Pages

19 November 2012

Pemelintiran Ayat : Bacalah Ini Pertama-tama! - Bagian 1

Oleh : Prof. Daniel B Wallace, Ph.D



Ini merupakan  bagian pertama dari sebuah serial esai singkat bertajuk “ Pemelintiran Ayat.” Tujuan dari esai-esai yang sangat ringkas ini adalah untuk menentang interpretasi-interpretasi populer tertentu terhadap Alkitab yang  sangat sedikit atau tidak  memiliki dasar.


Menyalahgunakan Ayat, Menyalahgunakan Tuhan

Orang-orang Kristen evangelikal mendasarkan kehidupan mereka  pada Alkitab. Kita percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan dan oleh karena itu berotoritas atas kita dalam hal-hal iman dan prakteknya. Alkitab mengindikasikan  kebenaran-kebenaran besar mengenai siapakah Tuhan, bagaimana kita dapat berhubungan dengannya, bagaimana kita dapat memahami diri kita dan dunia. Singkatnya, Alkitab mengandung kata-kata kehidupan. Orang-orang percaya menggunakan Alkitab untuk memandu mereka dalam mencari tahu kehendak Tuhan, dari hal yang monumental hingga duniawi. Kita membaca Alkitab untuk mendapatkan pengharapan serta juga untuk  menggali kebenaran. Alkitab berdampak pada keyakinan-keyakinan, sikap-sikap, dan perilaku kita. Singkatnya, Alkitab adalah  pipa saluran menuju surga: tanpa Alkitab, kita  terhanyut, tak terlindungi  di tempat yang  tidak bersahabat.


Alasan Satu :  Rendahnya Sikap Hormat
Satu fenomena yang membuat penasaran belakangan ini adalah bagaimana orang-orang Kristen telah menggunakan Alkitab. Ketimbang mengakui Alkitab merupakan sebuah buku yang terdiri dari 66 kitab, masing-masing ditulis untuk  orang yang spesifik karena alasan spesifik, kita cenderung memilin ayat-ayat keluar dari konteks mereka karena  kata-kata tersebut menyetujui apa yang telah kita percayai. Terkadang orang-orang percaya mengatakan hal-hal yang konyol seperti, “Tuhan telah memberikanku sebuah ayat hari ini.” Apa yang salah dengan itu? Dua  hal: Pertama, pendekatan semacam ini terhadap kitab suci tidak menghormati kepenulisan yang Ilahi pada Kitab Suci. Tuhan telah memberikan ayat itu setidaknya 1900 tahun lampau. Anda berangkali telah menemukannya pada hari ini, tetapi ayat ini telah lama ada disitu sejak awalnya.  Mengatakan bahwa Tuhan telah memberikan  sebuah ayat pada hari ini sungguh merupakan sebuah  pernyataan yang bersifat eksistensial (pengalaman menerima ayat yang sungguh-sungguh nyata dialami secara pribadi-red), seolah Alkitab tidak pernah  memberikan  kehidupan sampai kita membacanya dalam sebuah cara tertentu.  Tetapi  wahyu telah berakhir. Semua wahyu telah ada didalam Alkitab.  Sikap  berbicara  semacam ini  hampir terdengar seolah-olah pewahyuan masih berlangsung. Tetapi karya Roh Kudus saat ini jelas-jelas tidak pada level kognitif: Roh Kudus tidak  memberikan pewahyuan baru kepada kita. Karya Roh Kudus dalam kaitannya dengan Alkitab  terutama dalam aspek  peyakinan: dia membantu kita untuk memiliki pengertian yang sebenarnya, ketika  dipahami secara tepat. Kedua, pendekatan ini (seperti pendekatan “ Tuhan telah memberikan kepadaku sebuah ayat hari ini”) terhadap kitab suci tidak menghargai kepenulisan manusia atas Alkitab.


Ketika Paulus menulis kepada orang-orang Galatia, dia menuliskan sebuah pesan yang holistik dan koheren. Dia tidak pernah bermaksud agar seseorang pada dua milenia berikutnya  memperkosa ayat-ayat keluar dari konteksnya dan menggunakan  mereka dalam cara apapun yang mereka pilih! Tentu saja kita berhak untuk mengutip ayat-ayat dari Kitab Suci; tetapi kita tidak berhak untuk mengabaikan konteksnya, atau membuat ayat-ayat itu mengatakan apa yang tidak  dikatakan oleh kalimat dalam Alkitab. Jika tidak, seseorang dapat membawa ide dan berkata “ Yudas telah menggantung dirinya sendiri”; Pergi dan lakukanlah hal seperti itu”!  karena itu, satu  dasar untuk melakukan penyalahgunaan Alkitab merupakan akibat  dari rendahnya sikap  hormat terhadap Alkitab sebagai karya manusia dan Ilahi. Dalam pendekatan semacam ini Alkitab menjadi sebuah  buku mantera sihir—hampir merupakan  sebuah buku yang berisikan rangkaian kata-kata keberuntungan yang tak terkait satu sama lain.



Alasan Dua : Kemalasan

Bagian kedua yang tidak dapat dipisahkan pada penyalahgunaan kitab suci adalah kemalasan. Dengan kata lain,  hampir semua orang pada dasarnya tidak akan bermasalah untuk membaca konteksnya atau untuk melakukan pekerjaan rumah mengenai makna Alkitab. Dan bahkan ketika mereka diperlihatkan dengan bukti telak yang bertentangan dengan pandangan mereka, mereka kerap menjawab dengan fasih, “Itu kan semata interpretasimu.” Tanggapan semacam ini terdengar seolah-olah  semua interpretasi dapat digunakan,  seakan-akan semua interpretasi sama logisnya. Pandangan semacam ini telak-telak salah. Perhatikan kalimat ini sebagai sebuah contoh :”Ibuku suka memanjat tanaman-tanaman anggur.” Salah satu interpretasi dari kata-kata ini tidaklah sesahih  yang lainnya. Kalimat ini tidak dapat berarti “Ayahku adalah seorang mekanik mobil.” “Ibu”  bukan berarti “Ayah”; “suka” bukan berarti “adalah”; “memanjat tanaman anggur” bukan sebuah sinonim untuk “mekanik mobil”. Bahasa tidak dapat dipelintir dalam cara semacam ini. Namun, kini tanpa sebuah konteks, ada dua pilihan yang berbeda untuk  dipertanyakan pada kalimat tersebut. Entah “Ibuku suka tanaman anggur yang memanjat/merambat” atau “ibuku suka memanjat tanaman anggur.” Yang manakah pemahaman yang benar? Satu-satunya cara untuk mengatakannya adalah melihat pada konteks yang sesungguhnya—atau bertanya pada penulis kalimat tersebut! Kedua hal  tersebut telah dilakukan dalam  interpretasi Alkitab. Terkadang konteks  memecahkan masalah; pada waktu lainnya, semakin kita mengenali tentang si penulis,  semakin lebih baik kita dapat menentukan makna  si penulis. Tapi satu resep untuk kehilangan makna teks adalah menjadi sangat mengenali tentang Alkitab. Pada akhirnya Paulus  berkata kepada Timotius, “ Belajarlah untuk memperlihatkan dirimu diperkenan”?[2 Tim 2:15]

Alasan  Tiga : Ketidakjujuran

Alasan  lainnya  pemelintiran nas kitab suci  semata karena ketidakjujuran. Petrus mengingatkan pembacanya bahwa Paulus menuliskan hal-hal yang sulit dimengerti, dimana  mereka yang tidak stabil  dan memelintirkannya dengan jahat mengakibatkan kehancuran bagi mereka sendiri ( 2 Petrus 3:15-16). Saya khawatir bahwa pendekatan semacam ini terhadap kitab suci mewakili sikap begitu banyak teman-teman. Bukan hanya para bidat. Kerap kali para penghotbah jatuh kedalam  mangsa  godaan, “Dapatkah ini dikhotbahkan?” bukannya pada sebuah peyakinan,”benarkah ini?” Beberapa tahun lalu, saya bekerja di sebuah gereja, mempersiapkan sebuah khotbah bagi para dewasa lajang. Pastor  gereja tersebut sedang mempersiapkan sebuah khotbah  untuk seluruh jemaatnya. Kala itu sebuah malam Sabtu. Dia masuk ke kantor saya dan bertanya kepadaku bagaimana saya memahami sebuah kata tertentu.  Saya katakan kepada dia  pilihan-pilihan yang saya anggap diizinkan dalam teks bahasa Yunani, memberikan dasar-dasar atas preferensi-preferensi khusus yang saya sampaikan. Tanggapannya adalah, “Jadi, anda tidak berpikir bahwa kata itu dapat bermakna ‘X’?” Saya menjawab bahwa X bukanlah sebuah opsi; bahasa Yunani (bahasa Perjanjian Baru-red) tidak dapat dipelintir agar bermakna seperti itu.  Dia kemudian berucap, “Itu buruk sekali. Saya telah mempersiapkan khotbahku, dan salah satu poin fundamental yang saya buat didasarkan pada pemaknaan kata itu menjadi X.  Sangat terlambat untuk mengubahnya sekarang.” Saya terperanjat. Disini seorang pria yang hendak naik ke atas mimbar keesokan harinya, mengetahui bahwa dia akan berkhotbah hal-hal yang bukan  kebenaran!

Pastinya, para guru Firman tidak memiliki semua jawaban. Ada banyak hal yang kita pertanyakan ditengah-tengah instruksi-instruksi kami. (Saya  memiliki anjuran yang panjang, salah satu hal  yang  perlu dimiliki guru-guru Alkitab semestinya menerapkan kerendahan hati ketika  mereka tidak tahu. Akan tetapi, biasanya hal itu-kerendahan hati terjadi ketika mimbar gereja sudah terhantam dari segala sisi dengan  lebih keras!). Tetapi ini sangat berbeda daripada  mengetahui bahwa kita berada dalam kesalahan dan tetap mengajarkannya juga. Melewati  garis etika memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu. Tidakkah Yakobus menuliskan, “janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat” [Yak 3:1].

Kita tidak dapat selalu  menyatakan dasar-dasar yang Ilahi mengapa beberapa  rekan menggunakan Alkitab dalam cara yang semacam ini, cara yang tidak pernah dikehendaki untuk digunakan. Tetapi kita memiliki tanggungjawab menjadi pelayan-pelayan firman yang baik. Tidakah seharusnya sikap kita sama dengan  jemaat di Berea? Ketika orang-orang   di Berea mendengarkan injil yang  dikhotbahkan Paulu, Lukas  memberitahukan kepada kita bahwa mereka lebih berpikiran luhur ketimbang jemaat di Tesalonika, karena mereka telah menerima  hal-hal yang Paulus katakan dengan sukacita, namun mereka juga menyelediki kitab suci untuk memeriksa  pengajaran Paulus (Kisah Para Rasul 17:11)! Kita sepatutnya mendengarkan firman dengan  telinga yang kritis dan sebuah senyum  pada wajah kita.

Pada artikel selanjutnya, saya akan mengeksplorasi ayat-ayat yang kerap dipelintirkan. Esai-esai ini memang dibuat  menjadi sangat singkat. Walaupun memang benar bahwa sebagian tujuan kami untuk mengoreksi beberapa instruksi yang buruk, teks-teks pilihan biasanya memiliki sebuah nilai yang lebih unggul yang membuatnya harus didengarkan. Kita jarang mendengarkan khotbah mereka, akan tetapi, karena kita telah diinstruksikan dalam interpretasi populer sedemikian lamanya sehingga kita tidak dapat mengenali makna sejati dari sebuah teks. Kita akan menutupnya dengan sebuah contoh. Kerap dalam pernikahan, sebuah ayat diambil dari kitab Rut yang berbunyi :” sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16). Kata-kata itu  diucapkan oleh isteri kepada suami. Ini merupakan sentimen yang besar, dan setiap suami kan berbahagia karena isterinya menyatakan hal ini. Tetapi Rut tidak mengatakan kata-kata ini kepada Boaz (suaminya).  Dia mengatakan hal ini kepada ibu mertuanya! Membacakan ayat-ayat ini  pada sebuah pernikahan sama dengan memelintirkan ayat-ayat ini dari konteksnya. Hal  salah ini  dilanjutkan mungkin karena sebuah   penyebab  yang baik, mengekspresikan sebuah sentimen  romantis, tetapi hal itu   merupakan pemelentiran  Kitab suci walau bagaimanapun juga.


ScriptureTwisting: Read me First! | Diterjemahkan dan diedit oleh :  Martin Simamora


No comments:

Post a Comment