Pages

10 August 2015

EKSISTENSI “AGAMA ASLI INDONESIA” DAN PERKEMBANGANNYA DARI MASA KE MASA


אָמֵן׃ ,אֶחָד הָאֱלֹהִים ,הַקֹּדֶשׁ וְרוּחַ וְהַבֵּן הָאָב בְּשֵׁם
ܒ݁ܫܶܡ ܐܰܒ݂ܳܐ ܘܰܒ݂ܪܳܐ ܘܪܽܘܚܳܐ ܕ݁ܩܽܘܕ݂ܫܳܐ ܚܰܕ ܐܰܠܳܗܳܐ ܐܰܡܺܝܢ
بسم الاب والابن و الروح القدس، الاله الواحد،آمين


EKSISTENSI “AGAMA ASLI INDONESIA” DAN PERKEMBANGANNYA DARI MASA KE MASA*)

Oleh: Bambang Noorsena

*) Disampaikan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi dalam rangka “Permohonan Uji Materi Undang-undang Nomor 1/PNPS/ 1965”, di Jakarta, 23 Maret 2010.

Copyright © 2015 Institute For Syriac Culture Studies



I. Pendahuluan

Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama − terlepas dari maksud untuk menjaga dan melindungi keluhuran nilai-nilai agama − kenyataannya jelas-jelas mengandung diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi, khususnya penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa.

Penjelasan Pasal 1 undang-undang ini jelas hanya memprioritaskan 6 agama yang diakui pemerintah, sekaligus mendapat bantuan dan perlindungan, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kongfusius. Sedangkan agama-agama lain, misalnya Yahudi, Sarazustrian, Shinto, Thaoism, sekalipun tidak dilarang tetapi terkesan dinomor duakan, seperti tampak pada rumusan “…dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundang-undangan lainnya”.

Ada lagi penjelasan Undang-undang ini yang jelas-jelas merendahkan eksistensi aliran kepercayaan yang berbunyi: Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkan kearah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ungkapan ini jelas-jelas menempatkan para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seolah-olah mereka menjadi “objek binaan”, karena karena pandangannya tidak sehat dan tidak mengarah kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bahkan dalam Penjelasan Umum angka 2, disebutkan bahwa kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan “… bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia timbulnya aliran-aliran dan organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama”. Terkesan bahwa tolok ukur “ajaran-ajaran dan hukum agama” yang dimaksud di sini adalah agama-agama resmi yang diprioritaskan negara (Penjelasan pasal 1), dan aliran-aliran tidak resmi (termasuk yang muncul dari salah satu agama) harus tunduk pada definisi agama-agama resmi.


Karena itu, agama-agama resmi itu perlu dijaga dengan Pasal 1 Undang-undang ini, di mana “penafsiran yang berbeda” dan “membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai” dari agama-agama resmi tersebut dianggap sebagai delik penodaan agama. Inilah letak masalahnya, siapakah yang harus menentukan standardisasi tafsir agama, atau siapakah yang berhak menentukan salah atau benar suatu keyakinan? Jadi, sama sekali bukan menyetujui agama dinodai, tetapi masalahnya pada kriteria penodaan agama dalam undang-undang ini didominasi oleh agama-agama yang diakui pemerintah.

Kembali kepada eksistensi aliran kepercayaan yang terdiskriminasi, selanjutnya Penjelasan Umum angka 2 juga menyebutkan: “Di antara ajaran-ajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama”. Sejarah membuktikan justru ekstrimisme yang membahayakan persatuan nasional sering tumbuh subur dalam agama-agama resmi, bukan kepercayaan tradisional.

Sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia justru menunjukkan bahwa “agama asli” bersikap sangat ramah, inklusif, dan toleran terhadap agama-agama pendatang. Lalu mengapa yang jadi “tolok ukur” justru agama-agama pendatang, dan bukan pada keyakinan tradisional yang memang jarang mendefinisikan atau membuat pembakuan keyakinan? Di bawah ini akan dibuktikan eksistensi agama asli Indonesia dan bagaimana perkembangannya dari masa ke masa. Dalam lintas sejarah dibuktikan bahwa agama-agama pendatang disambutnya ramah, bukan dianggap sebagai musuh dan ancaman, sebaliknya dihargai, diadaptasi dan diterima untuk menghiasai mozaik keyakinan asli yang menyangga dan mendasarinya.



II. Definisi Agama (Religion)

Sebelum menguraikan apakah yang disebut “Folk Religion (agama asli)” dan bagaimana perkembangannya dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, izinkanlah saya menguraikan dahulu definisi agama itu sendiri dari beberapa bahasa yang akhirnya diserap dalam bahasa Indonesia.

H. Zainal Arifin Abbas dalam bukunya Perkembangan Pemikiran terhadap Agama, kata “agama” berasal dari bahasa Sanskertatidak kacau”: a berarti “tidak”, dan gama berarti “kacau”. Sedangkan menurut P.J. Zoelmulder dan R.O. Robson dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia, kata “agama” telah diserap dalam bahasa Jawa kuno yang mengandung beberapa arti: “doktrin atau ajaran tradisional yang suci”, “himpunan doktrin”, “karya-karya suci”. Dalam makna ini kata agama muncul dalam berbagai karya sastra Jawa kuna, antara lain: Adiparwa, Wirataparwa, Ramayana, dan sebagainya.


Tidak jauh berbeda dengan P.J. Zoelmulder, menurut L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia kata agama berarti: (1) ilmu, ilmu pengetahuan; (2) hukum atau perundang-undangan; dan (3) agama atau religi. Kata “agama” dalam makna religi ini misalnya dijumpai dalam Kakawin Negarakertagama (XXV,2): “Mapanji santara widagdheng agama wruh kawi”. Artinya: “Para panji yang lain ahli dalam pengetahuan agama dan mahir pula dalam kesusastraan”.


Kata “agama” memang diserap dari bahasa Sanskerta: a berarti “tidak” dan gamabergerak”, artinya sesuatu yang dianut dan dianggap pasti dan mengikat bagi yang mempercayainya. Dalam makna seperti ini, dalam bahasa Jawa kuna “agama” berarti “aturan-aturan hukum” yang salah satu aspeknya “kepastian”. Karena itu, kitab undang-undang Majapahit yang berlaku pada zaman Prabu Hayamwuruk (1350-1389 M) disebut Sang Hyang Agama (nama lain dari Kutaramanawa), dan kitab undang-undang yang berlaku pada zaman Prabu Wikramawardhana (1389-1427 M) disebut Sang Hyang Adi Āgama. Perlu dicatat pula, bahwa Undang-undang Adi Agama warisan Majapahit ini sampai sekarang masih diberlakukan di Bali, khususnya berkaitan dengan tindak pidana adat Lokika Sanggraha yang diatur dalam Pasal 384 Adi Agama jo. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Nomor 1/Drt/1951.


Ungkapan lain yang diserap dari bahasa-bahasa Barat adalah “Religi”, “Religion”. Kata religi berasal dari bahasa Latin religio yang akar katanya religare yang berarti “mengikat”. Jadi, arti “religio” di sini adalah way of life lengkap dengan peraturan-peraturannya tentang kebaktian dan kewajibannya, sebagai alat untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam relasinya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.


Sedangkan dalam bahasa-bahasa semitik di Timur Tengah, “agama” disebut dalam bahasa Arab “Dîn”, yang sering dimaknai sebagai lembaga ilahi yang memimpin manusia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Terlepas dari makna syar’i dalam konteks Islam, kata Arab dîn ternyata cognate dengan bahasa-bahasa semitik: danu (Akkadia), den (Ibrani), dîn/dîna (Aramaik/Suryani) yang berarti “religion”, “cult”. Selain itu dalam bahasa Ibrani dan Aramaik, kata den juga berarti “pengadilan”, misalnya seperti ungkapan Ibrani: Yom ha-Den (hari Pengadilan), yang sejajar juga dengan bahasa Arab: Yaum ad-dîn (hari pembalasan/ hari pengadilan).


Selain kata dîn, dalam bahasa Arab juga dikenal kata Millah, yang juga sejajar dengan bahasa Aramaik Milta (firman, kata). Sekali lagi, terlepas dari makna syar’i-nya, kata Arab millah juga berkaitan dengan “ketaatan”, “kepasrahan” manusia kepada Allah, yang dalam agama-agama semitik diteladankan dari sosok kepasrahan Ibrahim (Abraham) kepada Sang Pencipta, yang dijuluki “Bapa orang-orang beriman” (Arab: Abu al-Mu’minin, Ibrani: Ab ha Ma’a-minim) dalam Yudaisme, Kristen dan Islam.


Dari ungkapan-ungkapan berbagai bahasa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agama atau religi mengandung baik unsur “pengabdian”, “kepasrahan” − sebagai kata kerja − maupun “sekumpulan ajaran yang dianggap benar” − sebagai kata benda. Yang pertama “agama” sebagai gerak hati dan religiusitas, yang kedua “agama” sebagai “ajaran-ajaran baku”, atau “ajaran-ajaran yang dibakukan” oleh lembaga keagamaan (the organized religion). Jadi, dalam makna di atas maka apa yang disebut “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” adalah agama (religion) dalam makna yang semurni-murninya secara ilmu agama-agama (Inggris: the sciense of religions, Jerman: Religionswisseschaft; Perancis: la science de religion).

Bahwa definisi agama atau religion ini tidak sesuai dengan definisi yang diberikan oleh agama-agama besar dunia (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan sebagainya) ini adalah masalah lain. Lebih tegasnya, “dîn” atau “millah” dalam Islam, “dîn/dîna” atau “religio” dalam Kristen, atau “agama”, “dharma”, “dhamma” dalam Hindu dan Buddha adalah makna teologis yang diberikan oleh agama-agama tersebut terhadap suatu ungkapan yang secara bahasa adalah netral. Padahal soal teologi atau akidah adalah “wilayah” keyakinan, dan soal itu di luar wewenang ilmu agama-agama, yang tidak berpretensi membenarkan atau menyalahkan keyakinan suatu agama.



III. Eksistensi “Agama Asli”
dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa

Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah berTuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Di bawah ini adalah bukti-bukti bahwa prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijunjung tinggi, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan selanjutnya diterima, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketuhanan yang lebih universal, mengatasi “agama-agama terorganisasi” (organized religions) yang sepanjang sejarah masuk dan diterima ramah oleh bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia dalam lintasan sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam konteks kebudayaannya sendiri.

Beberapa bukti sejarah membuktikan kesimpulan di atas, antara lain dapat diikuti dari bukti-bukti di bawah ini:


1.   “Agama Asli” Pada Era Pra-Hindu

Prof. Dr. Purbatjaraka mencatat bahwa jauh sebelum kedatangan Hindu/Buddha sudah mempunyai keyakinan mengenai Tuhan Yang Maha Esa, dan menyembah-Nya menurut tatacaranya sendiri. Salah satu sebutan untuk Tuhan dari era pra-Hindu dapat dilacak dari penggunaan bahasa-bahasa Nusantara asli, sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab atau bahasa-bahasa Barat. Salah satu sebutan untuk Sang Pencipta adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), Sang Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Sang Hyang Taya (Sang Maha Tiada). Maksudnya “tiada kasat mata namun ada”, kata Jawa kuna ini masih terpelihara dalam bahasa Sunda, Teu Aya (tidak ada).


Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Sapta Parwa (Jilid II) membuktikan eksistensi keyakinan asli jauh sebelum kedatangan agama-agama besar dunia, antara lain mengutip ungkapan Van Vollenhoven: “In den beginne was de magie” (Pada mulanya adalah kesaktian). Ide tentang “alam gaib” yang penuh tuah (Melayu), kacaktyan (Jawa kuna), sati (Batak), dan lain-lain, menunjukkan ada keyakinan tentang Yang maha Gaib yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara. Akar kata bahasa-bahasa Austronesia tuh, tuah inilah yang menjadi kata Tuhan, sejajar dengan bahasa Nusantara kuna lainnya: Hyang. Kata Hyang (Tuhan) sampai kini masih terpelihara menjadi kata “sembahyang” (Sembah dan Hyang, “menyembah Tuhan”).


J. Ensink, seorang sarjana Belanda, mendukung kesimpulan Pigeaud, sarjana Perancis pendahulunya, yang mencatat salah satu ciri kepercayaan asli Indonesia antara lain tercermin dalam klasifikasi alam “serba dua” (mono-dualistis): Bapa angkasa-Ibu pertiwi; Nini among-Kaki among, Kiri-Kanan, Kaja-Kelod, dan sebagainya, di mana keduanya berbeda tetapi saling berdampingan secara abadi. Filosofi inilah yang menyangga pendekatan alam yang serba harmoni, yang terbukti menjadi tiang penyangga tradisional perekat kebangsaan kita dari zaman pra-sejarah hingga NKRI.


Selanjutnya, kekuatan Yang Maha tinggi itu sering diibaratkan dengan “gunung”. Simbol keyakinan asli Indonesia ini, meskipun tidak dibuktikan oleh tradisi tertulis tertua dari Indonesia sendiri, uniknya justru diabadikan dalam syair India Ramayana, berbahasa Sanskerta (150 M) yang berbunyi: “Yavadwipa matikramya sisiro nama parwatah, diwam sprasati srngena Dewa danawasevitah (Di ujung Nusantara, berdiri gunung Sisira, yang puncaknya bersalju menyaput langit, dikunjungi oleh para dewa dan danawa)”.


Jadi, sebelum bangsa India datang ke Nusantara, sudah terdengar dari India sendiri tentang negeri Nusantara dengan gunung Parwata-nya yang dikunjungi Dewa. Maksudnya, gunung yang menjadi simbol penyembahan kepada Sang Pencipta. Akan dibuktikan dalam tulisan ini selanjutnya, bahwa pemujaan kepada Sang Pencipta dengan simbol “gunung Parwata” ini, masih terus bertahan di tengah-tengah berjayanya agama Hindu/Buddha pada zaman Majapahit. Sebab tenyata Mpu Tantular sendiri (abad XIV M) bukan pemuja Siwa maupun Buddha, melainkan seorang yang memuja Sri Parwata Raja, istilah yang lahir dari local genius bangsa Indonesia pada zamannya. Istilah ini kini sejajar dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa.



2.   “Agama Asli” Pada Era Hindu-Buddha

Pada masa kejayaan Hindu-Buddha, konsep agama asli secara ramah menyambut kedatangan Hindu/Buddha. Namun pengaruh Hindu/Buddha ini hanya memperindah mozaik spiritualitas Nusantara, tetapi sama sekali tidak sampai larut dalam samudera spiritualitas India. Bahkan sering kali spiritualitas asli ditempatkan di atas agama-agama India. Ungkapan-ungkapan India sering dipinjam tetapi disesuaikan dengan alam pikiran asli Indonesia. Beberapa contoh di bawah ini membuktikannya:

2.1. Zaman Kerajaan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Prasasti yang berasal dari kerajaan nasional pertama, yaitu kedatuan Sriwijaya ini, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang melakukan “ziarah raja” (siddhiyatra) demi kejayaan Sriwijaya: Dapunta Hyang nayik di samwau manalap siddhayatra. Artinya: “Dapunta Hyang naik naik ke bahtera pergi menjemput berkah keba-hagiaan tuah-kesaktian”. Menurut Mr. Muhammad Yamin, siddhiyatha adalah perjalanan “ngalap berkah” kepada kekuatan adikodrati yang disebutnya Hyang (Tuhan Yang Maha Esa). Bahkan dibuktikan bahwa nama Dapunta Hyang secara jelas membuktikan pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) sebelum masuknya pengaruh Hindu/ Buddha.


2.2. Zaman Kerajaan Sunda

Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian dari kerajaan Sunda kuno, ditulis kira-kira abad V M. Ketika pengaruh Hindu dan Buddha mulai masuk, keduanya disambut ramah: Hongkara namo Siwa (Selamatlah dengan nama Siwa), dan Sembah ing Hulun di Sanghyang Pancatatagatha (Sembah hamba kepada Sang Panca Tatagata). Keduanya disambut baik, karena “ya eta pahayuon sareanana” (Itu demi kebaikan semuanya). Meskipun demikian, agama-agama yang datang  – yang diwakili dengan kata “Bathara” – ditempatkan di bawah Hyang (prinsip Ketuhanan universal, penghayatan asli bangsa Indonesia): “…mangkubhumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di Hyang” (Mangkubumi berbakti kepada Raja, Raja berbakti kepada dewa-dewa, dan dewa-dewa berbakti kepada Hyang/Prinsip Ketuhanan yang universal).



2.3. “Agama Asli” Pada Era Kerajaan
Mataram Kuno, Kediri, Singasari, dan Majapahit

Perkembangan kedua agama selanjutnya menarik untuk disimak. Hindu, khususnya madzab Siwa dan Buddha, pada masa-masa sesudah itu sangat menonjol. Pada era kerajaan Mataram Hindu (Jawa Tengah), kedua agama itu masih terpisah, berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menganggu (co-existence), tetapi pada masa kerajaan-kerajaan Jawa Timur secara bertahap, dari relasi co-existence meningkat menjadi relasi “pro-existence” (saling ada dan saling berbagi). Tahap-tahap itu misalnya dapat dibaca pada karya-karya sastra sebagai berikut:


Dalam Kunjarakarna (abad XI) dari Kerajaan Singasari ditekankan kerukunan antara kedua agama: Tunggal ika kabeh, kami Siwa kami Buddha (Semua menjadi satu, kita yang Siwa, maupun kita yang beragama Buddha), tetapi rupanya masih dalam tahap co-existence sebagai satu kesatuan sosiologis. Sedangkan dalam Sang Hyang Kamahayanikan (abad X, Mpu Sindok) ungkapan: Buddha tunggal lawan Siwa (Buddha dan Siwa itu satu), mulai merenungkan relasi keduanya secara metafisik. Raja Kertanegara, pencetus politik persatuan Nusantara, menyebut “Sang Hyang Siwa-Buddha” dalam praxis Sangkan Paraning Dumadi (asal muasal dan tujuan Kehidupan). Ungkapan Sang Hyang Siwa-Buddha disini dipahami dalam makna prinsip tertinggi Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengatasi baik Siwa maupun Buddha itu sendiri.


Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhanan Yang Maha Esa yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan Majapahit, prinsip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha.


Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut:

Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa.

Artinya:
“Disebutkan bahwa Sang Hyang Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”.

Siapakah Sri Parwataraja? Seperti telah disinggung sebelumnya dalam tulisan ini, Sri Parwata Raja adalah istilah bagi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa pada zaman Majapahit, terlepas dari melalui agama-agama India (Siwa, Buddha) atau penghayat kepercayaan asli (karesian). Bahwa Sri Parwata Raja adalah “prinsip tertinggi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa”, terbukti dari syair Mpu Prapanca dalam Negara Kertagama bahwa Sri Parwataraja adalah “Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha ning anatha), “Raja dari segala raja di dunia” (Pati ning Jagad pati), dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang ning hyang inisthi)”.


Ungkapan Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusantara Dapunta Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Jadi, kesadaran rohani akan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah ada jauh sebelum kedatangan agama-agama ke Indonesia. Dan terbukti pula, bahwa kesadaran itu yang memandu bangsa Indonesia untuk menerima, sekaligus mengolah pengaruh-pengaruh luar, yang ternyata tidak pernah menenggelamkan jatidiri bangsa kita.

Spiritualitas agung Nusantara yang mengatasi aspek lahiriah agama-agama itu, telah memandu bangsa Indonesia dalam menapaki perjalanan sejarahnya yang panjang. Prinsip itu pula yang mempersatukan Sriwijaya dan Majapahit, dan mengantarkan kedua negara nasional itu ke puncak kemegahannya.



2.4. Kerajaan Demak dan Pajang

Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran Holistic spirituality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Bukti bahwa prinsipNegara agama” yang intoleran dan rawan memecah belah Nusantara itu, antara lain ditunjukkan dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbedaberdasarkan tafsir tunggal sebuah (aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar pada zaman kerajaan Demak dengan jelas membuktikan kebangkrutan sebuah ideologi agama yang bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada keyakinan iman yang berbeda-beda.


Dalam kaitannya dengan paham kebangsaan, Bung Karno, dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 ketika mengusulkan Dasar negara Pancasila, mengatakan bahwa kita hanya memiliki dua kali negara nasional (Nationele Staat) sebelum NKRI, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Karena keduanya bukan “negara agama”, maka keduanya pernah berhasil mempersatukan Nusantara. Pada masa kedua “negara nasional” sebelum NKRI ini tidak pernah ada orang yang berbeda dalam formula iman dipidana, rumah-rumah ibadah dibakar apapun alasannya. Tetapi ketika Demak menjadi “negara agama” dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika diganti dengan Agama ageming aji (agama raja, agama negara) barulah muncul kasus Syekh Siti Jenar, dan sejak Demak Nusantara terpecah-pecah. Jangankan mempersatukan Nusantara, sesama Jawa saja tidak mau mengakui kedaulatan Demak.




2.5. Kerajaan Mataram

Mataram mulai menyadari kegagalan ideologi agama, dan mencoba mengembalikan “spirit Majapahit”, namun gagal dan kalah cepat dengan kekuatan kolonialisme dan Imperialisme Barat. Salah satu indikator kebebasan beragama yang mulai dirintis dan dikembalikan oleh Mataram adalah diampuninya Haji Mutamakin yang mengajarkan ajaran Manunggaling Kawula-Gusti berdasarkan “Serat Dewa Ruci”, atas laporan dari Ketib Anom yang mewakili Islam Santri. Serat Dewa Ruci adalah salinan dan pengembangan dari naskah Jawa kuna berjudul Nawa Ruci, karya Mpu Siwamurti dari masa akhir Majapahit. Kasus “beda tafsir agama” ini dicatat dalam Serat Cabolek.


Selanjutnya menarik untuk dicatat pula, bahwa dibiarkannya kedua pendapat berkembang, di kemudian hari masing-masing telah mengkristal menjadi dua kelompok: Santri (Islam ortodoks), dan Abangan-Priyayi (yang cenderung kepada Kejawen). Serat Cabolek sendiri lebih condong ke pandangan santri, karena itu kita tidak bisa menyalahkan Haji Mutamakin yang “dituduh mengajarkan aliran sesat”, tanpa kita mendengar dan membaca sendiri argumentasi teologisnya. Sinuhun Paku Buwana II tampaknya tidak suka kepada para ulama yang berusaha mengadili keyakinan Mutamakin, sehingga Mutamakin dibebaskan dari tuduhan mengajarkan ajaran sesat. Kedua paham yang berbeda tersebut akhirnya boleh berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa negara secara bijak mengambil jarak dari soal-soal yang termasuk dalam ”ruang privat” warga negara.

Bercermin dari “kaca benggala” sejarah di atas, patut dipertanyakan apakah beberapa kasus pengadilan atas keyakinan seseorang atau sekelompok orang a la Syeh Siti Jenar ini akan terus berlangsung, gara-agara negara terlalu turut campur dalam menentukan sesat tidaknya sebuah aliran agama, seperti tersirat dan tersurat dari Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965? Sekali lagi, dengan mengatakan bahwa undang-undang penodaan agama harus dicabut tidak berarti bahwa saya menyetujui penodaan terhadap nilai-nilai luhur agama. Sama sekali bukan, melainkan jangan sampai negara terlalu jauh mencampuri urusan sesat/ tidaknya sebuah agama atau aliran kepercayaan yang sepanjang sejarah dari zaman ke zaman selalu tumbuh dalam masyarakat Indonesia.



IV. Mengkritisi unsur-unsur
Tindak Pidana Penodaan Agama

Jelaslah bahwa pembatasan terhadap hanya 6 agama yang diakui pemerintah, ditinjau dari sudut ilmu agama-agama − dan ini jelas di luar kewenangan pemerintah untuk mengurusinya − jelas-jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tampak sekali “definisi agama” yang melatarbelakangi munculnya undang-undang diskriminatif ini adalah jelas-jelas definisi agama menurut agama tertentu. Misalnya, syarat-syarat bahwa agama harus mempunyai konsep Tuhan, Kitab Suci, dan Nabi adalah jelas-jelas definisi Islam. Diantara agama-agama semitik saja (Yahudi, Islam dan Kristen), konsep Nabi, Kitab Suci dan pewahyuan saja sudah berbeda, lebih-lebih lagi agama-agama non-Semitik, seperti Hindu dan Buddha.


Agama-agama semitik mengklaim diri sebagai “agama monoteis”, dan bisa saja menuduh agama lain “politheis”, atau minimal “kurang monotheis”. Padahal baik tradisi monotheisme, monisme dan pantheisme semua ada dalam agama Hindu. Sebaliknya, agama Buddha jelas-jelas terpaksa menerima syarat harus ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa”, padahal filosofi ajaran Buddha jelas-jelas bersifat non-theis (bukan atheis, melainkan non-theis sebab tidak mengenal konsep Tuhan sebagai Personal God). Lebih-lebih lagi dalam satu agama, misalnya Kristen/ Protestan, ada lebih dari “satu penafsiran”. Begitu juga dalam Islam, Hindu, Buddha dan sebagainya. Lalu apabila terjadi lebih dari satu tafsir terhadap kitab suci masing-masing, bagaimana harus menerapkan ketentuan dalam pasal 1 “melakukan penafsiran terhadap suatu agama yang berlaku di Indonesia?”

Ketentuan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor1/PNPS/1965 juga bisa menghalangi studi ilmu agama-agama. Misalnya, dalam Kristen kadang-kadang berkembang penafsiran akademis atas agama Islam. Tentu saja “penafsiran Kristen” atas Islam ini berbeda dengan Islam. Apakah ini termasuk penodaan agama? Sebaliknya, apabila seorang teolog Muslim mengembangkan penafsiran atas Kristen dengan memakai ayat-ayat Alkitab yang jelas-jelas berbeda dengan pandangan Kristen sendiri. Apakah perbedaan penafsiran ini juga melanggar undang-undang penodaan agama? Kalau dijawab, “Ya!”, berarti Ibnu Taimiyyah dan Imam al-Ghazali juga bisa dikenakan tuduhan melakukan penodaan terhadap agama Kristen. Karena Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Jawâb ash-Shahîh li Man Baddala Dîn al-Masîh (Jawaban yang Benar atas orang Yang mengubah agama Kristus), yang menafsirkan ayat-ayat Alkitab berbeda dengan “penafsiran resmi” Kristen.

Begitu juga dengan Imam al-Ghazali (wafat 1111 M), dalam bukunya Ar-Radd al-Jamîl li Ilahiyyati ‘Isa bi Syarîh al-Injîl (Penolakan Sempurna atas keilahian Yesus berdasarkan Injil yang Otentik), seharusnya juga bisa dikenakan Pasal 1 Undang-undang Penodaan Agama, karena buku ini berisi penafsiran a la Islam atas teks-teks Suci Kristen demi mendukung pandangan teologis Islam sendiri. Kalau kita menengok sejarah agama-agama dan penyiaran-nya, pertanyaan bisa semakin panjang. Misalnya, proses “islamisasi” (yang bisa disambung dengan “kristenisasi”) cerita-cerita wayang yang cerita-ceritanya banyak mengadaptasi dari India.

Jangan-jangan penulis “Babad Cirebon” dapat dikenai delik penodaan agama, karena menafsirkan pustaka Kalimasada dengan tafsiran Islam Kalimat Syahadat. Padahal Kalimasada berasal dari bahasa Sanskerta Kalimahosadha (Kali, “zaman Kali”, “zaman Kegelapan”; maha, “besar” dan usadha “penyembuh”), artinya “Penyembuh besar pada zaman Kegelapan”. Keterangan mengenai pustaka Kalimahosada ini dapat dibaca dalam Kakawin Barata Yuddha (syair XLI,5), karya Mpu Sedah (1135-1157 M), seorang pujangga Prabu Jayabaya Kediri, sebagai berikut:
….enget ring wekasan Yudhisthira sukang pinituturan tan dwang sanjata pustaka Kalimahosada rinegepira. Sampun sida sinidikara dadi tomara mangarab-arab.

Artinya:
“Akhirnya Yudistira menemukan kembali kesadarannya dan ia suka dalam hati, karena ada orang-orang yang mengingatkannya. Dengan wajarnya ia memegang senjata pusaka Kalimahosada, mantera-menteranya diucapkan secara sempurna, sehingga senjata itu memiliki kekuatan gaib dan menjelma menjadi tombak sakti yang berkobar-kobar”.

Kalau kita lacak lebih jauh lagi, sebagaimana disimpulkan dari hasil penelitian Hazeu, Rassers dan Kruyt, Wayang adalah seni pertunjukan asli Jawa yang berfungsi untuk penyembahan kepada Sang Pencipta. Pada awal kerajaan Hindu, wayang masih berfungsi sebagai ritual penyembahan, sekalipun sudah diisi dengan cerita-cerita Hindu. Hal ini terbukti dari prasasti Balitung (905 M): “…Si Galigi mawayang bwat Hyang, macarita Bhima ya kumara” (Si Galigi memainkan wayang untuk menyembah Tuhan, bercerita tentang Bhima ketika masih muda).

Apakah memakai pertunjukan wayang Jawa demi menyiarkan prinsip-prinsip ajaran Hindu dan kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah “penodaan agama”? Pada zaman Islam para wali memakai wayang demi dakwah Islam, dan kisah-kisah Hindu di-“islam”-kan habis-habisan, sampai-sampai dalam Serat Kanda Bathara Guru (Sang Hyang Siwa), Dewa Pralina dalam agama Hindu, diidentikkan dengan Iblis, yang mengaku diri Tuhan? Begitu juga, dalam sejumlah naskah Jawa-Islam dewa-dewa Hindu diturunkan derajatnya menjadi keturunan Nabi Adam? Bukankah ini memenuhi rumusan delik “… atau membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu”?

Memang, bagi orang Muslim dan Kristen, pertunjukan wayang hanyalah tontonan, tetapi bagi orang Jawa kuna adalah kegiatan keagamaan. Jadi, apakah menggunakan istilah-istilah Jawa-Hindu dan menafsirkan dengan ajaran Islam bukan merupakan penodaan agama menurut Penjelasan pasal 2 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965?

Dengan kata-kata “kegiatan keagamaan” dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran dengan agama, mempergunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya dan sebagainya (Penjelasan Pasal 2).

Perlu dipertanyakan “menggunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya”. Siapakah yang bisa mengklaim bahwa suatu “pola ibadah” dan term-term keagamaan tanpa pengaruh dari bahasa-bahasa yang digunakan oleh komunitas agama sebelumnya. Misalnya, membaca Kitab dengan tartil yang dikenal Tilawat Al-Qur’an dalam Islam, ternyata sebelumnya sudah ada dalam komunitas Kristen Ortodoks di Timur Tengah dengan sebutan mulahan Injil. Dari zaman pra-Islam sampai sekarang adab pembacaan Kitab Suci ini dikenal di seluruh gereja-gereja ortodoks, baik di Timur Tengah, Eropa Timur dan Rusia. Kita semua bisa menyaksikan di negera-negara Arab, bagaimana orang Kristen mengajikan Injil sangat mirip dengan umat Islam mengajikan ayat-ayat Al-Qur’an.
 

The women of Saint Afram Syrian Orthodox church’s choir pray during morning Christmas mass in Amman, Jordan, Wednesday, Dec. 25, 2013. Syrian and Iraqi Orthodox Christian families attended morning mass of Christmas and pray for peace in their countries. (AP Photo/Mohammad Hannon)
Begitu juga pemakaian jilbab sudah dikenal di Code Hamurrabi (abad XIV SM), yang kemudian dilestarikan oleh orang Yahudi, Kristen Timur dan kemudian dilanjutkan oleh Islam. Bagi kita yang hidup di Indonesia, kalau ada orang Kristen membaca Injil dengan dingajikan bisa dituduh membuat “kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu (Islam)”, padahal di Timur Tengah orang Yahudi, Kristen dan Islam mempunyai adab ibadah yang hampir sama, karena ketiga agama itu memang mempunyai akar dan rumpun yang sama.

Khususnya untuk penghayat Kepercayaan dilarang menggunakan istilah “agama” (setelah istilah yang diambil dari bahasa Jawa kuna ini mengalami pembakuan oleh pemerintah), secara historis bisa dipertanyakan: “Siapakah yang lebih dahulu memakai istilah “agama””? Bukankah kata “agama” telah terlebih dahulu diserap dalam bahasa Jawa kuna, sedangkan kata ini tidak dijumpai baik dalam Injil maupun Al-Qur’an? Begitu juga soal pembakuan bahwa agama harus mempunyai konsep “Tuhan”, “Nabi”, “Kitab Suci”, ini benar-benar sebuah bentuk imperialisme doktriner yang menggunakan kekuasaan negara, bahkan tidak sesuai dengan jalannya logika dan fakta sejarah.

Sebab faktanya kaum penghayat mempunyai konsep yang sama sekali berbeda. Orang Jawa tidak pernah mengenal nabi atau rasul. Kasunyatan Jawi, misalnya, memandang bahwa ibu kita sendiri adalah “utusan” Tuhan untuk melahirkan kita. Tentu saja konsep “utusan” ini sangat berbeda bila dipahami menurut logika agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam. Namun paham Kristen atau Islam ini tentu tidak bisa dijadikan “tolok ukur” untuk menilai keyakinan atau pandangan lain yang berbeda. Sebab sekali lagi, dalam konteks ilmu agama-agama, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah “agama dalam pengertian yang sebenar-benarnya”.



V. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka kami memandang bahwa Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak diperlukan dan harus dicabut, karena telah mendeskriminasi agama dan kepercayaan lain di luar yang diakui oleh Pemerintah. Rumusan delik sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1 sangat sulit dilaksanakan, karena secara faktual bertentangan dengan sejarah agama-agama itu sendiri:

Pertama, kriteria “melakukan penafsiran terhadap suatu agama yang berlaku di Indonesiabertentangan dengan fakta bahwa tidak pernah ada tafsir tunggal dalam satu agama itu sendiri, apalagi antara agama yang satu dengan agama lainnya. Kegiatan saling menafsirkan agama dari perspektif agama yang dianut oleh penafsirnya, justru sepanjang sejarah telah terjadi. Lebih-lebih dalam prakteknya selama ini, perbedaan tafsir dengan “versi agama resmi” ini telah menjadi justifikasi terhadap tindakan kekerasan atas nama kebenaran agama, seperti yang khususnya dialami oleh kaum penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, kriteria “membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu” juga bertentangan dengan fakta sejarah agama. Kesamaan istilah atau term-term keagamaan, pola ibadah, dan sebagainya, kadang-kadang muncul karena keserumpunan agama (misalnya: Yahudi, Kristen dan Islam di Timur Tengah; Hindu dan Buddha di India; Konfusius dan Tao di Cina, dan sebagainya), atau beberapa agama dalam perkembangannya tumbuh di suatu tempat yang sama.

Sekali lagi harus ditekankan bahwa pencabutan Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak berarti membiarkan terjadi penodaan agama, sebab pasal-pasal KUHP sudah mengaturnya. Pada prinsipnya, usulan pencabutan Undang-undang Penodaan Agama ini salah satunya dilandasi oleh alasan bahwa keberadaan Undang-undang ini telah membuat pemerintah terlalu jauh mengintervensi keyakinan seseorang, yang seharusnya termasuk “wilayah privat” masing-masing orang dalam tanggungjawab penuh kepada Sang Hyang Tunggal, Gusti Kang Akarya Jagad (Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta) dan sesama manusia, dan segenap makhluk ciptaan-Nya.


Copyright © 2015 Institute For Syriac Culture Studies


No comments:

Post a Comment