, turut merayakan ‘Id al-Milad. Begitulah umat Kristen Arab menyambut Natal. Tanpa kehadiran Sang Presiden, bagi orang Kristen Palestina, Natal rasanya “seperti ada yang kurang”.


Pada waktu itu, saya lihat gambar di Koran, di tepi Barat seorang laki-laki berpose sambil menggendong anaknya di bawah poster besar Arafat di depan gereja. Tetapi misa Natal tetap jalan, kursi barisan paling depan yang biasanya diduduki Arafat, sengaja dikosongkan, dan di atasnya ditaruh kafieh (penutup kepala) hitam putih, lambang kehadiran Presiden Palestina. Sampai sekarang, suasana Natal di Bethehem tidak jauh berbeda.Suasana sepertl ini sangat kontras apabila kita bandingkan dengan Indonesia. Di sini Megawati masuk pura Hindu saja jadi bulan-bulanan komoditi politik. Hadir dalam perayaan Natal di Kanisah al-Mahd, Patriakh Latin Yerusalem, dan tokoh-tokoh Kristen dan Islam sama-sama mengutuk tindakan kekerasan dari manapun dan oleh siapapun. Di Palestina memangt idak ada fatwa haram untuk datang pada perayaan Natal.


Perbandingan Status Yesus dan al-Qur'an:
Paralelisasi Kristen-Islam

Soal fatwa itu, kita memang pernah heboh soal fatwa Natal Majelis Ulama Indonesia (MUI).Karena dalam konsideran dari fatwa itu, umat Kristen dianggap telah melakukan kesalahan akidah tentang Yesus sebagai Putera Allah?

Saya kira itu soal itu penafsiran, ya. Saya tidak mau campur tangan dalam soal tafsirAl-Qur’an, karena itu bukan kompetensi saya untuk mengatakannya. Tetapi, kalau yang ditentang itu adalah soal Anak Allah, lalu dikaitkan dengan dalil "Lam yalid wa lam yulad” Artinya: “Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan” (Q.s. Al-Ikhlas/112:2). Tentu saja alasan itu tidak sepenuhnya kena. Sebab tidak ada ajaran gereja di manapun yang mempercayai bahwa Allah itu beranak dan diperanakkan. Sebab Yesus disebut Putera Allah itu dalam makna majazi (kiasan), bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah yang datang sebagai manusia. Sebenarnya paralel dengan keyakinan Islam mengenai nuzulul Qur’an, yaitu turunnya Firman Tuhan menjadi Al-Qur’an. Paralel ini pernah diusulkan oleh Seyyed HuseinNasr, dalam bukunya Ideals and Realities of Islam.[3] Malahan Prof. Mukti Ali juga pernah mengemukakan paralel yang serupa.“[4]

Jadi, posisi Yesus itu dalam iman Kristen lebih sejajar dengan al-Qur'an dalam Islam? Kalau begitu bagaimana dengan perbandingan Yesus dan Muhammad?

Ya, justru disitulah letak masalahnya. Sering kali orang mengukur agama orang lain berdasarkan “frame of reference” agamanya sendiri. Nah, dalam Islam, Muhammad itu kan Nabi yang menerima Firman Allah yang akhirnya terkumpul dalam al-Qur’an. Disini, Al-Qur’an dalam keyakinan Muslim adalah Kalam Allah, dan Muhammad penerimanya. Tentu saja,pandangan Kristen tidak begitu. Kita percaya, bahwa Yesus sendirilah Firman Allah. Wahyu dalam Kristen pertama-tama tidak dipahami sebagai Kitab Injil. Kata “injil” berasal dari kata Yunani euangelion, “kabar baik". Maksudnya, kabar baik mengenai Yesus sebagai Firman yang menjadi manusia. Dan Injil-injil adalah catatan-catatan tentang Kabar Baik, yaitu Allah yang telah mengerjakan keselamatan manusia melalui Yesus. Jadi, Injil yang memberitakan tentang Yesus, bukan Yesus menerima “sebuah Kitab Injil yang turun dari surga". Sebaliknya, dalam Islam, Muhammad yang memberitakan Kalam Allah yang berupa Al-Qur’an. Muhammad dalam Islam “hanyalah penerima Firman”, bukan Firman Allah sendiri. Sebab Firman Allah dalam Islam adalah Al-Qur’an.


Sekali lagi saya ingin mengutip Husein Nasr, posisi Nabi Muhammad itu sejajar dengan Bunda Maria. Bunda Maria menerima Firman Allah itu dalam kandungannya, dan kemudian melahirkan secara jasmani Yesus. Posisi Maryam yang perawan, sejajar dengan posisi Muhammad yang “ummi” (tidak tahu tulis baca). Mengapa? Kemurnian Firman Allah yang menjadi manusia, dibuktikan dengan keperawanan Maryam yang terjaga itu. Tidak pernah disentuh oleh manusia. Sebagaimana pula Muhammad, kemurnian al-Qur’an secara literal dibuktikan dengan sifat “ummi” dari penerimanya. Yang hendak ditekankan di sini,baik kelahiran Firman Allah menjadi manusia, atau nuzulnya Firman menjadi Kitab, itu dipercayai sebagai karya Allah. Jadi, suci dan murni, tidak ada campur tangan manusia disana.


Kalau begitu, sebenarnya Natal itu paralel dengan nuzul Al-Qur’an? Bukan dengan Maulid Nabi.Begitu? Sebab posisi Yesus sebagai Firman Allah, paralel dengan kedudukan Al-Qur'an dalam Islam?

Tepat sekali. Bahkan kalau kita bandingkan dengan literatur Kristen Arab, paralel itu lebih kentara lagi. Dalam ”Qanûn al-Imân al-Muqaddâs”, yaitu Pengakuan lman (yang dikenal pula dengan sebutan “Syahadat Panjang”), kedatangan Yesus itu juga disebut “nuzul",istilah yang juga diterapkan untuk Qur’an. Bunyinya, “... nazzala minas sama'i wa tajjasada biRuh al-Qudus, wa min Maryam al adzra’ al-batuli wa shara insanan” (turun dari surga, terjadi oleh Roh Kudus, dan dari Perawan Maryam yang terpelihara kehormatannya, dan menjadi manusia).


Sedangkan untuk “nuzul al-Qur’an", silahkan membaca di surah Ali lmran ayat 3.“Nazzala ‘alaikal kitab bi al-haqq..." (yang telah menurunkan kepadamu al-Qur’an dengan kebenaran). Paralel yang lain lagi. Malam ketika Firman Allah itu nuzul menjadi manusia, dalam Kristen dikenal dengan “Lailat al-Quds” (Malam Kudus),Holy Night. Itu yang terkenal di Indonesia. Maknanya sama, “Malam Kudus". Sedangkan dalam Islam, malam nuzulnya al-Qur’an itu disebut “Lailat al-Qadr” (Malam Penentuan).

Dalam surat al-Qadr disebutkan, tanazzal al-malaikatu wa ar ruhu fiha bi idzni rabbihimmin‘ kulli ‘amr (Pada malam itu, turun para malaikat dan ruh dengan izin Tuhanmu,membawa segala perkara/‘amr). Dalam Kristen, digambarkan juga malaikat-malaikat datang di padang gembala, sekarang orang Kristen Arab menyebut Sahl al-Ra’wat, memberitakan“kesukaan besar bagi bangsa-bangsa". ltulah malam tatkala “Firman Allah telah turunmenjadi manusia”. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan ruh dalam surah al-Qadr tersebut menurut Muhammad Asad adalah wahyu Allah sendiri.[5]

Dalam ayat-ayat lain, term ruh dikaitkan lebih jelas dengan ‘amr. Contohnya, yunazzilu al-malaikata bi ar ruh min ‘am-rihi…  Artinya: “Allah telah menurunkan denganwahyu(ruh) dari'amr-Nya”(Q.s. An-Nahl/16:2). Sedangkan dalam Kristen, Kalam llahi– yang dipahami sebagai Yesus - dalam bahasa Aramaik Memra. Kata Aramaik ini sejajar dengan bahasa Arab ‘amr. Kedua kata itu sama-sama muncul dalam konteks “turunnya Firman Allah”,baik dipahami sebagai Yesus dalam Kristen, maupun dipahami sebagai Qur'an dalam Islam.Jadi, baik Qur’an maupun Yesus disebut sebagai “perkara, titah Tuhan, atau Firman-Nya”.Karena itu, ada ahli lain yang mencoba melacak hubungan antara ‘amr dalam Qur’an itu, dengan memra dalam targum-targum Yahudi. Dilatarbelakangi oleh penafsiran rabbi-rabbi Yahudi pra-Kristen yang mengaitkan memra dengan sosok Sang Mesiah ini, maka tafsiranKristen menerapkannya untuk Yesus Kristus.



Latar Belakang Politik Melahirkan
“Prasangka Mendahului Tafsir”

Menarik memang mencari ”titik persamaan” semacam itu, tetapi bagaimana kita menyikapi perbedaan-perbedaannya? Sebab saya kira, dialog yang baik adalah sikap jujur di depan Allah dan sesama. Artinya, kita jujur mengakui bahwa kita memang berbeda, memang tidak sama.Bagaimana tanggapan Anda tentang hal ini?


Saya setuju dengan Anda. Tetapi “tidak sama itu bukan berarti tidak bersama-sama", bukan? Lebih-lebih lagi, apa yang kita sebut perbedaan,kadang-kadang tidak se-ekstrim yang kita sangka sebelumnya. Artinya, pemahaman kita tentang orang lain,terkadang juga dipengaruhi oleh pengalaman buruk kita dalam perjumpaan dengan komunitas agama itu. Pengalaman seperti ini sering melahirkan “prasangka mendahului tafsir”. Mahmud Ayub, seorang guru besar Islam dari Temple University, mencontohkan bahwa tafsirAl-Qur'an sendiri bisa mengalami hal itu.


Misalnya, “nuansa polemik” terhadap Kristen dalam karya Ibn al-Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim,[6] tidak bisa dilepaskan dari akibat perang salib. Begitu juga dengan Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabir.[7] Mungkin, karena “sindroma perang saIib” itu pula, sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi sikap teologis al-Razi, ia menempatkan orang Kristen lebih kafir ketimbang penyembah berhala. Itu dapat dilacak dari kenyataan, bahwa al-Razi hidup dan berkarya sezaman dan di tempat terjadinya perang salib itu. Menurut Ayoub, sikap kaum sufi Islam terhadap orang Kristen dan agamanya jauh sangat positif. Juga, tafsir-tafsir dari kaum Syi’ah, yang nota bene tidak pernah mengalami konflik politis dengan Kristen, ternyata lebih ramah.


Apa tafsir di kalangan Kristen juga begitu? Maksud saya, ada yang ramah dan inklusif, ada pula yang ekstrem dan eksklusif terhadap Kristen?

Sama saja, alias sami mawon. Hanya mungkin pertanyaan Anda itu perlu saya luruskan. Mungkin sebuah tafsir Injil yang eksplisit, menyebut-nyebut Islam, tidak ada, ya. Kalau Yahudi dengan segala kejelekannya, ya banyak. Mengapa? Karena Injil ditulis jauh sebelum Islam. Berbeda dengan Al-Qur’an, karena Nabi Muhammad dan umat Islam berjumpa dengan komunitas Yahudi dan Kristen, seperti Yesus bertemu dengan komunitas Yahudi dengan sekte-sektenya. Rumitnya masalah di sini, sulitnya identifikasi sekte-sekte Kristen mana saja yang pernah dijumpai Muhammad, dan yang melaluinya Qur’an melakukan evaluasi kritis. Ya, evaluasi itu baik reaksi peneguhan, atau kritik yang pedas. Reaksi negatif Qur’an itu yang selalu ditonjolkan dan dikembangkan dalam tulisan-tulisan polemik. Kadang-kadang, kalau bukan malah sering, dilepaskan sama sekali dari konteks historis. Konkritnya, “apakah perilaku dan pandangan-pandangan komunitas Kristen di Arab selatan yang dijumpai nabi Muhammad itu cukup representatif mewakili seluruh kelompok Kristen?”


Begitu juga di kalangan umat Kristen. Latar belakang politis ternyata sangat mempengaruhi sikap teologis kita terhadap Islam. Misalnya, mengapa Yuhanna Mansyur(John of Damascus) bersikap sangat polemis terhadap Islam?Islam, dimata Yuhanna Mansyur adalah salah satu bidah saja dari Kristen, Hagarenes (bid’ah keturunan siti Hajjar).[8]Padahal ia pernah mendapatkan kedudukan tinggi pada masa pemerintahan Islam. Berbeda dengan Mar Jurjius Abu al-Faraj (Bar Hebraeus) yang Iebih simpatik dengan Islam. Mengapa?Jawabnya, karena datangnya pemerintah Islam di Syria berarti hilangnya kontrol politik Byzantium yang selama itu mem-back up Gereja Ortodoks Yunani, dan Yuhanna al-Dimasyqi berasal dari gereja ini.

Sedangkan bagi Mar Abu al-Faraj, yang dari Gereja Ortodoks Syria, kedatangan Islam secara politik tidak membawa kerugian apapun. Malahan, tentara Islamlah yang membebaskan orang-orang Kristen Syria ini dari penindasan orang Kristen Byzantium. Karena itu, dimata orang-orang Kristen pribumi di Syria, Islam adalah pembebas politik mereka. Faktor lain yang menggerakkan mereka untuk menyambut dan membantu tentara Islam, adalah semangat qaumiyah as samiyah (“nasionalisme semitis”) mereka yang anti kekuasan asing. Meskipun itu imperium Byzantium yang se-agama. Perlu Anda catat, bahwa Mar Abu al-Faraj,dalam bukunya Tarikh Mukhtasar al-Duwal, juga mengisahkan perjumpaan Muhammad semasa kecil dengan rahib Bahira, yang meramalkan bahwa Muhammad akan menjadi tokoh dunia. “Kebesarannya akan melintasi bangsa-bangsa di dunia”, tandas rahib Bahira.



Benarkah Ide “Putera Allah“ berasal dari
agama-agama Kafir sebelum Kristen?

Kembali ke soal Putera Allah tadi. Menurut buku yang saya baca, konsep Kristen ini berasal dari agama-agama kafir sebelum Kristen. Bagaimana tanggapan Anda?

Memang banyak teolog Islam yang saya baca berpendapat begitu. Sayyid Quthb mengatakan bahwa ide divine sonship atau ke-“Putera”-an Allah ini, tidak memiliki dasar dalam agama Yahudi dan Kristen mula-mula. lzinkanlah saya untuk berposisi tidak setuju dengan ulama besar ini. Lho, apa saya punya alasan cukup kuat untuk mendebatnya? Ada 2 bukti historis yang saya kemukakan:


Pertama, kalau misalnya Quthb menolak bahwa istilah “Putera Allah” tidak dikenal agama Yahudi, ini bertentangan dengan kenyataan. Karena orang-orang Yahudi mengenal doa yang menyebut Allah sebagai Bapa. Dalam bahasa lbrani: Abinu we malkinu,“Ya Bapa kami dan Raja kami”.[9] Dan doa itu selalu mereka ucapkan berulang-ulang sampai saat ini.

Kedua, apabila alasannya orang Yahudi tidak mengenal konsep pra-eksistensi Putera Allah, bahkan kelahiran ilahi-Nya dari Allah, itu juga tidak akurat. Baca naskah-naskah Qumran yang baru diketemukan tahun 1947 itu. Misalnya, Bereh di el yetamar ubar elyonyiqroneh. Artinya, “la akan disebut Anak Allah, Anak Yang Mahatinggi”.[10]Nah, ungkapan ini malah paralel dengan Luk.1:32. Malahan lagi, dalam naskah Qumran yang ditemukan di gua pertama, kelahiran ilahi Mesiah diungkapkan lebih jelas. Kalau tadi dalam bahasa Aram,sekarang dalam bahasa lbrani: ‘lm yolid el et ha mashiah. Artinya: “Allah akan melahirkan sang Mesiah”. Bahkan Dr. R. Gordis, meskipun ia seorang Yahudi, menyimpulkan ungkapanyang begitu tajam ini sebagai “sumber Qumran yang mengungkap kelahiran ilahi Sang Mesiah”.[11] Jadi, tidak benar kalau pemikiran ini asing di kalangan Yahudi kuno, khususnya sebelum dan pada zaman Yesus.


Kalau di lingkungan Kristen, Apakah konsep ini sudah ada pada jemaat mula-mula?

Saya kira sudah. Buktinya, ada sebuah dokumen yang kuno sekali. Dokumen ini disebut lranaeus dalam The Relique of the Elders. Maksud “the elders” di sini, jelas sekali menunjuk kepada murid-murid para Rasul. lrenaeus sendiri generasi ketiga setelah Kristus. Mar lrenaeus murid Polycarpus, Polycarpus murid Rasul Yohanes, rasul Yohanes murid Yesus. Jadi, kalau meminjam istilah ilmu hadits, sanad atau mata-rantai periwayatnya sambung sampai Yesus sendiri.


Tentang istilah Anak, begitu tulis lrenaeus, “seperti dikatakan seorang sebelum kami”. Quemadmodum et quidam ante nos dixit, dalam bahasa Latin. Selanjutnya, ia menguraikan 2 makna dari term itu. Pertama, anak dalam pengertian fisik; dan kedua, “yang dikiaskan sebagai anak”. Akhirnya, ditekankan perbedaan antara natum et factum,“dilahirkan” dan “diciptakan”.[12]Idiom terakhir ini, nantinya muncul di konsili Nicaea tahun325. Genitum non factum. “Dilahirkan, tidak diciptakan". Bahasa Arabnya, al-mauludu qhayral-makhluq. Ungkapan ini diterapkan untuk menegaskan ke-“bukan makhluk”-an Firman Allah, bukan menunjuk kepada kemanusiaan Yesus, melainkan kepada kodrat ilahi-Nya sebagai Kalimat Allah (Firman Allah). Kita juga bisa melacak dari tulisan Ignatius, Patriarkh Anthiokia dan pengganti Rasul Petrus, yang lebih gamblang lagi berbicara tentang tabiat ganda Kristus.


Makna "Kelahiran Ilahi" Firman Allah dari Allah

Sebenarnya bagaimana konsep “divine birth of Christ” itu dapat dijelaskan dalam bahasa yangbisa dimengerti Islam? Maksudnya, bahwa itu tidak bertentangan dengan prinsip "Lam yalidwa lam yulad?”

Mengapa Anda mesti bersikap reaktif? Kalau saya, “kriterium iman” saya tidak tergantung apakah Islam menerima atau tidak. Itu masalah prinsip. Tetapi baiklah akan saya jelaskan sebuah dialog yang menarik, dari kitab Dafa'iyat Masihiyyat fi al-‘Ashar al-’Abasiy al-Awwal. Kitab ini dikarang oleh Mar Timotius I, Katolikos Gereja Asyyria Timur di Bagdad, yang menceriterakan percakapan teologisnya dengan kalifah Muhammad al-Mahdi tahun 781.Suatu saat, al-Mahdi bertanya kepada Timotius, “Wahai Katolikos, tidak pantas bagi orang yang terpelajar sepertimu mempercayai bahwa Allah itu mengambil seorang istri dan memperanakkan dari perempuan itu seorang anak”. Timotius balik bertanya, “Siapakah yang mengatakan sesuatu yang tidak sepantasnya bagi Allah itu, wahai Raja?” Selanjutnya,terjadilah dialog panjang lebar tentang makna gelar Putera Allah bagi Yesus menurut iman Kristen.

Salah satu argumen yang dikemukakan, Timotius mengutip dalil konsili Efesus tahun 431, ”...kalimatullah alladzi wulida min ab duna um, ‘an yulada min um duna ab”. Artinya:“Firman Allah itu lahir dari Bapa tanpa ibu, dan (dalam wujudnuzul-Nya ke dunia) lahir dari ibu tanpa bapa”.[13]Apa maksudnya? Yang pertama, berbicara tentang “kelahiran llahi”Firman dari Wujud Allah. Divine birth of Jesus Christ. Sedangkan yang kedua, tentangkelahiran insani-Nya dari Perawan Maryam. Soal virgin bith of Jesus Christ, atau kelahiran insani-Nya dari seorang perawan.Saya kira Kristen dan Islam sepakat. Dan tentang hal itu, al-Qur’an sendiri menandaskan bahwa al-Masih itu Rasul Allah, wa kalimatuhu al-qaha ila Maryam wa ruhun minhu (dan Firman-Nya dijatuhkan kepada Maryam dan Ruh dari-Nya).[14]

Meskipun gelar Firman Allah diterapkan bagi Isa juga, tetapi teologi Islam hanya bisa menerima kelahiran insani-Nya melalui Maryam. Sedangkan iman Kristen menerima kelahiran kekal-Nya dari Allah, maupun kelahiran insani-Nya dari Maryam. “Litakun wiladatuhuats-tsaniyat syahadatu ‘an al-wiladat al-awwal”, kata Timotius kepada Sang Kalifah.Maksudnya “kelahiran kedua Yesus ke dunia dari seorang perawan, menyaksikan kelahiran pertama-Nya yang kekal dari Allah”. Sebab, kejadian gaib itu membuktikan bahwa Yesus tidak dikandung dari benih insani melainkan dari Firman Allah yang kekal, sehingga maut tidak dapat menyentuh-Nya.


Maaf, saya potong dulu. Tadi pertanyaan saya belum dijawab, kalau dalam "bahasa Islam”kelahiran Firman Allah itu bagaimana menjelaskannya?

Saya kira bahasa yang paling dekat, “Allah mewahyukan Diri-Nya sendiri melalui Firman-Nya”. Seperti kita manusia dikenal melalui kata-kata kita sendiri. Kata-kata itu keluardari pikiran kita yang satu dengan diri kita. Pikiran, Firman itu dalam bahasa Yunani Logos. Yesus adalah logos to theu, “Firman Allah”. Kalimat Allah. Sudah barang tentu, bersama dengan Ruh Allah atau kehidupan llahi-Nya sendiri, Firman itu secara kekal berdiam dalam Dzat Allah, qaimah fi dzat Allah. Tanpa perpisahan, tanpa perceraian. “Tidak seorang pun melihat Allah, tetapi Putera Tunggal Allah, yang di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya” (Yohanes 1:18). Ungkapan “Putera Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa” ini, dalam terjemahan Arab, “al-ibnu al-wahid alladzi fi hishn al-ab" - merujuk kembali ayat1-3,menunjukkepada al-Kalimah atau Firman Allah, yang “fi bad’i kana ‘inda llah" (sejak kekal bersama dengan Allah). Jadi, melalui Firman-Nya Allah menyatakan diri-Nya sendiri agar Iadi kenal oleh segenap ciptaan-Nya.



Tadi Anda menyebut kata “ibn” untuk Yesus, bukan ”walad” yang melulu menunjuk “anaksecara fisik”. Apakah dalam teks-teks Arab-Kristen memang dibedakan antara kedua istilahtersebut?

Dalam bahasa Arab, istilah “ibn” memang penggunaannya lebih luas ketimbang“walad". Misalnya, bahasa Arab mengenal idiom ibn al-sabil (musafir). Kata ini ditemukanjuga dalam al-Qur'an, secara harfiah artinya “anak jalan". Meski kita tidak pernah bertanya, siapakah istrinya jalan? Ya, memang dalam “makna kiasan” itulah istilah Putera Allah dijumpai dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Tetapi kata kerja walada (melahirkan) juga dipakai secara puitis. Mula-mula muncul dalam teks liturgis. Kita mesti memahami itu sebagai“warisan bahasa liturgi” Yahudi kepada gereja. Sebuah mazmur berbicara tentang kedatangan Mesiah: “la (Allah) berkata kepadaku, Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini” (Maz. 2:7).


Pada zaman dahulu, Mazmur ini berasal dari ritual pelantikan raja-raja Israel. Tetapi makna nubuatnya menunjuk kepada kedatangan Sang Mesiah, Raja kekal yang melaksanakan kedaulatan Allah. Dalam ayat di atas, baik kata “ibn" maupun “walad” muncul bersama-sama. Li anta bni, ana al-yaum waladtuka, demikian bunyi teks Arab. Dalam bahasa lbrani: alai Beni, am‘ hayyom ye-lidteka. Jadi, seperti yang akhirnya diwarisi dalam bahasa Arab, aslinya dalam bahasa lbrani dipakai kata “ben” dan “yelid”. Jadi, karena asal-usulnya yang memang dari teks liturgis, tidak heran kalau banyak menggunakan bahasa puitis.


Apakah orang-orang Kristen Arab memang memahami ungkapan “ibn” maupun ”walad”secara alegoris?

Tentu saja. Bukti dari dokumen tertua tentang hal itu dalam bahasa Arab, adalah karya Theodore Abu Qurra, uskup Harran yang mewakili tradisi Kristen Syro-Arab. Dalam kitabnya yang berjudul Maymar fi al-Wujud wa al Din al-Qawim,[15] Abu Qurra memakai katawiladah (kelahiran), inbithaq (prosesi, emanasi) dan ri’asah (pendahulu) yang diterapkan bagiAllah, dalam relasi kekalnya dengan Firman-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang satu dalam keesaan Wujud-Nya.



Metafor-metafor yang dipakai Bapa-Bapa Gereja Mengenai Relasi kekal Allah DenganFirman-Nya

Mengenai penggunaan kata “inbithaq” (emanasi) apa dalam hal ini tidak menjurus kepada pantheisme?

Tentu saja tidak ada hubungan sama sekali dengan Panteisme. Pantheisme itu kanberasal dari kata pan, “dimana-mana”, dan theos, “Allah”. Jadi, “isme” atau aliran yang mempercayai bahwa Allah sama dengan alam, dan alam itu sama dengan Allah. Karena itu,hubungan antara keduanya, alam itu mengalir, emanasi, dari Allah. Dus, satu zat dengan Allah. Wujud Allah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kelawan madu, endi rasane ing kono, kata Mangunegara lV dalam Serat Wedhatama. Artinya: “Wujud Allah itu berada di mana-mana, di seluruh alam. Allah dan alam itu, ibarat manis dengan madu, sulit dibedakan”. Itupantheisme. Sudah barang tentu, paham ini sangat berbeda dengan Kristen. Menurut AbuQurra, proses wiladah (kelahiran) maupun inbithaq (prosesi, emanasi) ini tejadi bukan diluar Wujud Allah, melainkan sebuah proses dalam lingkaran keabadian dalam Diri Allah sendiri.

Itulah ungkapan-ungkapan yang diterapkan untuk menjelaskan misteri ketritunggalan Ilahi. “Firman itu lahir dari Dzat Allah”, tulis Abu Qurra. lnilah sifat wiladah (melahirkan dariBapa, yaitu Wujud Allah. Caranya? “Sebagaimana inthibaq atau keluarnya Roh Kudus dari Dzat-Nya. Karena itu, kelahiran Firman itu tanpa seorang ibu. Tidak ada hubungan seks. Tidak ada pengandungan, dan tidak ada prioritas waktu dalam proses-proses itu”. Kana fi al ba’di‘indallah. Firman itu sejak kekal bersama-sama dengan Allah. Sejak kekal hingga kekal. Enarche,In the beginning. Jadi, baik kata “ibn” maupun kata kerja “walada” (melahirkan) disini, menerangkan “pewahyuan diri” Allah melalui Firman-Nya, sama sekali bukan proses fisik“fi al-makan wal al-zaman”, dalam ruang dan waktu.

Karena itu, sekali lagi, kalau pun muncul kata kerja walada (melahirkan) dalam teks-teks liturgis Kristen Arab itu, tidak seorang pun akan membayangkan bahwa Allah ituberanak dan diperanakkan secara fisik. Jadi, orang Kristen jangan marah kalau disindir Rhoma lrama, “Tuhan tidak beranak dan tak diperanakkan”. Memang, kita juga meyakini kebenaran dalil al-Qur’an itu. “Lam yalid wa lam yulad”. Dus, apa yang diyakini umat Kristen,jauh berbeda dengan keyakinan primitif orang-orang jahiliah Mekkah yang menganggap dewi-dewi sebagai “anak-anak Allah” (banat Allah) itu.


Bagaimana bapa-bapa gereja paling awal menggambarkan sifat “wiladah” dan “intibhaq”dalam Allah itu, tanpa mengundang kesalahfahaman kaum awam yang tidak mengerti? Sebab jangan-jangan, disamakan saja dengan kelahiran biologis.

Dalam makalah saya yang berjudul La ilaha ilallah, yang pernah saya sajikan bersama-sama Prof. Dr. K.H. Said Aqiel Siradj, M.A., masalah ini sudah saya bahas. Dari bapa gereja paling awal, saya kira lgnatius al-Anthaki (30-107 M). la secara sangat jelas berbicara tentang Yesus, yang secara fisik lahir dari Perawan Maryam, tetapi secara ilahi, lahir dari Allah. “Wa huwa bi al-jasad wa ar-ruh ma’an”,[16] kata Mar Ignatius. Jadi, selain ada kelahiran jasadi, ada kelahiran ruhani pada-Nya. Juga, diungkapkan bahwa “Firman Allah keluar dari Allah dari keheningan yang kekal”. Sekali lagi, “dari keheningan kekal”, apo seges proelthon. Ungkapan ini, gamblang, cetho, jelas sekali menekankan bukan terjadi dalam ruang dan waktu. Karena itu, saya tadi berkata “Sabda lenggeng mijil saka Allah kang langgeng ing kalenggengan”. Nah, “dari kekekalan” ini diungkapkan dengan berbagai ungkapan yang jelas sekalitidak membuka peluang sedikit pun ditafsirkan secara fisik.


Misalnya, dalam “Kanun al-Iman” Konsili Nikaea tahun 325, dipakai ungkapan seperti:
"Al-mauludu min al-Abi qabla kulli al-duhr”. Artinya: “Lahir dari Bapa sebelum segala abad”.
Coba, kalau kita pikir secara fisik. Mana ada di dunia ini ada orang lahir dari Bapa? Tidak ada,
bukan? Semua pasti lahir dari ibu. Tapi ya, karena yang dimaksud disini memang bukan kelahiran fisik. Lagi pula, “Putera Allah” dalam kredo itu juga bukan tubuh fisik Yesus, tetapi menunjuk kepada Firman, Kalimatullah yang kekal. Tanpa jasad, dan kelahiran-Nya juga dunu um (tanpa seorang ibu), sebagaimana dirumuskan di Konsili Efesus yang dilenggarakan tahun 431 M.


Nasid al-Milad” (Kidung Natal) Dari Gereja Ortodoks Syria

Saya juga ingin mengutip sebuah “nasid al-Milad” (Kidung Natal). Mar Philoxenos Al-Manbui (W. 485 M), salah seorang dari bapa Gereja Ortodoks Syria, menggubah nyanyian Natal yang sangat indah:

dzaka alladzi wulida min al-abi ilahan bighayri jasadi,
huwa dzatuhu wulida min al-adzra’ bi al-jasad duni ab,
huwa Wahidun min itsnain al-lahut wa an-nasut.”[17]

Artinya: “Ia yang dilahirkan dari Bapa secara Ilahi tanpa jasad, adalah juga yang dilahirkan dari Perawan Maryam secara jasadi tanpa bapa. la yang satu berasal dari dua, Ilahi sekaligus Insani”.

selanjutnya, ungkapan Bapa itu maksudnya the existence, “Wujud Allah". Sama sekali bukan hubungan ayah-anak secara tubuh. Selanjutnya, Putera adalah Firman Allah, dan Roh Kudus menunjuk kepada “hidup Ilahi” dalam Allah. Karena Firman dan Ruh Kudus itu sama-sama kekal dan berdiam dalam Wujud Allah yang kekal, maka keesaan Allah itu dipertahankan. Dalam liturgi Kristen Syro-Arab, bahkan dalam semua gereja di dunia Arab, setelah rumusan Bapa, Putera dan Roh Kudus, selalu ditutup dengan: AI-Ilahu al-wahid (Allah yang Mahaesa). Jadi, setiap doa selalu dibuka dengan ungkapan: Bism al-Ab wa al-lbn wa Rub al-Qudus,Al-Ilahu al-Wahid, Amien (Demi Nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus, Allah yang Mahaesa,Amien).



Sejauh Manakah Kesalahfahaman Islam Tentang Putera Allah?

Pertanyaan terakhir. Sejauh manakah kira-kira kesalahfaman Islam mengenai Putera Allah ini?Dan bagaimana tema itu sering kali menjadi kendala dalam dialog teologis gereja dengan Islamakhir-akhirini?

Saya kira dialog-dialog teologis sudah sering diadakan, dan sekarang sudah semakin maju “pemahaman kedua belah pihak terhadap mitra dialog”. Dialog teologis, tujuannya memang agar kita saling menyapa, saling bicara dan saling memahami. Tetapi kendalanya, dihadapan kita terbentang “tembok pemisah” yang sudah ratusan tahun kita bangun.Padahal untuk terciptanya "mutual understanding” itu, kita harus berani melampaui“tembok pemisah” yang dibatasi oleh paradigma dan “religious languages” (bahasa agama) kita masing-masing. Nah, selama kita masih dikurung dan dipisahkan oleh tembok itu, kita tidak bisa saling memahami.


Jadilah, orang Islam salah faham terhadap ajaran Kristen. Misalnya, soal Putera Allah yang kita bahas sekarang. Sebaliknya, orang Kristen juga biasanya salah mengerti dengan ajaran Islam. Nah, yang harus kita catat di sini, ternyata sebuah kesalahfahaman sedikit demisedikit bisa terkikis karena semakin intensifnya perjumpaan. Saya mau kasih contoh, bukan main-main ini. Bung Karno, salah satu “founding father” kita. Dahulu Bung Karno, mungkin juga saking antinya kepada Belanda yang kebetulan Kristen, menulis dalam salah satu artikelnya pada tahun 1940-an. “Bangsa-bangsa Barat Kristen itu terpecah-pecah karena dikutuk Allah", tulisnya. “Karena mereka berlebih-lebihan dalam agama mereka. Karena mereka percaya Trinitas, dan Isa Al-Masih sebagai Anak Allah. Padahal Allah itu Maha Esa.Tidak beranak dan tidak diperanakkan”, begitu kira-kira inti tulisan Bung Karno.[18] Ternyata,pandangan Bung Karno ini jauh berubah pada masa-masa belakangan. Ya, khususnya setelah masa kemerdekaan Bung Karno harus menjadi Bapak yang harus bisa diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. Lebih dari itu, Bung Karno semakin maju pemahaman keagamaannya. Halini juga saya ungkap dalam buku saya, Religi dan Religiusitas Bung Karno.[19] Buktinya? Dalam salah satu pidatonya tahun 1965, ketika menggembleng kader Pelopor Front Katolik di Jakarta, Bung Karno menegaskan bahwa berdasarkan ajaran Yesus yang revolusioner, “Kita semua adalah anak-anak AlIah”.[20] “Kita, saudara-saudara, putera Tuhan, kita semua mengabdi kepada Tuhan”,[21] kata Bung Karno pula tanpa ragu-ragu dalam pidatonya di depan Kogres Persatuan Wanita Kristen Indonesia, di Jakarta, tahun 1964. Dalam pidato-pidatonya di berbagai kesempatan, Bung Karno sering mengutip pasal pertama Injil Yohanes yang dihafalnya di luar kepala dalam bahasa Belanda.


Tetapi itu konsep “anak-anak Allah” secara umum, bukan dalam makna khusus yang tadi Andasampaikan. “Divine birth ofJesus?

Ya, memang konsep secara umum. “Anak-anak Allah” dalam makna hamba-hamba Allah. Minimal, makna “anak-anak Allah" seperti yang dimaksud dalam khotbah Yesus diatas bukit. “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”.[22] Sabda Yesus ini juga sering dikutip Kahlil Gibran, dalam syairnya Yasu’ al-mashlub (Yesus yang disalib), untuk menekankan “universalitas" ajaran Yesus yang sangat dikagumi penyair Kristen dari Lebanon itu. Kembali ke soal Bung Karno. Bagi kalangan Islam pada umumnya, sudah barang tentu, menyebut “anak-anak Allah” ini bukan suatu yang lazim. Kecuali di kalangan kaum sufi, mungkin ungkapan-ungkapan “passing over” begitu, tidak terlalu aneh dan menimbulkan kejutan.


Kalau di kalangan kebatinan Jawa, apakah mereka tidak ”alergi” dengan sebutan “anak-anakAllah”, atau menyebut Yesus Putera Allah?

Ya, kalau kebatinan memang lebih mengerti. Jangan dulu ke kebatinan, katakanlah encyclopedia Jawa, kalau boleh saya sebut demikian, yaitu Serat Centhini, dengan enteng menerjemahkan gelar Yesus yang lazim dalam literatur Islam ruh Allah dengan “atmajeng Hyang Agung" (Putera Allah Yang Mahabesar). Lebih-lebih dalam literatur kaum Kebatinan, kesalah-fahaman sebagian umat Islam terhadap ajaran Kristen itu, dengan ”caranya sendiri” berusaha mereka jelaskan. Misalnya, dalam Kunci Swarga yang menjadi pedoman aliran Bratakesawa di Yogyakarta. Lebih-lebih lagi, dalam Sasangka Jati, yang dapat disebut “kitab suci” Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu). Mereka malah mengembangkan pandangan mereka sendiri tentang Putera Allah dalam tripurusha, yang bisa dianggap “trinitas”-nyakebatinan Jawa.

Singkat kata, bagi kaum kebatinan Jawa, rasanya tidak ada masalah sama sekali.Jangankan penghayatan seorang pujangga, buku polemik Jawa klasik model “SeratDarmogandhul” saja, rasanya lebih mengerti ketimbang Rhoma Irama. Maksud saya, kalau benar raja Dangdut itu menyindir iman Kristen, ketika menyanyikan lagunya: “Tuhan tidak beranak dan tak diperanakkan. Laa ilaha illallah. Tiada tuhan selain Allah... ” Dikisahkan, pada suatu hari Darmogandhul bertanya kepada gurunya, Ki Kalamwadi. “Ki, kang diarani agama Srani nitu napa?” (Ki, apa yang disebut agama Serani?) "Serani iku”, jawab sang guru, “tegesesarananing manembah”. Serani itu, maksudnya Nasrani, “sarana” atau jalan untuk menyembah Allah. Ini yang namanya “othak-athik mathuk”, diotak-atik asal cocok. Jelas salah,kita nggak setuju, seperti ia juga secara tidak bertanggung jawab menafsirkan agama Islam menurut cara pandangnya yang dangkal. ”Mula saka iku", begitu lanjut buku Darmogandhul."Kanjeng Nabi ‘Isa iku sinebut Putraning Allah, marga Allah kang mujudake”.[23] Karena itu,kanjeng Nabi Isa itu disebut Putera Allah, karena Allahlah yang mewujudkan Dia.



Akhirul Kalam: Belajar dari Kasus “Serat Darmogandhul”

Tapi bukan itu yang ingin saya tekankan di sini. Maksud saya, bukan ketepatannya dalam menafsirkan ajaran Islam maupun Kristen. Barangkali, sikap penulis Serat Darmogandhul yang konfrontatif terhadap Islam itu, adalah reaksi Jawa terhadap eksklusivitas Islam pada waktu itu, yang suka menjelek-jelekkan umat Hindu. Nah, ternyata hasilnya bukan mereka pro-Islam, melainkan malah antipati terhadap Islam. Jadi, kira-kira “Darmogandhul”ini mewakili reaksi masyarakat “Abangan Jawa” yang murang sarak (anti syari’at lsiam),yang dari dahulu sampai sekarang ini masih saja ada hendak memaksakannya, tanpa mau memandang kenyataan kemajemukan masyarakat kita. Lucunya, akhirnya justru Darmogandhul malahan simpati ke Kristen.

Menurut Dr. Philip van Akkeren, penulis Serat Darmogandhul” - yang menurutnya tidak Iain adalah Kyai Tunggul Wulung itu - malah menjadi orang Kristen.[24] Nah, ketimbang “gondhal-gandhul” (menggantung) tidak jelas agamanya, lebih baik ia menjadi Kristen. Apakah teori Philip van Akkeren benar? Jawabnya, bisa Ya dan bisa Tidak. Namun yang harus menjadi “pelajaran yang berharga” bagi semua umat beragama, tidak terkecuali “misi Kristen” yang akhir-akhir ini cenderung bergaya “koboi", hantam kromoisme. Sekali Iagi,cara-cara semacam itu, hasilnya bukan simpati, tetapi malah sikap antipati. Kabar Injil ditolak secara apriori karena pendekatan kita yang keliru. Semoga Tulisan singkat ini bermanfaat semaksimal mungkin.


*** Terima kasih. ***




[1]J.B. Lightfoot, The Apostolic Fathers (Grand Rapids, Michigan: Baker Books l-louise, 1984), hlm. 548-549.
[2]Mahmoud Mustafa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif lslam (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 51.
[3]S.H. Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta. Alih Bahasa: Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid (Jakarta: LAP,PENAS,1981).
[4]H.A. Mukti Ali, “Hubungan Antar Agama dan Masalah-masalahnya”, dalam Eka Darmaputera (ed.), Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulla,1991), hlrvn.126-128.
[5]The term ruh (lit. “spirit” or “soul") has in the Qur’an often in the meaning of “divine inspiration”.... In the present context, it evidently denotes the contents of the divine inspiration bestowed on the Prophet Muhammad, i.e., the Qur’an (Thabari, Zamakhsyari, Razi, lbn. Kathir) which is meant to lead man to a more intensive spiritual life.... (Muhammad Asad, The Massage of the Qur' an (London: E.J. Brill, 1980), hlm. 748.
[6]Imad al-Din Abu al-Fida’ Ismail ibn al-Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Jilid I-IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1412 H/1994).
[7]Fakhr al-Din al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr,1405 H/1985 M).
[8]Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam. The "Heresy of the Ishmaelites” (Leiden: E.J. Brill, 1978).
[9]Dr. Th. Philips (ed.), Siddur Tefilah Mekol Hasy Syalom. Daily Prayers with English Translation (New York: Hebrew Publishing House, tanpa tahun), hlm. 112.
[10]Robert Eisenman-Michael Wiss, The Dead Sea Scrolls Uncovered, Hebrew-English (New Zealand: Penguin Book, 1992), hlm. 21-22.
[11]R. Gordis, The Beggoten Messiah in the Qumran Scrolls, Vet. Test. 1957, pp. 191-194. RAndal Price, Secrets ofthe Dead Sea Scrolls (Eugene, Oregon: Harverst House Publishers, 1996), hlm. 313.
[12]J.B. Lightfoot - J.R. Harmer, Loc. Cit.
[13]Al-Bathriq Timotius I, Dafa’iyat Masihiyyat fi al-‘Ashar Al-‘Abasiy al-Awwal (\/illach, Austria: Light of Life, 1990), hlm. 23-24. Kitab ini aslinya ditulis dalam bahasa Suryani, dan agaknya dalam beberapa abad kemudian baru diterjemahkan dalam bahasa Arab. Lihat juga: A. Mingana, “The Apology of Timothy the Patriarch before the chalip Mahdi", dalam Woodbroke Studies, Voll. ll, Cambridge, 1923.
[14] Kajian lebih lanjut tentang Kalimat (Firman) dan Ruh (Roh) Allah dalam Al-Qur’ an, lihat buku:Thomas J. O'Shaughnessy, SJ., Word of God in the Qur'an (Rome: Biblical Institute Press, 1984). Juga, dari penulis yang sama,The Development of the Meaning of the Spirit in the Qur'an (Roma: Orientalia Christiana Analecta,1983).
[15]Tulisan Theodore Abu Qurra (wafat 825) yang kita rujuk di sini adalah jilid lll dari seri Al Turath al-‘Arabi al-Masihi. Editor: Fr. Ignatius Dik (Vatican: lnstitute of Islamic and Arabic Studies, 1982).
[16]Mar Ya'qub al Rahawi, Op. Cit, hlm. 70.
[17]Ibid., hlm. 77.
[18]Sukarno, "Der Untergangs de Abenlandes”, dimuat dalam,Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi,1964), hlm. 478.
[19]Bambang Noorsena, Religi dan Religiusitas Bung Karno (Denpasar: Bali Jagadhita, 2000).
[20]Sukarno, “Kader Katolik benar-benar berjiwa Elang”, Pidato pada Penggemblengan Kader Pelopor Front Katolik, di Jakarta, 22 Juni 1965, dimuat dalam Iman Toto K. Rahardjo-Herdianto (ed.), Bung Karno Gerakan Masa dan Mahasiswa (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 204.
[21] Sukarno, “Jadikan Indonesia Poros New Emerging Forces", pidato di depan Kongres PersatuanWanita Kristen Indonesia (PWKI), di Jakarta, 22 Pebruani1964, dimuat dalam, Iman Toto K. Rahardjo-Herdianto (ed.),Bung Karno dan Tata Dunia Baru (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 297.
[22]Injil Matius 5:9.
[23]Ki Kalamwadi, Serat Damogandhul (Semarang: Dahara Prize, 1991), hlm.166-167.
[24]Dr. Ph. Van Akkeren, "Darmogandul, Suluk Karangan Ngabdullah Tunggul Wulung: Hubungannya dengan Pekabaran Injil di Jawa Timur", dalam Suharto dan Sardjonan (ed.), Mengenang 50 Tahun Majelis Agung Greja Kristen Jawi Wetan (Malang: Majelis Agung GKJW,1981), hlm.138-134.

No comments:

Post a Comment