Pages

25 October 2011

Demi Menjaga Kewibawaan Hukum ~ Victor Silaen


By design, sejak diproklamasikan pada 1945, Indonesia adalah negara hukum. Segenap komponen bangsa ini, terlebih para pemimpinnya, baik presiden, menteri, gubernur, bupati/wali kota, maupun DPR/DPRD atau DPD, tentulah paham betul soal itu.

Apalagi hal ini tercantum secara tegas pada bagian Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara, yakni (1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat); (2) Sistem konstitusional pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Atas dasar itu berarti supremasi hukum adalah segala-galanya di negara ini. Hukum harus ditinggikan dan menjadi panglima, membawahi politik, meski politik tengah menjadi primadona sejak era reformasi bergulir pasca-Soeharto.


Secara politik, Indonesia memang telah berubah signifikan menjadi negara demokratis (bahkan disebut-sebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India). Namun, tanpa supremasi hukum, demokrasi yang tengah berkembang kian modern itu niscaya berekses munculnya ketidakstabilan dan kekacauan.

Dengan supremasi hukum berarti hukum ditegakkan di semua arena kehidupan, karena hukum sejatinya memang harus menjadi pedoman dan memberi kepastian.
Untuk itu maka di garda terdepan harus ada aparat penegak hukum yang mengawalnya, sementara kita semua harus menghormati dan menaati semua produk dan putusan hukum. Jika tidak, berarti hukum di negara ini hanya “pepesan kosong” yang tak berwibawa sama sekali.

Pertanyaannya, apakah secara faktual negara ini sudah sungguh-sungguh berupaya mewujudkan supremasi hukum? Sudahkah aparat penegak hukum di negara ini disiplin dan berupaya semaksimal mungkin dalam mengawal hukum, sementara kita menghormati dan menaati semua produk dan putusan hukum?

“Pepesan Kosong”
Di Kota Bogor, ada kasus yang memperlihatkan bahwa hukum sebagai panglima tak ubahnya “pepesan kosong”, karena pemerintahnya justru membangkang terhadap putusan hukum, sementara aparat penegak hukumnya mendukung kepala daerah yang tak taat hukum itu.

Kasusnya sebagai berikut. Pada 13 Juni 2006, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin secara resmi memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk gedung gereja di Jalan Abdullah bin Nuh No 31, Bogor.

Berikutnya, 19 Agustus 2006, pihak GKI Yasmin menggelar acara peletakan batu pertama untuk memulai pembangunan gedung gereja. Saat itu Wali Kota Bogor Diani Budiarto menyampaikan sambutan tertulis resmi yang dibacakan perwakilan Pemkot Bogor.

Pada 11 Oktober 2006, Sekda Kota Bogor menyampaikan opsi agar pihak GKI Yasmin memindahkan lokasi gereja, karena ada protes dari kelompok tertentu kepada wali kota yang meminta agar pembangunan tersebut dihentikan. Ini sebenarnya layak dipertanyakan: apa hak Sekda Kota Bogor mengeluarkan opsi tersebut?

Akhirnya, 25 Februari 2008, Wali Kota Bogor mengeluarkan pembatalan rekomendasinya atas IMB GKI Yasmin dengan alasan “sikap keberatan dan protes dari masyarakat terhadap Pemkot Bogor terkait pembangunan gedung gereja”. Sebagai tanggapan, pada 28 Februari 2008, pihak GKI Yasmin menyampaikan surat keberatan kepada Wali Kota Bogor atas pembekuan IMB tersebut.

Selanjutnya, 10 Maret 2008, pihak GKI Yasmin mengadukan persoalan ini ke Komnas HAM.
Mengacu pada Pasal 6 Ayat (1) Perber bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dan No 9 dan No 8 Tahun 2006 (yang antara lain mengatur tentang Pendirian Rumah Ibadah), bahwa tidak diatur wewenang bupati/wali kota untuk mencabut dan/atau membekukan IMB rumah ibadah (kecuali lewat pengadilan), maka sejak itu pihak GKI Yasmin pun menempuh langkah hukum.

Singkatnya, pada 2009 keluarlah putusan Mahkamah Agung (MA) No 127 PK/TUN/2009 yang menyatakan bahwa IMB pihak GKI Yasmin sah. Namun kemudian Pemkot Bogor mencabut IMB GKI Yasmin tersebut melalui Surat Keputusan (SK) No 645.45-137 per 11 Maret 2011.

Bukankah MA adalah lembaga pengadilan tingkat akhir, yang berarti putusannya sudah final dan seharusnya langsung dieksekusi? Tetapi, mengapa selama kira-kira dua tahun sesudahnya Pemkot Bogor bisa mengabaikan putusan tersebut? Lebih dari itu bahkan Pemkot Bogor telah melakukan “pembangkangan” terhadap MA dengan mengeluarkan SK pencabutan IMB GKI Yasmin per 11 Maret 2011.

Sementara itu, pihak GKI Yasmin juga mengadukan persoalan ini ke Ombudsman RI. Pada 18 Juli 2011, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi untuk Pemkot Bogor, yang intinya memberi waktu 60 hari untuk mencabut SK Wali Kota Bogor No 645.45-137 tertanggal 11 Maret 2011 tentang Pencabutan Keputusan Wali Kota Bogor No 645.8-372 Tahun 2006 tentang IMB atas nama GKI Yasmin.

Ombudsman menilai, SK Wali Kota Bogor tentang pencabutan IMB GKI Yasmin itu merupakan perbuatan mal-administrasi. SK yang dikeluarkan Diani Budiarto itu dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum, serta menentang putusan Peninjauan Kembali (PK) MA No 127 PK/TUN/2009.

Rekomendasi Ombudsman dikeluarkan usai mendengar keterangan seluruh pihak yang berkaitan dengan kasus pencabutan IMB GKI Yasmin oleh Wali Kota Bogor.
Hasil investigasi yang dilakukan Ombudsman menunjukkan Wali Kota Bogor tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan putusan PK MA tertanggal 9 Desember 2010, meski mereka telah beberapa kali bertemu dengan pihak GKI Yasmin untuk membahas persoalan ini.

Menurut Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana, merupakan pertanda yang tak baik bagi penegakan hukum di Indonesia jika putusan MA sebagai putusan hukum tertinggi di Indonesia tidak diindahkan wali kota.

Tetap Menolak
Pada 18 September lalu, batas waktu yang diberikan Ombudsman sudah berlalu. Apa sikap Wali Kota Bogor? Menurut Budi Santoso, anggota Ombudsman, Wali Kota Bogor tetap menolak melaksanakan rekomendasi Ombudsman itu.

Akibatnya, hingga kini, jemaat GKI Yasmin tetap tak bisa beribadah di lahan dan gedung yang mereka miliki secara sah itu. Mereka terpaksa beribadah di trotoar di dekat gereja. Itu pun selalu diintimidasi oleh Pemkot Bogor, Satpol PP, dan pihak-pihak lain, dengan alasan mengganggu ketertiban umum.

Kisah tentang perjuangan pihak GKI Yasmin demi tegaknya hukum dan mendapatkan keadilan itu akhirnya terdengar sampai ke luar negeri. Selama ini pihak GKI Yasmin memang telah melakukan langkah-langkah strategis yang sah, mulai dari upaya sosialisasi, negosiasi, audiensi ke DPR, melaporkan ke Komnas HAM ASEAN, hingga PBB, dan lainnya.

Pada 11 Oktober lalu, Moderator Dewan Gereja-gereja Sedunia (World Council of Churches Central Committee) Walter Altmann datang menyambangi lokasi GKI Yasmin di Jalan Abdullah bin Nuh itu. Altmann beserta rombongan dan pengurus GKI Yasmin berdoa bersama di lokasi yang dijaga ketat aparat kepolisian dan Satpol PP setempat.

Pertanyaannya sekarang: mengapa kepala daerah yang jelas-jelas tak taat hukum dan telah melecehkan dua lembaga negara yang terhormat (MA dan Ombudsman) seakan dibiarkan saja oleh pemimpin-pemimpin di atasnya?

Tidakkah ada rasa malu di dalam diri pemerintah, khususnya Presiden Yudhoyono dan para pembantunya di kabinet, juga Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, karena Indonesia telah menjadi sorotan dunia gara-gara kasus GKI Yasmin? Tak adakah niat baik untuk menyelesaikan masalah ini demi Pancasila, UUD 45, dan demi menjaga kewibawaan hukum di negara hukum ini?

*Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.

SinarHarapan

No comments:

Post a Comment