Pages

06 December 2014

APOLOGETIKA PRESUPPOSISIONAL : SEBUAH PENGANTAR (2)



Oleh: Dr. John Frame

APOLOGETIKA PRESUPPOSISIONAL : SEBUAH PENGANTAR
Bagian 2 dari 2 : Kejatuhan dan Penebusan; dan  Intisari dan Kesimpulan



Sebaiknya membaca bagian 1 terlebih dahulu


A. Dosa, Anugerah, dan Pengetahuan
Alkitab mengajarkan bahwa kita bukan hanya mahluk- mahluk ciptaan Tuhan, tetapi juga orang-orang berdosa (Roma 3:23). Dosa telah mendistorsi semua  bidang kehidupan manusia (Kejadian 6:5; Roma 3:10-18); karena itu dosa memberi dampak pada pengetahuan kita akan Tuhan dalam cara-cara yang penting. Kita telah mendiskusikan perbedaan tajam antara hidup oleh Firman Tuhan dan hidup oleh semata hikmat manusia. Kitab suci mengajarkan  bahwa banyak orang, sedihnya, menjadikan hal terakhir  sebagai pilihan, karena dosa di dalam diri mereka.


Paulus dalam Roma 1 mengajarkan bahwa Tuhan telah secara jelas menyingkap dirinya pada semua  manusia melalui sarana-sarana dunia  yang telah diciptakan. Pewahyuan ini mencakup natur ilahi Tuhan (ayat 20), murkanya terhadap dosa (ayat 18), ketentuan-ketentuan moral-Nya (ayat 32). Pewahyuan yang jernih itu membuat setiap orang tanpa ampun bagi dosa-dosa mereka (ayat 20). Memang, karena pewahyuan itu, bahkan mereka yang tanpa kitab suci dapat dikatakan “mengenal” Tuhan (ayat 21). Tetapi manusia yang berdosa itu “tidak merasa perlu untuk mengakui Allah” (ayat 28). Mereka “menindas kebenaran dengan kelaliman” (ayat 18). Mereka “telah mengganti” kemuliaan Tuhan dengan berhala-hala” (ayat 23), kebenaran diganti dengan dusta (ayat 25). Hati mereka telah digelapkan (ayat 21). Hasil dari  ini adalah degradasi atau penurunan moral, bentuk-bentuk terburuk perilaku dosa (ayat 24-32).


Ini adalah kondisi pada semua manusia yang terpisah dari anugerah Tuhan. 



Dosa mempengaruhi pemikiran dan demikian juga semua perilaku mereka. Poinnya bukan hanya mereka menolak injil. Mereka menolak gagasan terpokok yaitu sujud menyembah sebuah pewahyuan Tuhan. Mereka menolak standard-standard pokok kebenaran yang dengan hal itu  injil divalidasi. Pikiran mereka gelap (1 Kor 2:14; 2 Kor 4:4; Efesus 4:18). Seperti Hawa dalam Kejadian 3; mereka  menolak Firman Tuhan supaya keputusan-keputusan mereka berlansung secara otonomi atau tak perlu bergantung pada Tuhan.


Orang tak percaya [1] kemudian bersekutu dengan Setan, mengadakan sebuah penyangkalan masif terhadap Firman Tuhan. Paulus mengatakan, “manusia duniawi (yaitu orang tak percaya) tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani” (1Kor 2:14). Kitab suci menyajikan penolakan ini terkadang sebagai pilihan orang berdosa, terkadang sebagai Setan membelenggunya: “Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah” ( 2Kor 4:3 dst).


Yesus telah menginterupsi Nikodemus, yang ingin mendiskusikan teologi denganya, berkata, “sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah” (Yohanes 3:3). Betapa itu menjatuhkan  Nikodemus, “guru bangsa Israel” (Yohanes 3:10)! Nikodemus berpikir bahwa dia telah mengetahui banyak mengenai kerajaan Tuhan; tetapi nyatanya dia tak tahu apapun. Dia bahkan tak dapat melihat. Dia membutuhkan lahir baru, Roh Kudus (Yohanes 3:5-8), keselamatan dari Yesus yang telah datang membawa keselamatan itu. Dan Nikodemus membutuhkan presupposisi-presupposisi (baca: kebenaran-kebenaran) baru. Di bagian lain dalam kitab suci, kita belajar bahwa penebusan tersebut membawa sebuah pengetahuan baru mengenai Tuhan. Manusia yang telah jatuh dalam dosa ingin berpikir secara otonomi-tak bergantung pada Tuhan, tunduk hanya pada kriteria kebenarannya sendiri, bebas untuk mengabaikan kebenaran-kebenaran Tuhan. Tetapi anugerah Tuhan  menyingkirkan belenggu kita yaitu cara-cara bebas  atau otonomi atau tak bergantung pada Tuhan dan memampukan kita  sebaliknya untuk berpikir selaras dengan kebenaran ( Yer 31:31 dst; Mat 11:25-28; Yohanes 17:3; 1Kor 2:6-16; Efesus 4:13; Filipi 1:9; Kolose 1:9 dst; 3:10; 2 Tim2:25; 2 Pet1:2 dst; 3:18; 1 Yoh 4:7)[2]. Roh Kudus mengiluminasi pikiran-pikiran kita  untuk mengenal kebenaran (1Kor 2:12 dst; 2Kor 4:6; Ef 1:17 dst; Ibr 6:4;10:32; 1 Tes 1:5). Takut akan Tuhan menuntun pada pengetahuan dan hikmat (Amsal 1:7; lihat ayat-ayat paralel lainnya).


Sumber-sumber penebusan pengetahuan adalah Firman dan Roh Tuhan. “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Roma 10:17). Datang melalui Kata-Kata khusus, yang diberikan oleh Roh (1Kor 2:13). Roh memberdayakan Firman untuk mengantarkan  firman kembali ke dalam hati kita (1Kor 2:4; 1 Tes 1:5; bandingkan dengan Yoh 8:31 dst; 2Kor4:2dst; Kol 2:3; 3:16; 2 Tim 3:15; Yakobus 1:18; 1Pet 1:23; dan banyak lagi).


Kita  jangan  menyimpulkan dari pengajaran ini bahwa orang-orang tak percaya tak memiliki sama sekali pengetahuan kebenaran. Itu akan berkontradiksi dengan Roma 1:18-21. Mereka memang “mengenal Tuhan!” Atau juga tidak boleh secara salah menyimpulkan, dari terminologi yang diterjemahkan “repress” atau menindas oleh NIV dalam ayat 18, bahwa pengetahuan mereka akan Tuhan selalu pada alam bawah sadar atau tidak disadari. Sebaliknya, Kitab suci kerap menyajikan orang-orang tak percaya, bahkan orang-orang jahat, memang menyadari kebenaran dan mau mengafirmasinya (bagi tujuan-tujuan dosa, tentunya) (Matius 23:3 dst; Mark 1:24; Lukas 4:34; 8:28; Yoh 3:2; Kisah Para Rasul 16:17; Yakobus 2:19). Apa yang terjadi, lebih seperti ini, walau mereka mengetahui Tuhan, mereka berbalik melawannya dan melakukan apapun yang mereka dapat lakukan untuk menindas atau menekan efek-efek kebenaran dalam diri mereka sendiri dan di dalam dunia. Kadang mereka menyangkalinya dengan bibir mereka; di lain kesempatan, seperti orang-orang Farisi, mereka mengakui kebenaran itu dengan bibir mereka sementara menyangkali kebenaran itu di dalam hati mereka dan perbuatan-perbuatan.


Atau juga tidak boleh kita menyimpulkan bahwa anugerah Tuhan mencegah orang percaya itu dari pemberontakan terhadap kebenaran. Apa yang dilakukan anugerah atau kasih karunia adalah menghancurkan dominasi dosa (Roma 6:14); anugerah tidak mengusir atau menghapus kehadiran dosa sampai nanti di hari  akhir (Wahyu 21:1-8,27). Karena  saat ini, orang-orang percaya masih berdosa ( 1 Yohanes 1:8-10), dan karena itu mereka melawan Firman Tuhan. Tetapi oleh penebusan kita memiliki sarana untuk bertumbuh dewasa dalam anugerah dan dalam pengetahuan Kristus (2Petrus 3:18).





B.Implikasi-Implikasi Apologetika

1. Sekali lagi: Tidak ada Netralitas
Pengajaran-pengajaran biblikal ini mengokohkan metafora siswa paranoid yang telah kita diskusikan sebelumnya. Orang tidak percaya, seperti halnya siswa paranoid itu, memiliki sebuah pandangan dunia yang salah yang dia sedang upayakan dengan segala daya kekuatannya untuk disebarluaskan dan dipertahankan. Namun, dia  bukan tidak memiliki pengetahuan tentang kebenaran itu. Sebagaimana di dalam ilustrasi tersebut kita berharap bahwa si paranoid itu mungkin menjadi, pada derajat tertentu kesadarannya, berhubungan dengan realita, sehingga kitab suci menjamin kita bahwa orang tak percaya memang bersentuhan dengan realita. Dia tahu Tuhan, walau dia berupaya menekan pengetahuan itu.



Ada sesuatu yang luar biasa irasional mengenai kemampuan untuk memahami dan melakukan pada diri orang tak percaya. Seperti Setan, dia tahu Tuhan, namun demikian dia melepakan Tuhan. Dia tahu bahwa tindakan-tindakannya pantas ditimpakan kematian (Roma 1:32), namun tetap saja dia  melakukannya. Dia tahu pemberontakan melawan Tuhan  dihukum, namun tetap saja dia memberontak. Ada sebuah kegilaan mengenai dosa. Dengan mengatakan demikian, saya tidak sama sekali bermaksud untuk mereduksi tanggung jawab orang tak percaya, sebagaimana mungkin dikemukakan oleh model medis moderen tentang “sakit jiwa.” Kegilaan ini dipilih; itu adalah tanggung jawab orang tak percaya. Dia lebih suka hidup dalam sebuah dunia mimpi, sebuah dunia ciptaannya sendiri, ketimbang untuk mengakui Tuhan sebagai Tuan.  Karena itu dia menantang  realita. Sebagai apologet, kita  harus berupaya untuk menyadarkannya.



Sekali lagi, apologet tidak boleh mengadopsi standard-standard orang tak percaya[3]. Bagaimana bisa kita menerima kegilaannya? Bagaimana kita dapat menyelamatkan dari lumpur penghisap jika kita pun terperangkan di dalamnya  juga? Standard-standardnya, yang memang, standard-standard itu sendiri dosa. Menerimanya akan membuat kita menyanggah Ketuhanan Kristus.


Atau juga jangan kita lancang mengupayakan “netralitas.” Tidak ada hal semacam ini. Paulus bertanya, “persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?” (2 Kor 6:14 dst). Kita bagi Kristus atau melawan dia; tidak seorang pun “tidak memihak pada salah satu,” seperti dikatakan Yesus Kristus dalam Matius 12:30 “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku.”



Disepanjang sejarah apologetika-apologetika, adalah sebuah hal umum bagi orang-orang Kristen untuk mengklaim sejumlah dasar netral yang baik, beberapa kriteria atau standard-standard  baik orang percaya dan tak percaya dapat  menerimanya tanpa mengkompromikan sistem-sistem mereka. Ada, tentu saja, biasanya sejumlah proposisi (argumen atau gagasan) yang baik orang percaya dan tak percaya dapat menyepakatinya. Kesepakatan-kesepakatan semacam ini secara apologetika sangat membantu. Tentu, sebagaimana telah kita tunjukan sebelumnya, beberapa orang tak percaya, berlaku seperti iblis, bahkan dapat mengaku bahwa Yesus adalah Anak  dari Allah yang Maha Tinggi. Tetapi kita akan menyesatkan orang tak percaya ini jika kita mengatakan padanya bahwa kita sedang menggunakan standard-standard kebenaran, rasionalitas, dan pengetahuan yang sama seperti dia. Mengatakan padanya  sama  adalah menyesatkannya bahkan jika dia bersedia  untuk  juga menyatakan standard-standard skriptural/biblikal hanya di bibirnya. Karena hasrat megahnya, komitmen dasarnya, adalah untuk menyerang dan melemahkan kebenaran sebagaimana orang Kristen memahaminya.



2.Kebutuhan Orang Tak Percaya
Dari bukti biblikal, kita dapat  mengharapkan bahwa orang-orang tak percaya yang kita saksikan mengenak Tuhan dan juga menekan kebenaran. Kebutuhan primer mereka bukan untuk mengetahui bahwa Tuhan eksis, walau beragam jenis argumen mungkin menjadi berguna untuk mengingatkan mereka bahwa mereka mengetahui hal itu.



Secara positif, apa yang dibutuhkan orang tak percaya?
(a)Dia butuh Firman Tuhan, Firman adalah apa yang membawa iman. Saya  tidak sedang mengatakan bahwa si apologet semata harus membaca firman kepada orang tak percaya, walalu  pasti ada sebuah tempat untuk itu. Hal penting adalah bahwa dia menyajikan berita otentik Injil, tanpa mengkompromikanya atau melemahkannya. Dia tidak boleh melebih-lebihkan (atau memodifikasi) berita injil sebagaimana kerap dilakukan; dosa harus disajikan dengan segala keburukannya, supernatural dengan segenap hal yang sukar diterima “manusia moderen.” Salib sebagai sebuah korban darah, iman sebagai sebuah soal  hidup atau mati, Ketuhanan Kristus dengan segenap tuntutannya yang merangsek masuk ke dalam kehidupan pribadimu. Semua itu, tentu saja, diiringi dengan suka cita, kabar baik janji-janji Tuhan.


Dalam menyampaikan Firman, kita harus menerapkan pada situasi  orang tak percaya. Orang –orang percaya yang berbeda memiliki jenis-jenis problem berbeda dengan Kekristenan: eksistensi Tuhan, problem kejahatan, tuntutan etika dalam Kitab suci, atau apapun juga. Kita harus dipersiapkan untuk berurusan dengan hal-hal tersebut kala mereka muncul, memberikan jawaban-jawaban skriptural atau berlandasakan firman Tuhan. Mengaplikasikan firman dengan situasi-situasi masa kini, kita harus tahu sesuatu tentang situasi-situasi masa kini. Memang, kita dapat menggeneralisasi: menerapkan firman, kita harus memiliki sejumlah pengetahuan ekstra firman Tuhan. Sebuah “jawaban skriptural” bagi problem-problem senjata nuklir harus mencakup sejumlah pengetahuan mengenai senjata-senjata semacam itu.


Firman itu sendiri tiada makna jika tidak dapat diterapkan pada pertanyaan-pertanyaan dan  kebutuhan manusia. “Menyajikan” Firman kepada orang lain (sebab dia menolak untuk semata membacakan firman pada dirinya) adalah menerapkannya, menggunakannya untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia. “Menyajikan Firman,” kemudian adalah menyajikan sebuah perspektif skriptural pada pengalaman manusia.


Penyajian atau penyampaian Firman semacam ini, kemudian mencakup banyak jenis argumen dan bukti-bukti. Para presupposisionalis (anda dapat membacanya sebagai apologet Kristen yang menjadikan Firman sebagai premis kebenaran) kerap dituding menolak penggunaan bukti. Ini tidak sesederhana itu[4].  Presupposionalisme tidak melibatkan prasangka umum apapun terhadap penggunaan data ekstra biblikal; prasangka semacam itu mustahil dalam apologetika apapun yang berupaya menjawab isu-isu masa kini. Kami tidak menolak penggunaan bukti-bukti, bahkan menggunakan bukti-bukti theistik (berhubungan sang Pencipta-Tuhan). Kami hanya bersikukuh bahwa bukti-bukti itu harus menjadi argumen-argumen skriptural—yaitu argumen-argumen  yang tunduk pada kriteria skriptural.



Memang kerap, menyajikan bukti adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Jika seseorang meminta keberadaan bukti bagi  kebangkitan Yesus, adalah sangat benar untuk tunduk pada “standard” argumen-argumen: laporan-laporan penampakan-penampakan kebangkikan, bukti kubur kosong, penjelasan-penjelasan alternatif yang sangat tak mungkin untuk terjadi, dan lain sebagainya. Ini dapat menjadi investigasi yang benar-benar diperlukan! Berangkali Roh akan menggunakan presentasi ini untuk mengatasi penolakan terhadap Injil. Pada sisi lain, berangkali orang tak percaya tertentu akan memerlukan sesuatu yang lebih  banyak lagi. Dia mungkin keberatan (seperti David Hume) yang menyatakan bahwa penjelasan apapun yang naturalistik pada “bukti”  akan menjadi superior terhadap penjelasan apapun yang supernatural pada bukti. Pada poin ini, kita harus melakukan lebih dari pada menyajikan bukti; kita harus, sebaliknya, menyajikan sebuah epistemologi, sebuah filosopi bukti. Dan Filosopi itu tidak bisa sebuah  filosopi Humean  atau Kantian atau  filosopi  Bultmannian; itu haruslah filosopi Kristen, skriptural. Pada  titik ini menjadi  jelas bahwa bahkan dalam menyajikan bukti kita tidak merujuk atau tunduk kriteria yang netral atau dapat diterima oleh orang tak percaya. Sebaliknya, kita tunduk pada kriteria Tuhan, dan penundukan kita terhadap bukti adalah tak lepas dari penudukan pada kriteria Tuhan. Kita sedang menawarkan kepada orang tak percaya, sebagaimana kita menawarkan pada siswa paranoid tadi (pada bagian 1), sebuah argumen sirkular secara luas yang merujuk atau tunduk pada standar-standard kita sendiri, bukan miliknya.



Dengan demikian adalah menyesatkan untuk mengatakan pada orang tak percaya (sebagaimana banyak dilakukan para apologet) bahwa bukti bagi Kekristenan hanyalah “kemungkinan”sebab berlawanan dengan menjadi “pasti.” Ada, tentu saja, beberapa jenis 


kepastian yang  berhubungan dengan keyakinan-keyakinan:

  1. Kepastian yang bersifat psikologi, ketiadaan keraguan 
  2. Kepastian yang bersifat logika, validitas sebuah argumen 
  3. Obyektifitas kepastian, keutuhan sebuah argumen (premis-premis yang benar dan logika yang valid).


Karena argumentasi Kristen adalah sebuah aplikasi dari Firman Tuhan, memang benar, ketika dilaksanakan secara benar, selalu pasti dalam pemahaman poin kedua dan ketiga. Tetapi apakah juga menjamin kepastian yang bersifat psikologi?


Ya: bukti itu dievaluasi dalam terang sebuah epistemologi Kristen, menjamin kepastian psikologis, karena ketundukan ultimatna pada Firman Tuhan yang berotoritas. Kita diharuskan untuk menjadi pasti akan Firman Tuhan;  tentu saja, Firman adalah  kriteria  terpenting kepastian. Kita wajib untuk menilainya sebagai lebih pasti daripada apapun juga yang kita tahu. Sebagai contoh: pada puncaknya, bukti terkuat bagi kebangkitan adalah yang diajarkan kitab suci![5]. Dan bukti-bukti lainnya  untuk kebangkitan (saksi-saksi, argumen-argumen, dan lain sebagainya) yang juga berasal dari Alkitab, menjadi dasar (presuppose) standard-standard Kristen untuk evaluasi. Kebangkitan, kemudian, adalah pasti karena itu diajarkan dalam Firman Tuhan itu sendiri. Tentulah, sebagai bagian dari Firman Tuhan, itu adalah standar kepastian yang terkuat; tak ada  hal lain yang lebih pasti.



Sehingga presenstasi bukti, jika dilakukan secara benar, itu sendiri merupakan sebuah presentasi Firman Tuhan. Itu adalah sebuah aplikasi Firman Tuhan bagi data pengalaman. Argumen-argumen teistik (berkait Tuhan) adalah contoh lainya. Memang pasti berdasar untuk menggunakan data semacam itu sebagai  indikasi sebab akibat, untuk maksud tertentu dan moralitas akan realita Tuhan. Tetapi seorang yang tak percaya mungkin berupaya untuk menghindar kekuatan argumen-argumen semacam itu dengan  mempostulasi atau mengklaim tanpa dasar bahwa  alam semesta  menjadi tidak rasional dalam “indikasi-indikasi”  yang tidak dapat dipercaya semacam itu, atau dengan bersikukuh bahwa bagi dirinya alam semesta itu sendiri adalah sebuah  penjelasan yang memadai atas data-data ini.[6]. Pada poin ini, si apologet harus kembali membicarakan kriteria kebenaran dan rasionalitas. Dan dalam diskusi itu, warna-warna  Kristen si apologet pastilah tak terhindarkan menjadi diekspos.[7]


Jalan lain mengaplikasikan Kitab suci adalah menyerang gagasan-gagasan non Kristen itu sendiri secara langsung. Adalah sah bagi orang-orang Kristen untuk menyingkapkan penggunaan kesalahan-kesalahan logika orang-orang tak percaya, kontradiksi-kontradiksi pada diri sendiri, kebingungan atau kerancuan yang bersifat linguistik, kesalahan-kesalahan faktual, dan sejenisnya[8]. Argumen semacam ini secara khusus sangat berguna ketika argumen itu memperlihatkan sebuah motivasi spiritual untuk kesalahan tersebut: misal, bukan untuk kesenangannya sendiri, karena Tuhan mengingkan kita untuk menyerupai konsistensinya sendiri ( 2 Tim 2:13).


(b)Kebutuhan kedua orang tak percaya: dia harus dibawa kepada pertobatan dan iman. Sebagaimana Calvin telah menekankan hal ini, tidak masalah besar apakah kita memenangkan argumen, atau kita  mendesak orang tak percaya untuk mengakui kebenaran intelektual injil[9]. Gol atau tujuan  apologetika-apologetika (karena apologetika tidak lebih daripada sebuah aspek penginjilan) adalah pertobatan dalam makna  terutuh. Tentu saja, hanya Roh Kudus yang dapat mempertobatkan. Tetapi kesaksian kita, sebagai sarana Roh, harus berada di dalam solidaritas dengan Roh; kita harus  mengupayakan apa yang Roh upayakan dan mengatakan apa yang Roh katakan.


Pertobatan berarti berbalik dari dosa. Iman, sisi berlawanan dengan pertobatan, adalah berbalik kepada Kristus. Anda tak dapat memiliki satu sisi tanpa sisi lainnya. Ada juga kebutuhan dalam area pikiran manusia. Orang tak percaya harus berbalik menjauh dari otonomi pemberontakan dan berpusat pada diri sendiri, termasuk intelektualnya, dibawah Ketuhanan Kristus.



Ini tak bermakna bahwa setiap penanya  atau investigator harus dikonfrontasikan pada subyek epistemologi (= berkait dengan natur sains, presuposisinya, fondasi dan validasi)nya. Kebanyakan orang tidak memiliki sebuah kerja epistemologi yang cermat; kebanyakan bahkan tak mengetahui apa makna kata tersebut. Mereka melakukan dosa intelektual bagaimanapun juga; mereka gagal untuk berpikir dan bernalar selaras dengan standard-standard biblikal. Tetapi ketika mereka datang kepada Kristus mereka bertobat akan hal-hal ini sebagai bagian dari paketnya. Secara pasti kita tidak berkewajiban mendiskusikan setiap dosa secara spesifik kepada setiap orang tak percaya, dan demikian juga dalam sejumlah kasus kita dibenarkan dalam mengabaikan rujukan spesifik pada dosa-dosa intelektual[10]. Namun juga di saat bersamaan kita tidak boleh mengatakan atau melakukan apapun untuk melemahkan kebutuhan pertobatan intelektual. Dan itu, saya berpendapat, adalah apa yang banyak apologet telah lakukan ketika mereka mengklaim “netralitas” atau “kesamaan dasar.” Klaim-klaim semacam ini menuntun orang tak percaya untuk berpikir bahwa dia tidak memiliki dosa-dosa intelektual yang membutuhkan pertobatan, sehingga dia dapat meneruskan pemikiran apapun yang dia sukai, sehingga dia tidak perlu membawa  “setiap pikiran yang terpenjara kepada kepatuhan Kristus” (2Kor 10:5)[11].


Walaupun memang sangat sah, sebagaimana telah kita lihat, bagi para apologet untuk menggunakan argumen-argumen theistik, bukti dan sebagainya, ada bahaya-bahaya harus dihindari dalam area ini. Adalah mungkin untuk terus menerus menggunakan fakta-fakta, bukti-bukti dan argumen-argumen yang mengokohkan dalam sebuah cara yang malah menyesatkan orang tak percaya bukan pada kebutuhannya akan kebenaran. Bahkan argumen-argumen itu sendiri yang memang  sah (seperti  yang telah disebutkan dalam (a) di atas) dapat dalam konteks-konteks pasti menjadi halangan-halangan  menuju iman sejati. Karena hal-hal semacam ini cenderung  menggoda  orang tak percaya itu menjadi berpikir bahwa Tuhan harus selaras dengan standard-standardnya. Orang tak percaya itu dapat berpikir bahwa dia dapat menjadi beriman tanpa perubahan  radikal pada pikirannya, memang benar, berangkali, bahkan terlepas dari anugerah atau kasih karunia[12]. Ini  teramat penting, karena itu, bahwa si apologet menjadi penginjil sadar diri, bahwa dia selalu mengarahkan matanya pada gol atau tujuan. Gol atau tujuannya bukan memenangkan argumen, tetapi untuk membawa orang lain kepada pertobatan dan iman kepada Kristus.


Jika kita menyimpan gol ini dalam benak, aspek-aspek lainnya dalam  tugas apologetika juga akan  pas pada tempatnya. Untuk satu hal, apologetika-apologetika harus dimandikan dalam doa; karena hanya Tuhan yang dapat mengeluarkan buah sejati dari presentasi-presentasi kita. Untuk hal lainnya, kita dapat melihat bahwa apologetika terbaik kerap bukan sebuah argumen sama sekali, tetapi sebuah demonstrasi kasih Kristen. Kasih secara penuh kuasa memesona  hati. Sukses yang dialami Francis Schaeffer dari pelayanan L’Abri adalah sebuah kasus dalam poin ini:  Schaeffer menghabiskan banyak waktu dalam debat apologetika, tetapi dia dan keluarganya juga mencintai orang untuk masuk kedalam kerajaan Tuhan, memperlihatkan pada mereka bahwa Tuhan sungguh-sungguh membuat perbedaan. Pada bagian lain, para apologet yang  tak menghargai orang lain, yang mem-bully mereka secara sengaja, yang mengekspresikan kebanggaan yang jahat dalam rasionalitas mereka, kecerdasan mereka, kekudusan mereka, tradisi-tradisi teologia mereka dan semacamnya; hal –hal ini tidak dapat mengharapkan berkat Tuhan  pada kerja mereka.[13]



Golnya adalah keselamatan: argumen apologetika adalah salah satu dari banyak sarana  yang mana Tuhan dapat memilih untuk digunakan. Para apologetik adalah seorang hamba disiplin. Argumen apologetika BUKAN, seperti kadang disajikan, “BASIS” iman Kristen.[14] Firman Tuhan adalah Basisnya. Argumen apologetika adalah satu cara untuk mengaplikasikan basis itu pada masalah-masalah tertentu yang dimunculkan orang untuk membenarkan diri mereka sendiri untuk tak mempercayai Kristus. Ini tak hanya cara, bahkan untuk berurusan dengan  problem-problem mereka. (Teguran dengan kasih kerap cukup). Argumen apologetika adalah satu sarana yang kerap sangat berguna, tetapi adalah penting untuk menempatkanya pada tempatnya, tak membiarkan diri kita sendiri sebagai apologet yang terlampau berbangga dengan kepentingan diri sendiri ( lihat 1 Kor 8:1-3).




Intisari dan Kesimpulan

Apa yang telah disampaikan, apapun kasusnya, adalah konsep apologetika-apologetika yang saya  akan anjurkan. Apologetika ini secara serius mengambil pengajaran penciptaan dan penebusan biblikal atau, untuk mengemukakannya dalam cara berbeda, afirmasi skriptur atau kitab suci bahwa Kristus adalah  Tuhan dan juru selamat. Sebagai Tuhan, Yesus memiliki hak untuk memerintah pikiran kita dan demikian juga segenap aspek hidup; kita harus  menerima sebagai kebenaran sejak semula ketuhanannya dalam apologetika-apologetika dan memanggil dengan sebuah kepentingan tinggi  orang-orang non Kristen untuk membawa pikiran-pikiran mereka yang tertawan kepada Yesus. Sebagai Juru selamat, dia membentuk kembali pikiran manusia dalam citranya dan membawa umatnya kepada pertobatan dan iman. Para apologetik harus memiliki gol yang sama; dan karenanya si apologet harus  menantang orang tak percaya pada sebuah perubahan radikal pada pikiran dan kehidupan, sementara meneladani pikiran dan hidup baru itu dalam kata-kata dan tindakan-tindakannya sendiri.


Jenis apologetika-apologetika ini dapat menggunakan banyak metoda-metoda apologetika tradisional dan argumen-argumen, tetapi ini akan memerlukan upaya menautkan semua metoda dan argumen secara tepat kepada ketuhanan Kristus dan maksud-maksudnya yang menyelamatkan. Jadi apologet akan menjadi sensitif pada kesempatan-kesempatan untuk menyajikan Kristus sebagai fondasi semua rasionalitas (Kolose 2:3),  Tuhan atas pikiran manusia, dan untuk mengejar maksud-maksudnya yang menyelamatkan dalam setiap perjumpaan apologetika. Hanya dengan ini akan menjadi berhasil dalam melakukan apologetika-apologetika demi kemuliaan Tuhan.  


AMIN
SELESAI



PRESUPPOSITIONAL APOLOGETICS: AN INTRODUCTION Part 2 of 2: Fall and Redemption; and Summary and Conclusion|diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora




Catatan kaki:

1. I will in this paper present apologetics as a debate between "believer" and "unbeliever." I realize, of course, that apologetics is often useful for believers as well, to edify and to ease continuing doubts. But for the sake of simplicity, I will write here as if our apologetic arguments were exclusively directed toward unbelievers. Not everything I say will pertain to that other kind of apologetics which deals pastorally with believers, but some of it will. That latter kind of apologetics, it should be remembered, deals with the unbelief remaining within the believer.


2. Again, I apologize for deluging the reader with "proof texts." See my DKG, especially 1-49, for some analysis of their teaching. I do think, however, that for the most part these texts speak for themselves without commentary, at least to most high school graduates. On "proof texts," see ibid., 197.


3. I am speaking here of the standards he seeks to promote. Of course, he may, like the Pharisees, hypocritically confess a biblical, theistic standard. That, of course, we may and must agree with; and we must call such unbelievers to give heart allegiance to those standards, in place of lip-service.


4. See my DKG, 140-149, 352-4, Van Til, Christian-Theistic Evidences (Phillipsburg: Presbyterian and Reformed, 1961). Van Til approves of theistic arguments in many places: see his The Defense of the Faith, 120, 196, An Introduction to Systematic Theology (Phillipsburg: Presbyterian and Reformed, 1961), 102ff., 114ff., 196, A Christian Theory of Knowledge (Phillipsburg: Presbyterian and Reformed, 1969), 292, Common Grace and the Gospel (Phillipsburg: Presbyterian and Reformed, 1972), 179ff., 190ff.


5. This is not a joke. I have often asked students what is Paul's central argument for the truth of the resurrection in 1 Cor 15. Because of their acquaintance with the modern evidentialist literature, they almost always give the wrong answer. Paul's chief argument is not the witnesses (even the five hundred of verse 6), though that evidence is there and is certainly impressive. The correct answer: Paul says the Corinthians should believe in the resurrection because it is part of the apostolic preaching, part of God's Word! See verses 1ff.,11ff.,14ff.


6. Van Til teaches that these two alternatives, which he calls "irrationalism" and "rationalism," are found (together, but in tension) in every non-Christian philosophy. He is thus able to develop an insightful analysis of the whole history of philosophy, presenting it as the spiritual battle that it is.


7. And, again, we should stress that the Christian form of theistic argument is not merely probable, but certain. For on a Christian basis God is the indispensable foundation of all rational argument. Nothing can exist more certainly than he, for he is the standard of all certainty.


8. Again, note Van Til's interesting approach, charging unbelieving thought with being both rationalistic and irrationalistic at the same time.


9. As, for example, in Institutes I, ii, 2 and I, v, 9.


10. Of course, with some unbelievers, especially those with some intellectual gifts and interests, it is good to raise specifically the issue of intellectual sin. Just as the rich young ruler needed to hear about the snares of wealth (Luke 18:23), so many people need especially to hear about the snares of "knowledge falsely so-called" (1 Tim 6:20).


11. Believers too often fail consistently to bring their thoughts captive to Christ. Thus many Christians today, badly taught from the outset about the demands of their Lord, are trying to live for Jesus while blithely accepting all sorts of anti-Christian ideas in school classrooms, entertainment and news media.


12. Some presuppositionalists have accused "evidentialists" of teaching that people can come to Christ without grace or without the work of the Holy Spirit. There may be some evidentialists who hold such views (perhaps by pushing an Arminian theology to a Pelagian extreme), but most do not. Some evidentialists, like John H. Gerstner, are very self-conscious Calvinists. In general, I think that this criticism of evidentialism is unfair, and I do not join in it myself. Still, there are dangers that contrary to our intentions, we (whether presuppositionalists or evidentialists) might by our preoccupation with evidences mislead unbelievers into such errors.


13. Though God may sovereignly decide to use their witness anyway (Phil 1:15-18)!


14. Here I agree enthusiastically with the "theistic foundationalism" of Wolterstorff and Plantinga.


No comments:

Post a Comment