Pages

19 August 2014

Meneropong Hal Buruk Dalam Tujuan-Tujuan Allah



Oleh : Dr. RC Sproul

Meneropong  Hal Buruk Dalam Tujuan-Tujuan  Allah


Mengapa?” Pertanyaan sederhana ini dijejali dengan asumsi-asumsi  yang   disebut “teleology”oleh para filosofer. Teleology, yang berasal dari kata Yunani untuk “sasaran yang hendak dicapai” atau  arah yang dibidik” (telos), adalah   studi tujuan. Pertanyaan-pertanyan “mengapa” adalah pertanyaan-pertanyaan tujuan. Kita mencari alasan- alasan untuk  hal-hal yang terjadi sebagaimana adanya. Mengapa hujan turun? Mengapa bumi berputar pada porosnya? Mengapa kamu berkata demikian?


Ketika kita mengangkat pertanyaan tujuan, kita sedang memedulikan sasaran-sasaran, maksud-maksud, dan tujuan-tujuan. Semua istilah ini menyiratkan  intensi atau kehendak. Kata-kata ini  membawa makna ketimbang ketidakbermaknaan. Meskipun upaya-upaya para filosofer nihilis untuk menyangkali  bahwa apapun juga memiliki makna dan signifikansi ultimat. Pertanyaan  mengapa?” yang selalu ada di setiap masa , memperlihatkan bahwa para  filsuf itu belum jua sukses sepenuhnya dalam menjawab. Faktanya  bahkan  pertanyaan gegabah dilemparkan oleh si sinis dengan “mengapa tidak?” yang merupakan sebuah selubung tipis yang menutupi komitmen terhadap tujuan. Untuk menjelaskan  mengapa, kita tidak sedang melakukan sesuatu, yaitu  untuk memberikan  sebuah alasan atau maksud untuk tidak melakukannya. Tujuan masih tetap ada dalam latar belakang. Manusia adalah  mahkluk hidup yang  berkomitmen terhadap tujuan. Kita melakukan hal-hal untuk sebuah tujuan—dengan sejumlah macam  sasaran yang hendak dicapai  dalam pikiran.

Tetap saja ada kompleksitas dalam pencarian  tujuan ini. Kita membedakan antara tujuan yang  paling dekat (proximate) dan tujuan yang paling jauh (remote), tujuan proximate adalah tujuan yang dekat  dalam jangkauan tangan dan tujuan yang remote merujuk pada yang jauh dan merupakan tujuan yang ultimat. Mengunakan analogi olahraga sepak bola, menguasai lapangan tengah adalah tujuan proximate, sementara mengumpankannya kepada striker untuk menciptakan gol merupakan tujuan remotenya. Tujuan lebih  jauh lagi yang hendak dicapai oleh tim adalah memenangkan pertandingan. Pada akhirnya, tujuan ultimat atau terpuncak yang hendak dicapai adalah memenangkan Piala Dunia.


Ilustrasi Perjanjian Lama yang paling terkenal sehubungan dengan  tujuan-tujuan remote dan proximate dijumpai dalam kisah Yusuf. Pada akhir kisah ini, saudara-saudara Yusuf mengekspresikan ketakutan mereka bahwa dia akan melakukan tindakan balas dendam terhadap mereka atas semua yang telah mereka lakukan terhadap dirinya. Respon Yusuf memperlihatkan kepada kita    dua  hal yang berlangsung secara bersamaan (concurence), yang bekerja diantara tujuan-tujuan proximate dan remote. Dia berkata “Engkau memaksudkan yang jahat terhadapku, tetapi Allah memaksudkan yang jahat  itu untuk kebaikan” (Kejadian 50:20). Disini, tujuan-tujuan dekat dan jauh  kelihatanya saling terpisah atau terasingkan  satu sama lain. Maksud Tuhan memang benar-benar berlawanan dengan maksud manusia. Saudara-saudara Yusuf  memiliki  satu sasaran yang hendak dicapai; Allah memiliki sebuah yang berbeda. Realita yang mencengangkan disini adalah bahwa maksud yang proximate melayani maksud yang remote tidak membebaskan konsekuensi perbuatan-perbuatan jahat saudara-saudaranya. Niat /maksud dan tindakan-tindakanya memang jahat. Namun demikian, Allah berpikir atau menimbang  adalah baik untuk membiarkan saudara-suadara  Yusuf untuk mewujudkan rencana mereka terhadap Yusuf—sejauh  hingga pada batasan – dimana Allah dapat mencapai maksud terpuncak-Nya.


Kita semua mengalami apa yang kelihatannya kecelakaan-kecelakaan tragis. Beberapa tahun lampau, salah satu pastor St Andrew Chapel , tangannya terpotong selagi  membuat  lemari kayu. Dia tidak bermaksud untuk untuk mengiris tangannya; dia bermaksud untuk memotong kayu untuk membuat lemari yang sedang dia kerjakan. Perkataan yang  paling  dekat (proximate) untuk menjelaskan peristiwa  tersebut adalah, dia mengalami sebuah kecelakaan kerja. Dia bertanya, “Mengapa Allah membolehkan tanganku  sampai teriris?


Pertanyaan itu   mencari sebuah tujuan final atas kecelakaan tersebut. Pertanyaan ini memunculkan apa yang kita ketahui sebagai   benar, yaitu, bahwa Tuhan  semestinya dapat mencegah kecelakaan tersebut. Jika kita menyangkal hal ini, kita menyangkal  siapakah Allah sebenarnya. Jika Dia tidak dapat mencegahnya, Dia tidak bisa menjadi Omnipotent atau mahakuasa—Dia tidak bisa menjadi Allah. Lebih jauh lagi, pertanyaan kita “mengapa?” memunculkan kebenaran lainnya: bahwa pertanyaan itu memiliki sebuah jawaban. Kita tahu Allah memiliki sebuah tujuan atas kecelakaan tersebut.


Untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kita berangkali tidak mendapatkan sebuah jawaban memuaskan dalam hidup ini. Kita berangkali tidak akan pernah mengetahui sisi  mulia pada semua alasan-alasan mengapa sebuah tragedi terjadi. Namun demikian, ada sebuah jawaban bagi  pertanyaan maha  penting ini : “ Apakah maksud Allah dalam membolehkan kecelakaan ini untuk menghasilkan  sebuah peristiwa yang baik?”


Jika kita tahu segala sesuatunya mengenai Allah, kita telah mengetahui jawaban untuk pertanyaan ini. Maksud-maksud Tuhan dan kehendak-kehendak selalu sama-sama baik. Tidak ada sedikitpun  hal yang serampangan atau maksud jahat dalam kehendak Allah. Kesukaan kehendak-Nya selalu kesukaan baik pada kehendak-Nya. Kesukaan-Nya selalu baik; kehendak-Nya selalu baik; maksud-maksud-Nya selalu baik.


Janji  luar biasa yang dikemukakan Paulus “ bagi mereka yang mengasihi Allah semua hal bekerja bersama-sama untuk kebaikan, bagi mereka yang dipanggil sesuai dengan maksud-Nya” (Roma 8:28) adalah sebuah pernyataan teleology. Disini Paulus  sedang membicarakan maksud yang jauh/remote ketimbang  yang dekat/ proximate. Perhatikan bahwa dia tidak sedang berkata semua hal adalah baik tetapi bahwa  semua bekerja bersama-sama untuk kebaikan—untuk sebuah tujuan yang final dan ultimat/terpuncak. Si Rasul menegaskan bahwa  yang proximate harus selalu dilihat dalam terang tujuan yang jauh.


Kesukaran yang kita hadapi adalah bahwa kita tidak  juga memiliki sebuah terang yang penuh dari maksud yang jauh itu. Pada sisi  sorga ini, kita memandangnya melalui sebuah kaca  yang berwarna kegelapan. Namun demikian. Kita tidak sepenuhnya tanpa terang. Kita  cukup mengenal tentang Alah untuk mengetahui bahwa Dia memiliki sebuah maksud yang baik untuk semua hal bahkan ketika maksud baik itu mengecewakan kita.

Tujuan baik Allah (secara demikian) memperlihatkan kepada kita bahwa  tampilan kebanggaan dan kesia-siaan dalam dunia ini memang persis seperti itu— dunia ini menekankan  tampilan atau yang terlihat! Percaya pada tujuan baik Allah adalah esensi iman yang  benar. Jadi tidak ada orang Kristen yang dapat menjadi seorang pesimis hingga ke titik tertinggi. Kejahatan dan tragedi yang kita alami sehari-hari dapat menuntun pada sebuah pesimisme yang proximate, namun bukanlah sebuah pesimisme yang sedemikian jauhnya/tingginya. Saya adalah seorang pesimistik terhadap pemerintahan manusia dan  kebaikan niat manusia  pada  dasarnya. Saya sepenuhnya optimistik  terhadap pemerintahan ilahi dan  maksud baik Allah yang intrinsik.





Kita tidak hidup dalam sebuah dunia yang  kacau atau tanpa kendali-menggelinding begitu saja. Dunia ini dimulai dengan sebuah maksud, dunia ini berlangsung dengan sebuah tujuan, dan dunia ini memiliki tujuan  terpuncaknya. Ini adalah  dunia Bapaku, dan  pemerintahan-Nya memiliki tujuan sepenuhnya, bukan  tujuan yang berubah-ubah dan  tanpa memiliki perencanaan. Ketiadaan  tujuan adalah sebuah manifestasi kemustahilan.



Diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora; The Purposes of God – Dr. RC Sproul, Tabletalk Magazine

No comments:

Post a Comment