Oleh: Martin Simamora
Rasisme, Lonceng Maut Kemanusiaan
Kolose 3:11 dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau
orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang
Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala
sesuatu.
Ketika saya mendengar dan
menonton berita di televisi bahwa Amerika Serikat sedang dilanda kerusuhan
bernuansa rasialisme di Ferguson, sekali lagi dan berangkali untuk kali ke
sekiannya, saya diyakinkan bahwa Rasisme dan diskriminasi dalam segala wujudnya
dapat menjadi lonceng maut kemanusiaan. Manusia oleh hal ini dapat menjadi
brutal untuk saling menghancurkan tak hanya manusia lainnya, namun peradaban
manusia itu sendiri. Walau tak
semematikan bom atom hirosima dan nagasaki, namun rasisme memiki semacam
radiasi nuklir yang “kekal”dan tak pernah benar-benar lenyap residunya, sekali itu meledak di sebuah
wilayah atau negara. Saya tak akan spesifik mengulas apa yang sedang
berlangsung di AS dan juga tidak akan
berbicara secara khusus dalam terminologi-terminologi sosiologi apalagi politik
yang pelik. Namun demikian, saya menilai penting untuk mencukil apa yang
ditulis oleh Profesor Thomas M.Saphiro dalam bukunya berjudul “The Hidden Cost of Being African American:
How Wealth Perpetuates Inequality.” Saya akan cukup serius menyentuh
buku ini, untuk kemudian kita bergerak menyorot isu ini dalam sudut pandang
pengajaran Kristen.
Rasisme, Pilar Ketidaksetaraan Sosial dan Pencideraan
Kemanusiaan
Saya mengutip tanpa menerjemahkannya, namun saya mengambil
poin-poin tertentu sebagai reflektor dalam
ulasan saya. Selamat membaca dan menikmatinya.
“I met Frank anda Suzanne Conway during the late-afternoon rush hour at a restaurant in Los Angeles. Recently laid off from a communication marketing firm anda now taking courses to become certified to teach elementary school, Frank arrived after picking up their daughter, Logan, from day care. Suzanne arrived from her job as an operations supervisor for a money management company. The conways loved their home in the diverse urban neighborhood of Jefferson Park, near the university of Southern California, but were gravely comcerned about sending Logan to weak public schools. They talked to met at lenght over coffee about this community-school dilemma, their high educational hopes, and their future plans. The conway’s story anda their solution to their dilemma turned out to be more common than anticipated. Because they receive genorous help from their families, they are considering moving to a suburban community with highly regarded schools. Home prices there start at four times those where they live now, and Logan would grow up and go to school in a far more homogenous community—family wealth makes these decisions logical and desirable for some families.Of course, as with the nearly one in three American families without financial assets, many of family interviews did not brim over with optimistic choices and options but rather turned on how lack of family wealth severely restricts community, housing, and schooling opportunity. Like the conways, Alice and Bob Bryant work at professional jobs and earn a middle-class income, but they do not have access to family wealth—they are asset-poor. Living in the working class Dorchester section of Boston, they are frustrated about their inability to afford to move to a neighborhood with better schools. Doing the best they can, they are highly aware that their son, Matthew, attends only “halfway decent schools” and is not getting the “best education.” The Bryants’ hopes for Mathew are no different from the Conways’ for Logan. WHAT IS DIFFERENT IS THEIR CAPACITY TO FOLLOW THROUGH ON THEIR HOPES AND DELIVER OPPORTUNITIES. The Conways ARE WHITE and the Bryants ARE BLACK. Because their incomes, professional status, and educations are nearly identical, conventional wisdom suggest that race should be at most a minor factor in opportunities available to these two families, but we will see tangible connections between family assets and race. Differing family asset capacity, which has more to do with race than with merits or accomplishments, most likely will translate into different worlds for Mathew and Logan.Demonstrating the unique and diverse social circumstances that blacks and whites face is the best way to understand racial differences in wealth holding. The idea I develop in this book also push the sociology of wealth in another important direction, namely, an exploration of how the uses of wealth perpetuate inequality. Together wealth accumulation and utilization hightlight the ways in which the opportunity structure contributes to massive racial wealth inequality that worsens racial inequality [halaman 1-2]
Sederhananya ini adalah
gambaran sosial yang terjadi di Amerika Serikat, bagaimana warna kulit masih memiliki pengaruh atas kehidupan sebuah
keluarga atau individu sehingga mengalami kesukaran untuk mengakses sebuah
kualitas kehidupan yang lebih baik, SEKALIPUN MEMILIKI KESETARAAN DALAM PELUANG
DAN GAJI! Kita tidak akan
melakukan sebuah kajian atas buku Saphiro ini, namun saya menilai adalah baik
menjadikannya sebagai sebuah refleksi atas kehidupan dalam negara kita dan kemudian secara khusus kehidupan bergereja
jemaat Tuhan itu sendiri.
Saphiro dalam bagian yang saya kutip sedang menyatakan bahwa keberbedaan
etnisitas atau warna kulit ternyata mempengaruhi kesetaraan untuk mengakses
kesejahteraan; anak kulit hitam memiliki
kesukaran untuk dapat menikmati sekolah yang lebih baik; bahwa di negara semaju
Amerika Serikat dimana semestinya warna kulit tidak memiliki kaitan pada dunia kerja atau dunia
profesional ternyata, menurut Saphiro, dapat dilihat ada terjadi di Amerika Serikat.
Saphiro menyatakan bahwa rasialisme atau diskriminasi yang bersifat struktural akan
menghasilkan sebuah ujung yang jauh lebih mematikan, tepatnya begini dia
berkata: ”Together wealth accumulation and utilization hightlight the ways in which the opportunity structure
contributes to massive racial wealth inequality that worsens
racial inequality.“
Rasialisme atau diskriminasi telah menghasilkan ketidaksetaraan
terstruktur, itulah sebetulnya yang
hendak dikatakan oleh Saphiro dalam bukunya. Karena ini bersifat terstruktur,
menurutnya, dapat berkembang menjadi ketidaksetaraan yang semakin memburuk.
Saphiro bahkan menggunakan sebuah terminologi yang mematikan yaitu: “wealth
perpetuate inequality” atau “ketaksetaraan kesejahteraan dalam rentang waktu
yang berkepanjangan.” Ketaksetaraan terstruktur inilah yang menjelaskan mengapa
sekalipun sama-sama bekerja dalam sektor
yang sama, jabatan yang sama, skala industri yang sama dan gaji yang sama namun
tetap mengalami kebedaan dalam peluang untuk mengakses kualitas hidup yang setara, bahwa sebagaimana dapat diakses oleh kulit putih demikianlah seharusnya dengan kulit hitam!.
Perlu diketahui, kalau saya
sebagai penulis artikel ini mengacu sebuah peta toleransi dan rasialisme dunia yang dipublikasikan oleh The Washington
Post dalam kolom yang berjudul “A fascinating map of the world’s most and least racially tolerant countries”
maka kita mengetahui bahwa Amerika Serikat adalah termasuk negara yang sangat bertoleransi dan sangat menerima baik
orang-orang beretnis atau berlatar belakang berbeda. Berbeda dengan Indonesia
yang dinyatakan sebagai negara yang
penduduknya tak dapat menerima orang beretnis lain sebagai tetangganya. Peta ini sebetulnya sangat kontroversial dan sangat buruk.
Misal untuk Indonesia sendiri, saya pikir, tidak
seburuk itu, bahwa
masyarakat Indonesia tidak dapat menerima perbedaan etnis, adalah sebuah
analisa yang keliru besar. Namun
berangkali kelemahan besar pada peta versi The Washington Post ini adalah
metrik pengukurannya yang terlampau
sederhana, sebagaimana dikatakan oleh profesor Steve Saideman dalam
kolom yang dipublikasikan oleh The Washington : Post 5 insights on the racial tolerance and ethnicity maps, from an ethnic conflict professor, dimana dia berkata :
I say "controversially" because of the subject's sensitivity and because reducing such a complicated, subjective phenomenon to a single metric – the frequency with which people in a certain country said they would not want neighbors of a different race – is going to produce some highly disputable results.
Saya
mengatakan “kontroversial” karena sensitivitas subyek dan karena mereduksi hal pelik semacam ini, fenomena subyektif
menjadi sebuah metrik tunggal-pengukuran tunggal semacam itu pada masyarakat dalam sebuah
negara tertentu yang hasilnya mengatakan
bahwa mereka tidak menginginkan hidup berdampingan dengan tetangga yang
beretnis lain—akan menghasilkan sejumlah hasil yang sangat tinggi untuk
diperselisihkan.
A
fascinating map of the world’s most and least racially tolerant countries -
The Washington Post |
Khusus Indonesia, saya
sebagai orang Indonesia dapat mengatakan bahwa Indonesia tidak seperti itu.
Memang belakangan ini ada sebuah rejeksi sangat kuat terhadap sekelompok
masyarakat terhadap sekelompok masyarakat lainnya, misal saja yang dialami oleh penganut Ahmadiyah. Tentunya, jika ini yang disorot di
Indonesia maka ini bukan isu rasisme yang sedang berlangsung tetapi isu agama
atau keyakinan sebagai sumber ketaksetaraan atau diskriminasi. Memang Suku,
Agama, dan Ras adalah 3 rumpun yang menjadi sumber ketaksetaraan atau
diskriminasi terutama baik bersifat insidentil atau terstruktur. Namun saya
berpendapat, apapun sifat diskriminasi itu, pasti akan akan menghasilkan sebuah
luka dalam dalam sebuah masyarakat yang tak mudah untuk dipulihkan dan
berpeluang besar melahirkan dendam yang
diwariskan turun-temurun oleh sebab diceriterakan dari generasi ke generasi.
Saya pun harus mengakui bahwa Indonesia memiliki sebuah potensi rasialisme yang
serius dan tidak boleh dibiarkan tanpa sebuah solusi yang serius dari negara,
misal sebelumnya, pada kasus Ahok, panggilan populer untuk
gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaya Purnama, sebelum dia dilantik menjadi gubernur.
Singkatnya, Indonesia punya
pekerjaan rumah serius untuk membasmi akar-akar ketaksetaraan dalam bernegara
dan berbangsa, dalam derajat yang
bagaimanapun. Apa yang terjadi di Amerika Serikat merupakan sebuah peringatan
serius bahwa RASA tidak setara dihadapan negara, dalam hal ini hukum dengan
cepat diidentikan sebagai sebuah diskriminasi
karena korban adalah berkulit hitam dan penembak adalah berkulit putih.
RASA tidak setara yang berjalan secara laten dan berkepanjangan ternyata dapat meluaskan spektrum RASA diperlakukan tak
adil, tak hanya dalam hal ekonomi namun juga dalam keadilan.
Gereja Kristus Harus Menjadi Rumah Kasih Bagi Segala Bangsa
Tanpa Diskriminasi dan Rasialisme
Saya harus mengatakan bahwa membicarakan ini adalah hal yang kompleks, dan
berangkali pengalaman-pengalaman diskriminasi dan rasialisme turut membentuk
perilaku gereja baik dalam tatar jemaat dan organisasi. Bahkan sebetulnya
sejumlah sekolah atau rumah sakit dan institusi-institusi lainnya yang berlabel Kristen sudah menjadi sangat kejam dengan, misal
: menutup peluang si ekonomi lemah dengan
pagar digit uang sekolah yang tak mungkin dijangkau oleh jemaat gereja
yang ayahnya mungkin hanya seorang satpam sebuah kantor kecil. Namun masih
tetap bangga dengan simbol salibnya itu. Dititik ini memang dapat menjadi sebuah
pemandangan yang menjijikan, sebab nyatanya
ada sekolah-sekolah Kristen yang telah menjadi pelaku atau aktor utama
diskriminasi atau sumber "genuine" ketaksetraan, sementara sekolah itu masih dengan bangganya
menggunakan simbol-simbol dan ayat-ayat Kristen.
Mari sekarang, sama-sama
kita memperhatikan apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus:
Kolose 3:11 dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.
Tahukah anda, bahwa Kristen
memiliki sebuah fundamen yang ilahi atau divinitas kala kita membicarakan
sebuah KESETARAAN yang TOTALITAS; kala kita memandang keberbedaan:
Kolose 3:9 Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya,Kolose 3:10 dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya;
Mengapa tidak ada lagi orang
Batak, tidak ada lagi orang Jawa, tidak ada lagi orang Bugis, tidak ada lagi
orang Toraja, tidak ada lagi orang Ambon, tidak ada lagi orang Tionghoa dan seterusnya? Jawabnya karena setiap orang Kristen adalah orang-orang yang
telah dibangkitkan bersama dengan Kristus (Kolose 3:1) dan oleh sebab itu kita
tidak berkutat lagi dengan hal-hal lahiriah yang duniawi ini (Kolose 3:2). Ini
bukan tentang menanggal identitas suku bangsa sebagai anugerah Tuhan sebab
engkau dilahirkan dalam sebuah keluarga yang misal bersuku Jawa.
Kristus telah membuat status kebatakan saya menjadi tak
lagi berkemilauan tetapi Kristus yang berkemilau pada saya yang
seorang batak sejati:
Kolose 3:3 Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.
Saya dan anda adalah manusia
baru. Ini adalah jenis manusia baru yang harus belajar mengarahkan dirinya pada
hal-hal yang datang dari Bapa bukan dunia ini. Dalam segala aspek kehidupan
setiap pribadi yang mengaku Kristen:
Kolose 3:5-6 Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah (atas orang-orang durhaka).
Rasialisme atau diskriminasi
dalam segala bentuknya merupakan sebuah kejahatan yang tak main-main, itu adalah
kejahatan yang lahir dari dalam diri atau jiwa manusia yang sanggup mematikan
rasio dan belas kasih. Saya memang harus membidik sekolah-sekolah Kristen yang
berlomba-lomba menjadi elit dengan uang sekolah yang berangkali telah mencapai
6 digit perbulan atau setidaknya-tidaknya ratusan ribu yang mendekati 6 digit.
Ini adalah sebuah diskriminasi ekonomi kejam atas warga gereja Tuhan atau
anak-anak Tuhan untuk dapat mengakses sekolah-sekolah terbaik; anak-anak ini
bisa jadi memiliki intelektualitas yang memadai namun pertama-tama telah gagal
karena ketakberdayaan ekonomi orang tua yang sekalipun membanting tulangnya
pagi, siang, malam dan bahkan berangkali harus menginap dijalanan (misal supir
taksi) sampai target setoran tercapai olehnya! Mereka gagal mengakses sekolah
berkualitas oleh sebab sekolah-sekolah berlabel Kristen telah menjadi pelaku
diskriminasi yang amat piawai.
Bahkan
dengan meminjam terminologi Saphiro, saya dapat katakan bahwa ada
sekolah-sekolah Kristen sebetulnya telah menjadi bagian pencipta “wealth perpetuate inequality.”
Atau sekolah-sekolah Kristen (yang makmur itu) telah secara tega melanggengkan kemiskinan dalam
rumah Tuhan dengan melanggengkan ketaksetaraan kemakmuran oleh sebab
kanak-kanak atau generasi muda Kristen
gagal mengakses pendidikan terbaik yang dimiliki institusi-institusi pendidikan
Kristen. Kita tahu bahwa pendidikan pun memiliki peran dalam membangun sebuah
pembangunan manusia dan kesejahteraan yang lebih baik dalam sebuah negara.
SEHARUSNYA para pelaku dunia
pendidikan Kristen tidak menjadi
pelaku kejahatan kemanusiaan semacam ini! Perhatikan ini:
Kolose 3:7 (7)Dahulu kamu juga melakukan hal-hal itu ketika kamu hidup di dalamnya.(8) Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu.(9) Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya,(10) dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya;(11) dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.
Berbicara isu makro semacam
ini, saya sangat menguatirkan dan mencemaskan bahwa gereja beserta institusi pendidikannya yang megah
dan mewah telah menjadi antek-antek kejahatan kemanusiaan bernama diskriminasi
akses pendidikan dan diskriminasi ekonomi sebab sekolah semacam ini anti dengan
orang miskin! Gereja beserta institusi
pendidikannya di Indonesia sangat mungkin menjadi salah satu “feeder” atau pengasup dalam
sebuah ekosistem diskriminasi pendidikan dan dengan demikian berkontribusi
dalam pengokohan kemiskinan terstruktur. Itu adalah kejahatan kemanusiaan yang
mengerikan dan menjadi menjijikan sekali oleh sebab mereka melakukannya atas
nama institusi pendidikan Kristen dan berangkali diperindah dengan beberapa
baris ayat-ayat dalam Alkitab agar terlihat “kudus.”!
DAHULU kamu tidak ada
bedanya dengan orang yang tak mengenal kebenaran dalam Kristus, SEKARANG
buanglah KEJAHATAN. Namun saya kuatir baik DAHULU dan SEKARANG tak ada bedanya namun SAMA SAJA. Minimal
SAMA-SAMA tergila-gila dengan DUIT dan DUIT.
Sekolah-sekolah berlabel Kristen, entah kenapa sangat terbuka lebar menyambut keluarga-keluarga yang kaya raya
dan menolaki keluarga-keluarga yang duitnya pas-pasan. ATAU jikapun mau
menerima maka harus memenuhi standard tes intelejensia dengan skor yang telah
ditetapkan.
Paulus menyatakan SEKARANG
anda sebagai orang Kristen TELAH menanggalkan manusia LAMA beserta KELAKUANNYA.
Semestinya kelakukan-kelakuan BRENGSEK semacam ini adalah HARAM untuk ada dan
berkembang biak didalam rumah Tuhan, sebab itu bagaikan pendusta yang besar mulut! Paulus menegaskan bahwa SEKARANG
sebagai orang-orang yang TELAH menerima Kristus Yesus, maka kehidupanmu
seharusnya di dalam Dia, bukan di dalam Dunia (Kolose 2:6)!
Paulus menegaskan seharusnya
KELAKUAN-KELAKUAN BRENGSEK itu mengalami
penaklukan yang terus-menerus dan bukannya berakar semakin kokoh dan kejam
(Kolose 2:7).
Perubahan seseorang dalam
Kristus memang merupakan sebuah proses “ terus menerus diperbaharui.” Ini
seperti sebuah “contra flow” dengan apa yang menjadi arus utama dunia ini atau
apa yang diyakini sebagai kebenaran atau
jalan sukses dunia.
Setiap orang Kristen semesti
menjadi agen-agen efektif untuk melawan kejahatan dalam segala bentuknya, termasuk kejahatan kemanusiaan
dalam sektor ekonomi dan pendidikan semacam ini. Semestinya sekolah-sekolah
Kristen menafasi kasih Kristus bukan kapitalisme dunia ini! Paulus tegas
membicarakan ini:
Kolose 3:12 Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.
Cobalah periksa diri sendiri
sekolah-sekolah Kristen itu, apakah masih memiliki belas kasihan? Saya sungguh
amat menyangsikannya, jika melihat betapa ada saja sekolah Kristen tak ada
bedanya lagi dengan sekolah-sekolah elit sekular yang hanya melayani keluarga-keluarga
yang sungguh diberkati Tuhan secara ekonomi yang memang sepantasnya
menginginkan sekolah-sekolah terbaik bagi anaknya.
Sekolah-sekolah Kristen dimiliki dan dioperasikan oleh umat Allah (?), yang dikuduskan dan dikasihi-Nya. Atau sudah lupakah mereka bahwa Allah terlebih dahulu telah mengasihi mereka? Perhatikan apa yang dituliskan oleh Rasul Yohanes berikut ini:
1 Yohanes 4:10.19 Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.... (19)Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.
Apakah orang-orang
Kristen yang mengoperasikan dan memiliki
sekolah-sekolah Kristen itu? Ataukah orang-orang Kristen palsu? Saya
berpendapat jika sekolah-sekolah Kristen itu menjadi agen-agen kejahatan
kemanusiaan yang mendiskriminasikan anak didik berdasarkan kasta atau kemampuan
ekonomi untuk membayar uang sekolah, maka saya harus mengatakan bahwa mereka
memang sama sekali adalah orang-orang Kristen Palsu atau setidak-tidaknya
orang-orang Kristen yang harus bertobat!
Mari kita perhatikan apa
yang dituliskan oleh Rasul Yohanes berikut ini:
1Yohanes 4:12 Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.1 Yohanes 4:16 Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.1Yohanes 4:20 Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.
Saya memohon saudara-saudari
pembaca yang budiman untuk melek mata
dan bangun dari tidur, bahwa yang sedang kita bicarakan adalah kasih Allah.
Saya berharap kala saya mengatakan kasih Allah (Yohanes 3:16) maka hati
saudara masih menggelora dan jiwa saudara-saudari masih merasakan betapa
dahsyatnya Bapa mengasihi kita dalam sebuah totalitas. Allah mau “rugi besar”
dalam ukuran sorgawi dengan memberikan
yang paling dikasihinya dan yang paling berharga: Anak-nya yang tunggal. Kita
menerima sebuah kasih berkelas premium diatas segala yang dapat dikatakan
premium. Bapa tidak pernah memberikan hal-hal yang bekas atau second hand. Apa
yang diberikan Bapa adalah “genuine” dan murni.
Yesus rela menjadi miskin agar saya dan anda menjadi kaya :
2 Korintus 8:9 Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.
Saudara-saudariku, saya
hendak bertanya dahulu kepada setiap pembaca, terutama jika anda mengaku
seorang Kristen? Adakah atau apakah anda berpikir bahwa saudara lebih kaya
daripada Kristus? Siapa yang bisa membayangkan pernyataan “sekalipun IA KAYA.”
Saya tak dapat mengatakan sedahsyat apakah kekayaan-Nya itu, dan dengan
demikian saya sebetulnya tidak dapat mengukur kemegahan kasih karunia Tuhan
yang rela menjadi miskin. Kita tahu bahwa Dia mustahil miskin sebab Dia adalah
Allah; kita tahu bahwa tiada cara yang sempurna dan presesi dalam
mengekspresikan kemegahan kasih karunia Bapa sebagaimana adanya, selain dengan
pernyataan ini: “Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin,
sekalipun Ia kaya.”
Bapa memberikan hal yang berharga, bukan murahan atau kelas
dua lazimnya kita sebagai manusia yang kasihnya masih terbatas. Pemberian Bapa
bukan sekedar membuatmu hidup ala kadarnya namun, membuat kita menjadi kaya.
Inilah kemegahan kasih karunia Bapa
kepada kita!
Tentu saya tidak hendak
mengatakan bahwa orang-orang kaya harus
menjadi miskin sehingga orang-orang miskin menjadi kaya.
Bukan itu sama sekali! Mari perhatikan:
2 Korintus 8:12-13 Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu. (13) Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan.
Keseimbangan yang seperti
apa?
2 Korintus 8:14 Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan.
Perhatikan bahwa konteks
pemberian ini adalah MENCUKUPKAN bukan membuat anda sebagai orang kaya menjadi miskin sebab terkuras—tentu saja
sebetulnya batasan memberi itu adalah
sejauh kerelaan hatimu oleh kasih Kristus dalam hidupmu. Dan yang dimintakan
dari orang-orang kaya adalah pada KELEBIHAN. Kelebihan inilah yang
didistribusikan untuk mencukupkan kekurangan.
Ini memang bicara hal ekonomi yang sesungguhnya (2 Korintus
8:2-5), dan begitulah orang-orang percaya mempraktekan atau lebih tepatnya
mengaktualisasikan kasih Bapa terhadap sesama. Orang kaya belajar untuk
mengasihi dengan KELEBIHAN yang dimiliki, tidak diminta apa yang menjadi “jantung
finansial keluarga” dan didorong oleh kerelaan.
Dalam kehidupan kasih jemaat
perdana maka kehidupan jemaat gereja
moderen sebetulnya dipecundangi dan dipermalukan. Saya mengatakan bahwa di era
kini, jemaat moderen telah mengalami krisis Kasih Bapa yang sungguh mengerikan.
Mari kita melihat sebuah kasih Bapa yang menghidupi jemaat mula-mula:
Kisah Para Rasul 4:32-37 Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa. dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.
Saudara-saudari yang
budiman, ini tidak hendak mengatakan bahwa anda harus jual aset demi orang
miskin, TIDAK! Tetapi PASTI ini berbicara bagaimana orang-orang kaya di dalam rumah Tuhan memiliki kasih yang
berlimpah dan dalam kerelaan hatinya melakukan sesuatu bagi
saudara-saudarinya yang lemah secara ekonomi, Terserah anda mau
bagaimana dalam membantu, namun seharusnya menjadi sebuah refleksi bagi jemaat
Tuhan moderen betapa kita teramat PRIMITIF dalam kasih kepada sesama, sementara
kita mengklaim manusia-manusia Kristen yang lebih maju ketimbang saudara-saudara seiman kita di
era purba!
Saya pun menilai bahwa saya
sangat primitif dalam aktualisasi kasih kepada sesama dalam jemaat Tuhan. Tak
peduli apakah dia kaya atau miskin yang amat pun ternyata pada jemaat perdana
tetap saja BERLIMPAH-LIMPAH DALAM MEMBERI ( 2 Korintus 8:2-5). Kasih Bapa itu
sangat hebat, jika memang benar kita memilikinya pastilah kita bisa melatih
diri ini untuk mengaktualkannya, sebab membuat setiap lapisan ekonomi, apakah
anda miskin atau apakah anda kaya memiliki semangat kasih untuk memberi dan
menolong sesama. Mentalitas yang dihasilkan atau dikerjakan oleh Bapa itu
dahsyat: baik anda miskin ataupun anda kaya, anda memiliki kekuatan memberi dan
mengasihi sesama yang dahsyat.
Gereja moderen harus
benar-benar malu sebab gereja kini sedang tergila-gila dengan duit dan
kekayaan, mengumpulkannya dan tak peduli dengan kemiskinan atau kelemahan yang ada di dalam jemaat
Tuhan. Ini bukan hanya memalukan namun sungguh menjijikan untuk terus
dibiarkan. Ini adalah Kristen yang bau amis dan busuk, tidak ada keharuman
kasih Kristus yang ada hanyalah kasih dunia yang berbau kematian!
Gereja dan institusi
Kristen termasuk sekolah, perguruan Tinggi dan rumah sakit kini lebih sering
menjadi sumber kematian bagi manusia dan khususnya bagi anak-anak Tuhan. Ada
saja gereja dan institusi Kristen yang menolak anak didik atau
pasien karena tidak ada duit. Inilah kegilaan yang dipamerkan oleh kristen-kristen
masa kini, hanya menebarkan bau busuk dan bukan kasih Bapa yang harum dan megah
itu!
Saudara-saudariku didalam
Tuhan, kita dahulu memiliki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
dalam programnya memiliki kepedulian terhadap rakyat negeri ini yang ekonominya
lemah dan butuh kepedulian dengan bantuan langsung tunai dan sejumlah kartu
bantuan sosial khususnya. Sekarang
kita memiliki Presiden Joko Widodo yang mengembangkan kepedulian yang sama dalam
derajat yang lebih maju lagi. Bahwa negara peduli dan berupaya sekuat tenaga
untuk berempati dengan kesukaran hidup. Terlepas dari kelemahan dan kekurangan
atau polemik politik yang membelitinya, saya harus mengatakan bahwa hal ini sungguh baik sebab
setidak-tidaknya merupakan sebuah semangat positif untuk membangun kesetaraan
dalam mengakses kesejahteraan. Bahwa sekalipun miskin, negara berupaya keras
membantu agar mereka tidak mati oleh
karena tidak bisa berobat dan makan dan tidak
selamanya miskin (kemiskinan terstruktur) oleh sebab tak dapat mengakses
pendidikan.
Sekarang, pertanyaan yang harus dipikirkan oleh setiap individu dan institusi Kristen apa yang dapat dilakukan di dalam lingkungan rumah Tuhan sendiri? Masih adakah kepedulian terhadap sesama dalam kasih dan semangat non diskriminasi mengabaikan kasta (ketakberdayaan) ekonomi atau etnis atau sinode? Saya berharap gereja masih memiliki hal tersisa yang sangat tinggi dan mulia yaitu kasih Bapa terhadap kita dalam Kristus Yesus, yang hadir terpampang di dunia ini dan semestinya dapat juga dinikmati oleh segenap mahkluk di bumi. Ada aliran-aliran kasih mengalir dari setiap diri orang Kristen yang memberikan pengharapan dan penghiburan kala dunia semakin sukar untuk dihidupi. Masihkah? Atau sudah lenyap entah kemana?
Saphiro secara tak langsung
telah menyingkapkan bahwa anak-anak pun menjadi korban karena rasialisme atau diskriminasi,
dan ini menjadi sebuah hal yang terstruktur. Bercermin dari situasi yang diangkat oleh Saphiro, apakah
Kristen di Indonesia dengan segenap kekuatannya yang bersumber dari kasih Tuhan
Yesus Kristus, masih memiliki hati yang mau melihat dan mengulurkan tangan
kepada saudara-saudarnya yang terdekat yang dapat engkau lihat didalam
gerejamu?
Jika saja setiap individu
Kristen mau melakukan ini, maka kita sedang membantu upaya pemerintah kita yang sedang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah
skalabilitas yang tak dapat anda dan siapapun bayangkan.
Ini
saatnya gereja beserta institusinya mulai dari sekolah hingga rumah sakit stop
dengan semua jargon atau moto kasih dan firman Tuhan yang dikutip. Jika semata
moto dan semata mengutip maka yang dihasilkan adalah gereja dan institusi
Kristen yang kelakuannya amat duniawi dan brengsek dan kejam dan tidak
berperikemanusiaan dan diskriminatif!
Bergeraklah
dari hanya moto, menjadi hidup, dan jika anda memang mengatasnamakan Kristus maka
perhatikan tingkah lakumu agar jangan sampai mempermalukan kemegahan kasih
Tuhan di mata orang-orang dunia.
Rasisme dan diskriminasi
harus disingkirkan dari dalam rumah Tuhan. Stop berkata “dasar Cina!”;
stop berkata”dasar batak!”; stop berkata
“dasar Manado!” dengan segala stigmasasi-stigmasasinya. Gereja Tuhan harus
mendeklarasikan kasih Allah kepada segala bangsa.
Markus
12:31 Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini."
Amin
Kredit Foto : Ferguson protest, A police squad car is turned over by demonstrators during a protest in Ferguson,
No comments:
Post a Comment