F O K U S

Nabi Daud Tentang Siapakah Kristus

Ia Adalah Seorang Nabi Dan Ia Telah   Melihat Ke Depan Dan Telah Berbicara Tentang Kebangkitan Mesias Oleh: Blogger Martin Simamora ...

0 Konsili Nicea (2)


Apa Sebenarnya yang Terjadi Di Nicea

Kanon #6
Sementara kredo konsili merupakan pencapaian sentralnya, tetapi bukan satu-satunya hal yang telah diselesaikan oleh bishop-bishop selama pertemuan mereka. Dua puluh kanon telah dipersembahkan yang berkaitan dengan berbagai bidang persoalan dalam gereja. Apa yang paling menarik bagi kita masa kini, adalah kanon yang  berbunyi sebagai berikut:

Biarlah kebiasaan-kebiasaan khas setempat yang sudah ada sejak purba di Mesir, Libya, dan Pentapolis tetap berlangsung terus, bahwa Bishop Aleksandria memiliki juridiksi dalam semua hal tersebut, sebagaimana juga merupakan kebiasaan khas setempat bagi Bishop Roma. Sebagaimana di Antiokia dan provinsi-provinsi lainnya, biarlah gereja tetap mempertahankan keistimewaan-keistimewaan mereka[1]

Kanon ini signifikan karena ini medemonstrasikan bahwa pada saat itu tidak ada konsep sebuah kepala tunggal universal gereja dengan yuridiksi atas setiap orang lainnya. Sementara nanti bishop-bishop Roma akan mengklaim otoritas semacam ini, mencuat dalam perkembangan kepausan, pada saat itu tidak ada Kristen yang mengacu pada satu individual, atau gereja, sebagai otoritas final. Ini penting karena kerap kita mendengar tuduhan bahwa Tritunggal, atau pendefinisian Nicea akan ketuhanan Kristus, adalah sebuah konsep “Roma Katholik” “telah dipaksakan” pada gereja oleh Paus. Fakta sederhana atas soal ini adalah, ketika bishop-bishop berkumpul di Nicea mereka tidak mengakui bishop Roma sebagai apapun lebih dari pemimpin gereja paling berpengaruh di Barat[2]


Konsekuensi-Konsekuensi Sesudah Konsili
Orang-orang Kristen moderen kerap memiliki impresi bahwa konsili-konsili purba telah memiliki daya hapus masalah secara absolut, dan ketika mereka telah  membuat “keputusan,” kontroversi berakhir. Ini tidak benar.  Walau Nicea dipandang sebagai salah satu konsili teragung, konsili harus berjuang keras untuk penerimaan. Basis atau pondasi kemenangan finalnya bukan kuasa politik, juga bukan pengesahan agama mapan. Ada satu alasan pendefinisian Nicea bertahan dan berlangsung hingga kini: ketakcemaran dan kesetiaannya kepada kesaksian Kitab suci.

Selama enam dekade antara Konsili Nicea dan Konsili Konstantinopel pada 381, Arianisme mengalami banyak kemenangan. Ada periode-perdiode bishop-bishop Arian membentuk mayoritas hirarki gerejawi yang terlihat. Terutama melalui kekuatan kuasa politik, para simpatisan Arian segera melakukan pencabutan pengecaman Arius dan teologianya. Eusebius dari Nicomedia dan lainnya berupaya menggulingkan Nicea dan untuk beberapa abad telah terlihat jika mereka nampak telah sukses. Konstantin mengadopsi sebuah posisi berkompromi dibawah pengaruh sejumlah sumber, termasuk Eusebius dari Caesarea dan secara politik telah menuliskan “pengakuan iman” dari Arius. Konstantin menampung sedikit bagian pengakuan iman Nicea: ia adalah politisi hingga kesudahan. Menjelang kematiannya, anaknya yang kedua Konstantinus memerintah Timur, dan ia memberikan bantuan yang besar kepada Arianisme. Dipersatukan oleh penolakan homoousion, semi Arians dan Arians telah bekerjasama untuk mendongkel sebuah musuh bersama, hampir selalu disertai pengerahan kekuatan politik di pihak mereka.


Dibawah  Konstantius, konsili demi konsili digelar di berbagai tempat. Begitu agresif dan penuh emosi konsili-konsili tersebut digelar sehingga seorang komentator telah menulis pada waktu itu:”jalan-jalan raya telah ditutupi dengan rombongan bishop-bishop yang berparade”.[3]Terpenting, pertemuan konsili-konsili regional di Ariminium, Seleucia, dan Sirmium yang mempersembahkan kredo-kredo Arian dan semi-Arian, dan banyak pemimpin telah dipaksa dengan ancaman untuk menganut kredo-kredo tersebut.  Bahkan Liberius, bishop Roma, telah diasingkan dari takhtanya (posisi sebagai bishop) dan merindukan untuk kembali, telah dibujuk untuk menundukan diri dan berkompromi pada hal tersebut.[4]

Selama kurun waktu berdekade-dekade setelah Nicea, Athanasius, yang telah menjadi bishop Alexandria segera setelah konsili, telah disingkirkan dari jabatan bishop lima kali, sekali dengan kekuatan 5.000 pasukan mendatangi pintu depan sementara ia sendiri berhasil meloloskan dri dari pintu belakang! Hosius, yang hampir berusia 100 tahun, juga sama telah dipaksa oleh ancaman-ancaman kekaisaran untuk mengkompromikan dan menundukan diri pada pemikiran-pemikiran Arian. Pada akhir abad ke-6, terlihat seolah Nicea akan ditaklukan. Jerome kemudian menggambarkan momen ini dalam sejarah sebagai saat ketika “seluruh dunia telah merintih dan terpana menemukan dirinya sendiri Arian.”[5]

Walau begitu, ditengah-tengah kegelapan ini, sebuah suara sendirian tetap kuat. Mengajukan argumen penentangan bersumber Kitab suci, tanpa rasa takut menyuarakan penentangan dan pembantahan terhadap kesalahan, menulis dari pengungsian di padang gurun, di sepanjang Nil, atau di kawasan padat penduduk pinggiran sekitar Alexandria, Athanasius melanjutkan perlawanannya. Keengganannya untuk menyerah-bahkan ketika diasingkan oleh Kekaisaran, disingkirkan dari persekutuan oleh lembaga gereja, dan dikecam oleh konsili-konsili lokal dan juga oleh bishop-bishop-telah memunculkan frasa, Athanasius contra mundum:”Athanasius menentang dunia.” Diteguhkan oleh Kitab suci adalah “cukup mengatasi segala sesuatu,”[6]  Athanasius telah bertindak sebagai seorang “Protestan” sejati di eranya.[7] Athanasius telah memprotes melawan opini konsesus yang telah dibangun gereja, dan ia telah melakukannya karena ia telah didorong melakukannya oleh otoritas skriptural. Athanasius telah menjadi mengerti, pada sejumlah hari yang panjang itu, hari-hari pengasingan yang sepi itu, apa yang dimaksudkan Wycliffe seribu tahun kemudian.”Jika kita memiliki seratus paus, dan jika mereka semua friar adalah kardinal, hanya kepada hukum injil kita harus membungkukan diri, lebih daripada semua kumpulan banyak ini.”[8]

Gerakan- gerakan yang bergantung pada kemurahan politik (ketimbangan kebenaran Allah) pada akhirnya mati, dan inilah terjadi atas Arianisme. Segera setelah terlihat seolah Arians telah mengkonsolidasikan cengkramannya pada Kekaisaran, mereka berbalik mengalami pertarungan internal dan begitu nyata saling menghancurkan satu sama lain. Mereka tidak punya seorang seperti seorang Athanasius yang setia, dan itu tak lama sebelum gelombang balik melanda mereka. Pada tahun 381 M, Konsili Konstatinopel dapat digelar dan mengafirmasi, tanpa kebimbangan, iman Nicea, lengkap dengan klausula homoousious. Ketuhanan seutuhnya Kristus telah diafirmasikan, bukan karena Nicea telah mengatakan demikian, tetapi karena Allah telah menyingkapkannya demikian. Otoritas Nieca berdiam di atas pondasi kokoh Kitab suci. Satu abad setelah Nicea, kita mendapatkan bishop agung dari Hippo, Agustinus, menuliskan kepada Maximin, seorang Arian, dan berkata:”Kita tidak boleh menekan otoritas Nicea menentangmu, juga tidak Ariminum menentangku; Aku tidak mengakui satu itu, sebagaimana engkau tidak mengakui yang lain, tetapi mari kita datang ke dasar yang sama bagi keduanya-kesaksian Kitab suci kudus.”[9]


NICEA Hari Ini
Mengapa orang-orang Kristen percaya kepada ketuhanan Kristus hari ini? Apakah karena telah dipaksa demikian oleh teologi yang telah dilegislasikan dari konsili-konsili atau paus-paus? Tidak, itu karena Kitab suci mengajarkan kebenaran ini. Ketika orang-orang percaya orthodoks mengafirmasikan validitas kredo yang dihasilkan dari Nicea, mereka semata mengafirmasikan sebuah presentasi kebenaran skriptural yang jernih dan gamblang. Otoritas pengakuan iman Nicea mencakup pernyataannya akan homoousion, tidak ditemukan dalam sejumlah konsep dari sebuah gereja infallible, tetapi dalam ketakcemaran dan kesetiaan kredo terhadap penyingkapan skriptural. Kredo ini berkata dengan suara para rasul karena kredo mengatakan kebenaran sebagaimana mereka telah memproklamasikannya.


Orang-orang Kristen modern dapat sepenuhnya berterima kasih pada testimoni dari seorang Athanasius yang berdiri mempertahankan kebenaran-kebenaran ini ketika mayoritas besar menentangnya. Kita harus mengingat teladannya dalam era kita.

ooOoo
Sumber: equip.org
Diterjemahkan dan diedit oleh: Martin Simamora

Soli Deo Gloria




[1] Nicene and Post Nicene Fathers, Series II, XIV:15.
[2] Bagi mereka yang bergumul dengan gagasan bahwa itu bukan “Katholikisme Roma” yang telah ada pada hari-hari tersebut, pertimbangkanlah ini: jika seseorang memasuki gereja pada hari ini,  dan mendapatkan bahwa orang-orang yang berkumpul di sana tidak percaya pada kepausan,tidak percaya pada Maria Dikandung Tanpa Noda,Maria Diangkat Ke Sorga, Purgatori, indulgensi, tidak percaya pada konsep transubstansi dipenuhi dengan hosti komuni berubah total secara fisik dan spiritual, dan tidak memiliki tabernakel pada altar-altar dalam gereja-gereja mereka, akankah orang berpikir ia dalam sebuah gereja “Roma Katholik”? Tentu saja tidak. Namun demikian, gereja 325 tidak memiliki satupun kepercayaan-kepercayaan ini, juga. Karena itu, sementara mereka menyebut dirinya “orang-orang Katholik,” mereka tidak memiliki gagasan apapun mengenai apakah maknanya “Katholik Roma.”
[3] Ammianus Marcellinus, sebagaimana dikutip oleh Schaff, History of the Christian Church (Grand Rapids: Eerdmans, 1985), III:632.
[4] Untuk mendiskusikan kejatuhan sesaat Liberius, lihat  Schaff, III:635-36. Untuk informasi pada relasi Liberius dan konsep infalibilitas kepausan, lihat George Salmon, The Infallibility of the Church (Grand Rapids: Baker Book House, 1959), 425-29, dan Philip Schaff, The Creeds of Christendom (Grand Rapids: Baker Book House, 1985), I:176-78.
[5] Jerome, Adversus Luciferianos, 19, Nicene and Post Nicene Fathers, Series II, 6:329.
[6] Athanasius, De Synodis, 6, Nicene and Post Nicene Fathers, Series II, 4:453.
[7] Saya memberikan kredit kepada salah satu murid saya, Michael Porter, dengan fraseologi ini.
[8] Robert Vaughn, The Life and Opinions of John de Wycliffe (London: Holdworth and Ball, 1831), 313.lihat 312-17 untuk sebuah rangkuman  doktrin kecukupan Firman yang diusung Wycliffe.
[9] Augustine, To Maximim the Arian, sebagaimana dikutip oleh George Salman, The Infallibility of the Church (Grand Rapids: Baker Book House, 1959), 295.

No comments:

Post a Comment

Anchor of Life Fellowship , Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri - Efesus 2:8-9