Pages

19 June 2011

BAGAIMANA BERPIKIR TENTANG KEMATIAN DENGAN BIJAKSANA?

Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.(Mazmur 90:12)

Pertanyaan besar hari ini : bagaimana berpikir tentang kematian  dengan bijaksana?

Cermati realitas 4 : merenungkan kematian yang akan kita alami suatu saat kelak menolong kita untuk menemukan pertanyaan-pertanyaan yang benar.

Kehidupan anda suatu saat kelak akan berakhir di suatu hari kelak, dan hal terbaik yang dapat anda capai (mungkin dengan pertolongan medikal yang termaju), merayakan ulang tahun anda yang ke-100. Lalu apa yang hendak anda lakukan disepanjang kehidupan yang tak selalu menyenangkan, tetapi juga dipenuhi sedih dan kedukaan? Bagaimana kerapuhan hidup ini dapat membuat anda menjadi bijaksana?

Tuhan adalah Pencipta dan Raja yang kekal. Apakah kita kerap berpikir tentang diri kita yang dapat menjalani kehidupan ini tanpa memedulikan Tuhan yang tak hanya Pencipta tetapi juga Penguasa yang berdaulat dan pemelihara? Dunia ini ada  semata hanya oleh kehendak-Nya. Andaikan kita tak pernah-- setidaknya mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri mengenai  keberadaan diri kita yang fana ini  didalam hadirat Tuhan yang kekal, berangkali kita akan cenderung terlalu banyak memikirkan tentang diri kita sendiri.

Coba tanyakan kepada diri sendiri, "Apakah  saya berpikir terlalu tinggi mengenai diri saya sendiri sehingga saya berupaya menentukan kebenaran bagi saya sendiri tanpa melibatkan Tuhan? Apakah saya berpikir demikian tinggi akan diri saya bahwa saya berbuat dosa dihadapan Dia dan berpikir dapat menyembunyikan dosa tersebut? Apakah saya berpikir begitu tinggi akan kepercayaan  diri saya sendiri  sehingga memandang Matahari yang akan terbit esok hari semata karena saya mengharapkannya terjadi demikian? Apakah saya berpikir demikian hebat akan diri saya sendiri sehingga saya dapat mengatur waktu saya demi kesenangan saya sendiri? Apakah saya berpikir demikian tinggi akan diri saya sendiri sehingga  saya dapat menyediakan keamanan melalui segala hal yang dapat saya sentuh dan lihat ketimbang dalam Tuhan Pencipta segala sesuatu, semata karena saya tidak dapat menyentuhnya secara fisik dan melihatnya secara kasat mata? Apakah saya bahkan berpikir akan  diri saya sedemikian tingginya sehingga sama sekali tidak pernah berpikir akan kematian yang pasti akan saya alami, seolah-olah kematian itu tak akan pernah terjadi? Apakah saya memandang diri saya sedemikian hebatnya sehingga saya tidak mempedulikan bagaimana Tuhan telah membuat diri-Nya dapat dikenal? Apakah saya memandang diri saya sedemikian hebatnya, sehingga dalam menjalani kehidupan ini seolah-olah  tak ada satu pun yang perlu saya pedulikan terkait kehidupan saya? Apakah saya berpikir demikian hebat akan diri saya sehingga saya tidak mempedulikan kemanakah saya akan pergi ketika saya meninggal dunia kelak?"

Pertanyaan-pertanyaan jenis ini menolong kita untuk merenungkan siapa sebenarnya yang agung/tinggi dan independen versus siapa yang rendah dan dependen. Kecenderungan kita untuk mengandalkan diri sendiri menjadi faktor utama sulitnya memiliki pertobatan yang total. Kematian menolong kita menyadari ketergantungan kita. Dalam terang pemahaman semacam ini, kita dapat mempertimbangkan Tuhan telah datang kedalam dunia ini sebagai Penebus kita. Kita seutuhnya bergantung kepada Tuhan untuk memiliki keselamatan dari dosa dan kematian. Hanya keselamatan melalui Yesus Kristus saja, kematian tidak memiliki sengat!

1 Korintus 15 :55
Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?"

Setiap penolakan pasif akan kematian dan ketergantungan adalah sebuah tindakan keangkuhan manusia. Hanya dengan bergantung sepenuhnya kepada Yesus Kristus kita dapat turut memiliki, bukan karena upaya  sendiri, tetapi berkat kemenangan dan kemuliaan-Nya.

Ide besar hari ini : Kematian mempertegas betapa setiap manusia memerlukan Kristus.


by Steve Ham, AiG–U.S. | Alih Bahasa : Martin Simamora

No comments:

Post a Comment