F O K U S

Nabi Daud Tentang Siapakah Kristus

Ia Adalah Seorang Nabi Dan Ia Telah   Melihat Ke Depan Dan Telah Berbicara Tentang Kebangkitan Mesias Oleh: Blogger Martin Simamora ...

1 “BHANAWA SEKAR” MPU TANAKUNG:


PUSPANJALI BAHTERA SERIBU BUNGA
SEBAGAI SRADDHA KEBANGSAAN*)


Oleh: Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.



“Nimitangsu yan layat anigal sang ahayu nguni ring tilam, datan lali si langening sayana, saka ring harepku laliya anggurit lango”.

Artinya:Aku meninggalkan Jelitaku dahulu di peraduan,bukan karena aku lupa indahnya peraduan asmara,namun karena hasratku yang tak tertahankan untuk melukiskan keindahan tanah air” (Mpu Tanakung, Kakawin Wrettasancaya).

 
Candi Brahu, zaman Majapahit- nationalgeographic.co.id

I.      PRAWACANA

Mpu Tanakung adalah seorang pujangga yang sangat produktif yang hidup pada masa akhir Majapahit. Salah satu dari tujuh kakawin lirisnya, Siwaratrikapla(Malam Sang Hyang Siwa) sangat terkenal di Bali, dan dilestarikan dalam bentuk ritual yang indah hingga sekarang. Selain itu, Mpu Tanakung juga menulis Banawa Sekar(BahteraBunga) yang digubahnya dalam rangka upacara sraddha (pemujaan leluhur) dan dipersembahkan kepada Jiwanendradwipa (Sang Maharaja Jiwana).Sanjak liris ini mencatat persembahan-persembahan bunga yang dihaturkan oleh pelbagai raja bawahan (kepala daerah) Majapahit, antara lain: Natharata ring Mataram, Sang Narpati Pamotan, Sri Parameswara ring Lasem, Nataratha ring Kahuripan, dan Sri Natheng Kertabhumi. Kerthabhumi, tidak lama sesudah kakawin ini ditulis, akhirnya berhasil dinobatkan sebagai raja Majapahit terakhir, menggantikan Sri Singawardhana,keponakannya sendiri,yang wafat di istana. Sebelum itu, kepada raja sebelumnya, yaitu Prabu Singawikramawardhana atau Sri Adhisuraprabawa, yang dalam Serat Pararaton disebut sebagai Bhre Pandan Salas III, kepadanya dipersembahkan ketujuh prosa liris karya Mpu Tanakung.[1]

Sebagai sebuah “karya keindahan”(sukarya), Bhanawa Sekar“ winangun Sri Jiwanendradhipa, tanlyansraddhabatharamokta…” (digubah  untukSriJiwanendradwipa, yang tidak lain berupasraddha untuk mengenang bapa bangsayang sudah kembali kepada alam keilahian).[2] Siapakah sebenarnya Sri Jiwanendradwipa?Jiwanendradipa adalah Prabu Raja sawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara(1451-1453). Banawa Sekar atau Bahtera Aneka Bunga karya Mpu Tanakung ini ditulis pada masa Singa wikramawardhana atau Bhre Pandan Salas III, melambangkan “perahu kebangsaan” yang dipersembahkan oleh para putra Sang Sinagara,antara lain Bhre Kertabhumi,Bhre Pamotan,Bhre Mataram,Bhre Kahuripan dan Bhre Lasem. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raja Singawikramawardhana yang senantiasa dicintai rakyatnya, tidak lain Sri Adi Suraprabhawa, Raja keturunan Girindra” (Sang Panikelan tanah anulusa katwang ing praja, tan lyan Sri Adi Suraprabawa sira bhupati saphala Girindrawangsaya).[3]

0 “Bhinneka Tunggal Ika”


Sejarah, Filosofi, dan Relevansinya
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara *)

Oleh: Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.**)

Setelah dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-lshwara menjelma di dalam berbagai raja-raja di dunia, maka kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Bathara Kala. Sebagaimana Sidharta Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina, keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup sebagai seorang pertapa. Pada suatu hari, para pertapa mendapat gangguan dari Porusada, raja raksasa yang suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Sang Buddha Wairocana, akhirnya ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi raja Hastina. Sementara itu Raksasa Porusada, yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya, bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Bathara Kala. Tetapi Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Bahkan ketika Bathara Siwa sangat murka, dan karena kesaktiannya telah merusak dan membunuh para lawannya, Sutasoma titisan Sang Buddha menghadapinya dengan cinta kasih. Panah-panah api Siwa dihadapinya dengan kekuatan tapanya, berubah menjadi air amerta. Semakin marahlah Siwa, sehingga ia menjeima menjadi api Kala yang siap melebur jagad raya. Turunlah para bathara dari kahyangan untuk menyadarkan Siwa. Semua maharshi melantunkan mantera-mantera Wedha, dan berdoa agar dunia tidak dihancurkannya. “Jangan lakukan itu, wahai Tuanku”, mereka memohon. “Engkau guru kami. Berbelaskasihanlah kepada ciptaan ini sebelum kiamat tiba (yuganta)”. Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka Jinatwa lwan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharmma mangrwa (Konon dikatakan wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Siwa dan Buddha memang berbeda, namun bagaimana kita mengenalinya dalam sekilas pandang? Hakikat ajaran Buddha dan Siwa sebenamya tunggal. Berbeda-beda tetapi satu jua. Tidak ada kebenaran yang mendua). Bathara Siwa yang menitis pada Porusada akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Sang Buddha sendiri. Porusaddha santa. Sang Porusada tenang kembali. Tiada nafsu membunuh, tiada nafsu menghancurkan sesama ciptaan.[1]

Kisah di atas dikutip dari Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular, yang ditulisnya pada masa keemasaan kemaharajaan Majapahit (1340). Hal penting yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular ini adalah asal-usul istilah Bhinneka Tunggal Ika yang kini menjadi salah satu dari Catur Pilar Kebangsaan Indonesia, khususnya adalah makna filosofinya. Perlu dicatat pula, bahwa dari sumber kesusastraan yang sama kita juga mengenal istilah “mahardhika” (yang menjadi asal kata salam nasional kita “Merdeka”), dan nama Dasar Negara kita Pancasila. Karena itu, “Bhinneka Tunggal Ika”, - ungkapan yang menurut Dr. Soewito Santoso dalam bukunya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana, - “is a magic one of great significance and it ambraces the sincere hope the whole nation in its struggle to become great, unites in frame works of an Indonesian Pancasilais community.”[2]

0 Perjalanan Hidup dan Bertumbuh dalam Iman yang Semakin Perkasa

Oleh: Martin Simamora


Saya tidak sedang membicarakan pembangunan kekuatan jiwa atau mental, atau mengimplantasikan ke dalam relung jiwa dan alam bawah sadar sejumlah formulasi kata, visual, pembangkitan imajinasi, masuk ke dalam  fase-fase tidur dengan musik dan visualisasi terprogram,  bukan itu sama sekali walau hal semacam itu ada dipraktikan. Tetapi inilah dasar bagiku untuk menuliskan judul di atas tersebut adalah serentet ayat berikut ini sebagai sebuah kehidupan yang melahirkan pengalaman-pengalaman iman yang membawa diri pada kebenaran bahwa eksistensi diri ini pada nilai intrisiknya sepenuhnya berada didalam Kristus, bukan diri ini sendiri. Inilah ayat-ayat tersebut, dan perhatikanlah seksama:

“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.- Mazmur 139:13-16

Jika ada kata “perkasa” pada judul artikel ini, bukan berarti  seorang anak Tuhan tak dapat letih, lelah, marah, kala sedang menghadapi tantangan berkepanjangan yang menguras kebahagiaan ganti kesiagaan dan ketajamaan berdurasi panjang yang kadang menjadikan jiwa letih menjadi frustrasi. Tetapi, yang pasti, dalam semuanya itu, telah dijaga dan dinsungi-Nya jiwamu sedemikian rupa sehingga segala reaksimu, keputusanmu bahkan yang terburuk, tidak akan pernah menjadi pembentuk masa depanmu, sekalipun memang menimbulkan berbagai konsekuensi yang membuatmu ada sebagaimana anda ada pada hari ini, pada keseluruhannya. itu semua bukanlah Tuhan atasmu yang membuatmu ada sebagaimana anda ada pada hari ini.   Atau bukan?

0 Bukan Seperti yang Dikira Relung Jiwa

Oleh: Martin Simamora

Kehendakku Atas  Segala Sesuatu
Di Dunia ini, Tak Pernah Sama Sekali Bersimpuh  Pada Diriku

Tak ada yang begitu membahagiakan seorang manusia kala apapun kehendaknya terpenuhi dan menghampiri dirinya penuh pemuasan hasrat diri. Tetapi bagaimana Alkitab bertutur mengenai segala kehendak diri di dunia ini? Adakah alkitab membicarakannya? Jawabannya ada dan Sang Mesias memberikannya secara vulgar sekaligus menciutkan  gelora jiwa untuk memeluknya erat-erat. Perhatikanlah ini:

Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.- Matius 7:12

Pada umumnya secara cepat ayat ini dilabelkan sebagai sebuah hukum kasualitas atau hukum sebab akibat atau hukum tabur tuai sebab menerakan sebuah timbal balik semacam ini: “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga.” Tetapi ini bukan sama sekali!


Bahkan bukan “adakadabra” atau “law of attraction.” Ya… jika saja Yesus tidak memenjarakannya kedalam apapun yang disebutnya hanya dia yang dapat menggenapinya maka  “yang kamu kehendaki…supaya orang perbuat kepadamu” memang benar-benar menjadi mantra yang luar biasa. Hal kedua, yang begitu penting di sini, Sang Mesias tidak sama sekali sedang memuaskan keinginan   manusia yang seperti apapun juga baiknya (tentu pasti baik karena diharapkan dilakukan orang lain padanya) sebab “segala sesuatu yang kamu kehendaki” haruslah secara absolut menyatakan, menghidupi dan menggenapi: “itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Bagaimana mungkin “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga” harus dan mutlak perwujudan isi seluruh hukum Taurat? 


Jika begitu masihkah dapat dikatakan segala sesuatu yang kamu kehendaki adalah kehendakmu sendiri? 

0 Acara Natal ISCS 6 Januari 2017 (3 Bagian)

"Natal Sebagai Momen Merajut Kebhinekaan dalam Keprihatinan Nasional"
Dipersembahkan oleh

Institute for Syriac Culture Studies
Video I


Video II

0 Mengenali Tujuan Hidup Bagi Sesama & Tuhan

Oleh: Martin Simamora

Bercita-Citalah Setinggi Awan di Langit Untuk Melahirkan Karya-Karya Terbaik Bagi Sesama Manusia & Bagi Tuhan

Apakah tujuan hidupmu sebagai seorang yang telah ditebus oleh Kristus  dalam kasih karunia Allah dari belenggu maut dan perhambaan kuasa kehendak dosa?

Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak! Apakah kamu tidak tahu, bahwa apabila kamu menyerahkan dirimu kepada seseorang sebagai hamba untuk mentaatinya, kamu adalah hamba orang itu, yang harus kamu taati, baik dalam dosa yang memimpin kamu kepada kematian, maupun dalam ketaatan yang memimpin kamu kepada kebenaran?- Roma 6:15-16

Kehidupan di dunia ini, sementara kejahatan dapat merajalela, ternyata lebih besar dan lebih agung daripada yang anda sangkakan atau yang mungkin untuk anda pikiran? Bahkan lebih besar daripada apa yang dapat anda persembahkan berdasarkan kekuatan anda sendiri, itu oleh karena Kristus! Ketika rasul Paulus menuliskan “Jadi bagaimana? Apakah kita  akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat,….? Ini, “jadi bagaimana” adalah sebuah pertanyaan yang memiliki kedalaman dan keluasan gabungan 7 samudera di dunia ini, bahwa di dalam kasih karunia anda memiliki produktivitas-produktivitas yang begitu kaya yang masih perlu digali-perlu dieksploitasi didalam diri ini sebagai orang-orang yang hidup dalam kasih karunia untuk dihasilkan dan diwujudkan kepada sesama manusia dan kepada Tuhan. Ya… kepada sesama manusia, seharusnya, orang-orang kasih karunia adalah manusia-manusia unggulan. Rasul Paulus membahasakannya dalam sebuah kesakralan yang melampaui keluhuran moralitas yang dapat diraih manusia dengan menuliskan “karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat.” Ada sebuah kualitas kehidupan orang-orang kasih karunia yang begitu unggul yang keunggulannya tidak lagi dapat dibicarakan dalam tatar “berada di bawah hukum Taurat” oleh sebab manusia-manusia kasih karunia adalah manusia yang hidup berdasarkan kehidupan berhambakan hidup, bukan berhambakan dosa.

Tujuan hidup didalam  kasih karunia bukan lagi berkubangan pada hal-hal yang tak membawa kemajuan dan pertumbuhan hidup sebab pada faktanya hidup di dalam kasih karunia berhambakan pada ketaatan yang memimpin kamu kepada kebenaran, sampai menutup mata ini di dunia ini.

0 Kehidupan Domba-Domba Kristus Dalam Perjalanan Di Dunia



Oleh: Martin Simamora

 Menuju Destinasi yang Telah Ditetapkan Sang Gembala Agung
 
Kredit: GTD
Kemanakah destinasi perjalanan setiap orang percaya didalam Kristus?  Apakah kita dapat bertahan di dalam kebenaran dan hidup dalam kesetiaan kepada Kristus, sementara masih di dunia ini dan dunia ini bukanlah dunia yang semakin bersahabat dengan keimanan kita di dalam Kristus? 

Destinasi setiap pengikut Kristus tak lepas dari apakah yang menjadi tujuan dan yang dilakukan Sang Kristus dalam kedatangannya ke dalam dunia:

Yohanes 9:39 Kata Yesus: "Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta."

Yohanes 3:16  Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Untuk sebuah alasan yang sangat jernih, kedatangannya tidak membawa penghakiman kebinasaan seketika selain kehendak untuk menyelamatkan dalam kasih-Nya yang begitu besar, sementara dosa tak mungkin diabaikan dalam pembalasan-Nya:

Yohanes 3:17 Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.


Tidak menghakimi tetapi jelas dunia membutuhkan penyelamatan-Nya, sehingga ini jauh lebih besar daripada dan bukan sama sekali tidak dihakimi sehingga manusia terbebaskan dari segenap konsekuensi jika tidak tunduk pada sabdanya ini. Dengan kata lain, sementara Ia sendiri tak menghakimi, dunia ini tetap berada dalam status terhakimi-dan ini tepat sebagaimana Yesus bersabda:
Anchor of Life Fellowship , Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri - Efesus 2:8-9