Pages

12 October 2013

Keadilan Allah (2)

Oleh :Arthur W. Pink



KEADILAN ALLAH (2)
 
"ilustrasi"
Facing 25 ft waves: USCG photo by Christopher Enoksen T-dailyboater.com
sebelumnya bacalah bagian 1

1.NATUR Keadilan  Tuhan

Sebuah pemerintahan sekular ditempatkan pada sebuah tempat khusus untuk kebaikan subyek-subyeknya, hal ini menjadi  tujuan prinsipil dari penegakan pemerintah sekular. Rakyat tidak dibentuk bagi pemerintah—tetapi pemerintah bagi  rakyat, oleh karena itu  penyelenggaraan keadilan adalah sebuah  hak bersama /umum  dan publik, dimana melaluinya pemerintah dipercaya  sebagai  penguasa tertinggi atas mereka. Pernyataan terbuka atas fakta yang jelas terlihat ini  segera saja memadai untuk  memperlihatkan jarak  tak terbatas yang memisahkan Raja diatas raja-raja dan pemerintahan-Nya—dan penguasa  sekular manapun dan   pemerintahannya. Tuhan tidak eksis atau ada  bagi  kesejahteraan ciptaan-ciptaan-Nya—tetapi independen dan  otonomi: dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan (Wahyu 4:11).

Konsekuensinya, Dia tidak  berhutang atau berkewajiban apapun kepada ciptaannya, atau  mereka tidak dapat mengambil untung apapun dari Dia. Oleh karena itu adalah perlu dipahami bahwa Dia tidak dapat dikatakan bertindak salah atau tidak adil terhadap ciptaan-ciptaan-Nya, telah begitu  selaras dengan kehendak-Nya untuk menentukan sebuah penyelenggaraan pemerintahan dimana tidak ada  provisi atau ketetapan  telah dibuat bagi  pengenaan hukuman terhadap para pelanggar  berdasarkan  pada ketakpantasan atau ketakpatutan  karakteristik dalam  diri mereka : itu adalah sesuatu yang   harus ditentukan  semata-mata oleh kehendak berdaulat-Nya sendiri.




Benar-benar telah dipertimbangkan, keadilan Allah adalah  natur  kejujuran-Nya  yang universal, karena mendahului semua tindakan-tindakan   dari kehendak-Nya ,  berkenaan dengan pemerintahan ciptaan-ciptaan-Nya, Tuhan yang mulia dan tak  terselami itu pada dasarnya dan secara intrinsik benar didalam diri-Nya sendiri.  Keadilan Ilahi dapat juga  secara serius dipandang secara relatif yakni, berkaitan   tindakan pelaksanaan pengawasan dan pemerintahan mahluk-mahluk  rasional.  Pada hal  pemerintahan mahluk-mahluk rasional secara khusus menjadi kepedulian Kitab suci  , yakni,  pada bagaimana Allah bertindak dalam penyelenggaraan pemerintahan yang Dia telah  tegakan atau bentuk.


Namun di sana dan sini  Halaman-Halaman Sakral (kitab suci) memberikan kepada kita sebuah pandangan ringkas  akan apa yang ada didalam  Allah sendiri sebelum karya  penciptaan-Nya dan mengambil  bagi diri-Nya sendiri  jabatan Penguasa dan Hakim. Pandangan-pandangan  ringkas tersebut memampukan kita untuk  mendapatkan  sejumlah gagasan  ke-Tuhan-an apakah yang ada dalam diri-Nya sendiri, menimbangnya terpisah dari semua karya dan  pelaksanaan karya. Disini, juga, ya,  terutama disini, kita harus menggandakan kewaspadaan kita, jika tidak kita menjadi salah  atas “membatasi  Dia yang Kudus” dengan  merestriksi tindakan-tindakannya  yang  melampaui apa  yang  dibenarkan/disampaikan  Kitab suci.



Itu adalah satu hal untuk mengatakan bahwa Allah tidak dapat bertindak bertentangan dengan kesempurnaan-kesempurnaan-Nya sendiri—Itu adalah  hal yang amat berbeda untuk mengafirmasi bahwa Allah  harus menjalankan kesempurnaan-kesempurnaan tersebut. Kita  harus menggunakan peringatan terbesar yang mungkin dalam mengatakan  apa yang Allah tidak dapat lakukan:



  • Allah tidak dapat memberikan kemuliaan-Nya kepada  yang  lain ( Yesaya 42:8), karena melakukan hal demikian akan mengizinkan masuknya seorang rival.
  • Allah tidak dapat  memandang dengan pujian pada yang jahat ( Habakuk 1:12) karena melakukan yang demikian akan  menodai kekudusan-Nya.
  • Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya sendiri ( 2 Timotius 2:6), karena kemudian Dia  akan menjadi tidak setia.
  • Allah tidak dapat berdusta ( Titus 1:2), karena Dia tanpa kecenderungan untuk berubah-ubah atau  bayangan karena pertukaran.




Tetapi untuk mendeklarasikan bahwa keadilan-Nya  membuat Allah berhutang  untuk menjatuhkan penghukuman atas orang-orang berdosa, dan bahwa Dia tidak dapat mengampuni tanpa sebuah penebusan, sama dengan secara  amat berani  menyatakan bahwa hal ini tidak diajarkan Kitab suci. Bahwa Dia “tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman” (Keluaran 34:7) menjaminkan  dengan mengatakan  bahwa Dia “ tidak dapat memiliki maksud  membebaskan orang yang bersalah.”



Haruslah ditunjukan, bahwa sebuah hal dapat menjadi  adil dalam  dua macam pengertian :

  • sebagai sesuatu yang negatif, dimana keadilan tidak ditolak;
  • dan secara positif, dimana keadilan sebagai sesuatu yang  memang dibutuhkan.


Dan itu adalah sebuah pertanyaan dari hal penting yang besar jika  kita harus memiliki hak untuk membentuk  konsepsi-konsepsi  independensi (ketakbergantung  pada apapun/siapapun di luar dirinya) absolut Allahmenimbang apakah kehendak-Nya untuk menghukum orang-orang berdosa  yang dimaksudkan untuk mengindikasikan/menunjukan maksud-Nya untuk  memperkenalkan pelaksanaan pemerintahan yang saat ini sedang  berlangsung— sebagaimana  dalam dalam pengertian yang pertama (negatif) atau juga dalam pengertian yang kedua (positif) .



Hak-hak siapakah yang telah  Allah langgaradakah Dia berkehendak selain daripada apa yang telah Dia lakukan? Secara  pasti bukan hak-hak ciptaan, karena Dia tidak berkewajiban apapun kepada mereka. Tidak juga hak-hak-Nya sendiri, tidakkah Dia  dengan senang/sesuai kehendaknya  untuk mendahului mereka  dalam ruang dan waktu. Allah  sekarang memerintah berdasarkan pada konstitusi yang telah Dia buat—namun tidak ada yang dapat memperlihatkan—karena Kitab suci tidak mengandung sedikit saja petunjuk terhadap hal ini—bahwa konstitusi  ini adalah efek yang penting/perlu dan telah diwajibkan oleh keadilan-Nya.

Allah telah berkenan/dengan senang menempatkan  ciptaan-ciptaan-Nya dibawah  hukum— hukum yang disertai dan  diperkuat oleh sanksi-sanksi, menjanjikan upah kehidupan kepada yang patuh dan memberikan hukuman  kematian pada mereka yang tida taat—dan sebagai Administrator atau penyelenggara pemerintahan atas hukum tersebut, Dia secara moral diwajibkan untuk mengeksekusi ketentuan-ketentuan hukumnya.


Tetapi untuk  menuntut bahwa sebuah  rejim dimana didalamnya dosa harus dihukum, atau bahwa Dia telah dibatasi pada  penunjukan sebuah Substitusi/pengganti  untuk  Kematian jika yang bersalah ditentukan untuk  dibebaskan—menyerang/menghantam  penulis ini sebagai penghujatan kecil (jika ada).



Menentang hal ini, telah sering  diajukan keberatan bahwa   kata-kata sang Penebus, “Jika  mungkin biarlah cawan ini berlalu dariku” (Matius 26:39), membuktikan bahwa ada jalan
lain dimana umat-Nya dapat diselamatkan selain oleh   peminuman-Nya atas cawan itu.


Kami menjawab
, alasan mengapa  itu tidak mungkin   bagi Juruselamat   harus terhindar dari cawan yang menakutkan ituhal itu bukan karena tangan-tangan  Mahatahu telah dibelenggu—tetapi karena kebenaran atau akurasi atau keselarasan dengan fakta pada Tuhan harus  menggenapi deklarasi-deklarasi-Nya sendiri hingga pada paling akhirnya.



Dibawah penyelenggaraan pemerintah yang Allah telah lembagakan, Dia telah  menentukan secara konklusif cara dan sejauh mana kesempurnaan-kesempurnaan-Nya akan dijalankan dan diperlihatkan. Sebagai contoh, Dia telah  menentukan secara konklusif  beberapa jabatan pada setiap Pribadi dalam Allah Tritunggal yang akan dipegang masing-masing, dan hal ini telah Dia lakukan secara bebas/merdeka pada kesukaan-Nya yang berdaulat. Dia telah menentukan secara konklusif jumlah ciptaan-ciptaan yang Dia akan bahwa  pada eksistensi, panjangnya usia kehidupannya di dunia, dan apa yang akan menjadi destiny kekal mereka; dan dalam hal ini  juga, Dia telah bertindak tanpa  ada yang mencegah/menahan.



Dia telah menentukan secara konklusif untuk memberikan kepada kita sebuah pewahyuan tertulis dari diri-Nya sendiri, terkait   dalam hal Dia sendiri yang telah memutuskan   berapa  banyak atau berapa kecil   nasihat/petunjuk harus disingkapkan/diwahyuhkan, dan dalam mana Dia telah membuat pasti janji-janji yang Dia telah  mengikrarkan diri-Nya sendiri untuk  menggenapi.   Tentu saja Dia tidak  ada dibawah kewajiban sama sekali  untuk membuat janji apapun—tetapi telah  membuat janji-janji—kejujuran/akurasinya dan kesetiaan-Nya mengharuskan Dia untuk membuat janji-janji itu baik/tergenapi, satu-satunya limitasi-limitasi atau  batasan-batasan  Yang Mahakuasa telah letakan pada diri-Nya sendiri dalam urusan-urusan-Nya dengan ciptaan-ciptaan-Nya—adalah limitasi-limitasi  yang mana kerajaan-Nya akan terlihat pas untuk  ditegakan sebagai wajib.



Sekarang dibawah konstitusi atau penyelenggaraan pemerintahan yang mana itu telah menyenangkan Allah untuk melembagakan dalam pengawasan  atau pemerintahan atas ciptaan-ciptaan rasionalnya, keadilan-Nya dikenal diantara orang-orang dengan nama-nama berbeda  menurut pada obyek-obyek  berbeda yang mana itu segera dikenali dengan baik (melalui pengalaman atau belajar).


Tidakkah yang  Mahatinggi, sebagai contoh, memberlakukan hukum-hukum bagi ciptaan-Nya? Kemudian   ketegaklurusan moral-Nya tampil didalam hukum-hukum ini sebagai keadilan/imparsial. Hukum-hukum tidak bengis— tetapi “kudus,adil dan baik” (Roma 7:12), telah dibangun demi kesejahteraan kita. Betapa  kita semestinya berterimakasih penuh karena hukum seperti  ini . Bukankah Allah telah merendahkan dirinya ke tingkat yang lebih  rendah untuk mengekspresikan diri-Nya sendiri dalam janji-janji?




Kemudian ketegaklurusan moralnya  dalam janji-janji itu dipandang sebagai  kesetiaan  (terhadap janji/sebuah akurasi), karena  Dia   setia tak berubah dalam menjadikan baik/terwujud  setiap  dari janji-janji itu.  Tidakkah Dia telah  menimpakan penghukuman kepada semua yang tidak taat? Kemudia dalam  proses  eksekusi ancaman-ancaman-Nya, ketegaklurusan moral Tuhan tampil dalam  kebenaran/keselarasan dengan fakta yang absolut . Tidakah Dia  dalam menjalankan hukum –hukum tersebut berkenaan dengan imbalan dan  penghukuman, dengan ketidakberpihakan (impartiality)  yang ketat, sehingga Dia tidak membedakan orang-orang? Kemudian ketegaklurusan moral-Nya tampil sebagai kebenaran yang mulia.



Dengan demikian akan terlihat bahwa keadilan-Nya yang  absolut  mengekspresikan apakah Tuhan didalam diri-Nya sendiri, ketegaklurusan moral natur-Nya; sementara itu disaat  yang bersamaan keadilan-Nya yang relatif  memperlakukan Dia sebagai berdiri dalam kaitannya dengan ciptaan-ciptaan-Nya. Yang berkaitan dengan Dia dalam karakter privat-Nya, yang lain dalam karakter publik-Nya. Itu adalah dalam  asumsinya dan  melepaskan jabatan-Nya  atas Penguasa dan Hakim,yang terakhir yang dilaksanakan. Sebagai yang berdaulat atas alam semesta.



Dia  memelihara hak-hak takhta-Nya dan tatanan diantara subyek-subyek-Nya. Karena ketegaklurusan moral natur-Nya,  ketika Dia memberlakukan hukum-hukum—hukum-hukum itu  dicirikan memiliki kualitas adil dan ketidakberpihakan (imparsial), ketika Dia membuat deklarasi-deklarasi—semua  itu benar, ketika Dia mengekspresikan diri-Nya sendiri dalam  janji-janji—semua janji itu setia, dan ketika Dia mendeklarasikan ancaman-ancaman terhadap ketidaktaatan—semua ancaman itu benar dan  tidak dapat dibujuk. Sebagai “fondasi keadilan”, Tuhan harus dihormati: sebagai Raja atas raja-raja, Dia harus dipatuhi. Dia tidak dapat dilukai oleh kita, tidak  juga Dia menderita karena ketidaktaatan kita—tetapi Dia akan secara pasti menimpakan  penghukuman dan  membersihkan nama-Nya dari tudingan atau kecaman-kecaman.



Bersambung ke Bagian 3

The  Justice of God |diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora

No comments:

Post a Comment