Pages

19 October 2013

KEADILAN ALLAH (3)

Oleh:  Arthur W. Pink


KEADILAN ALLAH (3)

Roma 9:14,20-21
Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil!
Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?"Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?



Bacalah lebih dahulu bagian 2

2.Aturan  Keadilan Allah


Adil  pada  mahkluk-mahkluk mengacu pada beberapa hukum, yang mana hukum itu  adalah aturan keadilan, dan yang kepadanya mahluk-mahkluk itu  diselaraskan. Hukum moral Allah, yang  adalah kudus, adil, dan baik—adalah  aturan  kebenaran atau  melakukan yang benar. Tetapi Allah yang  maha Tinggi tidak memiliki  hukum di luar diri-Nya sendiri: Dia adalah sebuah hukum bagi diri-Nya sendiri. Natur-Nya dan kehendak-Nya adalah hukum dan aturan kebenaran bagi Dia. Ini adalah atribut umum bagi tiga pribadi dalam  Allah Tritunggal : selalu demikian, karena mereka (Bapa, Anak, Roh Kudus) mengambil bagian yang sama esensi atau hakikat yang tak terbagikan (tidak terbagi-bagi). Karena itu kita mendapatkan Pribadi pertama mengindikasikan atau menunjuk “ Bapa yang adil” (Yohanes 17:25), Anak disebut “Yesus Kristus yang adil” (1 Yohanes 2:1), dan itu tepat bagi Roh Kudus yang nyata dari fakta bahwa Dia disini untuk  meyakinkan dunia “akan kebenaran” (Yohanes 16:8). Sebagai aspek yang menjadi subyek kita saat ini, adalah sangat penting, kita harus berupaya  untuk memberikan perhatian kita yang terbaik.



“Kehendak Allah adalah aturan  tertinggi keadilan, sehingga apa yang Dia kehendaki harus secara tinggi diperhitungkan adil:   karena  alasan ini, yaitu  karena Dia menghendakinya. Ketika ini diselidiki, sebagai akibatnya, mengapa Tuhan melakukan-Nya? Jawabannya, pastilah, Karena Dia mau. Tetapi jika anda bertanya lebih lanjut mengapa Dia sedemikian telah menetapkan, anda sedang  menyelidiki sesuatu yang lebih besar dan  lebih tinggi daripada kehendak Allah, yang mana tidak pernah dapat ditemukan” ( Calvin’s Institutes, buku 3, bab 3, seksi 2).



Betapa besar terang yang telah diberikan kepada Reformer terkemuka, dan  betapa jernihnya dan beraninya dia telah mengekspresikan dirinya pada  hal itu. Betapa sebuah kontras dari  ketidakjelasan yang sekarang diperoleh dalam apa yang disebut abad pencerahan, dengan  keambiguannya/ketakjelasannya, deklarasi-deklarasi bimbang dan apologetik.







Tidak berarti Calvin sendirian dalam pandangan yang ditinggikan ini, ini akan Nampak dari kutipan-kutipan yang akan disajikan dibawah ini.



Dalam menjawab pertanyaan
, “Mengapa  Adam diijinkan untuk jatuh dan  merusak seluruh  generasi masa depan, ketika Allah  dapat saja mencegah kejatuhannya?” Luther  berkata, “Allah adalah  Pribadi yang  memiliki kehendak, tidak mengenal  penyebab: tidak juga bagi kita untuk menentukan aturan-aturan untuk  keberkenanan –Nya yang berdaulat—atau  meminta Dia untuk bertanggungjawab atas apa yang Dia lakukan.


Dia juga tidak lebih besar  atau   juga setara, dan kehendak-Nya adalah aturan bagi semua hal. Dia oleh karena itu tidak akan  menghendaki hal-hal tertentu karena  hal-hal itu  benar dan Dia telah terikat untuk menghendaki  hal-hal tersebut—tetapi  karena hal-hal itu dapat  dipantaskan dan benar karena Dia menghendakinya. Kehendak  orang-orang memang benar dapat dipengaruhi dan digerakan—tetapi kehendak Allah tidak akan pernah dapat dipengaruhi. Mengatakan yang sebaliknya adalah  mendegradasikan  Allah
” ( Bondage of Man’s Will).


Pada hal  yang sama
, Bucer mengatakan, “ Allah tidak  memiliki motif lain untuk apa yang Dia lakukan—daripada semata kehendak-Nya sendiri,  yang mana  kehendak-Nya itu sedemikian jauhnya dari keadaan tidak adil, kehendak-Nya adalah keadilan itu sendiri.”


Allah  adalah Tuhan yang absolut,  sehingga “Semua penduduk bumi dianggap remeh; Ia berbuat menurut kehendak-Nya terhadap bala tentara langit dan penduduk bumi; dan tidak ada seorangpun yang dapat menolak tangan-Nya dengan berkata kepada-Nya: "Apa yang Kaubuat?"(Daniel 4:35). Dan mengapa tidak?

Karena Dia tidak hanya  memiliki  keperkasaan—tetapi hak  sepenuhnya untuk melakukan seperti apa yang Dia sukai. Tidak ada yang  ada dihadapan Dia, tidak ada yang diatas Dia: bahkan, Dia  tidak memiliki  yang setara untuk mengarahkan Dia, dan karena itu tidak ada satupun yang terhadapnya Dia harus memberikan sebuah pertanggungjawaban akan perkara-perkaranya. Apa yang Allah  tetapkan bagi kita dan apa yang Dia  perintahkan dan aturkan dari kita—adalah adil dan benar, semata karena Dia  sangat menghendakinya. Karena itu  Abraham telah memandang hal itu sebagai  sebuah tindakan benar untuk mengorbankan  puteranya yang tidak bersalah. Tetapi mengapa dia demikian menghargainya—karena hukum tertulis Allah  mengotorisasikan pembunuhan? Bukan. Sebaliknya, baik hukum Allah dan hukum alami memerintahkan  untuk melarang pembunuhan; tetapi Patriakh kudus telah mengenal dengan baik bahwa kehendak Allah adalah satu-satunya aturan keadilan, dan bahwa apapun yang Dia maui untuk diperintahkan, pada perintah itu sendiri adalah benar/adil.



  • Apakah keadilan Allah? Itu adalah sebuah  properti  esensial dalam Allah,  karena itu Dia adalah adil tiada terhingga dalam  diri-Nya sendiri, pada diri-Nya, bagi diri-Nya,dan oleh diri-Nya sendiri, dan tidak ada yang lain. Apakah aturan pada keadilan ini? Kehendak bebas-Nya dan tidak ada yang lain— karena  apapun kehendak-Nya adalah adil, dan karena Dia menghendakinya, itu adalah adil, dan bukan karena itu adalah adil karena itu Dia menghendaki-Nya” (James Usher, Body of Divinity).


  • Dalam menjawab keberatan bahwaItu tidak adil bagi Tuhan untuk menimpakan penghukuman kekal terhadap pelanggaran-pelanggaran  yang bersifat sementara, menjadi tidak ada pembandingan antara yang tidak terbatas dan terbatas,” Seorang Puritan, Thomas Brooks, secara bijak memulai tanggapannya dengan berkata: “Pertama, kehendak Allah adalah aturan keadilan, dan kerena itu apapun yang Dia lakukan atau akan lakukan, pastilah menjadi adil. Dia adalah Tuhan atas semua: Dia memiliki sebuah hak berdaulat, dan sebuah supremasi absolut atas semua mahluk” (Vol6, hal.213).


Kita telah menambahkan kutipan demi  kutipan lainnya dari hamba-hamba Tuhan terkenal ini di masa lalu karena kebenaran yang sekarang ini kita  kerjakan, yang telah ditinggalkan/disingkirkan  di   tempat-tempat dimana kebenaran ini tidak diharapkan. Bahkan dalam kalangan-kalangan yang mungkin disebut orthodoks—dimana  di pusatnya  serangan-serangan  ketidaksetiaan  selalu  menolak dan  “tonggak-tonggak utama”   para  bapak yang selalu dijaga— tajamnya  Pedang Roh, telah tumpul dan aspek-aspek kebenaran tersebut, hampir semuanya  penangkal  terhadap keangkuhan  manusia, nadanya melemah.


Pada paragraph di atas, kita telah menyinggung mereka yang telah, dibawah  sebuah cara tidak tepat dalam  membesarkan kekudusan Allah, mengsubordinatkan kehendak Ilahi pada natur Ilahi, bersikukuh bahwahal-hal itu tidak adil hanya karena Allah telah memerintahkannyatetapi Allah telah memerintahkannya karena hal-hal itu adalah adil.” Pengertian kita adalah bahwa ada sebuah alasan  bagi hal-hal tersebut  dalam hal-hal natur, dan karena itu Allah telah memaksakan  hal-hal itu dengan otoritas-Nya. Dalam bahasa gamblang, mereka hendak mengatakan bahwa Yang Maha Tinggi tidak bebas untuk  membentuk hukum apapun yang Dia sukai—tetapi telah dibatasi oleh  kepasan hal-hal, bahwa kehendak kerajaan-Nya harus selaras dengan sejumlah standard yang berada di luar diri-Nya sendiri. Sebelum kita memeriksa posisi ini secara  lebih dekat, dan  melihat hal ini pada terang  tulisan Kitab suci, kita akan memberikan lagi satu atau dua kutipan-kutipan dari hamba-hamba Tuhan yang terkemuka di masa lampau, dengan maksud  untuk memperlihatkan betapa hal ini secara radikal berbeda dari apa yang mereka ajarkan.





  • ThomasManton telah mengambil sikap bahwa dalam merenungkan keadilan ilahi/Tuhan, “Allah harus dipertimbangkan dibawah dua macam relasi: sebagai Tuhan yang absolut,  dan Gubernur dan Hakim dunia. Sebagai Tuhan yang absolut , keadilan-Nya  tidak lain adalah absolut  dan bergerak bebas dari kehendak-Nya sendiri sehubungan dengan  kondisi mahluk-mahluk-Nya. Dal hal ini Allah sepenuhnya  arbitrary (bergantung pada kebijakan-Nya sendiri, bukan oleh hukum yang  telah pasti/tetap- ini ditambahkan oleh editor Anchor ) dan tidak ada aturan lain selain kehendak-Nya sendiri : Dia tidak menghendaki hal-hal karena hal-hal itu adil—tetapi  tindakan-tindakan itu adil karena Dia  menghendaki  hal-hal itu. Dia memiliki sebuah hak membuat dan  menentukan apapun sebagaimana Dia menghendaki dalam  cara apapun selagi itu menyukakan Dia…..Sebagai Gubernur (Governor- atau pemimpin sebuah pemerintahan-ditambahkan editor) dan Hakim, Dia memberikan sebuah hukum  kepada mahluk-mahluk-Nya, dan  pemerintahan-Nya yang adil terkandung dalam memberikan semua   apa yang patut bagi  mereka berdasarkan hukum-Nya” (Vol.8, people.438,439).



Kehendak Allah dengan begitu penyebab segala hal,    sebagaimana  itu terjadi tanpa adanya penyebab, karena tidak ada yang dapat menjadi penyebab akan apa yang terjadi dimana kehendak Allah adalah penyebab setiap hal: ketika kita  memanjat pada hal itu, kita tidak dapat  melanjutkan lebih jauh lagi. Oleh karena itu kita  mendapatkan setiap hal telah terjelaskan atau terselesaikan pada akhirnya  menjadi semata  keberkenanan atau kesukaan atau kemauan  Allah  yang berdaulat, seperti apapun yang  muncul dan  terjadi telah terlaksana  di Surga dan bumi… Satu-satunya alasan yang dapat dikenakan mengapa Tuhan melakukan ini dan itu, adalah karena itu  adalah kesukaan/keinginan-Nya sendiri yang bebas untuk melakukan”(dari pena penulis “Rock of Ages” dan himne-himne terkenal lainnya, dalam  karyanya “ Observations  on the Divine Attributes”:1750). Pengajaran semacam ini mengenai hal ini, saja melanggengkan kebebasan  Allah  dan  menghadirkan  Allah yang benar dalam kebebasan dan supremasinya yang tak tertandingi, tak terbataskan/tercegahkan  oleh apapun didalam atau di luar diri-Nya sendiri.



Tetapi melawan pengajaran yang meninggikan Allah,  menjadi keberatan bahwa  dalil-dalil  semacam ini melenyapkan semua keberbedaan antara kedaulatan Allah dan keadilan-Nya,  menyatukan yang terakhir kedalam yang pertama. Dengan  pembenaran yang sama/setara kita dapat  mengeluhkan bahwa para penggugat ini gagal untuk mempertahankan keberbedaan apapun antara kekudusan Tuhan dan keadilan Tuhan, membuat yang  pertama untuk sepenuhnya menelan yang terakhir. Jika  hal itu dipertanyakan, dimana kita akan  membedakan antara kekudusan Tuhan dan keadilan? Kita menjawab, kekudusan Tuhan lebih bertemalian dengan apakah Allah itu; keadilan Tuhan  terkait dengan apa yang Dia lakukan. Atau untuk mengatakan itu dengan  cara lain, kekudusan bertemalian dengan karakter Ilahi, keadilan pada jabatan-Nya. Jadi, “Keadilan dan  kebenaran adalah  fondasi tahkta-Nya (Mazmur 89:14), artinya,  hal-hal itu  berhubungan dengan pemerintahan publik-Nya, pada pemerintahan atas mahluk-mahluk-Nya. Itu adalah sebagai Pemerintah dan Hakim, bahwa keadilan Ilahi dijalankan dan diperlihatkan.



Terkait pada keberatan bahwa kita melenyapkan semua   keberbedaan antara kedaulatan dan keadilan Ilahi, tanggapan kita adalah bahwa kita tidak dapat  kecuali   pikiran-pikiran kita tidak dibentuk sepenuhnya oleh Kitab suci. “dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya (Efesus 1:11). Tidak ada dalih pada pernyataan yang eksplisit itu, dan pada  pernyataan ini kita harus secara ketat menundukan pikiran-pikiran kita dan memformulasikan teologia kita jika kita harus “memikirkan pemikiran-pemikiran Allah yang selaras dengan Dia.”Mencermati dengan baik tidak dikatakan disini bahwa Allah mengerjakan segala sesuatu  berdasarkan pada  kedarutan/hal mendesak pada kekudusan-Nya—atau berdasarkan pada  pendiktean hikmat-Nya—tetapi “menurut keputusan kehendak-Nya.”



Memang benar bahwa setiap keputusan yang dibuat atau dipilih-Nya, adalah sebuah hal yang kudus dan sebuah hal  yang bijak—namun demikian Allah sendiri yang  telah memutuskan apa yang kudus dan apa yang bijak. Dia tidak berada dibawah  hukum, dan  tidak diikat oleh aturan-aturan apapun—tetapi selalu bertindak berdasarkan pada  kehendak-Nya sendiri dan hanya berdasarkan itu—dan sangat sering Dia melakukan apa yang  betul-betul berlawanan dengan  pemikiran-pemikiran kita tentang  kebijakan dan keadilan.
Seorang anak bekerja sebagai pemulung sampah-
credit: Kompasiana



Inilah  fakta sesungguhnya  dimana orang-orang kafir dan agnostis  berupaya keluar dari tawanan ini. Dihadapan apa yang mengkonfrontasi mereka baik dalam penciptaan dan providensia, mereka telah menarik kesimpulan bahwa   Yang Maha Kuasa  adalah Tirani yang   plin plan atau bengis—atau itu telah  membawa dunia  kedalam  eksistensinya, Dia telah menarik diri dan membiarkannya  mengerjakan takdirnya sendiri.



Mereka bertanya, mengapa ada ketidakadilan-ketidakadilan  yang begitu menyolok di dunia: satu anak terlahir normal—dan anak yang lain terlahir cacat; anak yang satu menikmati kesehatan—dan  yang lainnya menjadi seorang  penderita di sepanjang hari-harinya? Mengapa beberapa anak terlahir dibawah pemerintah yang memberikan mereka kemerdekaan—sementara anak-anak lainnya dihukum untuk perbudakan hina? Mengapa beberapa orang  memiliki pengertian yang jauh lebih besar ketimbang yang lain-lainnya—dan beberapa orang lainya  memiliki hasrat-hasrat yang lebih kuat ketimbang tetangga-tetangganya? Mengapakah  orang yang bajik sering kali tidak menerima apa yang patut baginya—dan  orang-orang yang jahat berkembang dan makmur”

Jika hal ini ditanggapi, Semua ini adalah konsekuensi dosa, maka orang-orang kafir bertanya, mengapa ada  penderitaan yang tak diceritakan di Antara hewan-hewan yang tidak  berdosa?


Dan apakah jawaban untuk ekspresi-ekspresi  orang tak percaya  ini, gejolak-gejolak pemberontakan ini? Bagaimana kita akan membungkam mereka yang dengan jahat mengafirmasi bahwa pekerjaan-pekerjaan dan cara-cara Allah Yang Maha Tinggi, dicap dengan ketidakadilan? Atau, apa yang  jauh lebih  langsung pada sasaran, bagaimana  orang-orang Kristen muda harus  berhadapan dengan ini, yang terganggu oleh pengganggu-pengganggu damai mereka? Musuh-musuh Tuhan yang blak-blakan menyerang, kita dapata hadapi dengan baik ancaman itu dengan  kebencian yang tak dikatakan. Tetapi terkait untuk menyingkirkan batu-batu yang menyandungkan dari jalan sahabat peziarah kita, hanya ada satu cara yang  memuaskan dan memadai, dan itu adalah dengan  menegakkan hak-hak berdaulat Allah yang dengannya harus kita lakukan—dengan  menegaskan bahwa Dia adalah Tukang  Periuk—dan kita adalah tanah liat dalam tangannya untuk dibentuk tepat seperti yang Dia sukai.



Mengapa Allah memberikan terang kepada  matahari, rumput pada tanah-tanah lapang,  panas pada api, dan dingin pada es? Mengapa, singkatnya, Dia telah melakukan  setiap hal-hal tersebut yang kita saksikan Dia telah lakukan—ketika Dia dapat dengan gampangnya melakukan yang sebaliknya? Hanya ada satu jawab yang memadai: dalam beragam manifestasi atribut-atribut-Nya dan dalam  mengomunikasikan baik atau  jahat kepada mahluk-mahluk-Nya, Allah telah bertindak berdasarkan pada kedaulatan kehendak-Nya. Tidak sedikitpun juga pada  derajat  yang tidak pas bahwa Allah mesti bertindak sedemikian. Kedaulatan adalah hal yang paling  fit/pas  menunjukan hal serupa pada Tuhan akan semua  kesempurnaan-kesempurnaan karakter Ilahi, karena disinilah, diatas inilah  supermasi  YHWH yang khidmat  terutama berdiam. Konsep kita akan “Dia yang Tinggi dan mulia yang mendiami kekekalan: tidak akan ditinggikan tetapi direndahkan, jika kita  menemukan bahwa Dia plin plan dalam  perbuatan-perbuatan-Nya. Pemampangan kemuliaan-Nya sendiri sebagai Raja atas raja-raja dan Tuan atas tuan-tuan, harus mendahului setiap hal lainnya.



Tuhan itu tegak lurus…tidak ada ketidakbenaran didalam Dia” (Mazmur 92:15). Namun demikian ini nyata tidak pada pandangan duniawi – tetapi pada  visi iman saja. Mata-mata alami buta, tidak dapat mengenali terang matahari, walaupun matahari bersinar penuh. Dalam cara seperti itu, mata-mata rohani buta tidak mampu memahami  cara-cara  keadilan Allah—namun cara-cara  itu benar. Tetapi kami ulangi, jalan-jalan itu benar bukan karena  cara-cara itu selaras dengan  sejumlah standar kesempurnaan eksternal, tidak juga bahkan karena  cara-cara itu dalam harmoni dengan salah satu atribut-atribut Allah—tetapi semata-mata karena cara-cara itu adalah cara-cara Doa yang “ mengerjakan segala hal  menurut keputusan kehendak-Nya.” Allah memerintahkan Abimelek  untuk menyerahkan Sarah  kepada Abraham—atau jika tidak Dia akan menghancurkan  baik dia dan  rumah  tangga dan kerajaannya” (Kejadian 20:7), berangkali terlihat tidak adil dalam  perhitungan manusia—tetapi tidakkah Allah yang akbar memiliki hak untuk melakukan apa yang Dia sukai?



Membawanya   ke contoh yang paling ekstrim dari semuanya:  Pemilihan Allah atas satu orang untuk hidup kekal—dan yang lain untuk kematian kekal. Namun demikian tidak satupun (Abraham dan Abimelek), oleh anugerah,  tunduk   terhadap otoritas Tulisan Kitab Suci, menemukan  batu sandungan pada kitab suci. Walaupun mereka tidak  menyatakan  mengerti alasan bagi Allah bertindak demikian— namun mereka  tanpa  ragu-ragu mengakui hak-Nya  untuk melakukan demikian.  Mengecewakan  kosepsi-konsepsi mereka tentang keadilan dan ketidakadilan, mereka tunduk pada kedaulatan tinggi Allah yang adalah Tuan atas segala hal. Dan adalah penundukan ini yang membawa pada hati mereka sebuah damai yang melampaui segala pengertian.  Ditengah-tengah misteri-misteri  hidup yang  sukar untuk dipahami/diduga,  kebingungan akan nasib mereka sendiri, walaupun penghakiman-penghakiman Allah adalah sebuah “mata air samudera raya” dan cara-cara-nya kerap “ tak terselami”, cara-cara-Nya jaminan tak terguncangkan bahwa  Hakim atas seluruh dunia telah dilakukan, sedang dilakukan, dan akan dilakukan, “benar.”



Dan mengapakah orang percaya sedemikian penuh percaya  bahwa hanya karena Allah melakukan sebuah hal, bahwa itu pasti benar dan baik? Karena dia telah mempelajari pelajaran ini dari  bibir Kristus, “Pada waktu itu berkatalah Yesus: "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu (Matius 11:25-26).  Amatilah karakter yang Bapa yang disorot  disini : “Tuhan langit dan bumi,”  artinya, sebagai tertinggi yang berdaulat dengan hak yang tak dapat dipersengketakan. Perhatikan basis tindakan yang sang Penebus atributkan pada Bapa: “itulah yang berkenan kepada-Mu.” Tidak ada penjelasan  lain yang diberikan, tidak ada yang lain diperlukan—itu semua memadai. Pada akhirnya, perhatikan baik “ Ya, Bapa”-Nya: akan tetapi, aneh berangkali  ini terlihat bagi kita, itu menutup pintu terhadap semua  selidik  tak beriman  dan spekulasi. Kita tidak harus menjadi  hakim-hakim atas tindakan-tindakan Allah—tetapi pelaku-pelaku  kehendak-Nya. “Kehendak”-Nya sendiri adalah  aturan satu-satu-Nya.



Lebih  lagi, janganlah dilupakan, bahwa Kristus  memandu perilaku dirinya sendiri dalam  harmoni/kecocokan sempurna dengan deklarasi-deklarasi  terbuka/ publiknya. Di Getsemani, kita menemukan bahwa Dia telah menyelesaikan penderitaan-penderitaan-nya  kedalam  kehendak Bapa yang berdaulat. Betapa luar biasa dan betapa diberkati mendengarkan Dia berkata, ‘Jadilah kehendak-Mu.” Ini adalah  relevansi yang sangat kuat yang paling kuat dan luar biasa pada poin ini dihadapan kita, ketika kita memperhatikan bahwa Dia dengan segera  mendahului persetujuan tanpa protesnya dengan  mengafirmasi, “Abba, Bapa! Semua hal adalah mungkin bagi-Mu. Ambilah cawan ini daripada-Ku. Namun demikian, bukan apa yang Aku kehendaki, tetapi apa yang Engkau kehendaki” (Markus 14:36). Betapa gamblangnya/lugasnya kata-kata semacam ini menyingkapkan kesalahan mereka yang  melawan adanya sebuah  keharusan absolut  mengapa Allah harus menghukum dosa, dan mengapa jika umat-Nya harus diampuni seorang Pengganti yang harus  menderita  menggantikan mereka. Kristus telah  mengetahui Allah  menghendaki bahwa Dia harus meminum cawan mematikan, dan Dia  tanpa perlawanan patuh pada tujuan ini—tetapi Dia telah membuatnya sejernih Kristal bahwa Allah telah menghendaki hal ini, bukan karena natur-Nya menuntut hal yang sama—tetapi semata karena ini adalah cara  dikehendaki-Nya sendiri yang telah dipilih.



Kata-kata  tersebut “ Semua hal adalah mungkin bagi-Mu,” dalam kaitan semacam ini, membuktikan melampaui semua bayang keraguan bahwa Bapa telah bertindak secara bebas, dan tanpa ada  desakan dari kekudusan dan keadilan-Nya dalam  menunjuk Kristus  untuk melakukan penebusan dosa  umat-Nya. Tidak ada dalam Kitab suci yang mengatakan bahwa Dia  tidak dapat  sekali-kali membebaskan orang dari kesalahan —tetapi  malahan bahwa Dia “ tidak akan sekali-sekali membebaskan orang dari  kesalahan” (Keluaran 34:7). Dalam cara yang sama Rasul Paulus telah digerakkan untuk menulis,” Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan” (Roma 9:22). Itu bukan menyatakan  bahwa ada keharusan dari natur-Nya telah menuntut Dia untuk  harus melakukan demikian—tetapi karena itu adalah  kehendak kerajaan-Nya sendiri untuk melakukan hal demikian.


Sebagaimana telah ditunjukan di atas, kita harus membedakan secara tajam antara kebebasan absolut  yang dimiliki oleh Allah sebagai Tuhan atas semua—dan apa yang merupakan kesempurnaan-kesempurnaan-Nya meminta Dia dibawah penyelenggaraan pemerintahan-Nya bahwa Dia berkenan untuk mengadakan/melembagakan. Kesetiaan-Nya meminta Dia  untuk memenuhi  Janji-JanjiNya, dan  ketegaklurusan-Nya untuk menggenapi ancaman-ancaman-Nya— tetapi Dia tidak berada di bawah  paksaan apapun untuk membuat janji-janji atau ancaman-ancaman. Keadilan-Nya meminta Dia untuk secara adil/tidak berpihak menyelenggarakan hukum yang Dia telah berikan— tetapi Dia tidak berada dibawah keharusan absolut  manapun merancang hukum apapun sama sekali. Dosa adalah sebuah penyakit— tidak dapatkan Dia secara berdaulat menyembuhkan-Nya, sehinga Dia sangat senang/berkenan? Dosa-dosa adalah api  yang tidak dapat membakar kala api  itu menyentuh apa yang dapat  hangus terbakar.  Tidakkah mereka yang  keberatan sedemikan bodoh melupakan bahwa  api hanya membakar  ketika Allah memerintahkan api untuk membakar? Api tidak menghanguskan  rumput, tidak juga menghanguskan  tiga orang Ibrani di  tungku api Babilon! Allahbekerja menurut keputusan KEHENDAK-Nya” (Efesus 1:11).




Bersambung ke Bagian 4


The  Justice of God |diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora

No comments:

Post a Comment