Pages

02 September 2013

Martin Luther dan Justifikasi Hanya Oleh Iman

Oleh : Budi Asali, M.Div

Dalam Diet of Worms itu, pada waktu ia diminta untuk menarik kembali buku-bukunya / ajarannya, ia berkata:

“Unless I am refuted and convicted by testimonies of the Scriptures or by clear arguments (since I believe neither the Pope nor the councils alone; it being evident that they have often erred and contradicted themselves), I am conquered by the Holy Scriptures quoted by me, and my conscience is bound in the word of God: I can not and will not recant any thing, since it is unsafe and dangerous to do any thing against the conscience”




I) Kelahiran dan masa muda Luther:

Martin Luther dilahirkan pada tanggal 10 Nopember 1483, di Eisleben, di propinsi Saxony, Prussia / Jerman (dimana ia nantinya mati pada tanggal 18 Februari 1546), dan keesokan harinya ia dibaptiskan. Ia adalah anak pertama dan ia mempunyai 3 saudara laki-laki dan 3 saudara perempuan. 6 bulan setelah kelahirannya, keluarganya pindah dan menetap di Mansfield. Keluarganya adalah orang-orang kelas bawah yang amat miskin, tetapi jujur, rajin, dan saleh. Luther tidak pernah merasa malu terhadap asal usulnya yang rendah itu.

Luther mengalami masa kecil yang keras, tanpa kenangan manis, dan ia dibesarkan dibawah disiplin yang sangat keras. Ibunya pernah menghajarnya sehingga mengeluarkan darah hanya karena ia mencuri kacang, dan ayahnya pernah mencambuknya dengan begitu hebat sehingga menyebab-kan ia lalu lari meninggalkan rumahnya, tetapi ia mengerti akan maksud baik mereka.



Dalam hal rohani ia diajar untuk berdoa kepada Allah dan para orang suci, menghormati gereja dan pastor, dan cerita-cerita mengerikan tentang setan dan ahli-ahli sihir, yang menghantuinya sepanjang hidupnya.


Di sekolah ia juga mengalami pendisiplinan yang sangat keras. Ia ingat bahwa pernah dicambuk 15 x dalam satu pagi. Di sekolah itu ia juga belajar Katekisasi, yang mencakup Pengakuan Iman, doa Bapa Kami dan 10 hukum Tuhan, dan juga beberapa lagu dalam bahasa Latin dan Jerman.


II) Luther di Universitas:

Pada usia 18 tahun (tahun 1501) ia masuk Universitas di Erfurt dan mempelajari scholasticism (= sistim logika, filsafat, dan theology abad 10-15). Universitas ini adalah salah satu yang terbaik pada saat itu. Di sini, pada waktu ia berusia 20 tahun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat satu copy yang lengkap dari Alkitab (bahasa Latin)! (Catatan: Ingat bahwa sebetulnya gereja Roma Katolik melarang orang awam untuk membaca atau bahkan memiliki Alkitab).


Ia membacanya dengan sukacita dan mengalami suatu kejutan karena Alkitab itu mengajarkan banyak hal yang tidak pernah dibacakan / diajarkan dalam gereja.


Tetapi dari pembacaan itu ia bukannya mendapat gambaran tentang Allah yang penuh kasih dan belas kasihan, tetapi sebaliknya tentang Allah yang benar yang murka terhadap manusia berdosa.


Pada tahun 1502, ia mendapat gelar B.A. (Bachelor of Arts), dan pada tahun 1505 ia mendapat gelar M.A. (Master of Arts).



III) Luther menjadi biarawan:

Sebetulnya, sesuai dengan keinginan ayahnya, setelah lulus ia mempersiapkan diri untuk bekerja dalam bidang hukum, tetapi ada peristiwa yang menyebabkan ia lalu pindah haluan.


Pada usia antara 21-22 tahun, ia lolos dari kematian akibat sambaran petir, sementara teman seperjalanannya yang ada di sebelahnya, mati tersambar (Catatan: ada yang mengatakan bahwa temannya bukan mati kena petir tetapi karena suatu duel). Tidak lama setelah itu, pada tanggal 2 Juli 1505, ia mengalami hujan badai yang sangat hebat di dekat Erfurt setelah kembali dari perkunjungan terhadap orang tuanya. Ia menjadi begitu takut sehingga ia menjatuhkan diri ke tanah dan berdoa dan bernazar dengan gemetar:


“Help, beloved Saint Anna! I will become a monk!” (= Tolonglah Santa Anna yang kekasih. Aku akan menjadi seorang biarawan!) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 112.


Ia memang selamat dari hujan badai itu, dan untuk menggenapi nazarnya ia lalu masuk the Augustinian convent pada tahun 1505.

Tentang Augustinian convent itu, yang menggunakan nama Augustine / Agustinus, Schaff memberikan komentar sebagai berikut:

“... it is an error to suppose that this order represented the anti-Pelagian or evangelical views of the North African father; on the contrary it was intensely catholic in doctrine, and given to excessive worship of the Virgin Mary, and obedience to the papal see which conferred upon it many special privileges” (= adalah sesuatu yang salah untuk mengira bahwa ordo ini mewakili pandangan-pandangan yang anti-Pelagian atau injili dari bapa Afrika Utara ini; sebaliknya ordo ini bersifat sangat katolik dalam doktrin / pengajaran, dan sangat memuja Perawan Maria, dan taat pada Paus yang memberikan kepada ordo ini banyak hak istimewa) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 114.


Tentang masuknya Luther ke biara untuk menjadi biarawan, Philip Schaff berkata:

  • “Luther himself declared in later years, that his monastic vow was forced from him by terror and the fear of death and the judgment to come; yet he never doubted that God’s hand was in it” (= Dalam tahun-tahun belakangan, Luther sendiri menyatakan bahwa nazar kebiarawanannya dipaksakan dari dia oleh teror dan ketakutan pada kematian dan pada penghakiman yang akan datang; tetapi ia tidak pernah meragukan bahwa tangan Allah ada di dalamnya) - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113.

  • “He was never an infidel, nor a wicked man, but a pious Catholic from early youth; but now he became overwhelmed with a sense of the vanity of this world and the absorbing importance of saving his soul, which, according to the prevailing notion of his age, he could best secure in the quiet retreat of a cloister” (= Ia tidak pernah menjadi orang kafir, atau orang jahat, tetapi ia adalah orang Katolik yang saleh sejak masa kecilnya; tetapi sekarang ia diliputi oleh suatu perasaan akan kesia-siaan dari dunia ini dan kepentingan untuk menyelamatkan jiwanya, yang, menurut pemikiran umum jaman itu, bisa ia pastikan dengan cara yang terbaik dalam pengunduran diri / pengucilan diri yang tenang dalam biara) - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113.

Pada waktu Luther menjadi seorang biarawan ia berusaha mati-matian untuk hidup sesuai dengan ajaran gereja Katolik pada waktu itu. Ia berusaha untuk mendapatkan keselamatan melalui usahanya sendiri dengan membuang dosa, berbuat baik, dsb. Tetapi ia tidak pernah merasakan damai, sukacita atau ketenangan. Ia terus-menerus dihantui oleh perasaan berdosa yang luar biasa hebatnya, dan pemikiran tentang Allah yang suci, adil, bahkan bengis.

¨      “If there was ever a sincere, earnest, conscientious monk, it was Martin Luther. His sole motive was concern for his salvation. To this supreme object he sacrificed the fairest prospects of life. He was dead to the world and was willing to be buried out of the sight of men that he might win eternal life. His latter opponents who knew him in convent, have no charge to bring against his moral character except in certain pride and combativeness, and he himself complained of his temptations to anger and envy” (= Jika pernah ada seorang biarawan yang tulus dan sungguh-sungguh, maka itu adalah Martin Luther. Motivasi satu-satunya adalah perhatian untuk keselamatannya. Untuk tujuan tertinggi ini ia mengorbankan harapan terbaik hidupnya. Ia mati terhadap dunia, dan rela dikubur terhadap pandangan manusia supaya ia bisa mendapatkan hidup yang kekal. Penentang-penentangnya, yang mengenalnya di biara, tidak mempunyai tuduhan terhadap karakter moralnya kecuali dalam hal kesombongan tertentu dan kesukaannya melawan, dan ia sendiri mengeluh tentang pencobaan-pencobaan yang ia alami terhadap kemarahan dan iri hati) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113-114.

¨      “He assumed the most menial offices to subdue his pride: he swept the floor, begged bread through the streets, and submitted without murmur to the ascetic severities” (=  Ia menerima jabatan-jabatan yang paling rendah untuk menundukkan kesombongannya: ia mengepel lantai, mengemis roti di jalan-jalan, dan tunduk tanpa menggerutu pada kekerasan / kesederhanaan hidup pertapa) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 115.


¨      “He said twenty-five Paternosters with the Ave Maria in each of the seven appointed hours of prayer. He was devoted to the Holy Virgin ... He regularly confessed his sins to the priests at least once a week. At the same time a complete copy of the Latin Bible was put into his hands for study, ... At the end of the year of probation Luther solemnly promised to live until death in poverty and chastity according to the rules of the holy father Augustin, to render obedience to Almighty God, to the Virgin Mary, and to the prior of the monastery. ... His chief concern was to become a saint and to earn a place in heaven. ‘If ever,’ he said afterward, ‘a monk got to heaven by monkery, I would have gotten there’. He observed with minutest details of discipline. No one surpassed him in prayer, fasting, night watches, self-mortification” [= Ia mengucapkan 25 x doa Bapa Kami dengan Salam Maria dalam setiap dari 7 jam doa yang ditetapkan. Ia berbakti kepada Perawan yang Kudus ... Ia mengaku dosa secara rutin kepada imam / pastor sedikitnya sekali seminggu. Pada saat yang sama suatu copy Alkitab Latin yang lengkap ada di tangannya untuk dipelajari, ... Pada akhir dari tahun percobaan Luther berjanji dengan khidmat / sungguh-sungguh untuk hidup sampai mati dalam kemiskinan dan kesederhanaan / kesucian menurut peraturan-peraturan bapa kudus Agustinus, taat kepada Allah yang mahakuasa, kepada Perawan Maria, dan kepada kepala biara. ... Perhatiannya yang terutama adalah untuk menjadi orang suci dan mendapatkan tempat di surga. ‘Jika ada,’ katanya belakangan, ‘seorang biarawan mencapai surga melalui kebiarawanan, Aku sudah sampai di sana’. Ia menjalankan disiplin dengan sangat terperinci. Tidak seorangpun melampaui dia dalam doa, puasa, jaga malam (?), mematikan diri sendiri] - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 115-116.


¨      “He sought by the means set forth by the Church and the monastic tradition to make himself acceptable to God and to earn salvation of his soul. He mortified his body. He fasted, sometimes for days on end and without a morsel of food. He gave himself to prayers and vigils beyond those required by the rule of his order. He went to confession, often daily and for hours at a time. Yet assurance of God’s favour and inward peace did not come and the periods of depression were acute” (= Ia mencari melalui cara-cara yang dinyatakan oleh Gereja dan tradisi biara untuk membuat dirinya sendiri diterima oleh Allah dan mendapatkan keselamatan jiwanya. Ia mematikan dirinya. Ia berpuasa, kadang-kadang selama berhari-hari tanpa makanan sedikitpun. Ia menyerahkan dirinya untuk berdoa dan berjaga-jaga melebihi apa yang dituntut oleh peraturan ordonya. Ia mengaku dosa, seringkali setiap hari dan untuk berjam-jam dalam satu kali pengakuan. Tetapi keyakinan akan perkenan Allah dan damai di dalam tidak datang dan ia mengalami masa depresi yang parah) - Kenneth Scott Latourette, ‘A History of Christianity’, vol II, hal 705.


¨      “But he was sadly disappointed in his hope to escape sin and temptation behind the walls of the cloister. He found no peace and rest in all his pious exercises. The more he seemed to advance externally, the more he felt the burden of sin within. He had to contend with temptations of anger, envy, hatred and pride. He saw sin everywhere, even in the smallest trifles. The Scriptures impressed upon him the terrors of divine justice. He could not trust in God as a reconciled Father, as a God of love and mercy, but trembled before him, as a God of wrath, as a consuming fire. He could not get over the words: ‘I, the Lord thy God, am a jelous God’” (= Tetapi ia sangat kecewa dalam harapannya untuk lepas dari dosa dan pencobaan di balik tembok-tembok biara. Ia tidak mendapatkan damai dan ketenangan dalam semua hal-hal saleh yang ia lakukan. Makin ia kelihatan maju secara lahiriah, makin ia merasa beban dosa di dalam. Ia harus berjuang melawan pencobaan untuk marah, iri, kebencian, dan kesombongan. Ia melihat dosa dimana-mana, bahkan dalam hal-hal yang paling remeh. Kitab Suci memberikan kesan kepadanya tentang keadilan ilahi. Ia tidak bisa percaya kepada Allah sebagai Bapa yang diperdamaikan, sebagai Bapa yang kasih dan berbelas kasihan, tetapi gemetar di hadapanNya, sebagai Allah yang murka, sebagai api yang menghanguskan. Ia tidak bisa mengatasi kata-kata: ‘Aku, Tuhan Allahmu, adalah Allah yang cemburu’) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 116.


¨      “He entered the confessional and stayed for hours every day. On one occasion Luther spent six hours confessing the sins he had committed in the last day!” (= Ia masuk ke dalam ruang pengakuan dosa dan berada di sana berjam-jam setiap hari. Pada suatu kali Luther menghabiskan waktu 6 jam untuk mengaku dosa-dosa yang ia lakukan pada hari terakhir) - R.C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 114.



¨      Pengakuan dosa Luther ini menyebabkan Staupitz menjadi marah dan berkata:
“‘Look here,’ he said, ‘if you expect Christ to forgive you, come in with something to forgive - parricide, blasphemy, adultery - instead of all these peccadilloes. ... Man, God is not angry with you. You are angry with God. Don’t you know that God commands you to hope?’” (= ‘Lihatlah,’ katanya, ‘Jika kamu berharap supaya Kristus mengampuni kamu, datanglah dengan sesuatu untuk diampuni - pembunuhan orang tua, penghujatan, perzinahan - dan bukannya semua dosa-dosa remeh ini. ... Bung, Allah tidak marah kepadamu. Kamu yang marah kepada Allah. Tidak tahukah kamu bahwa Allah memerintahkan kamu untuk berharap?’) - R.C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 114, dimana ia mengutip dari Roland Bainton, dalam bukunya ‘Here I Stand’.


¨      Pada tahun 1505, sebagai seorang pastor muda ia memimpin misa untuk pertama kalinya. Pada waktu ia mengangkat roti dan mengucapkan kata-kata “Ini adalah tubuhKu”, ia mengalami rasa takut yang luar biasa karena ia merasakan dirinya penuh dosa di hadapan Allah yang tak terbatas dalam kekudusanNya.


IV) Pertobatan Luther:

Seorang biarawan tua menghibur Luther dalam kesedihan dan keputusasaannya, dan mengingatkan dia tentang kata-kata Paulus bahwa orang berdo-sa dibenarkan oleh kasih karunia melalui iman.



Juga Johann von Staupitz, yang adalah teman baik, sekaligus penasehat dan bapa rohani Luther, mengarahkan Luther dari dosa-dosanya kepada apa yang Kristus lakukan di kayu salib, dari hukum Taurat kepada salib, dan usaha berbuat baik kepada iman. Ia juga yang mendorong Luther untuk belajar Kitab Suci.

Melalui bantuan biarawan tua dan Staupitz, dan khususnya melalui penyelidikannya terhadap surat-surat Paulus, perlahan-lahan Luther sadar bahwa orang berdosa bisa dibenarkan bukan karena mentaati hukum, tetapi hanya karena iman kepada Yesus Kristus.

“He pondered day and night over the meaning of ‘the righteousness of God’ (Rom. 1:17), and thought that it is the righteous punishment of sinners; but toward the close of his convent life he came to the conclusion that it is the righteousness which God freely gives in Christ to those who believe in him. Righteousness is not acquired by man through his own exertions and merits; it is complete and perfect in Christ, and all the sinner has to do is to accept it from Him as a free gift” [= Ia merenungkan siang dan malam tentang arti dari ‘kebenaran Allah’ (Ro 1:17), dan mengira bahwa itu adalah hukuman yang adil terhadap orang-orang berdosa; tetapi menjelang akhir dari kehidupan biaranya ia sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah kebenaran yang Allah berikan dengan cuma-cuma dalam Kristus kepada mereka yang percaya kepadaNya. Kebenaran tidak didapatkan oleh manusia melalui usaha dan kebaikan / jasanya sendiri; kebenaran itu lengkap dan sempurna dalam Kristus, dan semua yang harus dilakukan oleh orang berdosa adalah menerimanya dari Dia sebagai pemberian cuma-cuma] - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 122.

Cerita tentang pertobatannya agak simpang siur, dan sukar dipastikan kapan persisnya ia sungguh-sungguh bertobat dan diselamatkan. Pengertiannya dan kepercayaannya akan keselamatan / pembenaran karena iman yang diajarkan oleh Ro 1:17 itupun melalui pergumulan hebat dan cukup lama.

Karena itu, pada tahun 1510, sekalipun ia sudah tahu tentang pembenaran karena iman, tetapi karena ia belum betul-betul mantap dalam hal itu, maka ia masih melakukan ziarah / perjalanan agama (pilgrimage) ke Roma. Ia berharap untuk bisa mendapatkan penghiburan untuk jiwanya dengan mela-kukan perjalanan ini.

Philip Schaff mengatakan:
“He ascended on bended knees the twenty-eight steps of the famous Scala Santa (said to have been transported from the Judgment Hall of Pontius Pilate in Jerusalem), that he might secure the indulgence attached to his ascetic performance since the days of Pope Leo IV. in 850, but at every step the word of the Scripture sounded as a significant protest in his ears: ‘The just shall live by faith’ (Rom. 1:17). Thus at the very height of his medieval devotion he doubted its efficacy in giving peace to the troubled conscience” [= Dengan menggunakan lututnya ia menaiki 28 anak tangga dari Scala Santa yang terkenal (dikatakan bahwa Scala Santa itu telah dipindahkan dari Ruang Pengadilan Pontius Pilatus di Yerusalem), supaya ia bisa memastikan pengampunan dosa yang dicantelkan pada pelaksanaan pertapaannya sejak jaman Paus Leo IV pada tahun 850, tetapi pada setiap langkah kata-kata Kitab Suci terngiang di telinganya sebagai suatu protes: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’ (Ro 1:17). Jadi, pada puncak dari kebaktian keagamaannya ia meragukan kemujarabannya dalam memberikan damai pada hati nurani yang kacau] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 129.


Tetapi, setelah ia betul-betul mengerti dan percaya, maka kegagalannya dalam mencapai ‘keselamatan / pembenaran melalui perbuatan baik’, dan pengalamannya dalam mendapatkan ‘keselamatan / pembenaran karena iman’, menyebabkan ia sangat membenci doktrin ‘keselamatan karena perbuatan baik’. Ia berkata:


“The most damnable and pernicious heresy that has ever plagued the mind of men was the idea that somehow he could make himself good enough to deserve to live with an all-holy God” (= Ajaran sesat yang paling terkutuk dan jahat / merusak yang pernah menggoda pikiran manusia adalah gagasan bahwa entah bagaimana ia bisa membuat dirinya sendiri cukup baik sehingga layak untuk hidup dengan Allah yang mahasuci) - Dr. D. James Kennedy, ‘Evangelism Explosion’, hal 31-32.

V) Reformasi:

Gereja Roma Katolik membutuhkan uang, dan ini menyebabkan terjadinya penjualan surat pengampunan dosa /  letter of indulgence. Orang Katolik yang terkenal dengan penjualan surat pengampunan dosa ini adalah Johann Tetzel, yang oleh Philip Schaff digambarkan dengan kata-kata sebagai berikut:

“who was not ashamed to boast that he saved more souls from purgatory by his letters of indulgence than St. Peter by his preaching” (= yang tidak malu untuk membanggakan bahwa ia menyelamatkan lebih banyak jiwa dari api pencucian oleh surat-surat pengampunan dosanya dari pada Santo Petrus oleh khotbahnya) - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.


Philip Schaff menambahkan:
“Luther had experienced the remission of sin as a free gift of grace to be apprehended by a living faith. This experience was diametrically opposed to a system of relief by means of payments in money” (= Luther telah mengalami pengampunan dosa sebagai suatu pemberian cuma-cuma oleh iman yang hidup. Pengalaman ini sama sekali bertentangan dengan sistim pembebasan dengan cara membayar dengan uang) - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.

Penjualan surat pengampunan dosa itu menyebabkan pada tanggal 31 Oktober 1517 Luther menempelkan 95 thesisnya pada pintu gereja Witten-berg, Jerman.

-
Martin Luther nailed his 95 Theses to the church door at Wittenburg, Germany
CREDIT:  Social Media University Global
  • Tanggal 31 Oktober 1517 ini akhirnya diperingati sebagai hari Reformasi.
  • Tulisan Luther ini menyerang penjualan surat pengampunan dosa itu, dan tulisannya ditujukan kepada para ahli theologia jaman itu untuk diperdebatkan. Dan tulisannya ini memang menimbulkan pertentangan / perdebatan yang luar biasa.

Dalam bulan Juli 1519 Luther dan teman sejawatnya yang bernama Andreas Carlstadt bertemu dengan John Eck, yang merupakan ahli debat top pada saat itu. Mereka mengadakan debat di depan umum di Leipzig. Dalam perdebatan itu John Eck menunjukkan bahwa beberapa pandangan Luther sesuai dengan pandangan John Hus, yang saat itu dianggap sebagai ajaran sesat oleh gereja Roma Katolik. Akhirnya Luther terpaksa mengakui dengan segan, sesuai dengan keinginan John Eck, sebagai berikut:


“Among the condemned beliefs of John Hus and his disciples, there are many which are truly Christian and evangelical and which the Catholic Church cannot condemn” (= Di antara kepercayaan-kepercayaan John Hus dan murid-muridnya yang dikecam, ada banyak yang adalah benar-benar Kristen dan injili dan yang Gereja Katolik tidak bisa mengecam) - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 31.
John Huss
Credit :Columbia.edu
Catatan:
John Hus (1373-1415) adalah pemimpin dari The Bohemian Brethren di Bohemia, Cekoslowakia. John Hus dipengaruhi oleh theologia dari Augustine dan Wycliffe. Dalam suatu tulisannya yang berjudul ‘On the Church’ ia berkata bahwa hanya Kristus sendiri yang adalah kepala gereja. Ia menyerang penjualan indulgence / pengampunan dosa dan juga menyerang kejahatan dari gereja dan pastor. Ini menimbulkan konflik, dan Sigismund, kaisar Romawi, mendesak supaya John Hus hadir dalam the Council of Constance dalam tahun 1415, dan kepada John Hus diberikan jaminan keamanan di sana sampai ia bisa kembali dengan selamat. Tetapi ternyata begitu sampai, ia langsung ditangkap, dipenjarakan, diadili dengan cepat, dinyatakan bersalah, dan dihukum mati dengan dibakar, karena ia menolak untuk menarik kembali tulisannya kecuali ia diyakinkan kesalahannya berdasarkan Kitab Suci.

Dengan pengakuan yang mendukung John Hus itu, Luther sudah menentang Council!

Dr. Albert Freundt mengomentari dengan berkata:
“He intended no revolution; he aimed at purifying the Catholic Church and preserving its truth. But the Leipzig debate tore down the last barrier which held him to Rome” (= Ia tidak memaksudkan revolusi; ia bertujuan memurnikan Gereja Katolik dan memelihara kebenarannya. Tetapi perdebatan di Leipzig menghancurkan halangan terakhir yang menahannya pada Roma) - ‘History of Modern Christianity’, hal 31.


Dan pada bulan Februari 1520 Luther mengakui lebih jauh dari pada pengakuannya di Leipzig dengan berkata: “We are all Hussites without knowing it,” (= Kita semua adalah pengikut Hus tanpa kita sadari) tulisnya, “St. Paul and St. Augustine are Hussites” (= Santo Paulus dan Santo Agustinus adalah pengikut-pengikut Hus / mempunyai pandangan seperti Hus) - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 31.


Pada bulan Juni 1520, Roma mengeluarkan ‘the Bull’ (= surat keputusan dari Paus), yang diberi nama ‘Exsurge Domine’, yang mengecam 41 usul / gagasan Luther sebagai sesat, dan memerintahkan orang yang setia kepada Roma Katolik untuk membakar buku-buku Luther dimanapun bisa ditemukan. Luther diberi waktu 2 bulan untuk menarik kembali ucapan / tulisannya atau ia akan dikucilkan.


Pada tanggal 10 Desember 1520, pada pk 9 pagi, Luther membakar bull tersebut beserta buku-buku Katolik lain, di depan umum. Dan pada tanggal 3 Januari 1521, pengucilan terhadap Luther dilaksanakan.

Luther lalu berkata:
“I said (at the Leipzig disputation of 1519) that the Council of Constance condemned some propositions of Hus that were truly Christian. I retract. All his propositions were Christian, and in condemning him the Pope has condemned the Gospel” [= Aku berkata (pada perdebatan Leipzig pada tahun 1519) bahwa Council of Constance mengecam beberapa pernyataan dari Hus yang adalah benar-benar Kristen. Aku menarik kembali. Semua pernyataannya adalah Kristen, dan dalam mengecam dia Paus sudah mengecam Injil] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 33.

24 hari setelah pengucilan Luther, Charles V (kaisar Romawi) membuka Diet of Worms (Catatan: Diet = pertemuan formil, Worms adalah nama kota) yang pertama. Ia memberi jaminan keselamatan bagi Luther. Luther datang, sekalipun ia tentu tahu bahwa sekitar 1 abad sebelumnya John Hus dibakar hidup-hidup sekalipun ada jaminan keselamatan.

Luther berkata:
“I shall go to Worms, though there were as many devils there as tiles on the roofs” (= Aku akan pergi ke Worms, sekalipun disana ada setan-setan sebanyak genteng  pada atap-atap) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 298.



Dalam perjalanan ke Worms, ia menulis surat kepada Spalatin:

“‘You may expect every thing from me,’ he wrote Spalatin, ‘except fear or recantation. I shall not flee, still less recant. May the Lord Jesus strengthen me’” (= ‘Kamu boleh mengharapkan segala sesuatu dari aku,’ tulisnya kepada Spalatin, ‘kecuali rasa takut atau penarikan kembali / pengakuan kesalahan. Aku tidak akan lari, dan lebih-lebih aku tidak akan menarik kembali / mengaku salah. Kiranya Tuhan Yesus menguatkan aku’) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 294.


Dalam Diet of Worms itu, pada waktu ia diminta untuk menarik kembali buku-bukunya / ajarannya, ia berkata:


“Unless I am refuted and convicted by testimonies of the Scriptures or by clear arguments (since I believe neither the Pope nor the councils alone; it being evident that they have often erred and contradicted themselves), I am conquered by the Holy Scriptures quoted by me, and my conscience is bound in the word of God: I can not and will not recant any thing, since it is unsafe and dangerous to do any thing against the conscience” [= Kecuali aku disangkal / dibuktikan salah dan diyakinkan oleh kesaksian Kitab Suci atau oleh argumentasi-argumentasi yang jelas (karena aku tidak percaya kepada Paus ataupun councils saja; adalah jelas bahwa mereka sering salah dan bertentangan dengan diri mereka sendiri), aku ditaklukkan oleh Kitab Suci yang Kudus yang aku kutip, dan hati nuraniku terikat pada firman Allah: aku tidak bisa dan tidak mau menarik kembali apapun, karena adalah tidak aman dan berbahaya untuk melakukan apapun yang bertentangan dengan hati nurani] - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 304-305.


“Here I stand. (I can not do otherwise.) God help me! Amen” [= Disinilah aku berdiri (Aku tidak bisa berbuat yang lain.) Kiranya Allah menolong aku! Amin] - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 305.


Luther menceritakan Diet of Worms sebagai berikut:

“‘I expected,’ he wrote to the artist Cranach, ‘that his Majesty the Emperor would have collected fifty doctors of divinity to confute the monk in argument. But all they said was: ‘Are these books yours?’. ‘Yes’. ‘Will you recant?’. ‘No’. ‘Then get out!’” (= ‘Aku berharap,’ tulisnya kepada artis Cranach, ‘bahwa Yang Mulia Kaisar telah mengumpulkan 50 doktor theologia untuk membantah / membuktikan kesalahan biarawan ini dalam perdebatan. Tetapi semua yang mereka katakan adalah: ‘Apakah buku-buku ini milikmu?’. ‘Ya’. ‘Maukah kamu menariknya kembali?’. ‘Tidak’. ‘Kalau begitu keluarlah!’) - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 34.

-
Martin Luther before Holy Roman Emperor Charles V at Worms, 1521
CREDIT : allposters.com

Setelah pulang dari Worms, ia bertemu dengan Spalatin:
“To Spalatin, in the presence of others, he said, ‘If I had a thousand heads, I would rather have them all cut off one by one than make one recantation’” (= Kepada Spalatin, di depan orang-orang lain, ia berkata, ‘Jika aku mempunyai 1000 kepala, aku lebih suka semuanya itu dipenggal satu demi satu dari pada membuat satu penarikan kembali / pengakuan salah’) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 306.


VI) Kematian Luther:

Luther meninggal dunia pada tanggal 18 Februari 1546, dan dikuburkan pada tanggal 22 Februari 1546.

“His later years had been marked by a complication of various physical illneses, presumably aggravated by the strains and labours of a tempestuous life. This may in part account for his frequent irascibility and occasional outburst of wrath and coarse vituperation” (= Tahun-tahun terakhir hidupnya ditandai oleh komplikasi dari bermacam-macam penyakit fisik, rupanya diperparah oleh ketegangan dan pekerjaan dari hidup yang bergejolak. Ini merupakan sebagian penyebab dari sikap mudah marahnya yang sering terjadi dan kemarahannya yang kadang-kadang meledak dan makian dengan kata-kata kasar) - Kenneth Scott Latourette, ‘A History of Christianity’, vol II, hal 729.



VII) Kesimpulan tentang Luther:

Dr. R.C. Sproul dalam bukunya ‘The Holiness of God’ (= Kekudusan / kesucian Allah) menuliskan sebuah bab yang berjudul ‘The Insanity of Luther’ (= Kegilaan Luther), dimana ia menceritakan banyak ‘kegilaan’ yang dilakukan Luther. Dr. R.C. Sproul akhirnya menutup bab itu dengan kata-kata sebagai berikut:


[ ‘The Insanity of Luther’   yang disampaikan oleh Dr.R.C. Sproul dapat dilihat pada video ini]

“Was Luther crazy? Perhaps. But if he was, our prayer is that God would send to this earth an epidemic of such insanity that we too may taste of the righteousness that is by faith alone” (= Apakah Luther gila? Mungkin. Tetapi kalau ia gila, doa kita adalah supaya Allah akan mengirimkan ke dunia ini suatu epidemi kegilaan seperti itu supaya kita juga boleh merasakan kebenaran yang hanya karena iman) - R.C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 126.

-o0o-

No comments:

Post a Comment