Pages

28 November 2014

Rasisme, Lonceng Maut Kemanusiaan



Oleh: Martin Simamora


Rasisme, Lonceng Maut Kemanusiaan




Kolose 3:11  dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.

Ketika saya mendengar dan menonton berita di televisi bahwa Amerika Serikat sedang dilanda kerusuhan bernuansa rasialisme di Ferguson, sekali lagi dan berangkali untuk kali ke sekiannya, saya diyakinkan bahwa Rasisme dan diskriminasi dalam segala wujudnya dapat menjadi lonceng maut kemanusiaan. Manusia oleh hal ini dapat menjadi brutal untuk saling menghancurkan tak hanya manusia lainnya, namun peradaban manusia itu sendiri. Walau  tak semematikan bom atom hirosima dan nagasaki, namun rasisme memiki semacam radiasi nuklir yang “kekal”dan tak pernah benar-benar lenyap  residunya, sekali itu meledak di sebuah wilayah atau negara. Saya tak akan spesifik mengulas apa yang sedang berlangsung di AS dan juga  tidak akan berbicara secara khusus dalam terminologi-terminologi sosiologi apalagi politik yang pelik. Namun demikian, saya menilai penting untuk mencukil apa yang ditulis oleh Profesor Thomas  M.Saphiro dalam bukunya berjudul “The Hidden Cost of Being African American: How Wealth Perpetuates Inequality.” Saya akan cukup serius menyentuh buku ini, untuk kemudian kita bergerak menyorot isu ini dalam sudut pandang pengajaran Kristen.


Rasisme, Pilar Ketidaksetaraan Sosial dan Pencideraan Kemanusiaan
Saya mengutip  tanpa menerjemahkannya, namun saya mengambil poin-poin tertentu sebagai reflektor dalam  ulasan saya. Selamat membaca dan menikmatinya.


“I met Frank anda Suzanne Conway during  the late-afternoon rush hour at a restaurant in Los Angeles. Recently  laid off from a communication marketing firm anda now taking courses to become certified to teach elementary school, Frank arrived after picking up their daughter, Logan, from day care. Suzanne arrived from  her job as an operations supervisor for a money management company. The conways loved their home in the diverse urban neighborhood of Jefferson Park, near the university of Southern California, but were gravely comcerned about sending Logan to weak public schools. They talked to met at lenght over coffee about this community-school dilemma, their high educational hopes, and their future plans. The conway’s story anda their solution to their dilemma turned out to be more common than anticipated. Because they receive genorous help from their families, they are considering moving to a suburban community with highly regarded schools. Home prices there start at four times those where they live now, and Logan would grow up and go to school in a far more homogenous community—family wealth makes these decisions logical and desirable  for some families.
Of course, as with the nearly one in three American families without financial assets, many of family interviews did not brim over with  optimistic choices and options but rather turned on how lack of family wealth severely restricts community, housing, and schooling opportunity. Like the conways, Alice and Bob Bryant work at professional jobs and earn a middle-class income, but they do not have access to family wealth—they are asset-poor. Living in the working class Dorchester section of Boston, they are frustrated about their inability to afford to move to a neighborhood with  better schools. Doing the best they can, they are highly aware that their son, Matthew, attends only “halfway decent schools” and is not getting the “best education.” The Bryants’ hopes for Mathew are no different from the Conways’ for Logan. WHAT IS DIFFERENT IS THEIR CAPACITY TO FOLLOW THROUGH ON THEIR HOPES AND DELIVER OPPORTUNITIES. The Conways ARE WHITE and the Bryants  ARE BLACK. Because their incomes, professional status, and educations are nearly identical, conventional wisdom suggest that race should be at most a minor factor in opportunities available to these two families, but we will see tangible connections between family assets and race. Differing family asset capacity, which has more to do with race than with merits or accomplishments, most likely will translate into different worlds for Mathew and  Logan.

Demonstrating the unique and diverse social circumstances that blacks and whites  face is the best way to understand racial differences in wealth holding. The idea I develop in this book  also push the sociology of wealth in another important direction, namely, an exploration of how the uses of wealth perpetuate inequality. Together wealth accumulation and utilization hightlight  the ways in which the opportunity structure contributes to massive racial wealth inequality that worsens racial inequality [halaman 1-2]



Sederhananya ini adalah gambaran sosial yang terjadi di Amerika Serikat, bagaimana warna kulit  masih memiliki pengaruh atas kehidupan sebuah keluarga atau individu sehingga mengalami kesukaran untuk mengakses sebuah kualitas kehidupan yang lebih baik, SEKALIPUN MEMILIKI KESETARAAN DALAM PELUANG DAN GAJI! Kita tidak akan melakukan sebuah kajian atas buku Saphiro ini, namun saya menilai adalah baik menjadikannya sebagai sebuah refleksi atas kehidupan dalam negara kita  dan kemudian secara khusus kehidupan bergereja jemaat Tuhan itu sendiri. 




Saphiro dalam bagian  yang saya kutip sedang menyatakan bahwa keberbedaan etnisitas atau warna kulit ternyata mempengaruhi kesetaraan untuk mengakses kesejahteraan;  anak kulit hitam memiliki kesukaran untuk dapat menikmati sekolah yang lebih baik; bahwa di negara semaju Amerika Serikat dimana semestinya warna kulit tidak memiliki  kaitan pada dunia kerja atau dunia profesional ternyata, menurut Saphiro, dapat dilihat ada terjadi di Amerika Serikat. Saphiro menyatakan bahwa rasialisme atau diskriminasi yang bersifat struktural akan menghasilkan sebuah ujung yang jauh lebih mematikan, tepatnya begini dia berkata: ”Together wealth accumulation and utilization hightlight  the ways in which the opportunity structure contributes to massive racial wealth inequality that worsens racial inequality.“

Rasialisme atau diskriminasi telah menghasilkan ketidaksetaraan terstruktur, itulah sebetulnya  yang hendak dikatakan oleh Saphiro dalam bukunya. Karena ini bersifat terstruktur, menurutnya, dapat berkembang menjadi ketidaksetaraan yang semakin memburuk. Saphiro bahkan menggunakan sebuah terminologi yang mematikan yaitu: “wealth perpetuate inequality” atau “ketaksetaraan kesejahteraan dalam rentang waktu yang berkepanjangan.” Ketaksetaraan terstruktur inilah yang menjelaskan mengapa sekalipun  sama-sama bekerja dalam sektor yang sama, jabatan yang sama, skala industri yang sama dan gaji yang sama namun tetap mengalami kebedaan dalam peluang untuk mengakses kualitas hidup  yang setara, bahwa sebagaimana dapat diakses oleh kulit putih demikianlah seharusnya dengan kulit hitam!.


Perlu diketahui, kalau saya sebagai penulis artikel ini mengacu sebuah peta toleransi dan rasialisme  dunia yang dipublikasikan oleh The Washington Post dalam  kolom yang berjudul “A fascinating map of the world’s most and least racially tolerant countries” maka kita mengetahui bahwa Amerika Serikat adalah  termasuk negara yang sangat  bertoleransi dan sangat menerima baik orang-orang beretnis atau berlatar belakang berbeda. Berbeda dengan Indonesia yang dinyatakan sebagai negara yang  penduduknya tak dapat menerima orang beretnis lain sebagai tetangganya. Peta ini sebetulnya sangat kontroversial dan sangat buruk. Misal untuk Indonesia sendiri, saya pikir, tidak seburuk itu, bahwa  masyarakat Indonesia tidak dapat menerima perbedaan etnis, adalah sebuah analisa yang keliru besar. Namun berangkali kelemahan besar pada peta versi The Washington Post ini adalah metrik pengukurannya  yang terlampau sederhana, sebagaimana dikatakan oleh profesor Steve Saideman  dalam  kolom yang dipublikasikan oleh The Washington : Post 5 insights on the racial tolerance and ethnicity maps, from an ethnic conflict professor, dimana dia berkata :

I say "controversially" because of the subject's sensitivity and because reducing such a complicated, subjective phenomenon to a single metric – the frequency with which people in a certain country said they would not want neighbors of a different race – is going to produce some highly disputable results.
Saya mengatakan “kontroversial” karena sensitivitas subyek dan karena mereduksi   hal pelik semacam ini, fenomena subyektif menjadi sebuah metrik tunggal-pengukuran tunggal  semacam itu pada masyarakat dalam sebuah negara tertentu  yang hasilnya mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan hidup berdampingan dengan tetangga yang beretnis lain—akan menghasilkan sejumlah hasil yang sangat tinggi untuk diperselisihkan.




A fascinating map of the world’s most and least racially tolerant countries -
The Washington Post

Khusus Indonesia, saya sebagai orang Indonesia dapat mengatakan bahwa Indonesia tidak seperti itu. Memang belakangan ini ada sebuah rejeksi sangat kuat terhadap sekelompok masyarakat terhadap sekelompok masyarakat lainnya, misal saja yang dialami oleh penganut  Ahmadiyah. Tentunya, jika ini yang disorot di Indonesia maka ini bukan isu rasisme yang sedang berlangsung tetapi isu agama atau keyakinan sebagai sumber ketaksetaraan atau diskriminasi. Memang Suku, Agama, dan Ras adalah 3 rumpun yang menjadi sumber ketaksetaraan atau diskriminasi terutama baik bersifat insidentil atau terstruktur. Namun saya berpendapat, apapun sifat diskriminasi itu, pasti akan akan menghasilkan sebuah luka dalam dalam sebuah masyarakat yang tak mudah untuk dipulihkan dan berpeluang besar melahirkan dendam  yang diwariskan turun-temurun oleh sebab diceriterakan dari generasi ke generasi. Saya pun harus mengakui bahwa Indonesia memiliki sebuah potensi rasialisme yang serius dan tidak boleh dibiarkan tanpa sebuah solusi yang serius dari negara, misal sebelumnya, pada  kasus Ahok, panggilan populer untuk  gubernur DKI Jakarta Basuki  Tjahaya Purnama, sebelum dia dilantik menjadi gubernur. 

Singkatnya, Indonesia punya pekerjaan rumah serius untuk membasmi akar-akar ketaksetaraan dalam bernegara dan berbangsa,  dalam derajat yang bagaimanapun. Apa yang terjadi di Amerika Serikat merupakan sebuah peringatan serius bahwa RASA tidak setara dihadapan negara, dalam hal ini hukum dengan cepat diidentikan sebagai sebuah diskriminasi  karena korban adalah berkulit hitam dan penembak adalah berkulit putih. RASA tidak setara yang berjalan secara laten dan berkepanjangan ternyata dapat  meluaskan spektrum RASA diperlakukan tak adil, tak hanya dalam hal ekonomi namun juga dalam keadilan. 


Gereja Kristus Harus Menjadi Rumah Kasih Bagi  Segala Bangsa Tanpa Diskriminasi dan Rasialisme
Saya harus mengatakan bahwa  membicarakan ini adalah hal yang kompleks, dan berangkali pengalaman-pengalaman diskriminasi dan rasialisme turut membentuk perilaku gereja baik dalam tatar jemaat dan organisasi. Bahkan sebetulnya sejumlah sekolah atau rumah sakit dan institusi-institusi lainnya yang  berlabel Kristen sudah  menjadi sangat kejam dengan, misal : menutup peluang si ekonomi lemah dengan  pagar digit uang sekolah yang tak mungkin dijangkau oleh jemaat gereja yang ayahnya mungkin hanya seorang satpam sebuah kantor kecil. Namun masih tetap bangga dengan simbol salibnya itu. Dititik ini memang dapat menjadi sebuah pemandangan yang menjijikan, sebab nyatanya  ada sekolah-sekolah Kristen yang telah menjadi pelaku atau aktor utama diskriminasi atau sumber  "genuine" ketaksetraan, sementara sekolah itu masih dengan bangganya menggunakan simbol-simbol dan ayat-ayat Kristen.
Mari sekarang, sama-sama kita memperhatikan apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus:

Kolose 3:11 dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.

Tahukah anda, bahwa Kristen memiliki sebuah fundamen yang ilahi atau divinitas kala kita membicarakan sebuah KESETARAAN yang TOTALITAS; kala kita memandang keberbedaan:

Kolose 3:9 Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya,

Kolose 3:10 dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya;

Mengapa tidak ada lagi orang Batak, tidak ada lagi orang Jawa, tidak ada lagi orang Bugis, tidak ada lagi orang Toraja, tidak ada lagi orang Ambon, tidak ada lagi orang Tionghoa dan seterusnya?  Jawabnya karena  setiap orang Kristen adalah orang-orang yang telah dibangkitkan bersama dengan Kristus (Kolose 3:1) dan oleh sebab itu kita tidak berkutat lagi dengan hal-hal lahiriah yang duniawi ini (Kolose 3:2). Ini bukan tentang menanggal identitas suku bangsa sebagai anugerah Tuhan sebab engkau dilahirkan dalam sebuah keluarga yang misal bersuku Jawa.


Kristus telah membuat  status kebatakan saya menjadi tak lagi berkemilauan tetapi Kristus yang berkemilau pada saya yang seorang batak sejati:
Kolose 3:3 Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.

Saya dan anda adalah manusia baru. Ini adalah jenis manusia baru yang harus belajar mengarahkan dirinya pada hal-hal yang datang dari Bapa bukan dunia ini. Dalam segala aspek kehidupan setiap pribadi yang mengaku Kristen:
Kolose 3:5-6 Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah (atas orang-orang durhaka).

Rasialisme atau diskriminasi dalam segala bentuknya merupakan sebuah kejahatan yang tak main-main, itu adalah kejahatan yang lahir dari dalam diri atau jiwa manusia yang sanggup mematikan rasio dan belas kasih. Saya memang harus membidik sekolah-sekolah Kristen yang berlomba-lomba menjadi elit dengan uang sekolah yang berangkali telah mencapai 6 digit perbulan atau setidaknya-tidaknya ratusan ribu yang mendekati 6 digit. Ini adalah sebuah diskriminasi ekonomi kejam atas warga gereja Tuhan atau anak-anak Tuhan untuk dapat mengakses sekolah-sekolah terbaik; anak-anak ini bisa jadi memiliki intelektualitas yang memadai namun pertama-tama telah gagal karena ketakberdayaan ekonomi orang tua yang sekalipun membanting tulangnya pagi, siang, malam dan bahkan berangkali harus menginap dijalanan (misal supir taksi) sampai target setoran tercapai olehnya! Mereka gagal mengakses sekolah berkualitas oleh sebab sekolah-sekolah berlabel Kristen telah menjadi pelaku diskriminasi yang amat piawai.

Bahkan dengan meminjam terminologi Saphiro, saya dapat katakan bahwa ada sekolah-sekolah Kristen sebetulnya telah menjadi  bagian pencipta “wealth perpetuate inequality.” Atau sekolah-sekolah Kristen (yang makmur itu) telah secara tega melanggengkan kemiskinan dalam rumah Tuhan dengan melanggengkan ketaksetaraan kemakmuran oleh sebab kanak-kanak atau  generasi muda Kristen gagal mengakses pendidikan terbaik yang dimiliki institusi-institusi pendidikan Kristen. Kita tahu bahwa pendidikan pun memiliki peran dalam membangun sebuah pembangunan manusia dan kesejahteraan yang lebih baik dalam sebuah negara.



SEHARUSNYA para pelaku dunia pendidikan Kristen tidak menjadi pelaku kejahatan kemanusiaan semacam ini! Perhatikan ini:
Kolose 3:7 (7)Dahulu kamu juga melakukan hal-hal itu ketika kamu hidup di dalamnya.(8) Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu.(9) Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya,(10) dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya;(11) dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.

Berbicara isu makro semacam ini, saya sangat menguatirkan dan mencemaskan bahwa gereja  beserta institusi pendidikannya yang megah dan mewah telah menjadi antek-antek kejahatan kemanusiaan bernama diskriminasi akses pendidikan dan diskriminasi ekonomi sebab sekolah semacam ini anti dengan orang miskin! Gereja  beserta institusi pendidikannya di Indonesia sangat mungkin menjadi salah satu “feeder” atau pengasup dalam sebuah ekosistem diskriminasi pendidikan dan dengan demikian berkontribusi dalam pengokohan kemiskinan terstruktur. Itu adalah kejahatan kemanusiaan yang mengerikan dan menjadi menjijikan sekali oleh sebab mereka melakukannya atas nama institusi pendidikan Kristen dan berangkali diperindah dengan beberapa baris ayat-ayat dalam Alkitab agar terlihat “kudus.”!

DAHULU kamu tidak ada bedanya dengan orang yang tak mengenal kebenaran dalam Kristus, SEKARANG buanglah KEJAHATAN. Namun saya kuatir baik DAHULU dan SEKARANG  tak ada bedanya namun SAMA SAJA. Minimal SAMA-SAMA tergila-gila dengan DUIT dan DUIT.  Sekolah-sekolah berlabel Kristen, entah kenapa sangat terbuka lebar  menyambut keluarga-keluarga yang kaya raya dan menolaki keluarga-keluarga yang duitnya pas-pasan. ATAU jikapun mau menerima maka harus memenuhi standard tes intelejensia dengan skor yang telah ditetapkan.

Paulus menyatakan SEKARANG anda sebagai orang Kristen TELAH menanggalkan manusia LAMA beserta KELAKUANNYA. Semestinya kelakukan-kelakuan BRENGSEK semacam ini adalah HARAM untuk ada dan berkembang biak didalam rumah Tuhan, sebab itu bagaikan pendusta yang  besar mulut! Paulus menegaskan bahwa SEKARANG sebagai orang-orang yang TELAH menerima Kristus Yesus, maka kehidupanmu seharusnya di dalam Dia, bukan di dalam Dunia (Kolose 2:6)!

Paulus menegaskan seharusnya KELAKUAN-KELAKUAN BRENGSEK itu  mengalami penaklukan yang terus-menerus dan bukannya berakar semakin kokoh dan kejam (Kolose 2:7).

Perubahan seseorang dalam Kristus memang merupakan sebuah proses “ terus menerus diperbaharui.” Ini seperti sebuah “contra flow” dengan apa yang menjadi arus utama dunia ini atau apa yang diyakini sebagai kebenaran atau  jalan sukses dunia.

Setiap orang Kristen semesti menjadi agen-agen efektif untuk melawan kejahatan dalam segala  bentuknya, termasuk kejahatan kemanusiaan dalam sektor ekonomi dan pendidikan semacam ini. Semestinya sekolah-sekolah Kristen menafasi kasih Kristus bukan kapitalisme dunia ini! Paulus tegas membicarakan ini:
Kolose 3:12 Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.
Cobalah periksa diri sendiri sekolah-sekolah Kristen itu, apakah masih memiliki belas kasihan? Saya sungguh amat menyangsikannya, jika melihat betapa ada saja sekolah Kristen tak ada bedanya lagi dengan sekolah-sekolah elit sekular yang hanya melayani keluarga-keluarga yang sungguh diberkati Tuhan secara ekonomi yang memang sepantasnya menginginkan sekolah-sekolah terbaik bagi anaknya. 

Sekolah-sekolah Kristen dimiliki dan dioperasikan oleh umat Allah (?), yang dikuduskan dan dikasihi-Nya. Atau sudah lupakah mereka bahwa Allah terlebih dahulu telah mengasihi mereka? Perhatikan apa yang dituliskan oleh Rasul Yohanes berikut ini:
1 Yohanes 4:10.19  Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita....  (19)Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.

Apakah orang-orang Kristen  yang mengoperasikan dan memiliki sekolah-sekolah Kristen itu? Ataukah orang-orang Kristen palsu? Saya berpendapat jika sekolah-sekolah Kristen itu menjadi agen-agen kejahatan kemanusiaan yang mendiskriminasikan anak didik berdasarkan kasta atau kemampuan ekonomi untuk membayar uang sekolah, maka saya harus mengatakan bahwa mereka memang sama sekali adalah orang-orang Kristen Palsu atau setidak-tidaknya orang-orang Kristen yang harus bertobat!

Mari kita perhatikan apa yang dituliskan oleh Rasul Yohanes berikut ini:
1Yohanes 4:12 Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.

1 Yohanes 4:16 Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.

1Yohanes 4:20 Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.

Saya memohon saudara-saudari pembaca  yang budiman untuk melek mata dan bangun dari tidur, bahwa yang sedang kita bicarakan adalah kasih Allah. Saya  berharap kala saya mengatakan kasih Allah (Yohanes 3:16) maka hati saudara masih menggelora dan jiwa saudara-saudari masih merasakan betapa dahsyatnya Bapa mengasihi kita dalam sebuah totalitas. Allah mau “rugi besar” dalam ukuran sorgawi  dengan memberikan yang paling dikasihinya dan yang paling berharga: Anak-nya yang tunggal. Kita menerima sebuah kasih berkelas premium diatas segala yang dapat dikatakan premium. Bapa tidak pernah memberikan hal-hal yang bekas atau second hand. Apa yang diberikan Bapa adalah “genuine” dan murni.  Yesus rela menjadi miskin agar saya dan anda  menjadi kaya :
2 Korintus 8:9 Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.

Saudara-saudariku, saya hendak bertanya dahulu kepada setiap pembaca, terutama jika anda mengaku seorang Kristen? Adakah atau apakah anda berpikir bahwa saudara lebih kaya daripada Kristus? Siapa yang bisa membayangkan pernyataan “sekalipun IA KAYA.” Saya tak dapat mengatakan sedahsyat apakah kekayaan-Nya itu, dan dengan demikian saya sebetulnya tidak dapat mengukur kemegahan kasih karunia Tuhan yang rela menjadi miskin. Kita tahu bahwa Dia mustahil miskin sebab Dia adalah Allah; kita tahu bahwa tiada cara yang sempurna dan presesi dalam mengekspresikan kemegahan kasih karunia Bapa sebagaimana adanya, selain dengan pernyataan ini: “Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya.”


Bapa memberikan  hal yang berharga, bukan murahan atau kelas dua lazimnya kita sebagai manusia yang kasihnya masih terbatas. Pemberian Bapa bukan sekedar membuatmu hidup ala kadarnya namun, membuat kita menjadi kaya. Inilah  kemegahan kasih karunia Bapa kepada kita!


Tentu saya tidak hendak mengatakan bahwa orang-orang kaya  harus menjadi miskin sehingga orang-orang miskin menjadi kaya. Bukan itu sama sekali!  Mari perhatikan:
2 Korintus 8:12-13 Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu. (13) Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan.

Keseimbangan yang seperti apa?
2 Korintus 8:14 Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan.

Perhatikan bahwa konteks pemberian ini adalah MENCUKUPKAN bukan membuat anda sebagai orang  kaya menjadi miskin sebab terkuras—tentu saja sebetulnya batasan memberi itu adalah sejauh kerelaan hatimu oleh kasih Kristus dalam hidupmu. Dan yang dimintakan dari orang-orang kaya adalah pada KELEBIHAN. Kelebihan inilah yang didistribusikan untuk mencukupkan kekurangan.

Ini memang bicara  hal ekonomi yang sesungguhnya (2 Korintus 8:2-5), dan begitulah orang-orang percaya mempraktekan atau lebih tepatnya mengaktualisasikan kasih Bapa terhadap sesama. Orang kaya belajar untuk mengasihi dengan KELEBIHAN yang dimiliki, tidak diminta apa yang menjadi “jantung finansial keluarga” dan didorong oleh kerelaan.


Dalam kehidupan kasih jemaat perdana maka kehidupan jemaat  gereja moderen sebetulnya dipecundangi dan dipermalukan. Saya mengatakan bahwa di era kini, jemaat moderen telah mengalami krisis Kasih Bapa yang sungguh mengerikan. Mari kita melihat sebuah kasih Bapa yang menghidupi jemaat mula-mula:

Kisah Para Rasul 4:32-37 Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa. dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.

Saudara-saudari yang budiman, ini tidak hendak mengatakan bahwa anda harus jual aset demi orang miskin, TIDAK! Tetapi PASTI ini berbicara bagaimana orang-orang kaya  di dalam rumah Tuhan memiliki kasih yang berlimpah dan dalam kerelaan hatinya melakukan sesuatu  bagi  saudara-saudarinya yang lemah secara ekonomi, Terserah anda mau bagaimana dalam membantu, namun seharusnya menjadi sebuah refleksi bagi jemaat Tuhan moderen betapa kita teramat PRIMITIF dalam kasih kepada sesama, sementara kita mengklaim manusia-manusia Kristen yang lebih  maju ketimbang saudara-saudara seiman kita di era purba!

Saya pun menilai bahwa saya sangat primitif dalam aktualisasi kasih kepada sesama dalam jemaat Tuhan. Tak peduli apakah dia kaya atau miskin yang amat pun ternyata pada jemaat perdana tetap saja BERLIMPAH-LIMPAH DALAM MEMBERI ( 2 Korintus 8:2-5). Kasih Bapa itu sangat hebat, jika memang benar kita memilikinya pastilah kita bisa melatih diri ini untuk mengaktualkannya, sebab membuat setiap lapisan ekonomi, apakah anda miskin atau apakah anda kaya memiliki semangat kasih untuk memberi dan menolong sesama. Mentalitas yang dihasilkan atau dikerjakan oleh Bapa itu dahsyat: baik anda miskin ataupun anda kaya, anda memiliki kekuatan memberi dan mengasihi sesama yang dahsyat.

Gereja moderen harus benar-benar malu sebab gereja kini sedang tergila-gila dengan duit dan kekayaan, mengumpulkannya dan tak peduli dengan kemiskinan  atau kelemahan yang ada di dalam jemaat Tuhan. Ini bukan hanya memalukan namun sungguh menjijikan untuk terus dibiarkan. Ini adalah Kristen yang bau amis dan busuk, tidak ada keharuman kasih Kristus yang ada hanyalah kasih dunia yang berbau kematian!




Gereja dan institusi Kristen termasuk sekolah, perguruan Tinggi dan rumah sakit kini lebih sering menjadi sumber kematian bagi manusia dan khususnya bagi anak-anak Tuhan. Ada  saja gereja dan institusi Kristen yang menolak anak didik atau pasien karena tidak ada duit. Inilah kegilaan yang dipamerkan oleh kristen-kristen masa kini, hanya menebarkan bau busuk dan bukan kasih Bapa yang harum dan megah itu!



Saudara-saudariku didalam Tuhan, kita dahulu memiliki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dalam programnya memiliki kepedulian terhadap rakyat negeri ini yang ekonominya lemah dan butuh kepedulian dengan bantuan langsung tunai dan sejumlah kartu bantuan sosial khususnya. Sekarang kita memiliki Presiden Joko Widodo yang mengembangkan kepedulian yang sama dalam derajat yang lebih maju lagi. Bahwa negara peduli dan berupaya sekuat tenaga untuk berempati dengan kesukaran hidup. Terlepas dari kelemahan dan kekurangan atau polemik politik yang membelitinya, saya harus  mengatakan bahwa hal ini sungguh baik sebab setidak-tidaknya merupakan sebuah semangat positif untuk membangun kesetaraan dalam mengakses kesejahteraan. Bahwa sekalipun miskin, negara berupaya keras membantu agar mereka tidak mati  oleh karena tidak bisa berobat dan makan dan  tidak selamanya miskin (kemiskinan terstruktur) oleh sebab tak dapat mengakses pendidikan.

Sekarang, pertanyaan yang harus dipikirkan oleh setiap individu dan institusi Kristen apa yang dapat dilakukan di dalam lingkungan rumah Tuhan sendiri? Masih adakah kepedulian terhadap sesama dalam kasih dan semangat non diskriminasi mengabaikan  kasta (ketakberdayaan) ekonomi atau etnis atau sinode? Saya berharap gereja masih memiliki hal tersisa yang sangat tinggi dan mulia yaitu kasih Bapa terhadap kita dalam Kristus Yesus, yang hadir terpampang di dunia ini dan semestinya dapat juga dinikmati oleh segenap mahkluk di bumi. Ada aliran-aliran kasih mengalir dari setiap diri orang Kristen yang memberikan pengharapan dan penghiburan kala dunia semakin sukar untuk dihidupi. Masihkah? Atau sudah lenyap entah kemana?

Saphiro secara tak langsung telah menyingkapkan bahwa anak-anak pun menjadi korban karena rasialisme atau diskriminasi, dan ini menjadi sebuah hal yang terstruktur. Bercermin dari  situasi yang diangkat oleh Saphiro, apakah Kristen di Indonesia dengan segenap kekuatannya yang bersumber dari kasih Tuhan Yesus Kristus, masih memiliki hati yang mau melihat dan mengulurkan tangan kepada saudara-saudarnya yang terdekat yang dapat engkau lihat didalam gerejamu? 



Jika saja setiap individu Kristen mau melakukan ini, maka kita sedang membantu upaya  pemerintah kita yang sedang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah skalabilitas yang tak dapat anda dan siapapun bayangkan.


Ini saatnya gereja beserta institusinya mulai dari sekolah hingga rumah sakit stop dengan semua jargon atau moto kasih dan firman Tuhan yang dikutip. Jika semata moto dan semata mengutip maka yang dihasilkan adalah gereja dan institusi Kristen yang kelakuannya amat duniawi dan brengsek dan kejam dan tidak berperikemanusiaan dan diskriminatif!
Bergeraklah dari hanya moto, menjadi hidup, dan jika anda memang mengatasnamakan Kristus maka perhatikan tingkah lakumu agar jangan sampai mempermalukan kemegahan kasih Tuhan di mata orang-orang dunia.

Rasisme dan diskriminasi harus disingkirkan dari dalam rumah Tuhan. Stop berkata “dasar Cina!”; stop  berkata”dasar batak!”; stop berkata “dasar Manado!” dengan segala stigmasasi-stigmasasinya. Gereja Tuhan harus mendeklarasikan kasih Allah kepada segala bangsa.

Markus 12:31 Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini."

Amin


Kredit Foto : Ferguson protest, A police squad car is turned over by demonstrators during a protest in Ferguson, Scott Olson/Getty Images, independent.co.uk

No comments:

Post a Comment