Pages

26 February 2015

“Tetapi Tuhan Telah Menjadikanku Seperti Ini!”



Oleh : Dr. John Frame

“Tetapi Tuhan Telah Menjadikanku Seperti Ini!


Kaum homoseksual masa kini pada umumnya mengklaim bahwa mereka tidak berdaya menjadi homoseksual. Homoseksualitas, mereka berargumen, adalah hal yang  alami pada diri mereka : berangkali secara genetik telah ditentukan demikian, bagaimanapun juga sebegitus mendalamnya diyakini di dalam  keberadaan diri mereka bahwa kondisi ini,bagi mereka, sebuah kondisi yang tak terelakan. Karena itu, mereka menyimpulkan, gereja dan masyarakat semestinya menerima homoseksualitas sebagai alami dan normal. Secara pasti, mereka bersikukuh, adalah tidak adil untuk mengecam pada apa yang mereka tidak berdaya untuk mengatasinya.


Tentu saja, kaum homoseksualitas yang menginginkan pengakuan, sebagai orang-orang Kristen menginterpretasikan “ketakterelakan” kondisi mereka ini secara theistik, bahwa “Tuhan yang telah menjadikanku seperti ini.” Bagaimana bisa orang-orang Kristen, kemudian, mengecam  sebuah kondisi yang Tuhan sendiri telah ciptakan?


Pertanyaan ini menyeruak di dalam banyak area diskusi disamping  homoseksualitas.


Kemajuan pesat ilmu genetika telah menuntun pada diskusi-diskusi yang hidup terkait apakah sejumlah perilaku adalah dibawa sejak lahir. Beberapa tahun lalu, telah dipelajari bahwa sebuah porporsi tinggi secara abnormal pada anak-anak laki-laki dengan krmosom “y” ganda  terlibat dalam perilaku anti-sosial atau kriminal. Apakah penemuan ini menyiratkan bahwa kriminalitas, dalam sejumlah kasus, setidaknya, merupakan sebuah perilaku alami dan kondisi yang tak terelakan? Selanjutnya apa? Seharusnyakah kita mengaborsi anak-anak yang memiliki kombinasi genetik ini? Seharusnyakah kita menguji anak-anak secara dini untuk kondisi ini dan mengambil langkah khusus menyakitkan untuk mengendalikan  anak-anak laki kedalam jalan-jalan konstruktif? Seharusnyakah kita mencari jalan-jalan untuk mengganti komposisi genetik anak-anak semacam ini?


Selanjutnya muncul penemuan bahwa sebuah gen tertentu dikaitkan dengan sebuah persentase relatif tinggi para alkoholik. Dana masih lebih baru-baru ini, Simon LeVay, seorang aktivis gay dan neurosaintis, telah mempublikasikan sebuah laporan dalam Science (edisi 253:1034-1037) berargumen bahwa (hanya) ada sejumlah menit namun secara statistik memiliki perbedaan signifikan antara para pria  heteroseksual dan homoseksual dalam ukuran region “INAH-3” pada anterior  hypothalmus, bagian pada otak manusia. Beberapa orang berpendapat bahwa penemuan ini cenderung untuk mengokohkan apa yang telah lama diutarakan para aktivis gay, yaitu : bahwa homoseksualitas adalah sebuah kondisi yang dibawa sejak lahir ketimbang sebuah “pilihan,” sehigga kondisi ini tidak dapat ditolong, dan karena itu semestinya diterima sebagai normal.


Saya tidak kompeten untuk mengevaluasi penelitian LeVay [artikel ini dipublikasikan pertama kali pada sebuah jurnal online edisi “10, March 11 to March 17, 2002”]. Saya berpikir bahwa kita bijak untuk menunda penilaian sampai kerja LeVay dikuatkan atau dikonfirmasi oleh peneliti-peneliti lainnya yang lebih obyektif pada pertanyaan tersebut. Akan tetapi, kita harus mencatat sebagaimana hal-hal lainya, ada sebuah problem “ayam dan telur” di sini yang tak terjawabkan: bagaimana kita mengetahui bahwa kondisi ini (atau berangkali basis jasmaniah lebih  besar yang tak tereksplorasi untuk kondisi ini) adalah penyebab, dan bukan akibat, dari pemikiran dan perilaku homoseksual?


Dan tentu saja kita harus juga mengingat bahwa penemuan-penemuan ini telah dibuat melalui studi-studi pada otak-otak manusia yang memang secara eksklusif homoseksual, membandingkan dengan otak-otak manusia yang diyakini sebagai  heteroseksual secara eksklusif[1]. Tetapi ada sebuah spektrum luas antara 2 ekstrim ini. Populasi yang secara eksklusif homoseksual kelihatannya ada pada rentang antara 1% dan 3% dari populasi (yang secara luas menggunakan angka representasi 10% yang kini reputasinya diragukan). Tetapi lebih banyak lagi orang yang memiliki kecenderungan-kecenderungan biseksual, dan masih ada lagi  heteroseksual yang merupakan bagian besar tetapi  berkeinginan untuk masuk kedalam hubungan-hubungan homoseksual dalam kondisi-kondisi tertentu (eksperimen, penjara, dll). Adakah  hal ini merupakan basis genetik karena  semua hal tersebut tadi lebih merupakan pola-pola perilaku  rumit? Tidak juga LeVay atau tidak juga siapapun juga yang lainnya telah menawarkan data yang merujukan hal tersebut.


Tetapi mari asumsikan bahwa ada sebuah basis alami yang bersifat fisik bagi homoseksualitas, dan bagi alkoholisme, dan tentu saja bagi kriminalitas umum. Saya mencurigai bahwa selagi sain genetika berkembang selama bertahun-tahun akan ada lebih banyak dan semakin lebih banyak lagi korelasi-korelasi yang dibuat antara genetika-genetika dan perilaku, dan itu  akan menjadi kemajuan yang bersifat saintifik. Apakah konklusi-konklusi etika yang seharusnya ditarik?


Karena satu hal, kita secara pasti tidak boleh menarik konklusi bahwa para aktivis gay ingin menarik kesimpulan, yaitu : abhwa kondisi alami apapun  karena itu harus diterima sebagai alami dan normal. Kealamian-kealamin tidak ada hubungan dengan kenormalan. Banyak penyakit, misalnya, secara genetika telah memastikan keberadaan penyakit. Tetapi kita tidak menerima Tay-Sachs atau Sickle-CellAnemia menjadi normal atau kondisi-kondisi yang diinginkan, membiarkannya memiliki sejumlah kebenaran etis. Sebaliknya, kita melakukan apapun yang dapat kita lakukan untuk melawan penyakit-penyakit alami (bawaan genetis) tersebut. Penemuan-penemuan genetika, memang, membuka lebih banyak senjata-senjata yang memungkinkan untuk memeranginya. Beberapa telah dianjurkan, memang benar, bahwa penemuan sebuah “gen gay” dapat memberikan kepada kita peluang, melalui aborsi, atau manipulasi genetika, menghilangkan homoseksualitas(atau setidak-tidaknya satu dorongan menuju homoseksualitas) dari masyarakat sama sekali. Itulah persisnya apa yang tidak ingin didengarkan oleh para aktivis gay.


Lebih jauh, kita harus meletakan  penemuan-penemuan semacam ini dalam perspektif. Tidak setiap orang yang memiliki gen  xyy menjadi seorang kriminal, dan tidak setiap orang dengan sebuah faktor  resiko genetika untuk alkoholisme secara aktual menjadi seorang alkoholik. Secara serupa, tidak harus seorang dengan “gen gay,” jikalau  gen itu eksis, akan secara aktual menentukan orang itu menjadi homoseksual. Walau studi-studi pada anak-anak kembar memang memperlihatkan sebuah korelasi antara genetika-genetika dengan homoseksualitas, setengah dari saudara-saudara kembar homoseksual adalah heteroseksual. Sehingga data menunjukan sesuatu kurang pada determinisme genetik. Memang, data-data itu menunjukan bahwa adalah mungkin bagi seseorang untuk menolak pola-pola perilaku yang mana dia secara genetika mudah dipengaruhi. Gen-gen memang menentukan warna mata, jenis kelamin, golongan darah, dan seterusnya; tetapi pola-pola perilaku, walau dipengaruhi oleh komposisi genetika, tidak terlihat menjadi dikontrol olehnya. Perilaku umum yang membedakan antara para pria dan perempuan, misalnya, memiliki sebuah basis genetik; tetapi (seperti para  feminis dengan cepat menunjukan) bahwa basis genetika tidak  secara menyeluruh menentukan bagaimana kita akan berperilaku di setiap sitausi. Perempuan-perempuan terkadang berperilaku dalam cara-cara yang lebih khas  pada para laki-laki, dan  sebaliknya. Gen-gen bisa jadi mendesak, tetapi tidak memaksa.


Memang benar, macam-macam pengaruh lainnya kerap lebih sukar ditolak dibandingkan dengan warisan genetika. Sebuah editorial dalam National Review ( 9 Agustus, 1993, hal.17) menunjukan bahwa “efek-efek brutalisasi masa kanak-kanak dapat merestriksi kemerdekaan seseorang jauh lebih besar daripada pada sebuah preferensi bersifat psikologis pada hal-hal yang manis; dan banyak dorongan-dorongan yang sepenuhnya bersifat biologi meredup kekuatannya terhadap kebutuhan perokok akan sebatang rokok.” Sehingga, jika kita memaklumi homoseksualitas pada basis kecenderungan perilaku genetika, kita pun harus sama memaklumi  semua tindakan-tindakan yang dihasilkan dari pengaruh lingkungan dan dari pilihan-pilihan buruk di masa lalu. Apakah memang sebuah dorongan yang tak terkendalikan memiliki sebuah basis genetika, secara etika tidak relevan.


Atau tidak juga kita, dalam kasus-kasus lain, memaklumi tindakan-tindakan yang dilakukan pada basis kecenderungan-kecenderungan perilaku genetika. Seorang yang memiliki kecenderungan alamai untuk berperilaku akoholisme tak dapat dimaklumi alkoholismenya pada basis tersebut; atau tidak juga sebuah gen xxy pria memaklumkan kriminalitasnya. Kondisi-kondisi ini tidak memaksa orang untuk melakukan apapun yang berlawanan dengan hasrat-hasrat mereka. Dalam pemahaman itu, mereka tidak mengkompromikan kemerdekaan moral. Mereka menciptakan tangtangan-tantangan moral, lokasi-lokasi bagi godaan moral. Tetapi hal itu juga dipandang dalam perspektif—semua kita memiliki area- area“titik-titik lemah” dimana  kita  khususnya rapuh terhadap pesona-pesona setan. Area-area godaan ini memiliki banyak sumber-sumber, herditas (transmisi karakter-karekater genetika  orang tua kepada keturunan-keturunannya) menjadi salah satunya. Lain-lainya bisa jadi lingkungan, pengalaman-pengalaman, dan keputusan-keputusan masa lalu kita. Jadi, beberapa orang memiliki sebuah masalah utama dengan godaan untuk menyalahgunakan alkohol; yang lainnya, karena latihan mereka sebelumnya, selera pribadi, atau relasi-relasi sosial, kerap tidak menggoda untuk melakukan dosa utama tersebut. Tetapi hal-hal ini secara pasti memiliki area-area godaan lainnya. Ini benar bahkan bagi mereka yang sangat matang atau dewasa di dalam iman Kristen: kedewasaan semacam itu terbuka pada  godaan kesombongan rohani. Jadi orang yang memiliki tantangan-tantangan moral khusus memiliki sebuah komponen genetika yang tidak berada dalam sebuah situasi yang unik sepenuhnya. Kita semua menghadapi tantangan-tantangan semacam ini; semua tantangan tersebut tidak pernah sepenuhnya dibawah kendali kita. Bagi kita semua, dunia ini adalah sebuah tempat yang berbahaya secara rohani. Benar sekali, “Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1Petrus 5:8). Tetapi syukur kepada  anugerah Tuhan, kita dapat “melakukan perlawanan terhadapnya, berdiri kokoh dalam iman, karena [kita] tahu bahwa saudara-saudara [kita] di seluruh dunia sedang mengalami jenis penderitaan yang sama” (1Petrus 5:9).


AMIN
Segala Pujian Hanya Bagi TUHAN



Diterjemahkan dan diedit oleh: Martin Simamora. Dari: “But God Made Me This Way”



Catatan Kaki:
1. Most notable studies of the early 90's attempting to support LeVay's research have now reported that their findings were of less consequence than at first believed (Stanton L. Jones, as reported on Mars Hill Audio Journal May/June 2001, Volume 50).

No comments:

Post a Comment