F O K U S

Nabi Daud Tentang Siapakah Kristus

Ia Adalah Seorang Nabi Dan Ia Telah   Melihat Ke Depan Dan Telah Berbicara Tentang Kebangkitan Mesias Oleh: Blogger Martin Simamora ...

0 Sanggahan Esra Alfred Soru Terhadap Tanggapan Dji Ji Lion (Murid Suhento Liauw) Atas Ulasan Pdt. Budi Asali Terkait Seminar Eskatologi

SANGGAHAN BALIK ESRA ALFRED SORU ATAS TANGGAPAN DJI JI LIONG (MURIDNYA SUHENTO LIAUW) TERHADAP TULISAN PDT. BUDI ASALI TERKAIT SEMINAR ESKATOLOGI DR. SUHENTO LIAUW
 
Pada tanggal 1 Juni lalu Dr. Suhento Liauw mengadakan seminar Eskatologi di Surabaya. Hadir dalam seminar ini Pdt. Budi Asali yang setelah itu memberikan beberapa sanggahan terhadap beberapa point ajaran Dr. Suhento Liauw (Baca di sini :http://www.pelangikasihministry2.blogspot.com/2012/06/pembahasan-seminar-suhento-liauw.html). Nah, tanggapan Pdt. Budi Asali ini lalu ditanggapi balik oleh seorang murid Suhento Liauw bernama Dji Ji Liong (Baca di sini : http://dedewijaya.wordpress.com/2012/06/12/tanggapan-terhadap-artikel-budi-asali-tentang-pembahasan-seminar-akhir-zaman-suhento-liauw/). Dan Berikut ini adalah sanggahan balik saya terhadap tanggapan Dji Ji Liong yang saya beri warna merah :

Keterangan :

·   Tulisan berwarna hijau adalah ajaran Suhento Liauw dalam seminar Eskatologi di Surabaya sebagaimana yang dicatat Pdt. Budi Asali.
·       Tulisan berwarna biru adalah tanggapan Pdt. Budi Asali atas materi seminar itu.
·    Tulisan berwarna hitam (menjadi putih pada platform blogspot-red) adalah tanggapan Dji ji Liong terhadap tanggapan Pdt. Budi Asali.
·      Tulisan berwarna merah adalah sanggahan balik saya atas tanggapan Dji ji Liong.




1. Seminar berhubungan dengan pengetahuan / pikiran, kalau KKR hanya dengan perasaan. Karena itu dia buat seminar, bukan KKR.

Tanggapan Budi Asali:

Omong kosong, semua tergantung siapa yang berkhotbah dalam seminar atau KKR itu. Kalau yang berkhotbah memang adalah orang-orang yang senang mengobarkan emosi, baik KKR ataupun seminar akan berhubungan dengan perasaan saja. Sebaliknya kalau yang berkhotbah adalah orang-orang yang memang menekankan pendidikan dan pengajaran, maka baik KKR maupun seminar akan berhubungan dengan pikiran dan memberikan pengetahuan.

Tanggapan Dji:
Saya yakin semua orang setuju bahwa seminar tentu lebih MENEKANKAN PENGETAHUAN dari pada KKR. Karena dalam seminar yang diadakan oleh Dr. Suhento Liauw selalu ADA SESI TANYA JAWAB. Sedangkan dalam KKR tidak mungkin ada sesi tanya jawab. Fakta yang sulit dipungkiri bahwa hampir semua KKR mengedepankan emosi (perasaan). Seminar adalah pola belajar yang akademis, seminar berbeda dengan KKR. Seminar bersifat Pendalaman Alkitab (PA) sedangkan KKR bersifat Pendalaman Emosi (Perasaan). Seminar menyelidiki kitab suci (Alkitab) apakah benar demikian, persis seperti dalam Kis 17:11  Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian.

Tanggapan Esra Soru :

1. Anda berkata “Saya yakin semua orang setuju bahwa seminar tentu lebih MENEKANKAN PENGETAHUAN dari pada KKR”, darimana keyakinan anda itu? Buktinya ada orang seperti Budi Asali, juga saya tidak mempercayai hal itu.
2.   Anda menganggap bahwa tidak adanya sesi tanya jawab di dalam KKR sebagai bukti bahwa KKR hanya mengedepankan emosi / perasaan? Supaya anda tahu juga bahwa adakalanya dalam acara KKR, Pdt. Stephen Tong membuka acara tanya jawab. Juga apakah dengan tidak adanya sesi tanya jawab lalu menjadikan suatu acara hanya menekankan emosi belaka? No! Pdt. Budi Asali biasa KKR, saya juga biasa KKR, tapi KKR yang kami lakukan penuh dengan pengajaran dan argumentasi. Bahkan lebih argumentatif dan ketat dalam pengajaran daripada seminar yang kalian buat. Jika itu tidak ada tanya jawab berarti sama dengan mengedepankan emosi?
3.  Jikalau ada banyak KKR yang mengedepankan emosi, itu harus berarti bahwa semua KKR mengedepankan emosi? Anda salah besar! Jikalau ada 1 saja kasus di mana KKR tidak mengedepankan emosi maka kesimpulan Suhento Liauw sudah bisa dianggap gugur.   


2.      Kalau ada free will - harus ada pilihan, berbuat dosa atau berbuat baik.

Tanggapan Budi Asali:
Jawaban tentang kebodohan ini tidak saya berikan di sini karena ini berhubungan dengan debat tanggal 24 Agustus 2012 antara Esra + saya vs Steven Liauw + partnernya. Saya tak mau tunjukkan ‘senjata’ saya sebelum debat tanggal 24 Agustus itu terlaksana.

Tanggapan Dji: Karena Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div merasa “belum saatnya” untuk memberikan tanggapan, maka tidak ada yang perlu ditanggapi selain saya hanya melihat Kebenaran dari pernyataan Dr. Suhento Liauw bahwa setiap manusia mempunyai free will (mempunyai kehendak bebas yaitu mempunyai pilihan untuk berbuat dosa atau berbuat baik).

Tanggapan Esra Soru : Itu masih akan diperdebatkan jadi jangan buru-buru menganggap penyataan Suhento Liauw sebagai kebenaran.

3.      Ia percaya komandan setan namanya Lucifer.

Tanggapan Budi Asali:
Ini memang kesalahan yang umum, tetapi salah.
Kata / nama ‘Lucifer’ muncul dalam terjemahan KJV dalam Yes 14:12 (dalam Kitab Suci Indonesia diterjemahkan ‘Bintang Timur’), dan kalau saudara membaca kontextnya jelas bahwa istilah ini menunjuk kepada raja Babel, bukan kepada komandan setan.

Yes 14:4,12,22,23 - “(4) maka engkau akan memperdengarkan ejekan ini tentang raja Babel, dan berkata: ‘Wah, sudah berakhir si penindas sudah berakhir orang lalim! ... (12) ‘Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! ... (22) ‘Aku akan bangkit melawan mereka,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam, ‘Aku akan melenyapkan nama Babel dan sisanya, anak cucu dan anak cicitnya,’ demikianlah firman TUHAN. (23) ‘Aku akan membuat Babel menjadi milik landak dan menjadi air rawa-rawa, dan kota itu akan Kusapu bersih dan Kupunahkan,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam”.

Yes 14:12 (KJV): ‘How art thou fallen from heaven, O Lucifer, son of the morning! how art thou cut down to the ground, which didst weaken the nations!’.

Calvin (tentang Yes 14:12)“The exposition of this passage, which some have given, as if it referred to Satan, has arisen from ignorance; for the context plainly shows that these statements must be understood in reference to the king of the Babylonians. But when passages of Scripture are taken at random, and no attention is paid to the context, we need not wonder that mistake of this kind frequently arise. Yet it was an instance of very gross ignorance, to imagine that Lucifer was the king of devils, and that the Prophet gave him this name. But as these inventions have no probability whatever, let us pass by them as useless fables” (= Exposisi yang diberikan oleh beberapa orang tentang text ini, seakan-akan text ini menunjuk kepada setan / berkenaan dengan setan, muncul / timbul dari ketidaktahuan; karena kontex secara jelas menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan ini harus dimengerti dalam hubungannya dengan raja Babel. Tetapi pada waktu bagian-bagian Kitab Suci diambil secara sembarangan, dan kontex tidak diperhatikan, kita tidak perlu heran bahwa kesalahan seperti ini muncul / timbul. Tetapi itu merupakan contoh dari ketidaktahuan yang sangat hebat, untuk membayangkan bahwa Lucifer adalah raja dari setan-setan, dan bahwa sang nabi memberikan dia nama ini. Tetapi karena penemuan-penemuan ini tidak mempunyai kemungkinan apapun, marilah kita mengabaikan mereka sebagai dongeng / cerita bohong yang tidak ada gunanya) - hal 442.

Adam Clarke (tantang Yes 14:12)“And although the context speaks explicitly concerning Nebuchadnezzar, yet this has been, I know not why, applied to the chief of the fallen angels, who is most incongruously denominated Lucifer, (the bringer of light!) an epithet as common to him as those of Satan and Devil. That the Holy Spirit by his prophets should call this arch-enemy of God and man the light-bringer, would be strange indeed. But the truth is, the text speaks nothing at all concerning Satan nor his fall, nor the occasion of that fall, which many divines have with great confidence deduced from this text. O how necessary it is to understand the literal meaning of Scripture, that preposterous comments may be prevented!” [= Dan sekalipun kontexnya berbicara secara explicit tentang Nebukadnezar, tetapi entah mengapa kontex ini telah diterapkan kepada kepala dari malaikat-malaikat yang jatuh, yang secara sangat tidak pantas disebut / dinamakan Lucifer (pembawa terang!), suatu julukan yang sama umumnya bagi dia, seperti Iblis dan Setan. Bahwa Roh Kudus oleh nabiNya menyebut musuh utama dari Allah dan manusia sebagai pembawa terang, betul-betul merupakan hal yang sangat aneh. Tetapi kebenarannya adalah, text ini tidak berbicara sama sekali tentang Setan maupun kejatuhannya, ataupun saat / alasan kejatuhan itu, yang dengan keyakinan yang besar telah disimpulkan dari text ini oleh banyak ahli theologia. O alangkah pentingnya untuk mengerti arti hurufiah dari Kitab Suci, supaya komentar-komentar yang gila-gilaan / tidak masuk akal bisa dicegah!] - hal 82.

Tanggapan Dji:
Yesaya 14:1-16 konteksnya berbicara tentang Raja Babel, dan tentu di situ ada OKNUM DI BALIK Raja Babel yaitu Lucifer (Bintang Timur). Dalam Yesaya 14:12 “Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! (konteksnya harus lanjut baca minimal hingga ayat 13-14) Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, HENDAK MENYAMAI  Yang Mahatinggi!....”

Orang yang Sekolah Dasar (SD) saja sudah dapat mengerti dan memahami bahwa konteks di sini adalah menunjuk kepada komandan setan yaitu Lucifer. Tidak mungkin HANYA menunjuk kepada raja Babel dalam pandangan Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div. Jadi, konteksnya jelas menunjuk Lucifer yang ingin mengatasi bintang-bintang Allah, ingin duduk di bukit pertemuan, ingin mengatasi ketinggian awan-awan bahkan ingin  MENYAMAI Yang Mahatinggi (Tuhan).

Bagaimana mungkin orang sekaliber Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div hanya berkata “ini memang kesalahan yang umum, tetapi salah.”  Dan  juga TERLIHAT JELAS Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div lebih percaya kpd komentar Calvin dan Adam Clarke yang menyebut (Yes. 14:12) Lucifer ini sebagai “dongeng dan cerita bohong. Dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat aneh/gila/tidak masuk akal.” Justru menurut saya: Bpk. Pdt. Budi Asali beserta Calvin dan Adam Clarke yang aneh KARENA TIDAK MAU MEMPERCAYAI  kata-kata Alkitab itu sendiri.

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda berkata :

Yesaya 14:1-16 konteksnya berbicara tentang Raja Babel, dan tentu di situ ada OKNUM DI BALIK Raja Babel yaitu Lucifer (Bintang Timur). Dalam Yesaya 14:12 “Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! (konteksnya harus lanjut baca minimal hingga ayat 13-14) Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, HENDAK MENYAMAI  Yang Mahatinggi!....”

Hehehe....darimana anda bisa simpulkan bahwa Lucifer itu adalah OKNUM DI BALIK Raja Babel? Jika Alkitab mengatakan bahwa ini adalah nubuatan tentang Raja Babel, berarti ini adalah pembicaraan tentang Raja Babel, lalu darimana tiba-tiba anda menganggap ada oknum lain di balik Raja Babel? Anda bermimpikah?

2.      Anda menulis :

Orang yang Sekolah Dasar (SD) saja sudah dapat mengerti dan memahami bahwa konteks di sini adalah menunjuk kepada komandan setan yaitu Lucifer. Tidak mungkin HANYA menunjuk kepada raja Babel dalam pandangan Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div. Jadi, konteksnya jelas menunjuk Lucifer yang ingin mengatasi bintang-bintang Allah, ingin duduk di bukit pertemuan, ingin mengatasi ketinggian awan-awan bahkan ingin  MENYAMAI Yang Mahatinggi (Tuhan).

Konteks apa? Kenapa tidak mungkin hanya menunjuk pada Raja Babel? Justru anda lebih ngawur dari anak SD sampai tahu-tahu bisa memasukan ide adanya oknum lain di balik  Raja Babel itu. Kata-kata : “mengatasi bintang-bintang Allah, ingin duduk di bukit pertemuan, ingin mengatasi ketinggian awan-awan bahkan ingin  MENYAMAI Yang Mahatinggi (Tuhan)” kenapa harus diartikan menunjuk pada oknum lain? Kata-kata itu tetap ditujukan pada Raja Babel. Mungkin anda bertanya kalau memang itu untuk Raja Babel, lalu mengapa ada kata-kata “ketinggian awan-awan” dan “ingin  MENYAMAI Yang Mahatinggi (Tuhan)”. Soal “awan-awan”, ini kan bahasa puisi. Kenapa anda hurufiahkan? Itu sama sekali bukan alasan menjadikannya sebagai dasar bahwa ada oknum lain di balik Raja babel. Soal “ingin menyamai yang Mahatinggi”, apakah tidak mungkin sikap dari Raja Babel menunjukkan adanya keinginan untuk menyamai Allah? Haruskah adanya keinginan berarti harus bukan raja Babel tetapi oknum lain? Jadi pandangan anda ini bodoh dan sangat lemah. Anda bukannya memahami Alkitab apa adanya tetapi memasukkan pikiran anda sendiri ke dalam teks-teks Alkitab. Itukah yang diajarkan kepada anda oleh Suhento Liauw?

4.  Waktu Nuh keluar dari bahtera, lalu beri persembahan kepada Allah, dan Allah mencium baunya dan lalu ‘menjadi bahagia’!

Tanggapan Budi Asali:

a)   Dari mana gerangan omong kosong itu? Dalam Kitab Suci saya tak ada!

Kej 8:20-22 - “(20) Lalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu. (21) Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hatiNya: ‘Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. (22) Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.’”.

Tanggapan Dji:
Dalam Kejadian 8:21 SECARA JELAS DAN GAMPANG DIMENGERTI bahwa TUHAN mencium persembahan yang HARUM itu. HARUM dalam pengertian bahasa manusia bahwa Tuhan senang atau Tuhan bahagia. Oleh karena itu Tuhan berfirman dalam hatiNya: Aku takkan mengutuk bumi ini lagi........

Saya yakin bahwa Bpk. Budi Asali, M. Div tentu tidak akan ketemu dalam Alkitabnya yg tertulis “lalu bahagia”. Karena “Tuhan mencium persembahan yang HARUM itu” adalah bahasa antromorfisme (bahasa yang Tuhan pakai supaya manusia tahu, bahwa Tuhan senang / bahagia atas persembahan Nuh itu.)

Bagaimana mungkin orang seperti Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div tidak bisa mengerti ini?..... hehehehe... sabar ya pak?....

Tanggapan Esra Soru :

1. Anda perhatikan kata2 Pak Budi Asali yang bergaris bawah itu. Jadi yang ditekankan bukan soal Allah mencium persembahan yang harum melainkan kata-kata “dan lalu menjadi bahagia”. Soal persembahan yang harum memang eksplisit, tetapi “lalu menjadi bahagia” itu darimana? Karang sendiri? Tentang Lucifer, kalian sudah memasukan ide ke dalam teks, tentang ini kalian memasukkan lagi kata-kata di dalam teks yang sama sekali tidak mengatakan hal itu.
2.  Pak Budi Asali memang tidak akan menemukan kata-kata “dan lalu menjadi bahagia” karena kata2 itu tidak ada dalam Alkitab tetapi karangan Suhento Liauw. Dan itulah sebabnya Pak Budi Asali mempersoalkannya kan?
3. Hehehe....Alkitab memang memakai bahasa antropomorfisme. Jadi kadang-kadang Alkitab menggunakan bahasa manusia untuk Allah, tetapi persoalannya bukan di situ, persoalannya adalah kata-kata itu sama sekali tidak dipakai oleh Alkitab dan Suhento Liauw lah yang memakainya atau menambahkannya. Memang dia siapa sampai bisa menambahkan kata-kata antropomorfismenya ke dalam ayat-ayat Alkitab?

b)   Kalau Allah ‘menjadi bahagia’, berarti tadinya tidak bahagia?

Tanggapan Dji:
Ini adalah asumsi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri yang berlebihan dan membuat pertanyaan ukuran anak SD. Padahal tidak ada pernyataan Dr. Suhento Liauw yang mengatakan “tadinya Allah tidak bahagia”. Allah selalu bahagia sekalipun tidak ada manusia. jadi, jangan membuat asumsi-asumsi yang berlebihan dan konyol, Bapak Pendeta Budi Asali, M. Div!.

Tanggapan Esra Soru :

Ini juga komentar anak TK.

1.    Perhatikan baik-baik kata-kata Pak Budi Asali. Kalimatnya diakhiri dengan tanda tanya bukan? Jadi ini bukan pernyataan tetapi pertanyaan.
2.   Memang bisa saja Suhento Liauw tidak mengatakan bahwa sebelumnya Allah tidak bahagia tetapi kata-kata dia  bahwa Allah menjadi bahagia secara implisit mengatakan bahwa tadinya Allah tidak bahagia.

Memang yang begini tidak bisa dimengerti oleh anak TK.

5.      Darah di ambang pintu (tulah ke 10) diberikan di atas, kiri dan kanan, membentuk salib! Juga ular tembaga ditaruh di atas tiang, supaya tidak melorot diberi kayu horizontal, dan lagi-lagi membentuk salib!

Tanggapan Budi Asali:
Tafsiran kampungan dan menambahi Alkitab (bertentangan dengan Sola Scriptura)!

Kel 12:7 - “Kemudian dari darahnya haruslah diambil sedikit dan dibubuhkan pada kedua tiang pintu dan pada ambang atas, pada rumah-rumah di mana orang memakannya.”.

Memang ada kata-kata ‘kedua tiang pintu’, berarti di kiri dan kanan, lalu ada ‘ambang atas’, berarti di atas, tetapi kalau tidak ada ‘di bawah’, bagaimana bisa membentuk salib???

Lalu tentang peristiwa ular tembaga, mari kita lihat ceritanya dalam Alkitab.

Bil 21:4-9 - “(4) Setelah mereka berangkat dari gunung Hor, berjalan ke arah Laut Teberau untuk mengelilingi tanah Edom, maka bangsa itu tidak dapat lagi menahan hati di tengah jalan. (5) Lalu mereka berkata-kata melawan Allah dan Musa: ‘Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak.’ (6) Lalu TUHAN menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa itu, yang memagut mereka, sehingga banyak dari orang Israel yang mati. (7) Kemudian datanglah bangsa itu mendapatkan Musa dan berkata: ‘Kami telah berdosa, sebab kami berkata-kata melawan TUHAN dan engkau; berdoalah kepada TUHAN, supaya dijauhkanNya ular-ular ini dari pada kami.’ Lalu Musa berdoa untuk bangsa itu. (8) Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup.’ (9) Lalu Musa membuat ular tembaga dan menaruhnya pada sebuah tiang; maka jika seseorang dipagut ular, dan ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup.

Dimana gerangan ada kata-kata ‘supaya tidak melorot lalu diberi kayu horizontal’? Lagi mengigau, Pak Suhento?

Hal lain yang harus diketahui adalah: sebetulnya kita tidak tahu bagaimana bentuk salib Kristus. Kata ‘salib’ dalam bahasa Yunani adalah STAUROS, dan sebetulnya berarti ‘an upright pole’ (= tiang tegak). Dan salib yang paling awal memang hanya berbentuk satu tiang tegak. Karena itu tak perlu merasa heran kalau Saksi Yehuwa menggunakan tiang tegak sebagai salib Kristus. Tetapi memang belakangan muncul variasi-variasi bentuk salib, sehingga ada yang berbentuk X, Y, T, dan juga seperti salib yang kita kenal. Lalu yang mana yang merupakan salib yang digunakan untuk Yesus? Satu-satunya alasan untuk memilih salib yang paling umum adalah karena dikatakan bahwa di atas kepala Yesus dituliskan kata-kata ‘Yesus dari Nazaret, raja orang Yahudi’. Kalau salib berbentuk X, Y, atau T, dimana tulisan itu mau diletakkan? Jadi, dipilih salib yang kita kenal itu. Tetapi ini argumentasi yang sangat lemah, karena untuk salib yang manapun, bisa diberi tulisan, menggunakan papan yang diikat dengan tali. Apalagi salib yang berbentuk tiang tegak, tentu tak ada masalah dengan pemberian tulisan itu.

Kesimpulan: bahwa salib Yesus dikatakan berbentuk seperti yang sekarang kita kenal, merupakan sesuatu yang sangat tidak pasti!

Tanggapan Dji:
Dr. Suhento Liauw seorang Kristen Fundamental Alkitabiah mengajarkan Alkitab adalah satu-satunya Firman Tuhan (di luar Alkitab tidak ada Firman Tuhan), TIDAK MUNGKIN menambahi Firman Tuhan atau mengurangkan Firman Tuhan, karena itu bertentangan dengan pengajaran dan keyakinannya sendiri.

Darah di ambang pintu (Domba Paskah dalam tulah ke 10 ) jelas mengacu kepada Yesus Kristus yang disalibkan (Yoh. 1:29 “Pada keesokan harinya  Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.”) Darah domba paskah yang dibubuhkan kedua tiang pintu dan ambang atas hanya mengingatkan kita bahwa Yesus Kristus disalibkan untuk semua manusia yang berdosa. Adalah sangat mengherankan saya jika Bapak Pendeta Budi Asali, M. Div ini meributkan/mempermasalahkan “bentuk salibnya”. Beliau mengkritik lambang yang dibubuhkan, bukannya melihat inti/hakekat dari perayaan domba paskah dan ular tembaga itu sendiri. Tentang ular tembaga yang dibuat oleh Musa ini Rasul Yohanes berkata: (Yoh. 3:14-15) “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda berkata :

Dr. Suhento Liauw seorang Kristen Fundamental Alkitabiah mengajarkan Alkitab adalah satu-satunya Firman Tuhan (di luar Alkitab tidak ada Firman Tuhan), TIDAK MUNGKIN menambahi Firman Tuhan atau mengurangkan Firman Tuhan, karena itu bertentangan dengan pengajaran dan keyakinannya sendiri.

Tidak mungkin? Faktanya dia sudah melakukan itu dan itu menunjukkan bahwa Kristen Fundamentalnya Cuma slogan.

2.      Anda berkata :

Darah di ambang pintu (Domba Paskah dalam tulah ke 10 ) jelas mengacu kepada Yesus Kristus yang disalibkan (Yoh. 1:29 “Pada keesokan harinya  Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.”) Darah domba paskah yang dibubuhkan kedua tiang pintu dan ambang atas hanya mengingatkan kita bahwa Yesus Kristus disalibkan untuk semua manusia yang berdosa.

Hehehe...anda tidak jawab persoalannya. Tidak ada masalah bahwa darah domba Paskah dan ular yang ditinggikan itu sebagai gambaran dari Kristus. Itu kami percayai juga. Yang dipersoalkan pak Budi adalah darimana muncul kata-kata atau pandangan bahwa darah di ambang pintu (tulah ke 10) diberikan di atas, kiri dan kanan, membentuk salib? Juga ular tembaga ditaruh di atas tiang, supaya tidak melorot diberi kayu horizontal, dan lagi-lagi membentuk salib? Kenapa anda tidak jawab ini? Di sini terlihat bahwa Suhento Liauw benar-benar menambahi Kitab Suci. Berarti dia bukan lagi Kristen Fundamentalis sesuai kata2 anda di atas kan?

3.      Anda menulis :

Adalah sangat mengherankan saya jika Bapak Pendeta Budi Asali, M. Div ini meributkan/mempermasalahkan “bentuk salibnya”. Beliau mengkritik lambang yang dibubuhkan, bukannya melihat inti/hakekat dari perayaan domba paskah dan ular tembaga itu sendiri. Tentang ular tembaga yang dibuat oleh Musa ini Rasul Yohanes berkata: (Yoh. 3:14-15) “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”

Hehe...bukankah kata-kata itu lebih cocok untuk anda? Pak Budi mempersoalkan tambahan yang Suhento Liauw berikan pada Kitab Suci, lalu ketika anda mau menanggapinya, anda justru mengalihkan persoalannya pada domba Paskah dan ular tembaga itu sebagai type dari Kristus. Supaya anda tahu, pekerjaan kami adalah berdebat jadi kami tahu siapa yang menjawab pertanyaan dan siapa yang lari dari persoalan yang dibahas.

Pak Budi membahas soal tanda salib karena dengan tambahan dari Suhento Liauw itu menunjukkan bahwa dia berasumsi salib Kristus adalah persis sama seperti yang dikenal pada masa kini. Dan karena itu Pak Budi menunjukkan bahwa hal itu sama sekali tidak pasti. Anda mengerti? Dengan tidak mengertinya anda mengapa pembahasan tentang bentuk salib dilakukan Pdt. Budi Asali di sini menunjukkan bahwa tingkatan anda memang hanya kelas SD atau TK saja. Kenapa bukan Suhento Liauw saja yang mempertanggungjawabkan kekonyolannya di sini?

6.  Baptisan harus selam, kalau tidak seperti Kain yang beri persembahan hasil bumi dan bukan binatang. Kata Yunani BAPTIZO artinya dicelup / direndam. Jadi, orang yang dibaptis percik sama saja dengan belum dibaptis!

Tanggapan Budi Asali:
Dalam seminar itu mula-mula ia mengatakan baptisan itu bukan merupakan sesuatu yang hakiki untuk keselamatan, tetapi anehnya pada waktu menekankan keharusan baptisan selam, ia mengatakan bahwa orang yang menggunakan baptisan percik adalah seperti Kain, yang bukannya mempersembahkan binatang tetapi mempersembahkan tanaman. Bukankah ia menjadikannya sebagai sesuatu yang bersifat hakiki / mutlak untuk keselamatan? Ia secara bodoh mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan ajarannya di bagian depan.

Kata Yunani BAPTIZO memang bisa berarti ‘celup’ atau ‘rendam’, tetapi tidak harus berarti seperti itu! Akan saya buktikan dari penggunaan kata itu dalam Alkitab sendiri.

1.       Mark 7:4 - “dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci (BAPTISMOUS) cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga”.

KJV: ‘And when they come from the market, except they wash, they eat not. And many other things there be, which they have received to hold, as the washing of cups, and pots, brasen vessels, and of tables (= Dan pada waktu mereka pulang dari pasar, kecuali mereka mencuci, mereka tidak makan. Dan banyak hal-hal lain yang mereka terima untuk dipegang, seperti pencucian cawan, belanga / panci, bejana / tempat dari tembaga, dan meja-meja).

Kata-kata ‘and of tables’ (= dan meja-meja) tidak ada dalam terjemahan-terjemahan yang lain, tetapi footnote NIV memberikan keterangan bahwa ada beberapa manuscripts yang kuno yang memberikan kata-kata itu.

Kalau kata-kata itu memang orisinil, maka itu makin jelas membuktikan bahwa pembaptisan / pencucian dalam ayat ini tidak dilakukan dengan merendam, karena bagaimana mungkin orang merendam meja? Berapa besarnya bak cuci yang dibutuhkan? Jauh lebih masuk akal, bahwa pencucian dilakukan dengan mencurahkan air ke benda yang akan dicuci tersebut. Dan kalau kata-kata itu tidak orisinil, tetap aneh bahwa orang mencuci belanga, dsb dengan cara merendam. Biasanya orang mencuci barang-barang itu dengan mencurahkan air ke benda tersebut.

Tanggapan Dji:

Hampir semua mahasiswa theologi tahu apa arti literal / hurufiah kata “BAPTIZ = selam/celup,” sedangkan ”RANTIZ = percik”.

Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div SENDIRI DI ATAS MENGAKUI bahwa “Dr. Suhento Liauw mengajarkan baptisan itu bukan merupakan sesuatu yang hakiki untuk keselamatan.” Tetapi kemudian justru komentar Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri yang “menyerang balik” dengan berkata “Dr. Suhento menjadikannya (baptisan) sebagai sesuatu yang bersifat hakiki/mutlak untuk keselamatan?” ini adalah BUKTI  FITNAH  seorang Bapak yang bernama Pdt. Budi Asali, M. Div, yang bertentangan dengan ajaran guru kami Dr. Suhento Liauw.

Mengenai “Baptizo” dalam Markus 7:4 penggunaan Yunaninya  (TR) adalah BAPTISONTAI. Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri juga MENGAKUI bahwa arti Baptizo adalah “celup atau rendam”. Tetapi herannya ia tidak mau menaati perintah baptis itu sendiri, dengan mengatakan kata itu (baptizo) “tidak harus berarti seperti itu (maksudnya tidak harus celup/rendam).”
Kalau ada orang berkata “jalan” tetapi maksudnya “lari” atau ia berkata “duduk” tetapi maksudnya “berdiri”... yah.....akan repot kita memahami omongan orang demikian.

Kesimpulan saya: Kalau Alkitab bilangnya “Baptis” maka itu harusnya selam/rendam/celup ke dalam air, bukan percik seperti yang DI-INGIN-KAN oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini.
Seharusnya sebagai orang yang mengakui Alkitab satu-satunya firman Tuhan (Sola Scriptura) kita tidak perlu meragukan ada kebiasaan orang Yahudi yang merendam belanga atau meja sekalipun, dengan mencari alasan-alasan yg “aneh” untuk tidak mau menaati Firman Tuhan, dengan gampangnya Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div berkata “biasanya orang mencuci barang-barang itu dengan mencurahkan air ke benda tersebut.” Padahal ini hanya sebuah asumsi praduga beliau belaka. Dari mana Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div mengetahui bahwa “biasanya” orang mencuci barang-barang itu dengan mencurahkan air? Ini adalah praduga tanpa bukti.

Dalam imamat 14:5 “imam harus memerintahkan supaya burung yg seekor disembelih di atas belanga tanah berisi air mengalir (tentu pencucian belanga ini terjadi di dalam sungai), bukan dibasuh atau disiram. ini salah satu contoh ayat yg mendukung belanga di rendam/dicelup di dalam air.

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Hampir semua mahasiswa theologi tahu apa arti literal / hurufiah kata “BAPTIZ = selam/celup,” sedangkan ”RANTIZ = percik”.

Hanya karena semua mahasiswa theologia tahu berarti itu adalah mutlak benar? Itu tidak bisa dijadikan dasar sama sekali. Mungkin saja kebanyakan mahasiswa itu adalah mahasiswa di sekolah kalian yang memang diajarkan seperti itu dan menerima dengan buta apa saja yang diajarkan pada kalian.

2.      Anda menulis :

Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div SENDIRI DI ATAS MENGAKUI bahwa “Dr. Suhento Liauw mengajarkan baptisan itu bukan merupakan sesuatu yang hakiki untuk keselamatan.” Tetapi kemudian justru komentar Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri yang “menyerang balik” dengan berkata “Dr. Suhento menjadikannya (baptisan) sebagai sesuatu yang bersifat hakiki/mutlak untuk keselamatan?” ini adalah BUKTI  FITNAH  seorang Bapak yang bernama Pdt. Budi Asali, M. Div, yang bertentangan dengan ajaran guru kami Dr. Suhento Liauw.

Apanya yang fitnah? Apakah anda terlalu buta untuk melihatnya atau terlalu bodoh untuk memahaminya? Jikalau baptisan bukan hakiki, lalu mengapa mengajarkan bahwa baptisan harus selam? Mengapa mengajarkan bahwa bahwa orang yang menggunakan baptisan percik adalah seperti Kain, yang bukannya mempersembahkan binatang tetapi mempersembahkan tanaman?

3.      Anda menulis :

Mengenai “Baptizo” dalam Markus 7:4 penggunaan Yunaninya  (TR) adalah BAPTISONTAI. Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri juga MENGAKUI bahwa arti Baptizo adalah “celup atau rendam”. Tetapi herannya ia tidak mau menaati perintah baptis itu sendiri, dengan mengatakan kata itu (baptizo) “tidak harus berarti seperti itu (maksudnya tidak harus celup/rendam).” Kalau ada orang berkata “jalan” tetapi maksudnya “lari” atau ia berkata “duduk” tetapi maksudnya “berdiri”... yah.....akan repot kita memahami omongan orang demikian.

Anda memang benar-benar ngawur dan tidak bisa memahami esensi sebuah argumntasi. Baptizo memang bisa berarti diselamkan. Tetapi itu bukan satu-satunya arti dari kata itu dan karena itu baptisan tidak harus diselam. Ingat Pdt. Budi Asali mengatakan “tidak harus selam” bukan “harus tidak selam”. Jikalau Pdt. Budi Asali mengatakan “harus tidak selam” itu baru bertentangan dengan pernyataan beliau bahwa baptizo juga berarti celup atau rendam.

4.      Anda menulis :

Kesimpulan saya: Kalau Alkitab bilangnya “Baptis” maka itu harusnya selam/rendam/celup ke dalam air, bukan percik seperti yang DI-INGIN-KAN oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini.

Hehehe...anda belum tanggapi apa-apa tentang argumentasi Pak Budi tentang Mat 7:4, tiba2 langsung buat kesimpulan? Seperti inikah yang diajarkan pada anda?

5.      Anda menulis :

Seharusnya sebagai orang yang mengakui Alkitab satu-satunya firman Tuhan (Sola Scriptura) kita tidak perlu meragukan ada kebiasaan orang Yahudi yang merendam belanga atau meja sekalipun, dengan mencari alasan-alasan yg “aneh” untuk tidak mau menaati Firman Tuhan, dengan gampangnya Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div berkata “biasanya orang mencuci barang-barang itu dengan mencurahkan air ke benda tersebut.” Padahal ini hanya sebuah asumsi praduga beliau belaka. Dari mana Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div mengetahui bahwa “biasanya” orang mencuci barang-barang itu dengan mencurahkan air? Ini adalah praduga tanpa bukti.

Mencari alasan aneh bagaimana? Apakah justru mencuci meja dengan merendam seluruhnya yang lebih aneh? Dan sama sekali tidak aneh kalau “orang mencuci barang-barang itu dengan mencurahkan air ke benda tersebut.” Itu kebiasaan yang tidak usah dipertanyakan darimana mengetahuinya. Itu sama dengan darimana anda tahu kalau orang mandi biasa mengguyur tubuhnya dengan air?

2. Luk 11:38 - “Orang Farisi itu melihat hal itu dan ia heran, karena Yesus tidak mencuci (EBAPTISTHE) tanganNya sebelum makan”.

Orang mencuci tangan tidak harus merendam tangannya dalam air, tetapi bisa dengan mencurahkan air pada tangan. Jadi jelas bahwa ‘baptis’ di sini tidak harus berarti ‘celup / selam’.

Tanggapan Dji:
Lukas 11:38 “tidak mencuci” di sini berarti tidak mencuci dengan tidak mencelupkan/tidak merendamkan tangan-Nya ke dalam air. Justru tidak ada bukti kuat bahwa ayat ini bisa berarti mencurahkan air pada tangan. “Mencurahkan air pada tangan” adalah hasil penafsiran Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri untuk mendukung doktrinnya.

Tanggapan Esra Soru :

1.  Hehe..sekarang justru saya yang bertanya, ayat itu dengan jelas mengatakan “tidak mencuci” lalu darimana gerangan tiba-tiba anda berkata “tidak mencuci dengan tidak mencelupkan/tidak merendamkan tangan-Nya ke dalam air”? Anda tidak ada beda dengan guru anda yang suka sekali menambahkan pikiran liar kalian ke dalam teks-teks Alkitab.
2.  Anda mau tahu bagaimana tradisi pencucian tangan atau pembersihan diri atau tangan sebelum makan menurut tradisi Yahudi?

William Barclay : “Menurut hukum itu sebelum makan tangan harus dicuci dengan hukum-hukum yang sangat mendetail. Dengan sengaja disimpan air khusus untuk keperluan tersebut sebab air biasa dikuatirkan tidak bersih. Air yang dipakai paling kurang sebanyak satu perempat dari batang bambu. Pertama-tama air itu harus dituangkan ke atas tangan dimulai dari jari kelingking dan terus sampai ke pergelangan. Kemudian telapak tangan haruslah dibersihkan dengan menggosokkan genggam yang satu kepada yang lainnya. Akhirnya sekali lagi air dituangkan ke atas tangan, kali ini dimulai dari pergelangan dan berakhir pada ujung-ujung jari” (Injil Lukas, hal.224).

Dari tradisi ini kita ketahui bahwa air untuk mencuci (membaptis) tangan ini hanya sedikit saja dan ditaruh di dalam bambu, juga aktifitas pencuciannya  selalu dilakukan dengan cara dituangkan. Dengan demikian arti kata “baptis” yang digunakan di sini lebih kepada dituangkan dan bukan ditenggelamkan atau diselamkan. Jika anda ingin “ngotot”, silahkan jawab bagaimana mungkin orang menenggelamkan seluruh tangannya ke dalam sedikit air yang berada dalam bambu?

3.   1Kor 10:2 - dibaptis dalam awan dan dalam laut’.

Kata Yunaninya adalah EBAPTISANTO.

Dua hal yang harus diperhatikan:
a.   Orang Israel berjalan di tempat kering (Kel 14:22). Yang terendam air adalah orang Mesir!
b.   Awan tidak ada di atas mereka, tetapi di belakang mereka (Kel 14:19-20). Juga awan itu tujuannya untuk memimpin / melindungi Israel; itu bukan awan untuk memberi hujan. Kalau toh awan itu memberi hujan, itu lebih cocok dengan baptisan percik, bukan selam.

Jadi jelas bahwa orang Israel tidak direndam / diselam dalam awan dan dalam laut!

Barnes’ Notes“This passage is a very important one to prove that the word baptism does not necessarily mean entire immersion in water. It is perfectly clear that neither the cloud nor the waters touched them” (= Text ini adalah text yang sangat penting untuk membuktikan bahwa kata baptisan tidak harus berarti penyelaman seluruhnya di dalam air. Adalah sangat jelas bahwa baik awan maupun air tidak menyentuh mereka).

Tanggapan Dji:
I Kor. 10:2 “Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua (orang-orang Israel yg menyeberangi laut Merah) telah dibaptis dalam awan dan dalam laut.” Paulus sendiri mencatatkan begitu adanya, dan memang begitu fakta sejarahnya. Theologi Rasul Paulus mengatakan “mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut. Ini bertentangan dengan theologi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div yang mengatakan “mereka (orang Israel) tidak direndam/diselam dalam awan dan dalam laut!.” Ajaran Dr. Suhento Liauw adalah sama seperti yg diajarkan oleh Rasul Paulus, yaitu melihat orang-orang Israel telah dibaptis dalam awan dan laut, ini bertentangan dengan ajaran Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div yg mengatakan mereka tidak dibaptis dalam awan dan dalam laut.

Jelas orang Israel berjalan di tempat kering (Kel. 14:22 dan ayat 29) tetapi tempat kering di dalam laut (di tengah-tengah laut). “Sedang di kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka.” Bukankah ini sudah sangat jelas bahwa mereka semua telah masuk ke dalam laut Merah? Tidakkah ini membuat Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div mengerti Baptisan yg dimaksud oleh Rasul Paulus dalam I Kor. 10:2 ?........  atau adakah bangsa Israel melewati laut Merah dengan dipercik/dicurahkan air laut?...atau diteteskan air seperti dugaan Bpk. Budi Asali, M. Div?......... (tidak ada yang salah dengan pernyataan Barnes di atas, karena orang Israel memang awan dan air tidak menyentuh mereka), tetapi ini juga bukan otomatis berarti mereka tidak dibaptis dalam awan dan air, karena Theologi Rasul Paulus meneguhkan bahwa bangsa Israel dibaptis dalam awan dan dalam laut. (1Kor. 10:2). Sekali lagi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini bertentangan dengan theologi Paulus.

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

I Kor. 10:2 “Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua (orang-orang Israel yg menyeberangi laut Merah) telah dibaptis dalam awan dan dalam laut.” Paulus sendiri mencatatkan begitu adanya, dan memang begitu fakta sejarahnya. Theologi Rasul Paulus mengatakan “mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut. Ini bertentangan dengan theologi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div yang mengatakan “mereka (orang Israel) tidak direndam/diselam dalam awan dan dalam laut!.”

Bukan main ngawurnya anda di sini. Anda sama sekali bodoh dan tidak bisa memahami argumentasi yang dibangun. Pak Budi mengakui bahwa Paulus mengatakan mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut. Masalahnya adalah dalam fakta yang dituju yaitu kasus tiang awan dan penyeberangan Laut Terebau sama sekali orang Israel tidak mengalami perendaman / pencelupan seluruhnya. Jadi karena itu kata “baptis” di sana tidak bisa diartikan penyelaman. Paham hai anak TK?

2.      Anda menulis :

Ajaran Dr. Suhento Liauw adalah sama seperti yg diajarkan oleh Rasul Paulus, yaitu melihat orang-orang Israel telah dibaptis dalam awan dan laut, ini bertentangan dengan ajaran Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div yg mengatakan mereka tidak dibaptis dalam awan dan dalam laut.

Lagi-lagi seperti point 1 di atas ini menunjukkan kebodohan anda. Pak Budi sama sekali tidak mengatakan mereka tidak dibaptis tapi mereka tidak diselam.

3.      Anda menulis :

Jelas orang Israel berjalan di tempat kering (Kel. 14:22 dan ayat 29) tetapi tempat kering di dalam laut (di tengah-tengah laut). “Sedang di kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka.” Bukankah ini sudah sangat jelas bahwa mereka semua telah masuk ke dalam laut Merah? Tidakkah ini membuat Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div mengerti Baptisan yg dimaksud oleh Rasul Paulus dalam I Kor. 10:2 ?

Justru karena orang Israel berjalan di tempat kering itu yang jadi persoalan. Jikalau kata baptis harus berarti diselam, kapan bangsa Israel diselam di dalam air? Bukankah mereka berjalan di tanah yang kering?

4.      Anda menulis :

atau adakah bangsa Israel melewati laut Merah dengan dipercik/dicurahkan air laut?...atau diteteskan air seperti dugaan Bpk. Budi Asali, M. Div?

Minimal itu masih lebih mungkin dan masuk akan daripada diselam karena Alkitab secara eksplisit mengatakan bahwa mereka berjalan di tanah yang kering.

5.      Anda menulis :

(tidak ada yang salah dengan pernyataan Barnes di atas, karena orang Israel memang awan dan air tidak menyentuh mereka), tetapi ini juga bukan otomatis berarti mereka tidak dibaptis dalam awan dan air, karena Theologi Rasul Paulus meneguhkan bahwa bangsa Israel dibaptis dalam awan dan dalam laut. (1Kor. 10:2). Sekali lagi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini bertentangan dengan theologi Paulus.

Lagi-lagi kebodohan anda terlihat. Siapa yang membantah kalau mereka dibaptis? Yang dipersoalkan di sini adalah bahwa mereka sama sekali tidak disentuh oleh awan dan air tetapi itu dianggap sebagai baptisan oleh Paulus. Dan karena itu harus disimpulkan bahwa kata “baptis” tidak bisa selamanya berarti diselamkan. Paham nak?

4.  Ibr 9:10 - “karena semuanya itu, di samping makanan minuman dan pelbagai macampembasuhan (BAPTISMOIS), hanyalah peraturan-peraturan untuk hidup insani, yang hanya berlaku sampai tibanya waktu pembaharuan”.

Catatan: ada edisi Kitab Suci Indonesia yang mengatakan ‘pelbagai macampersembahan. Ini salah cetak, dan dalam edisi yang baru sudah diperbaiki.

Terjemahan Lama: ‘berbagai-bagai basuhan’.
NASB: various washings (= bermacam-macam pembasuhan).
NIV: various ceremonial washings (= bermacam-macam pembasuhan yang bersifat upacara keagamaan).
RSV: various ablutions (= bermacam-macam pembersihan / pencucian).
KJV: divers washings (= bermacam-macam pembasuhan).

Kata Yunaninya adalah BAPTISMOIS. Jadi terjemahan hurufiahnya adalah ‘bermacam-macam baptisan’.

Kalau kita memperhatikan kontex dari Ibr 9 itu, maka pasti Ibr 9:10 ini menunjuk pada ‘pemercikan’ dalam Ibr 9:13,19,21. Karena itu jelas bahwa di sini kata ‘baptis’ tidak diartikan selam / celup, tetapi percik.

Tanggapan Dji:
Dalam Ibrani 9:10 memang bahasa Yunani yang digunakan di situ adalah BAPTISMOIS (LAI.2009 Terjemahkan: pelbagai macam pembasuhan). Ayat ini tidak otomatis mendukung pembasuhan dgn cara percik, karena kata yang dipakai adalah BAPTISMOIS. Jadi,  ayat ini justru mendukung pembasuhan dengan cara direndam/dicelup, karena arti Baptis adalah rendam/celup. Sedangkan dalam Ibrani 9:13 kasusnya berbeda, (bukan menggunakan BAPTIMOIS) kata yg dipakai adalah RANTIZOUZA dari kata RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik), Ibr. 9:19 kata yg dipakai adalah ERRANTISEN dari kata RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik), Ibr. 9:21 kata yg dipakai adalah ERRANTISEN dari kata RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik). Jadi, dalam bahasa aslinya (Yunani) Ibr. 9:10 dari kata BAPTISMOIS (celup/rendam) sedangkan dalam Ibr. 9:13, 19, 21 dari kata RANTIZ (percik), bukan dari kata “baptis” seperti dugaan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas yg tidak teliti memperhatikan bahasa Yunani dalam Ibr. 9:13, 19, 21 dengan berkata “karena itu jelas bahwa  disini kata “baptis”tidak diartikan selam/celup, tetapi percik.” Padahal dalam bahasa aslinya untuk ke tiga ayat ini (ibr. 9:13,  19, 21) memang menggunakan kata “Rantiz” (bukan kata “Baptiz” yg diduga oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div). Jangan disama-ratakan dong Pak?..... kasihan orang yg tidak teliti nanti. Karena dalam ayat Ibrani 9:10 saja yg menggunakan kata Baptiz di situ, yg lainnya memang menggunakan kata Rantiz.

Sekali lagi ini membuktikan keinginan Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div yg ingin mencomot ayat-ayat tertentu (tanpa memperhatikan akar kata ibr. 9:13, 19, 21) untuk mendukung doktrin perciknya.

Ini saya MASIH BELUM MENGUTIP BUKTI-BUKTI bahwa Alkitab mendukung Baptisan selam / rendam / celup ke dalam air.

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Dalam Ibrani 9:10 memang bahasa Yunani yang digunakan di situ adalah BAPTISMOIS (LAI.2009 Terjemahkan: pelbagai macam pembasuhan). Ayat ini tidak otomatis mendukung pembasuhan dgn cara percik, karena kata yang dipakai adalah BAPTISMOIS. Jadi,  ayat ini justru mendukung pembasuhan dengan cara direndam/dicelup, karena arti Baptis adalah rendam/celup.

Hehe...lagi-lagi anda ngawur. Yang jadi masalah yang diperdebatkan sekarang adalah makna kata “baptis” itu sendiri. Lalu bagaimana anda tiba-tiba langsung mengartikan bahwa kata baptis adalah rendam atau celup? Bukankah itu yang sementara mau dibuktikan? Mengapa menggunakan itu sebagai kesimpulan untuk membantah apa yang masih harus dibuktikan? Logika anda kelihatannya ruwet tidak karuan!

Pak Budi Asali sudah memperlihatkan dari sisi konteksnya, jelas kata bapatis itu harus diartikan pemercikan.

Saya akan berikan tambahan dari buku saya tentang Baptisan :

Ibrani 9:10 : “Karena semuanya itu, di samping makanan minuman dan pelbagai macam pembasuhan (baptismoiV), hanyalah peraturan-peraturan untuk hidup insani, yang hanya berlaku sampai tibanya waktu pembaharuan”

Perhatikan dengan seksama kalimat “pelbagai macam pembasuhan!” Kata “pembasuhan” di sini menggunakan kata bahasa Yunani baptismoiV (baptismois) yang adalah bentuk datif dari kata baptismoV (baptismos) yang berarti  pembersihan, pembaptisan atau pencucian.

Jika kita lihat konteks ayat ini maka sesungguhnya penulis surat Ibrani sementara memberi penjelasan tentang ordinasi penyucian yang bersifat rohani dibandingkan dengan ordinasi penyucian yang bersifat duniawi dalam hal ini menunjuk kepada aktifitas dalam Kemah Suci orang Israel. Sekali lagi di sana dikatakan “pelbagai macam pembaptisan”. Jika kata “baptisan” hanya berarti penenggelaman atau penyelaman, maka biarkanlah kita bertanya : “Adakah upacara penyelaman atau penenggelaman dalam sistem ritualitas orang Israel di dalam Kemah Suci? Jelas tidak ada! Bahkan lebih daripada itu aktifitas penyelaman atau penenggelaman adalah sesuatu yang sangat asing dalam upacara agama orang Israel. Kalau begitu apakah yang dimaksudkan dengan pelbagai macam pembaptisan dalam ayat ini? Marilah kita melihatnya :

“Sebab, jika darah domba jantan dan darah lembu jantan  dan percikan abu lembu muda  menguduskan mereka yang najis, sehingga mereka disucikan secara lahiriah” (Ibr 9:13)

“Sebab sesudah Musa memberitahukan semua perintah hukum Taurat kepada seluruh umat, ia mengambil darah anak lembu dan darah domba jantan serta air, dan bulu merah dan hisop, lalu memerciki kitab itu sendiri dan seluruh umat” (Ibr 9:19).

“Dan juga kemah dan semua alat untuk ibadah dipercikinya secara demikian dengan darah” (Ibr 9:21)

Ketiga ayat ini menunjuk kepada upacara agama dalam Kemah Suci orang Israel yang oleh penulis Surat Ibrani disebut sebagai “baptisan”. Tiga ayat itu semuanya menggunakan kata “percik”, itu berarti bahwa dalam bagian ini kata “baptis” dapat berarti pemercikkan dan bukan penyelaman atau penenggelaman yang adalah ide yang asing bagi orang Israel.

2.      Anda menulis :

Sedangkan dalam Ibrani 9:13 kasusnya berbeda, (bukan menggunakan BAPTIMOIS) kata yg dipakai adalah RANTIZOUZA dari kata RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik), Ibr. 9:19 kata yg dipakai adalah ERRANTISEN dari kata RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik), Ibr. 9:21 kata yg dipakai adalah ERRANTISEN dari kata RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik).

Jadi, dalam bahasa aslinya (Yunani) Ibr. 9:10 dari kata BAPTISMOIS (celup/rendam) sedangkan dalam Ibr. 9:13, 19, 21 dari kata RANTIZ (percik), bukan dari kata “baptis” seperti dugaan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas yg tidak teliti memperhatikan bahasa Yunani dalam Ibr. 9:13, 19, 21 dengan berkata “karena itu jelas bahwa  disini kata “baptis”tidak diartikan selam/celup, tetapi percik.” Padahal dalam bahasa aslinya untuk ke tiga ayat ini (ibr. 9:13,  19, 21) memang menggunakan kata “Rantiz” (bukan kata “Baptiz” yg diduga oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div). Jangan disama-ratakan dong Pak?..... kasihan orang yg tidak teliti nanti. Karena dalam ayat Ibrani 9:10 saja yg menggunakan kata Baptiz di situ, yg lainnya memang menggunakan kata Rantiz.
Sekali lagi ini membuktikan keinginan Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div yg ingin mencomot ayat-ayat tertentu (tanpa memperhatikan akar kata ibr. 9:13, 19, 21) untuk mendukung doktrin perciknya.

Hehehe..jangan anda kira kami tidak tahu kalau kata di sana menggunakan Rantizo. Berikut ini penjelasan saya yang saya kutipkan dari buku saya :

Memang kalau kita memeriksa atau meneliti kata “percik” dalam ketiga ayat ini tidaklah menggunakan kata baptizw (baptizo) melainkan rantizw (rantizo). Mungkin inilah yang membuat Lukas Sutrisno dalam web site-nya berkata : “Kata Baptis sebenarnya diambil dari kata baptizw (baptizo) yang berarti celup atau ditenggelamkan. Sedangkan percik itu bahasa Yunaninya bukan baptizo, tetapi rantizw (rantizo) atau dalam bahasa Inggrisnya Sprinkle/Sprinkling, sedangkan kata Baptis yang ditulis di Alkitab adalah baptizo bukannya rantizo.”

Untuk memahami hal ini kita perlu mengetahui terlebih dahulu bahwa kata “bapto” atau “baptizo” itu mengandung keunikan makna. Untuk mengartikan kata ini tidak semudah dan sesempit apa yang dikatakan oleh Fu Xie dalam web site Gereja Kristen Perjanjian Baru “Masa Depan Cerah” : Kata "Baptis" berasal dari kata Yunani yaitu "Bapto". Kata "Bapto" ini berarti: "ditenggelamkan" atau "diselamkan." Jadi, sewaktu Tuhan Yesus memberikan Amanat Agung yang dicatat dalam Matius 28:19, ayat tersebut dalam pengertian orang-orang saat itu berbunyi: "jadikanlah semua bangsa muridKu dan selamkanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus".

Keunikan makna dari kata tersebut nampak dalam dua hal :
1.    Penenggelaman atau penyelaman bukanlah satu-satunya arti dari kata “bapto” atau “baptizo”. Beberapa ayat yang telah diteliti sebelumnya memperlihatkan bahwa kata “bapto” atau “baptizo” bisa berarti membersihkan, membasuh, mencuci, memercik, mengguyur, dll.
2.  Kata “bapto” atau “baptizo” bukanlah satu-satunya kata yang dipakai untuk penenggelaman atau penyelaman. Alkitab membuktikan bahwa ada banyak kata “tenggelam” yang tidak memakai kata “bapto” atau “baptizo”

Mat 18:6 : “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ditenggelamkan (katapontisqh) ke dalam laut”.

Ibrani 11:29 : “Karena iman, mereka telah melintasi Laut Merah sama seperti melintasi tanah kering, sedangkan orang-orang Mesir tenggelam (katepoqhsan), ketika mereka mencobanya juga”           

dalam kedua ayat di atas kata “ditenggelamkan” memakai kata katapontisqh (katapontisthe) dan kata “tenggelam” memakai kata katepoqhsan (katepothesan). Keduanya berasal dari kata dasar katapontizw (katapontizo) yang juga berarti “tenggelam” atau “penenggelaman”.

Dengan melihat dua keunikan arti di atas, maka kita dapat katakan bahwa sebenarnya kata “bapto” (baptw) atau “baptizo” (baptizw) itu adalah sebuah kata yang umum yang terdiri dari beberapa kata kerja. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Samuel Lie bahwa : “Kata "baptis" itu sendiri dalam bahasa Yunaninya "baptizo" artinya = "tercelup/terselam" atau "dibasuh". Kata ini begitu umum pengertiannya”. Sama seperti dalam dunia persepedamotoran kita mengenal adanya merk Suzuki. Namun yang tergolong ke dalam Suzuki itu begitu banyak. Ada Suzuki Alfa, Tornado, Shogun, Cristal, Satria, Bravo, dll. Jadi yang terkandung di dalam kata “bapto” (baptw) atau “baptizo” (baptizw) itu antara lain :
·    katapontizw atau katapontizomai (katapontizo atau katapontizomai
tenggelam) Mat 18:6; Ibr 11:9; Mat 14:30
·      rantizw (rantizo = percik) Ibr 9:13,19,21.
·     niptw (nipto = mencuci, membasuh) Yoh 13:10.
·     louw, loutrou (louo, loutrou = mandi) Efs 5:26; Yoh 13:10.
·     gemizw (gemizo = celup, mengisi, memenuhi) Mark 15:36.
·     dunw (duno = membenamkan) Efs 4:26; Mark 1:37

Dengan demikian apa yang sebenarnya dipersoalkan oleh Lukas Sutrisno tadi tentang kata “rantizo” (rantizw) yang muncul dalam ayat 13, 19 dan 21 dari Ibrani pasal 9 tidaklah cukup untuk menggugurkan kesimpulan yang telah kita ambil dari penelitian konteks yang sangat akurat. Mengapa? Karena kata “percik” (rantizw) adalah termasuk ke dalam kategori “baptizo” (baptizw).

Argumentasi-argumentasi lain bahwa bahwa baptisan tidak harus dilakukan dengan selam, tetapi boleh dengan percik, adalah:

a)   Ada banyak kasus dimana rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam.

Dalam Kitab Suci ada banyak contoh dimana baptisan tidak dilakukan di sungai. Juga tidak diceritakan adanya kolam yang memungkinkan baptisan selam (Kis 2:41  Kis 9:18  Kis 10:47-48  Kis 16:33). Kis 16:33 adalah contoh yang paling kuat untuk menunjukkan bahwa baptisan tidak dilakukan dengan penyela­man karena hal itu terjadi di dalam penjara!

Charles Hodge, seorang ahli theologia Reformed dan pendukung baptisan percik, berkata:
“In Acts 2:41, three thousand persons are said to have been baptized at Jerusalem apparently in one day at the season of Pentecost in June; and in Acts 4:4, the same rite is necessarily implied in respect to five thousand more. ... There is in summer no running stream in the vicinity of Jerusalem, except the mere rill of Siloam of a few rods in length; and the city is and was supplied with water from its cistern and public reservoirs. From neither of these sources could a supply have been well obtained for the immersion of eight thousand persons. The same scarcity of water forbade the use of private baths as a general custom” [= Dalam Kis 2:41, dikatakan bahwa 3000 orang dibaptiskan di Yerusalem, dan itu jelas terjadi dalam satu hari pada musim Pentakosta di bulan Juni; dan dalam Kis 4:4, secara tidak langsung bisa dipastikan bahwa upacara yang sama dilakukan terhadap 5000 orang lebih. ...Pada musim panas, tidak ada sungai mengalir di Yerusalem dan sekitarnya, kecuali sungai kecil dari Siloam yang panjangnya beberapa rod (NB: 1 rod = 5 meter); dan kota itu, baik sekarang maupun dulu, disuplai dengan air dari bak / tangki air dan waduk / kolam air milik / untuk umum. Tidak ada dari sumber-sumber ini yang bisa menyuplai air untuk menyelam 8000 orang. Kelangkaan air yang sama melarang penggunaan bak mandi pribadi sebagai suatu kebiasaan umum] - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 534.

Catatan: Kis 4:4 seharusnya ‘menjadi 5000 orang’, bukan ‘bertambah dengan 5000 orang’.

Charles Hodge lalu menambahkan sebagai berikut:
“The baptismal fonts still found among the ruins of the most ancient Greek churches in Palestine, as at Tekoa and Gophna, and going back apparently to very early times, are not large enough to admit of baptism of adult persons by immersion, and were obviously never intended for that use” (= Bak-bak untuk membaptis yang ditemukan di antara reruntuhan dari gereja-gereja Yunani kuno di Palestina, seperti di Tekoa dan Gophna, dan jelas berasal dari waktu yang sangat awal, tidak cukup besar untuk baptisan orang dewasa dengan cara penyelaman, dan jelas tidak pernah dimaksudkan untuk penggunaan seperti itu) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 534.

Tanggapan Dji:
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini sangat mempercayai kata-kata dari Charles Hodge (dari pada  untuk percaya kpd kata-kata dari Alkitab), bahkan ia lupa untuk menganalisa Alkitab dan bahkan lupa untuk menganalisa tulisan Charles Hodge sendiri, sehingga ia berkata “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam”. Jangan pakai rasa-rasa, dong Pak ?..........(bagaimana mungkin Bapak membangun doktrin/pengajaran dengan perasaan?)

Mari kita lihat: (per ayat akan di kupas tuntas):

Kata Alkitab: Kis. 2:41 “Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa.” Ayat ini adalah lanjutan dari Kis. 2:1 “Ketika tiba hari Pentakosta, SEMUA ORANG PERCAYA berkumpul di satu tempat”. SEMUA ORANG PERCAYA berarti termasuk 12 Rasul dan 120 orang yg berkumpul juga (pada hari pemilihan Matias jadi Rasul menggantikan Yudas). jadi, ketika jumlah 3.000 orang dibaptis dalam satu hari, itu bukanlah suatu angka yg sulit untuk dibaptis selam, karena yg membaptis tentu bukanlah Rasul Petrus seorang diri. Yang membaptis mereka (3.000 orang) minimal ada 12 orang Rasul yg membaptis atau bisa jadi yg 120 orang itu juga ikut membaptis. Jika 3.000 orang dibagi 132 orang untuk dibaptis maka masing-masing orang hanya membaptis antara 22 atau 23 orang. Jadi, tidak sampai satu jam sudah selesai acara pembaptisan selam. Jadi, mengapa “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam” Bapak Budi Asali, M. Div ?........ Kitab Suci juga TIDAK BERKATA “TIDAK ADA KOLAM DAN TIDAK ADA SUNGAI”. Kitab Suci berkata mereka semua (3.000 orang) dibaptis yang artinya diselam. (entah diselam di kolam atau di sungai, atau di bak mandi itu bukan esensinya, esensinya adalah mereka diselam/dibaptis).

Mari perhatikan dengan teliti: Systematic Theology Charles Hodge vol. III hal. 534 yg dikutip Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div tidak bisa dijadikan standar kebenaran (karena Charles Hodge berkata “Kis 2:41 terjadi di bulan Juni, di musim panas, tidak ada sungai yg mengalir di Yerusalem dan sekitarnya kecuali sungai kecil dari Siloam). Charles Hodge ingin menutup kemungkinan argument baptis selam, tetapi akhirnya ia sendiri menambahkanbak-bak untuk membaptis yg ditemukan di antara reruntuhan dari gereja-gereja Yunani kuno di Palestina, seperti di Tekoa dan Gophna dan jelas berasal dari waktu yg sangat awal...”.kemudian Charles Hodge kembali cepat-cepat menutup kemungkinan baptis selam dengan melanjutkan berkatatidak cukup besar untuk baptisan orang dewasa dengan cara penyelaman, dan jelas tidak pernah dimaksudkan untuk penggunaan seperti itu.” –‘Systematic Theology’-Vol. III hal. 534.

Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div terlalu cepat dan terlalu yakin kepada omongan Charles Hodge daripada untuk percaya kepada tulisan Alkitab sendiri. Saran saya untuk Charles Hodge dan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div: BAK-BAK UNTUK MEMBAPTIS YG DITEMUKAN di antara reruntuhan dari gereja-gereja Yunani kuno di Palestina SUDAH JELAS FUNGSINYA YAITU UNTUK MEMBAPTIS SELAM, tidak mungkin BAK-BAK itu untuk dijadikan kolam renang anak sekolah minggu atau untuk pelihara bebek gereja!.

Kata Alkitab: Kis. 9:18 ini adalah pertobatan Rasul Paulus. Paulus melihat cahaya memancar dari langit ketika ia dalam perjalanan ke Damsyik, tetapi ketika Paulus bertobat ia sedang di rumah Yudas alamatnya: Jalan Lurus (Kis. 9:11). Jadi, posisi Paulus bukan sedang dalam perjalanan lagi, tetapi ia ada di rumah Yudas. Jadi, mengapa “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam, Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div? Bagaimana mungkin orang sekaliber Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” (Padahal dalam ayat ini juga tidak dibilang “tidak ada kolam dan tidak ada sungai di rumah Yudas alamat Jalan Lurus itu”). Dari mana Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div bisa tahu bahwa di rumah Yudas tidak ada kolam/sungai/bak? Sedangkan praduga Bapak tanpa dasar dan bukti.

Kata Alkitab: Kis. 10:47-48 Posisi Kornelius (seorang perwira pasukan Italia) sedang di rumahnya sendiri ketika mereka di baptis. Seorang perwira pasukan Italia lebih memungkinkan memiliki kolam pribadi di rumahnya atau minimal bak-bak mandi, atau rumahnya dekat sungai. Jadi, posisi Kornelius bukan sedang di jalanan. Jadi, bagaimana mungkin orang sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” atas alasan apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini adalah praduga belaka yg dibangun untuk mendukung doktrin percik?....

Kata Alkitab: Kis. 16:33 sekali lagi DENGAN SEMBARANGAN dan TIDAK TELITI Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div mengatakan “baptisan tidak dilakukan dengan penyelaman karena hal itu terjadi DI DALAM PENJARA!

Mari kita lihat dan teliti Firman Tuhan (jangan ikut sembarangan menuduh seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini). Pertanyaan kunci: Di manakah POSISI Paulus, POSISI kepala penjara Filipi dan POSISI keluarganya ketika mereka memberi diri  dibaptis? Jawabannya: Kis. 16: 32 mereka ada DI RUMAH kepala penjara, BUKAN sedang di dalam PENJARA seperti yg dikatakan oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas.

Konteks Kisah Rasul 16:28-31 posisi Paulus dan kepala penjara masih di penjara, ayat 32 secara jelas memberitahukan kita Posisi Paulus dan kepala penjara sudah di rumah kepala penjara itu, “Lalu mereka memberitakan firman Tuhan kepadanya dan kepada semua orang yang ada di rumahnya. Ayat 33 mereka memberi diri dibaptis (tafsiran saya: dengan pergi ke sungai/kolam, pergi dari rumahnya utk baptisan selam), kemudian ayat 34 mereka kembali lagi ke rumah kepala penjara untuk menjamu makan kpd Paulus. “Lalu ia membawa mereka ke rumahnya dan menghidangkan makanan kepada mereka. Dan ia sangat bergembira, bahwa ia dan seisi rumahnya telah menjadi percaya kepada Allah.”

Jadi, bagaimana mungkin orang sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” atas alasan apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini adalah praduga belaka yg tanpa dasar Alkitab sengaja dibangun untuk mendukung doktrin percik?....

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini sangat mempercayai kata-kata dari Charles Hodge (dari pada  untuk percaya kpd kata-kata dari Alkitab), bahkan ia lupa untuk menganalisa Alkitab dan bahkan lupa untuk menganalisa tulisan Charles Hodge sendiri, sehingga ia berkata “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam”. Jangan pakai rasa-rasa, dong Pak ?..........(bagaimana mungkin Bapak membangun doktrin/pengajaran dengan perasaan?)

Pak Budi mengutip kata-kata Charles Hodge hanya sebagai pendukung kata2nya yang disebutkan sebelumnya di8sertai dengan ayat-ayat pendukungnya. Lalu darimana anda mengatakan bahwa Pak Budi mempercayai kata-kata Hodge daripada kata-kataa Alkitab? Rasanya tidak selalu harus salah sepanjang rasa itu didukung oleh argumentasi yang masuk akal.

2.      Anda menulis :

Kata Alkitab: Kis. 2:41 “Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa.” Ayat ini adalah lanjutan dari Kis. 2:1 “Ketika tiba hari Pentakosta, SEMUA ORANG PERCAYA berkumpul di satu tempat”. SEMUA ORANG PERCAYA berarti termasuk 12 Rasul dan 120 orang yg berkumpul juga (pada hari pemilihan Matias jadi Rasul menggantikan Yudas). jadi, ketika jumlah 3.000 orang dibaptis dalam satu hari, itu bukanlah suatu angka yg sulit untuk dibaptis selam, karena yg membaptis tentu bukanlah Rasul Petrus seorang diri. Yang membaptis mereka (3.000 orang) minimal ada 12 orang Rasul yg membaptis atau bisa jadi yg 120 orang itu juga ikut membaptis. Jika 3.000 orang dibagi 132 orang untuk dibaptis maka masing-masing orang hanya membaptis antara 22 atau 23 orang. Jadi, tidak sampai satu jam sudah selesai acara pembaptisan selam. Jadi, mengapa “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam” Bapak Budi Asali, M. Div ?........ Kitab Suci juga TIDAK BERKATA “TIDAK ADA KOLAM DAN TIDAK ADA SUNGAI”. Kitab Suci berkata mereka semua (3.000 orang) dibaptis yang artinya diselam. (entah diselam di kolam atau di sungai, atau di bak mandi itu bukan esensinya, esensinya adalah mereka diselam/dibaptis).

Hehe...lalu Alkitab bagian mana yang bilang bahwa 120 orang itu juga ikut membaptis? Bisa tunjukan ayatnya? Atau mulai melakukan penyakit kalian lagi dengan memasukan pikiran kalian sendiri ke dalam teks-teks Alkitab? Bahwa Rasul-Rasul membaptis itu sudah pasti, tetapi bahwa 120 orang ikut membaptis, tahu darimana? Lalu tahu darimana bahwa mereka diselam? Bahwa Alkitab mengatakan merejka dibaptis, itu tidak berarti mereka pasti diselam. Kenapa menganggap bahwa baptis pasti selam padahal itu adalah hal yang harus dibuktikan terlebih dahulu dan merupakan hal yang diperdebatkan? Jalan pikiran anda ruwet sekali nak, saya rasanya sukar percaya bahwa anda seorang mahasiswa teologia.

3.      Anda menulis :

Mari perhatikan dengan teliti: Systematic Theology Charles Hodge vol. III hal. 534 yg dikutip Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div tidak bisa dijadikan standar kebenaran (karena Charles Hodge berkata “Kis 2:41 terjadi di bulan Juni, di musim panas, tidak ada sungai yg mengalir di Yerusalem dan sekitarnya kecuali sungai kecil dari Siloam). Charles Hodge ingin menutup kemungkinan argument baptis selam, tetapi akhirnya ia sendiri menambahkanbak-bak untuk membaptis yg ditemukan di antara reruntuhan dari gereja-gereja Yunani kuno di Palestina, seperti di Tekoa dan Gophna dan jelas berasal dari waktu yg sangat awal...”.kemudian Charles Hodge kembali cepat-cepat menutup kemungkinan baptis selam dengan melanjutkan berkatatidak cukup besar untuk baptisan orang dewasa dengan cara penyelaman, dan jelas tidak pernah dimaksudkan untuk penggunaan seperti itu.” –‘Systematic Theology’-Vol. III hal. 534.

Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div terlalu cepat dan terlalu yakin kepada omongan Charles Hodge daripada untuk percaya kepada tulisan Alkitab sendiri. Saran saya untuk Charles Hodge dan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div: BAK-BAK UNTUK MEMBAPTIS YG DITEMUKAN di antara reruntuhan dari gereja-gereja Yunani kuno di Palestina SUDAH JELAS FUNGSINYA YAITU UNTUK MEMBAPTIS SELAM, tidak mungkin BAK-BAK itu untuk dijadikan kolam renang anak sekolah minggu atau untuk pelihara bebek gereja!

Hehe... Jadi anda juga percaya kata-kata Charles Hodge bahwa ada bak-bak yang ditemukan? Katanya kata-kata Hodge tidak menjadi standard kebenaran. Lalu kenapa anda juga mengakuinya hai orang bodoh? Lalu kalau kata-kata Hodge tidak menjadi standard kebenaran, mengapa anda sendiri lalu bisa menganggap bahwa bak-bak itu memang digunakan untuk baptisan selam? Apakah anda mau mengangkat kata-kata anda sekarang sebagai standard kebenaran? Kalau anda mempercayai kata-kata Hodge bahwa ditemukan sejumlah bak, lalu kenapa keterangan dia yang lain bahwa bak-bak itu tidak cukup besar untuk pembaptisan seorang dewasa tidak anda percayai? Anda hanya mempercayai apa yang mendukung pandangan anda? Sekali lagi, apakah pandangan anda juga adalah standard kebenaran? Hehehehe.....

4.      Anda menulis :

Kata Alkitab: Kis. 9:18 ini adalah pertobatan Rasul Paulus. Paulus melihat cahaya memancar dari langit ketika ia dalam perjalanan ke Damsyik, tetapi ketika Paulus bertobat ia sedang di rumah Yudas alamatnya: Jalan Lurus (Kis. 9:11). Jadi, posisi Paulus bukan sedang dalam perjalanan lagi, tetapi ia ada di rumah Yudas. Jadi, mengapa “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam, Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div? Bagaimana mungkin orang sekaliber Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” (Padahal dalam ayat ini juga tidak dibilang “tidak ada kolam dan tidak ada sungai di rumah Yudas alamat Jalan Lurus itu”). Dari mana Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div bisa tahu bahwa di rumah Yudas tidak ada kolam/sungai/bak? Sedangkan praduga Bapak tanpa dasar dan bukti.

Lalu darimana anda tahu bahwa di rumah Yudas pasti ada kolam dan sungai? Bukankah Alkitab juga tidak bilang begitu?

Saya kutipkan dari buku saya :

Kis 9:18-19 berkata :  “Dan seketika itu juga seolah-olah selaput gugur dari matanya, sehingga ia dapat melihat lagi. Ia bangun lalu dibaptis. Dan setelah ia makan, pulihlah kekuatannya”

Jika kita melihat kronologi yang terjadi dalam ayat-ayat ini, maka yang terjadi pada Paulus adalah :
1.      Ia buta
2.      Ia didoakan dan dapat melihat
3.      Ia bangun
4.      Lalu dibaptis
5.      Ia makan
6.      Pulihlah kekuatannya.

Bagaimana kesan anda ketika melihat urutan kronologi di atas? Kesan yang nampak di atas adalah bahwa semua hal itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat di suatu tempat (di dalam rumahnya). Pada mulanya ia buta, lalu ia didoakan dan sembuh, lalu ia bangun, lalu dibaptis, lalu makan dan pulihlah kekuatannya. Kalau semuanya ini terjadi dalam waktu yang singkat di dalam sebuah rumah, maka rasanya agak sulit melihat kemungkinan Paulus dibaptis dengan cara selam. Tidak ada kesan sama sekali bahwa Paulus perlu dituntun, dibawa atau diajak ke suatu tempat untuk prosesi baptisan selam. Justru kemungkinannya lebih besar di mana air yang dibawa kepadanya dan dengan air itu ia dibaptiskan (baptisan percik). Rayburn berkata : “Ini adalah satu-satunya kasus dalam Perjanjian Baru yang menunjukkan persiapan fisik yang mendahului baptisan, dan persiapan itu tidak lain adalah bangun. Tidak ada satu petunjuk bahwa Paulus mengganti baju atau ia keluar dari suatu mata air atau yang sejenisnya. (Hal 36-37)

5.      Anda menulis :

Kata Alkitab: Kis. 10:47-48 Posisi Kornelius (seorang perwira pasukan Italia) sedang di rumahnya sendiri ketika mereka di baptis. Seorang perwira pasukan Italia lebih memungkinkan memiliki kolam pribadi di rumahnya atau minimal bak-bak mandi, atau rumahnya dekat sungai. Jadi, posisi Kornelius bukan sedang di jalanan. Jadi, bagaimana mungkin orang sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” atas alasan apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini adalah praduga belaka yg dibangun untuk mendukung doktrin percik?....

Hehehe...anda juga berkata : Seorang perwira pasukan Italia lebih memungkinkan memiliki kolam pribadi di rumahnya atau minimal bak-bak mandi, atau rumahnya dekat sungai.

Kenapa anda membangun teologia anda di atas kemungkinan-kemungkinan seperti ini? Hehe...bukankah yang pasti-pasti saja? Memangnya Alkitab berkata bahwa di rumah Kornelius ada kolam / bak atau rumahnya dekat sungai? Mana ayatnya? Bukankah semuanya dugaan anda saja? Lalu mengapa anda berkata pada Pak Budi “Bukankah ini adalah praduga belaka yg dibangun untuk mendukung doktrin percik?” padahal pada saat yang sama anda juga melakukan praduga belaka yang dibangun untuk mendukung doktrin selam? Hehe...ini namanya senjata makan tuan, makan kepala anda sendiri hai orang bodoh!

6.      Anda menulis :

Kata Alkitab: Kis. 16:33 sekali lagi DENGAN SEMBARANGAN dan TIDAK TELITI Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div mengatakan “baptisan tidak dilakukan dengan penyelaman karena hal itu terjadi DI DALAM PENJARA!

Mari kita lihat dan teliti Firman Tuhan (jangan ikut sembarangan menuduh seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini). Pertanyaan kunci: Di manakah POSISI Paulus, POSISI kepala penjara Filipi dan POSISI keluarganya ketika mereka memberi diri  dibaptis? Jawabannya: Kis. 16: 32 mereka ada DI RUMAH kepala penjara, BUKAN sedang di dalam PENJARA seperti yg dikatakan oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas.

Konteks Kisah Rasul 16:28-31 posisi Paulus dan kepala penjara masih di penjara, ayat 32 secara jelas memberitahukan kita Posisi Paulus dan kepala penjara sudah di rumah kepala penjara itu, “Lalu mereka memberitakan firman Tuhan kepadanya dan kepada semua orang yang ada di rumahnya. Ayat 33 mereka memberi diri dibaptis (tafsiran saya: dengan pergi ke sungai/kolam, pergi dari rumahnya utk baptisan selam), kemudian ayat 34 mereka kembali lagi ke rumah kepala penjara untuk menjamu makan kpd Paulus. “Lalu ia membawa mereka ke rumahnya dan menghidangkan makanan kepada mereka. Dan ia sangat bergembira, bahwa ia dan seisi rumahnya telah menjadi percaya kepada Allah.”

Jadi, bagaimana mungkin orang sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” atas alasan apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini adalah praduga belaka yg tanpa dasar Alkitab sengaja dibangun untuk mendukung doktrin percik?....

Pada awalnya peristiwa tersebut diceritakan di dalam penjara. Setelah itu diceritakan tentang Paulus yang memberitakan Injil kepada keluarga kepala penjara itu di rumahnya. Persoalannya adalah apakah keberadaan Paulus di rumah kepala penjara ini PASTI BERARTI bahwa mereka meninggalkan penjara? Belum tentu! Bisa jadi bahwa rumah kepala penjara itu berada di dalam kompleks penjara jadi semua kejadian ini tetap ada di dalam kompleks penjara itu.

Anda lalu berkata : “(tafsiran saya: dengan pergi ke sungai/kolam, pergi dari rumahnya utk baptisan selam)”. Hehe...saya bertanya pada anda, mana ayat yang mengatakan bahwa mereka pergi meninggalkan rumah menuju sungai/kolam? Anda mulai mengarang bebas lagi? Katanya berteologia tidak boleh kira-kira tapi pasti. Kalau tidak ada ayat yang mengatakan demikian, lalu bagaimana bisa beranggapan demikian? Mengarang bebas? Bolehkan saya pinjam kata-kata anda untuk dikenakan pada anda sendiri : Bukankah ini adalah praduga belaka yg tanpa dasar Alkitab sengaja dibangun untuk mendukung doktrin selam?.... Hehehee

Sekarang mari kita melihat baptisan sida-sida dalam Kis 8:26-40. Apakah ini adalah baptisan selam? Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dari bagian ini:

1.       Kis 8:36 - ‘ada air’.

Yunani: TI HUDOR [a certain water / some water (= air tertentu / sedikit air)]. Jadi ini menunjuk pada sedikit air, sehingga tidak memungkinkan baptisan selam.

Charles Hodge“He was travelling through a desert part of the country towards Gaza, when Philip joined him, ‘And as they went on their way they came unto a certain water (EPI TI HUDOR, to some water)’.There is no known stream in that region of sufficient depth to allow of the immersion of a man” [= Ia sedang bepergian melalui bagian padang pasir dari negara itu menuju Gaza, ketika Filipus bergabung dengannya, ‘Dan ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka mereka sampai pada air tertentu (EPI TI HUDOR, kepada sedikit air)’. Di daerah itu tidak diketahui adanya sungai dengan kedalaman yang cukup untuk memungkinkan penyelaman seorang manusia] -‘Systematic Theology’, vol III, hal 535.

2.       Kis 8:38-39 berkata ‘turun ke dalam air ... keluar dari air’.

Apakah ini menunjuk pada baptisan selam? Seperti pada baptisan Yesus, istilah ini bisa diartikan 2 macam, yaitu:

a.       Sida-sida itu betul-betul terendam total, lalu keluar dari air.
b.      Sida-sida itu turun ke dalam air yang hanya sampai pada lutut atau mata kakinya, lalu keluar dari air.

Untuk mengetahui yang mana yang benar dari 2 kemungkinan ini, bacalah Kis 8:38-39 itu sekali lagi. Perhatikan bahwa di situ dikatakan: “dan keduanyaturun ke dalam air, baik Filipus maupun sida-sida itu, dan Filipus membaptis dia. Dan setelah mereka keluar dari air, ...”.

Kalau istilah ‘turun ke dalam air’ dan ‘keluar dari air’ diartikan sebagai baptisan selam, itu menunjukkan bahwa Filipus, sebagai orang yang membaptis, juga ikut diselam! Ini jelas tidak mungkin. Jadi dari 2 kemungkinan di atas, yang benar adalah kemungkinan kedua. Ini juga cocok dengan point pertama di atas yang menunjukkan bahwa air di situ cuma sedikit, sehingga tidak memungkinkan baptisan selam.

Tanggapan Dji:
Kis. 8:36 – “ada air”. Yunani: TI HUDOR [a certain water / some water (= air tertentu / sedikit air)]. “sedikit air” adalah relatif. “Sedikit” bagi orang tertentu bisa berarti “cukup banyak untuk membaptis selam”. Jika Alkitab mendukung baptis percik, maka sudah tentu Sida-sida itu mengeluarkan air minumnya yg dibawanya dalam keretanya atau yg dibawa oleh anak buahnya. (Tidak mungkin seorang sida-sida yg menempuh perjalanan jauh tidak membawa air minum) Mengapa mereka masih melanjutkan perjalanan (dan menunggu) sampai di “suatu tempat yang ada air”? ini sudah sangat jelas bahwa sida-sida itu dibaptis selam. “Mereka melanjutkan perjalanan mereka (menandakan sida-sida sudah percaya / diselamatkan), dan (sambil menanti dlm perjalanan) tiba di suatu tempat (sungai/kolam) yang ada airnya (tidak mungkin airnya hanya sampai pada lutut / hanya semata kaki, tetapi pasti airnya cukup untuk selam ). Lalu kata sida-sida itu: “Lihat, di situ ada air; apakah halangannya, jika aku dibaptis?”. Seorang sida-sida tidak mungkin “kampungan” turun ke sungai / kolam yg dalam airnya hanya sampai selutut / hanya semata kaki, karena anak SD pun tahu bahwa itu bisa saja berlumpur / air yg kotor.

Jadi, Kis. 8:38-39 berkata “turun ke dalam air.....keluar dari air” adalah persis seperti baptisan Yesus / baptisan Yohanes di sungai Yordan. Sehingga sida-sida itu betul-betul terendam total, lalu keluar dari air. Orang yg membaptis yaitu Filipus sudah tentu ikut terendam (tetapi Filipus yg membaptiskan sida-sida itu). Adalah sangat bodoh jika berasumsi  atau beranggapan bahwa orang yang membaptis jika “ikut terendam” otomatis sama dengan membaptis ulang diri sendiri. Bukankah Yohanes Pembaptis sendiri juga “ikut terendam” di dalam air ketika ia membaptis Tuhan Yesus?. Orang yg membaptis orang lain tidak mungkin ikut diselamkan! (ini adalah bukti asumsi Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri).  Menurut saya: Filipus jelas TIDAK IKUT DISELAMKAN!, tetapi Filipus ikut terendam sampai pinggang/dada lalu membaptiskan (menyelamkan sida-sida itu).  

Jadi, bagaimana mungkin orang sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” atas alasan apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini adalah praduga belaka yg tanpa dasar Alkitab sengaja dibangun untuk mendukung doktrin percik?....

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Kis. 8:36 – “ada air”. Yunani: TI HUDOR [a certain water / some water (= air tertentu / sedikit air)]. “sedikit air” adalah relatif. “Sedikit” bagi orang tertentu bisa berarti “cukup banyak untuk membaptis selam”.

·   Kalau itu memang relatif lalu bagaimana anda bisa memastikan bahwa itu cukup banyak untuk sebuah praktek baptisan selam?
·    Sedikit itu memang relatif tetapi ingat bahwa ini di padang pasir. Hanya orang yang membutakan dirinya yang bisa menduga bahwa sedikit air di padang pasir adalah sejumlah air yang cukup banyak untuk sebuah praktek baptisan selam.

2.      Anda menulis :

Jika Alkitab mendukung baptis percik, maka sudah tentu Sida-sida itu mengeluarkan air minumnya yg dibawanya dalam keretanya atau yg dibawa oleh anak buahnya. (Tidak mungkin seorang sida-sida yg menempuh perjalanan jauh tidak membawa air minum) Mengapa mereka masih melanjutkan perjalanan (dan menunggu) sampai di “suatu tempat yang ada air”? ini sudah sangat jelas bahwa sida-sida itu dibaptis selam.

·       Hehe..anda berkata sudah tentu? Tahu darimana? Mulai mengarang bebas lagi? Katanya berteologia harus berdasarkan Alkitab. Bisa tunjukkan ayatnya kalau mereka membawa air minum?
·  Kalaupun mereka membawa air minum, bisa saja mereka tidak mau menggunakan untuk membaptis karena itu kan air untuk minum di perjalanan. Hehe...
·     Bisa saja mereka tidak menggunakan air minum untuk membaptis karena sudah melihat ada sedikit air di sana kan? Hehe...

3.      Anda menulis :

“Mereka melanjutkan perjalanan mereka (menandakan sida-sida sudah percaya / diselamatkan), dan (sambil menanti dlm perjalanan) tiba di suatu tempat (sungai/kolam) yang ada airnya (tidak mungkin airnya hanya sampai pada lutut / hanya semata kaki, tetapi pasti airnya cukup untuk selam ). Lalu kata sida-sida itu: “Lihat, di situ ada air; apakah halangannya, jika aku dibaptis?”.

Kenapa tidak mungkin airnya hanya selutut atau semata kaki? Anda mengatakan demikian karena anda sudah berasusmsi terlebih dahulu bahwa baptisannya harus selam dan karena itu tidak mungkin ada air selutut atau semata kaki karena itu tidak cukup bagi praktek baptisan selam. Pikiran anda benar-benar tidak karuan. Hal yang seharusnya diperdebatkan dan anda jadikan sebagai alasan untuk membenarkan pandangan anda sendiri. Pikirkan sendiri lebih mungkin mana sedikit air atau banyak air jika berada di padang gurun?

4.      Anda menulis :

Seorang sida-sida tidak mungkin “kampungan” turun ke sungai / kolam yg dalam airnya hanya sampai selutut / hanya semata kaki, karena anak SD pun tahu bahwa itu bisa saja berlumpur / air yg kotor.

Tahu darimana itu pasti berlumpur? Anda terlalu mengada-ada dengan memikirkan segala hal yang remeh. Sekalipun berlumpur, kalau dia mau, apa masalahnya? Anda mengangkat berbagai pemikiran yang terllau jauh daripada apa yang menjadi inti persoalan. Tafsiran seperti anda yang layak disebut “kampungan”.

5.      Anda menulis :

Jadi, Kis. 8:38-39 berkata “turun ke dalam air.....keluar dari air” adalah persis seperti baptisan Yesus / baptisan Yohanes di sungai Yordan. Sehingga sida-sida itu betul-betul terendam total, lalu keluar dari air. Orang yg membaptis yaitu Filipus sudah tentu ikut terendam (tetapi Filipus yg membaptiskan sida-sida itu).

Nah, lagi-lagi logika anda tidak bermain di sini. Jika istilah “turun ke dalam air” diartikan harus direndam seluruhnya, istilah yang sama digunakan untuk Filipus. Jadi harus diartikan bahwa Filipus pun terrendam seperti yang dialami Sida-sida itu. Apakah argumentasi sederhana seperti ini tidak bisa anda pahami? Anda betul-betul cocok jadi anak SD.

6.      Anda menulis :

Adalah sangat bodoh jika berasumsi  atau beranggapan bahwa orang yang membaptis jika “ikut terendam” otomatis sama dengan membaptis ulang diri sendiri. Bukankah Yohanes Pembaptis sendiri juga “ikut terendam” di dalam air ketika ia membaptis Tuhan Yesus?. Orang yg membaptis orang lain tidak mungkin ikut diselamkan! (ini adalah bukti asumsi Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri).  Menurut saya: Filipus jelas TIDAK IKUT DISELAMKAN!, tetapi Filipus ikut terendam sampai pinggang/dada lalu membaptiskan (menyelamkan sida-sida itu).  

Kata yang digunakan pada Sida-sida adalah sama dengan kata yang digukanakan pada Filipus. Jadi kalau berdasarkan kata-kata itu mau diartikan bahwa Sida-sida diselamkan seluruhnya, itu harus berlaku bagi Filipus. Tentu ini gila, tapi itu adalah konsekuensi logis dari penafsiran kalian. Kalau kami beranggapan bahwa Sida-sida pasti tidak diselamkan. Ia pasti hanya masuk ke dalam air, mungkin selutut atau semata kaki, tetapi ia sudah disebutkan “turun ke dalam air”. Karena itu maka istilah “turun ke dalam air” atau “keluar dari air” tidak bisa menjadi dasar untuk memastikan itu adalah baptisan selam. Anda paham hai anak SD?

7.      Anda menulis :

Jadi, bagaimana mungkin orang sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” atas alasan apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini adalah praduga belaka yg tanpa dasar Alkitab sengaja dibangun untuk mendukung doktrin percik?....

Hehe...silahkan perbaiki logika anda, belajar bahasa Indonesia lagi. Dan jangan lupa bercermin.

b)   Hal-hal lain yang mendukung baptisan percik:

1.      Penekanan arti baptisan adalah sebagai simbol penyucian / purification. Padahal dalam Kitab Suci purification selalu disimbolkan dengan percikan:
a. Kel 24:8 - Kitab Suci Indonesia salah terjemahan, karena kata  ‘menyiramkannya’ seharusnya adalah ‘memercikkannya’. NIV:‘sprinkled’ (= memercikkan).
b. Kel 29:16,21 - Kitab Suci Indonesia salah terjemahan, karena kata ‘kausiramkan’ seharusnya adalah ‘percikkanlah’ [NIV: ‘sprinkle’ (= percikkanlah)].
c.   Im 7:14 - Kitab Suci Indonesia salah terjemahan, karena kata ‘menyiramkan’ seharusnya adalah ‘memercikkan’ [NIV: ‘sprinkles’ (= memercikkan)].
d.    Im 14:7,51 - ‘memercik’.
e.    Im 16:14 - ‘memercikannya’.
f.     Bil 8:7 - ‘percikkanlah’.
g.     Bil 19:18 - ‘memercikkannya’.
h.   Yes 52:15 (NIV) - ‘He will sprinkle many nations’ (= Ia akan memerciki banyak bangsa).
i.     Ibr 9:13 - ‘percikan’.
j.     Ibr 9:19,21 - ‘memerciki’ dan ‘dipercikinya’. 
k. Ibr 10:22 - Kitab Suci Indonesia salah terjemahan, karena kata ‘telah dibersihkan’ seharusnya adalah ‘telah diperciki’ [NIV: ‘sprinkled to cleanse’ (= diperciki untuk membersihkan)].
l.     Ibr 12:24 - ‘darah pemercikan’.


Tanggapan Dji:
Semua ayat yg dikutip oleh Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div di atas ini semuanya berbicara tentang ibadah simbolik di Perjanjian Lama [Ibrani (PB) yg dikutip juga konteksnya berbicara tentang ibadah simbolik]. Ibadah simbolik bukan ibadah hakekat. Percik dalam zaman PL JELAS BERBEDA dengan BAPTISAN orang percaya dalam  Perjanjian Baru (Ibadah hakekat). Ini dua hal yg berbeda, jangan disama ratakan untuk membangun/mendukung doktrin percik!.

Tanggapan Esra Soru :

Salah satu makna baptisan adalah simbol penyucian dosa (Kis 2:38; 22:16).

Kis 2:38 - Jawab Petrus kepada mereka: "Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.
Kis 22:16 - Dan sekarang, mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan sambil berseru kepada nama Tuhan!
Karena itulah baptisan lalu menggunakan air.

Jikalau baptisan adalah simbol penyucian dosa, dan di dalam PL itu selalu dikaitkan dengan tindakan pemercikan seperti yang dijelaskan pak Budi di atas, justru adalah aneh kalau tahu-tahu di dalam PB, simbolnya berubah menjadi penyelaman dan pemercikan hilang sama sekali.

Jadi bukan kami menyamakan apa yang beda, tapi kalian yang berusaha membedakan apa yang sama. Hehe...

2.    Luk 3:16 - ‘Aku membaptis kamu dengan air’ (I baptize you with water).

Kata with water’ / ‘dengan air’ (Yunani: HUDATI) ini tidak cocok diartikan sebagai selam, karena kita tidak berkata ‘aku menyelam kamu dengan air’ tetapi kita berkata ‘aku menyelam kamu di dalam air’. Tetapi kalau baptisan itu adalah percik / tuang, maka kata-kata ‘dengan air’ itu cocok.

Mat 3:11 memang menggunakan kata Yunani EN, tetapi kata EN bukan hanya bisa diartikan sebagai in (= di dalam), tetapi juga sebagai with (= dengan).

Kesimpulan: baptisan selam bukan satu-satunya baptisan yang sah. Karena itu kalau saudara sudah dibaptis dengan baptisan percik atau tuang, jangan percaya kepada orang-orang bodoh yang mengharuskan saudara dibaptis ulang dengan baptisan selam. Ingat bahwa pada waktu saudara dibaptis ulang, saudara menghina baptisan yang pertama!

Tanggapan Dji:
Luk. 3:16 dan Mat. 3:11 Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri mengakui bahwa EN bisa juga diartikan sebagai in (= di dalam). Saya kutipkan lagi pernyataan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri di atas “tetapi kita berkata “aku menyelam kamu di dalam air.” (entah Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini sudah mengakui kebenaran ini atau “tidak sengaja” mengakuinya). Bagi orang Yahudi yg menggunakan bahasa Yunani waktu itu tidak sulit untuk memahami “aku menyelam kamu di dalam air.” Hanya praduga dan asumsi belaka yg dibangun oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini.

Kesimpulan Dji: Baptisan SELAM adalah satu-satunya baptisan yang sah. Karena itu, kalau saudara belum dibaptis (selam) maka saudara harus dibaptis ulang (karena saudara pada dasarnya memang belum dibaptis/belum di selamkan) tetapi baru di rantis=di percik. Namun demikian,  Baptisan bukan sesuatu yg hakiki dalam keselamatan. Baptisan adalah tanda pertobatan, tanda murid sejati Yesus, tanda orang menggabungkan diri ke dalam satu jemaat lokal yg independent. 

TIDAK ADA LARANGAN untuk “membaptis ulang” dalam Alkitab. Justru dalam Alkitab Rasul Paulus bahkan membaptis ulang mereka yg awalnya “sudah dibaptis” namun belum mengerti. Silahkan baca:  Kis. 19:3-5 “Lalu kata Paulus kepada mereka: “Kalau begitu dengan baptisan manakah kamu telah dibaptis?” Jawab mereka: “Dengan baptisan Yohanes.” Kata Paulus: “Baptisan Yohanes adalah pembaptisan orang yang telah bertobat, dan ia berkata kepada orang banyak, bahwa mereka harus percaya kepada Dia yg datang kemudian dari padanya, yaitu Yesus.” Ketika mereka mendengar hal itu, MEREKA MEMBERI DIRI MEREKA DIBAPTIS (ULANG) dalam nama Tuhan Yesus.”. Haleluya!

Silahkan pembaca menilai mana yg sesuai Alkitab dan mana yg ingin membangun doktrin tanpa dasar!  

I Tes. 5:21 “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Luk. 3:16 dan Mat. 3:11 Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri mengakui bahwa EN bisa juga diartikan sebagai in (= di dalam). Saya kutipkan lagi pernyataan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri di atas “tetapi kita berkata “aku menyelam kamu di dalam air.” (entah Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini sudah mengakui kebenaran ini atau “tidak sengaja” mengakuinya). Bagi orang Yahudi yg menggunakan bahasa Yunani waktu itu tidak sulit untuk memahami “aku menyelam kamu di dalam air.” Hanya praduga dan asumsi belaka yg dibangun oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini.

Anda ini memang payah sekali di dalam berlogika dan sama sekali tidak paham bahasa Pak Budi Asali. Kelihatannya anda perlu belajar ulang Bahasa Indonesia.Maksud Pak Budi jelas bahwa kalau baptisan harus selam maka kata-kata yang cocok adalah ‘aku menyelam kamu di dalam air’ tetapi karena kata Yunani yang digunakan di dalam Luk 3:16 itu (HUDATI) berarti with water’ / ‘dengan air’ maka ini tidak memungkinkamnm diterapkan pada baptisan selam. Baptisan perciklah yang lebih cocok. Terus terang saya prihatin sekali dengan cara berpikir anda seperti ini. Sangat2 menyedihkan!

2.      Anda menulis :

Kesimpulan Dji: Baptisan SELAM adalah satu-satunya baptisan yang sah. Karena itu, kalau saudara belum dibaptis (selam) maka saudara harus dibaptis ulang (karena saudara pada dasarnya memang belum dibaptis/belum di selamkan) tetapi baru di rantis=di percik. Namun demikian,  Baptisan bukan sesuatu yg hakiki dalam keselamatan. Baptisan adalah tanda pertobatan, tanda murid sejati Yesus, tanda orang menggabungkan diri ke dalam satu jemaat lokal yg independent.

Dengan semua tanggapan yang sudah diberikan ini maka kesimpulan anda jadi gugur semuanya dan karena itu baptisan selam bukan satu-satunya baptisan yang sah. Karena itu yang sudah dibaptis percik juga adalah baptisan yang sah, mengulang apa yang sudah sah adalah penghinaan kepada baptisan yang pertama dan itu dosa.  

3.      Anda menulis :

TIDAK ADA LARANGAN untuk “membaptis ulang” dalam Alkitab. Justru dalam Alkitab Rasul Paulus bahkan membaptis ulang mereka yg awalnya “sudah dibaptis” namun belum mengerti. Silahkan baca:  Kis. 19:3-5 “Lalu kata Paulus kepada mereka: “Kalau begitu dengan baptisan manakah kamu telah dibaptis?” Jawab mereka: “Dengan baptisan Yohanes.” Kata Paulus: “Baptisan Yohanes adalah pembaptisan orang yang telah bertobat, dan ia berkata kepada orang banyak, bahwa mereka harus percaya kepada Dia yg datang kemudian dari padanya, yaitu Yesus.” Ketika mereka mendengar hal itu, MEREKA MEMBERI DIRI MEREKA DIBAPTIS (ULANG) dalam nama Tuhan Yesus.”. Haleluya!

Silahkan pembaca menilai mana yg sesuai Alkitab dan mana yg ingin membangun doktrin tanpa dasar!  

I Tes. 5:21 “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”

Baptisan memang diulang selama baptisannya memang betul-betul salah. Tapi kalau baptisannya sudah betul dan Alkitabiah, lalu atas dasar apa mau diulang?

7. Nama / sebutan Perjamuan Kudus salah, seharusnya Perjamuan Tuhan. Istilah Perjamuan Kudus kita dapat dari Katolik. Perjamuan itu tidak bisa menguduskan, jadi nama itu salah.

Tanggapan Budi Asali:
Saya setuju saja kalau digunakan istilah ‘Perjamuan Tuhan’, karena istilah itu memang ada dalam Alkitab (1Kor 10:21  1Kor 11:20). Tetapi istilah ‘Perjamuan Kudus’ juga tak masalah, karena itu hanya soal istilah. Bahwa itu didapatkan dari Katolik merupakan omong kosong, yang tak akan bisa ia buktikan. Dan siapa gerangan orang bodoh yang mempercayai bahwa Perjamuan Kudus itu menguduskan? Itu merupakan fitnahan terhadap orang-orang yang menggunakan istilah ‘Perjamuan Kudus’.

Tanggapan Dji:
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri setuju dan mengakui penggunaan yg benar adalah “Perjamuan Tuhan” bukan “Perjamuan Kudus”. tetapi entah alasan apa akhirnya ia bilang penggunaan istilah Perjamuan Kudus “juga tak masalah, karena itu hanya soal istilah.” Beda istilah sudah tentu beda maknanya. Apalagi orang awam yg tidak belajar theologi (atau orang agama lain) sudah pasti ikut terpengaruh oleh “istilah yg salah” itu. Sebagai orang Kristen yang cinta Kebenaran dan menjunjung tinggi Alkitab (Sola Scriptura) maka seharusnyalah orang Kristen yg Alkitabiah menggunakan istilah-istilah yg Alkitabiah pula. Bagaimana mungkin orang sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div  bisa berkata “juga tak masalah, karena itu hanya soal istilah?” sangat mengherankan! Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sudah tahu istilah yg benar tetapi tidak mau menggunakannya. Ada apa ini pak?..........(atau ada udang di balik batu?).......

Tanggapan Esra Soru :

1.  Lagi-lagi anda menunjukan kebodohan di dalam mengartikan kata-kata orang. Pak Budi atidak keberatan digunakannya istilah Perjamuan Tuhan, tetapi ia juga merasa tidak ada masalah dengan istilah Perjamuan Kudus. Lalu mengapa anda berkata Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri setuju dan mengakui penggunaan yg benar adalah “Perjamuan Tuhan” bukan “Perjamuan Kudus”. Dari mana anda mendapatkan kata-kata yang saya garisbawai ini? Di sini anda menunjukan mentalitas memfitnah seperti guru anda itu.
2.  Beda istilah sudah tentu beda makna? Hehe...kelihatannya anda perlu belajar lagi. Belajar ulang bahasa Indonesia.
3.   Kalian percaya doktrin Tritunggal? Kalau percaya, bisa tunjukkan istilahnya di dalam Alkitab? Kalau tidak, pikiran kalian memang tidak beres!

8.      Ia tahu cara penggunaan Urim dan Tumim, dan menjelaskannya.

Tanggapan Budi Asali:
Tak ada penafsir yang tahu dengan pasti tentang hal itu. Jangankan cara menggunakannya, bahkan bagaimana bentuk dari Urim dan Tumimpun tidak ada yang tahu. Entah Suhento Liauw belajar dari mimpi atau bagaimana?

Kel 28:30 - “Dan di dalam tutup dada pernyataan keputusan itu haruslah kautaruh Urim dan Tumim; haruslah itu di atas jantung Harun, apabila ia masuk menghadap TUHAN, dan Harun harus tetap membawa keputusan bagi orang Israel di atas jantungnya, di hadapan TUHAN”.

Adam Clarke (tentang Kel 28:30)Thou shalt put in the breastplate of judgment the Urim and the Thummim.’ What these were has, I believe, never yet been discovered. 1. They are nowhere described. 2. There is no direction given to Moses or any other how to make them. ... 6. That God was often consulted by Urim and Thummim, is sufficiently evident from several Scriptures; but how or in what manner he was thus consulted appears in none.

Apa yang dikatakan oleh Bil 27:21 tidaklah menunjukkan cara penggunaan Urim dan Tumim.
Bil 27:21 - “Ia harus berdiri di depan imam Eleazar, supaya Eleazar menanyakan keputusan Urim bagi dia di hadapan TUHANatas titahnya mereka akan keluar dan atas titahnya mereka akan masuk, ia beserta semua orang Israel, segenap umat itu.’”.

Tanggapan Dji:
Di sini Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div “dengan rendah hati mengakui bahwa ia tidak tahu bentuk Urim-Tumim dan cara menggunakannya”. Makanya, lain kali undang Dr. Suhento Liauw ke gereja seminar lagi, supaya jemaat dan semua orang Kristen menjadi semakin tahu.

Urim – Tumim adalah dua alat yg dipakai Tuhan untuk menyatakan keputusan Tuhan. Urim – Tumim penggunaannya jelas dalam 1 Samuel 14:41 “Lalu berkatalah Saul: “Ya, TUHAN, Allah Israel, mengapa Engkau tidak menjawab hamba-Mu pada hari ini? Jika kesalahan itu ada padaku atau pada anakku Yonatan, ya TUHAN, Allah Israel tunjukkanlah kiranya Urim; tetapi jika kesalahan itu ada pada umat-Mu Israel, tunjukkanlah Tumim,” Lalu didapati Yonatan dan Saul, tetapi rakyat itu terluput.(artinya Tuhan tunjukkan Urim).” Ini adalah salah satu contoh cara penggunaan Urim-Tumim dalam Alkitab.

Tanggapan Esra Soru :

Menurut saya ayat ini hanya menunjukkan bahwa Urim dan Tumim dipakai untuk mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Tetapi bagaimana menggunakannya, sama sekali tidak dijelaskan dalam ayat ini. Bandingkan dengan kalau kita mau mengundi dengan melemparkan sebuah koin dan memilih apakah sisi gambar yang muncul atau sisi angka yang muncul, cara yang digunakan adalah dengan melemparkan koin itu ke atas/udara. Nah 1 Sam 14:41 hanya menjelaskan bahwa Urim dan Tumim dipakai sebagai alat untuk menentukan keputusan Tuhan, tetapi bagaimana menggunakannya, sama sekali tidak dijelaskan.

9.   Ia percaya bahasa Roh, nubuat, mimpi dari Tuhan, malaikat datang beri petunjuk firman, karunia lakukan mujijat / kesembuhan; semua ini tak ada lagi. 1Kor 13:8 ditafsirkan menunjuk pada selesainya penulisan Kitab Suci. Ia membahas kata Yunani TON TELEION dalam ayat itu dan ia mengartikannya sebagai ‘the perfect thing’.

Tanggapan Budi Asali:
Sepanjang saya tahu, tak ada satupun Kitab Suci bahasa Inggris yang menterjemahkan ‘the perfect thing’.

KJV: ‘But when that which is perfect is come, then that which is in part shall be done away’.
RSV: ‘but when the perfect comes, the imperfect will pass away’.
NIV: ‘but when perfection comes, the imperfect disappears’.
NASB: ‘but when the perfect comes, the partial will be done away’.
ASV: ‘but when that which is perfect is come, that which is in part shall be done away’.
NKJV: ‘But when that which is perfect has come, then that which is in part will be done away’.

Dan sekalipun memang ada penafsir-penafsir yang menafsirkan bahwa ini menunjuk pada selesainya penulisan Alkitab, tetapi hanya sangat sedikit penafsir yang menafsir seperti itu. Pada umumnya para penafsir mengatakan bahwa ini menunjuk pada saat kita masuk surga / pada kedatangan Kristus yang keduakalinya.

1Kor 13:8-10 - “(8) Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. (9) Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. (10) Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.

Kalau kata-kata ‘jika yang sempurna tiba’ (ay 10) dianggap menunjuk pada saat Alkitab lengkap, bagaimana mungkin pada saat itu pengetahuan akan lenyap? Bukankah dengan lengkapnya Alkitab, pengetahuan bukan saja tidak lenyap, tetapi makin bertambah?

Tetapi kalau diartikan menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya, maka itu memang memungkinkan, karena pengetahuan pada saat itu pastilah sangat berbeda dengan pengetahuan kita di dunia ini. Jadi pengetahuan yang sekarang ini, yang tidak lengkap / tidak sempurna, akan lenyap, digantikan oleh pengetahuan yang sempurna / lengkap, yang sama sekali baru.

Adam Clarke (tentang 1Kor 13:10)But when that which is perfect.’ The state of eternal blessedness; then that which is in part - that which is imperfect, shall be done away; the imperfect as well as the probationary state shall cease for ever.

Tanggapan Dji:
Kami percaya setiap kata bahkan setiap huruf yang diwahyukan (dinubuatkan) Tuhan dalam Alkitab mempunyai makna yang dalam. Tidak boleh diterjemahkan sembarangan.

Dalam seminar tersebut Dr. Suhento Liauw mengutip kata “TO TELEION” dari Alkitab interlinear Hendrickson, bukan “TON TELEION” seperti yg Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div kutip, ini memperlihatkan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div telah salah kutip dengan menambah satu huruf “N” pada kata “TO”, sehingga menjadi TON TELEION.  Padahal yg dimaksud Dr. Suhento “TON TELEION” dalam seminar adalah justru jika mengacu kepada orang sempurna itu (dalam bentuk accusative), dan jika dalam bentuk Nominatif maka menjadi HO TELEIOS.

Tetapi dalam teks bahasa asli Yunani Textus Receptus (TR) menuliskan “TO TELEION” yang berarti ini mengacu kepada “barang” bukan “orang”.

Ini bukti bahan yg dipakai oleh Dr. Suhento Liauw waktu seminar di Surabaya dan di tempat-tempat lain:


TO     Teleion = Barang Sempurna itu
TON  Teleion = Orang Sempurna itu

Maksud Dr. Suhento Liauw jika yang dimaksud di sini adalah mengacu kepada Tuhan Yesus (dalam bentuk Accusative) maka seharusnya bunyinya menjadi TON TELEION = Orang Sempurna itu. Jika tidak percaya silahkan buktikan sendiri dengan membeli kaset VCD rekaman seminar ini tersedia di GBIA Graphe.

Dr. Suhento Liauw memang tidak mengutip kata “TO TELEION” yg diterjemahkan “the perfect thing” dari Kitab Suci bahasa Inggris manapun, karena beliau mengutipnya dari Alkitab Interlinear Hendrickson, silahkan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div untuk mengeceknya kembali dalam Interlinear Hendrickson. Dalam interlinear Hendrickson menerjemahkan TO TELEION= “the perfect thing.”

Terjemahan NIV, KJV, RSV, ASV, NASB, NKJV semuanya ini memang tidak menambahkan kata “thing” di situ, sehingga tidak jelas “the perfect” di situ mengacu kepada orang atau barang! Jadi, harus kembali kepada bahasa asli Yunaninya. Silahkan cek Textus Receptus (TR) atau Interlinear Hendrickson.

Mari kita bedah kata “TO TELEION” menurut kamus The New Analytical Greek Lexicon oleh Wesley J. Perschbacher : TO TELEION = Adjective (kata sifat), Gender: Neutral, Singular (tunggal), Accusative (objek). Jadi, ini cocok diterjemahkan mengacu kepada Alkitab (objek yg sempurna/barang yg sempurna). Adalah suatu pelecehan dan penghinaan jika menafsir I Kor. 13:10 “To Teleion” yg Netral, Accusative (objek) dimaksudkan mengacu kepada “Tuhan Yesus”. Karena Tuhan Yesus bukan barang yang sempurna. Tuhan Yesus sudah sempurna sebelum dunia ada, dan tidak perlu menunggu kedatangan kedua kalinya untuk menyatakan IA sempurna.
Jika bahasa Yunaninya di sini (I Kor. 13:10) mengacu kepada Tuhan Yesus, maka seharusnya bunyinya: HO TELEIOS, bukan To Teleion. Tuhan Yesus adalah Subjek (Nominatif), Maskulin, tidak mungkin neutral dan Accusative. Jadi, Tuhan Yesus tidak mungkin NEUTRAL (gender: netral), kecuali ada yg menganggap-Nya “bencong/banci”. “banci/bencong” pun masih ada gendernya kalau bukan Feminim maka ia Maskulin.

Jadi, kali ini saya bisa buktikan bahwa apa yang dituliskan oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas ini adalah karena beliau tidak teliti atau salahpaham sehingga salah kutip!.

Tanggapan Esra Soru :

Apakah benar pak Budi salah mengutip kata-kata Suhento Liauw, biar dijelaskan Pak budi sendiri.

10.  Mulai saat Yesus mati sampai Kitab Suci selesai ditulis rasul-rasul jadi Standard kebenaran.

Tanggapan Budi Asali:
Kok Petrus bisa salah, dalam Kis 10 dan Gal 2?

Kis 10:13-15,34-35 - “(13) Kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata: ‘Bangunlah, hai Petrus, sembelihlah dan makanlah!’ (14) Tetapi Petrus menjawab: ‘Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir.’ (15) Kedengaran pula untuk kedua kalinya suara yang berkata kepadanya: ‘Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.’ ... (34) Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: ‘Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. (35) Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya”.

Gal 2:11-14 - “(11) Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. (12) Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat. (13) Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka. (14) Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injilaku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: ‘Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?’”.

Dan Yohanes bisa salah dengan menyembah malaikat?

Wah 19:10 - “Maka tersungkurlah aku di depan kakinya untuk menyembah dia, tetapi ia berkata kepadaku: ‘Janganlah berbuat demikian! Aku adalah hamba, sama dengan engkau dan saudara-saudaramu, yang memiliki kesaksian Yesus. Sembahlah Allah! Karena kesaksian Yesus adalah roh nubuat.’”.

Wah 22:8-9 - “(8) Dan aku, Yohanes, akulah yang telah mendengar dan melihat semuanya itu. Dan setelah aku mendengar dan melihatnya, aku tersungkur di depan kaki malaikat, yang telah menunjukkan semuanya itu kepadaku, untuk menyembahnya. (9) Tetapi ia berkata kepadaku: ‘Jangan berbuat demikian! Aku adalah hamba, sama seperti engkau dan saudara-saudaramu, para nabi dan semua mereka yang menuruti segala perkataan kitab ini. Sembahlah Allah!’”.

Tanggapan Dji:
Rasul-rasul jelas menjadi standar Kebenaran ketika Alkitab belum selesai ditulis (setelah kematian Yesus). Petrus dan Yohanes bisa “SALAH”  membuktikan mereka memang tidak sempurna dalam menjadi standar kebenaran, makanya Tuhan janjikan akan mengirim yg sempurna ( I Kor. 13:10 To Teleion) mengacu kepada Alkitab yg sempurna (tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurang).

Tanggapan Esra Soru :

Anda sama sekali tidak menjawab apa yang dipersoalkan. Bagaimana bisa Rasul-Rasul menjadi standard kebenaran pada suatu saat jika mereka sendiri bisa salah? Dapatkan sekelompok orang yang bisa salah menjadi standard kebenaran walaupun untuk suatu saat yang terbatas?

11.  Mat 11:13-14 - “(13) Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga tampilnya Yohanes (14) dan - jika kamu mau menerimanya - ialah Elia yang akan datang itu.. Ini ditafsirkan, jika kamu mau menerima, ia adalah Elia, jika tidak mau terima ia adalah Yohanes Pembaptis!

Tanggapan Budi Asali:
Ini ajaran sinting, dan merupakan penafsiran ‘liar’, yang tidak membutuhkan tanggapan.

Tanggapan Dji:
Mat. 11:13-14 adalah PERKATAAN LANGSUNG DARI TUHAN YESUS sendiri. Dr. Suhento Liauw hanya mengutipnya saja dari Alkitab. Silahkan para pembaca membuka Alkitab sendiri dan baca sendiri Matius 11: 2-14 (tidak perlu repot-repot menafsir). Bagaimana mungkin orang seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “Ini ajaran sinting, dan merupakan penafsiran ‘liar’? Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div menghina perkataan Tuhan Yesus sendiri. Dr. Suhento Liauw tidak akan terganggu dengan penghinaan yg lucu ini, hehehehe.....

Tanggapan Esra Soru :

Wah, anda ternuyata lebih bodoh dari yang saya duga. Pak Budi Asali tidak sementara mempersoalkan benarnya kata-kata Yesus itu tetapi mempersoalkan penafsiran Suhento Liauw terhadap ayat itu. Karena itu yang harus dibentrokan adalah penafsiran Suhento Liauw dengan kata-kata Pak Budi dan bukan kata-kata Pak Budi dengan kata-kata Yesus. Anda paham ini nak? Kelihatannya melihat cara dan kemampuan anda menanggapi suatu persoalan, sangat memprihatinkan kualitas anda sebagai seorang mahasiswa Teologia. Jika benar demikian tafsiran Suhento Liauw tentang ayat tsb, menurut saya itu memang tafsiran yang sangat bodoh bahkan untuk ukuran seorang pemula dalam studi Alkitab.

12.  Karena mau gerejanya steril, Suhento Liauw selalu khotbah sendiri.

Tanggapan Budi Asali:
Lucu sekali. Kalau dia yang khotbah pasti steril? Jadi ajarannya Suhento Liauw itu inerrant / infallible? Dan bagaimana kalau dia mati? Anaknya sendiri steril atau tidak? Apa mungkin dua orang punya theologia yang persis sama?

Tanggapan Dji:
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div yang saya kasihi dalam Tuhan Yesus. Bagaimana mungkin menyuruh orang lain yg tidak mengerti Alkitab (Kebenaran) untuk berkhotbah di mimbar Tuhan? Cara satu-satunya menjaganya steril adalah menyuruh orang-orang yg sepaham (satu doktrin) untuk berkhotbah di mimbar Tuhan, atau memang harus khotbah sendiri. Tidak ada masalah dengan pernyataan Dr. Suhento Liauw.

Tanggapan Esra Soru :

Lagi-lagi anda tidak bisa melihat apa yang menjadi inti persoalan. Pak Budi tidak mempersoalkan orang-orang yang tidak sepaham untuk berkhotbah. Yang dipersoalkan adalah Suhento Liauw menganggap bahwa kalau dia yang khotbah pasti steril. Anda bisa paham atau tidak?

13.  Kata ‘Katolik’ dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli (Indonesia diterjemahkan ‘AM’), disamakan dengan gereja Katolik!

Tanggapan Budi Asali:
Kata yang sama belum tentu artinya sama, dan kalau artinya sama belum tentu menunjuk pada hal yang sama.

Kata ‘Katolik’ memang artinya ‘am’ atau ‘universal’. Jadi kata-kata dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli versi bahasa Inggris, ‘the Holy Catholic Church’ (Gereja Katolik yang kudus / Gereja yang kudus dan am), tidak salah. Ini menunjuk pada Gereja yang tak kelihatan, atau gereja universal, yaitu semua orang percaya di seluruh dunia dan sepanjang jaman.

Encyclopedia Britannica 2010 dengan entry ‘Catholic’: “(from Greek katholikos, ‘universal’), the characteristic that, according to ecclesiastical writers since the 2nd century, distinguished the Christian Church at large from local communities or from heretical and schismatic sects. A notable exposition of the term as it had developed during the first three centuries of Christianity was given by St. Cyril of Jerusalem in his Catecheses (348):the church is called catholic on the ground of its worldwide extension, its doctrinal completeness, its adaptation to the needs of men of every kind, and its moral and spiritual perfection. The theory that what has been universally taught or practiced is true was first fully developed by St.Augustine in his controversy with the Donatists (a North African heretical Christian sect) concerning the nature of the church and its ministry. It received classic expression in a paragraph by St. Vincent of Lérins in hisCommonitoria (434), from which is derived the formula: ‘What all men have at all times and everywhere believed must be regarded as true.’ St. Vincent maintained that the true faith was that which the church professed throughout the world in agreement with antiquity and the consensus of distinguished theological opinion in former generations. Thus, the term catholic tended to acquire the sense of orthodox. Some confusion in the use of the term has been inevitable, because various groups that have been condemned by the Roman Catholic Church as heretical or schismatic never retreated from their own claim to catholicity. Not only the Roman Catholic Church but also the Eastern Orthodox Church, the Anglican Church, and a variety of national and other churches claim to be members of the holy catholic church, as do most of the major Protestant churches.

Tetapi istilah ‘Katolik’ juga digunakan oleh Gereja Roma Katolik, mungkin karena mereka menganggap mereka adalah satu-satunya gereja universal. Itu sebetulnya merupakan suatu penggunaan yang kontradiksi, karena ‘Roma’ merupakan sebutan yang bersifat lokal, sedangkan ‘Katolik’ sebutan yang bersifat universal.

Bahwa mereka menggunakan kata itu secara salah, itu urusan mereka. Tetapi kalau Suhento Liauw melarang / menyalahkan orang Kristen menggunakan kata itu, merupakan suatu kebodohan! Mengapa? Karena gereja-gereja yang dikecam oleh Gereja Roma Katolik sebagai gereja sesat, termasuk gereja Protestan, juga mengclaim istilah itu bagi gereja mereka, karena mereka menganggap gereja merekalah yang benar.

Tanggapan Dji:
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri mengakui dan setuju atau menyatakan “tidak salah”. “Jadi kata-kata dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli versi bahasa Inggris, ‘the Holy Catholic Church’ (Gereja Katolik yang kudus / Gereja yang kudus dan am), tidak salah. Ini menunjuk pada Gereja yang tak kelihatan, atau gereja universal, yaitu semua orang percaya di seluruh dunia dan sepanjang jaman.” (padahal yg benar adalah yang kelihatan, jemaat = orang percaya Yesus JELAS KELIHATAN). Kalau orang percaya itu adalah hantu maka ia tak kelihatan.

Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas menggunakan kata “tetapi KALAU Suhento Liauw melarang.......” “Kalau ini, kalau itu dan kalau-kalau” nanti jadinya Pak! Janganlah membuat asumsi “Kalau ........”

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri mengakui dan setuju atau menyatakan “tidak salah”. “Jadi kata-kata dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli versi bahasa Inggris, ‘the Holy Catholic Church’ (Gereja Katolik yang kudus / Gereja yang kudus dan am), tidak salah. Ini menunjuk pada Gereja yang tak kelihatan, atau gereja universal, yaitu semua orang percaya di seluruh dunia dan sepanjang jaman.” (padahal yg benar adalah yang kelihatan, jemaat = orang percaya Yesus JELAS KELIHATAN). Kalau orang percaya itu adalah hantu maka ia tak kelihatan.

Hehe…anda benar-benar bodoh tidak ketulungan. Silakan belajar kembali doktrin Eklesiologi untuk tahu apa artinya gereja yang tidak kelihatan. Ataukah itu tidak pernah diajarkan di sekolah teologia anda?

2.      Anda menulis :

Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas menggunakan kata “tetapi KALAU Suhento Liauw melarang.......” “Kalau ini, kalau itu dan kalau-kalau” nanti jadinya Pak! Janganlah membuat asumsi “Kalau ........”

Kalau disini tidak berarti Suhento Liauw tidak mengajarkan itu. Anda perlu belajar lagi bahasa Indonesia dengan baik.

14.  Serang predestinasi dan katakan neraka bukan dicipta untuk manusia tetapi untuk setan. Mat 25:41 - Dan Ia akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah kiriNya: Enyahlah dari hadapanKu, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya..

Tanggapan Budi Asali:

Jawaban tentang kebodohan ini tidak saya berikan di sini karena ini berhubungan dengan debat tanggal 24 Agustus 2012 antara Esra + saya vs Steven Liauw + partnernya. Saya tak mau tunjukkan ‘senjata’ saya sebelum debat tanggal 24 Agustus itu terlaksana.

Tanggapan Dji: ini juga tidak perlu saya tanggapi, kecuali saya hanya bisa katakan: lihat saja model bahasa ini (menunjukkan siapa jati diri Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sesungguhnya).

Tanggapan Esra Soru :

Yesus juga mengatakan pada para ahli taurat sebagai bodoh. Bahkan lebih keras dari yang dikatakan Pak Budi Asali :

Matius  23:17 : Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu?

Allah sendiri berkata tentang umatNya :

Yer 5:21 : "Dengarkanlah ini, hai bangsa yang tolol dan yang tidak mempunyai pikiran, yang mempunyai mata, tetapi tidak melihat, yang mempunyai telinga, tetapi tidak mendengar!
Mau mengatakan komentar yang sama pada Yesus dan Allah? Mau mengatakan : “lihat saja model bahasa ini (menunjukkan siapa jati diri Yesus dan Allah sesungguhnya). Berani?

15.  Dalam kebaktian tak boleh ada pemberkatan pada akhir kebaktian. Pemberkatan ada pada jaman keimaman Harun, jaman sekarang semua orang Kristen adalah imam, jadi tak boleh ada satu memberkati yang lain. Pemberkatan nikah itu salah, seharusnya peneguhan nikah.

Tanggapan Budi Asali:
Ajaran ini betul-betul gila, dan tak sulit untuk membantahnya / menghancurkannya.

a)   Dalam jaman Perjanjian Lama, yang memberkati adalah imam besar, tetapi berkat itu sebetulnya jelas bukan datang dari imam besar itu sendiri, tetapi dari Tuhan. Jadi, imam besar itu hanyalah alat Tuhan.

Bil 6:22-27 - “(22) TUHAN berfirman kepada Musa: (23) ‘Berbicaralah kepada Harun dan anak-anaknya: Beginilah harus kamu memberkati orang Israel, katakanlah kepada mereka: (24) TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; (25) TUHAN menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia; (26) TUHAN menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. (27) Demikianlah harus mereka meletakkan namaKu atas orang Israel, maka Aku akan memberkati mereka.’”.

Lalu mengapa dalam Perjanjian Baru, pendeta tak boleh jadi alat Tuhan untuk memberikan berkat dalam kebaktian?

Tanggapan Dji:
Tidak ada orang (termasuk Dr. Suhento Liauw) yg mengatakan berkat itu dari manusia, jelas berkat itu dari Tuhan baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru.
Bedanya dalam zaman Perjanjian Lama memang semuanya masih bersifat simbol, sehingga ada acara memberkati anak, dll. Sedangkan dalam Perjanjian Baru semua orang percaya adalah sama di mata Tuhan, bahkan setiap orang adalah imam yg rajani. I Pet. 2:9 “Tetapi kamulah (setiap orang percaya) bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:” Jadi, setiap orang percaya sekarang sudah bisa berdoa langsung kepada Tuhan Yesus atau minta berkat sendiri dari Tuhan, tidak seperti dalam zaman Perjanjian Lama yg memerlukan seorang imam. Justru atas dasar apa seorang seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div merasa layak minta berkat bagi orang lain?...... camkan ini Pak!.......

Tanggapan Esra Soru :

Paulus berulangkali memberikan berkat kepada jemaat-jemaat.

Rom 15:33 - Allah, sumber damai sejahtera, menyertai kamu sekalian! Amin.
Rom 16:20 - Semoga Allah, sumber damai sejahtera, segera akan menghancurkan Iblis di bawah kakimu. Kasih karunia Yesus, Tuhan kita, menyertai kamu!

1 Kor 1:3 - Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.

1 Kor 16:23 - Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu.

2 Kor 1:2 - Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.
2 Kor 13:13 - Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian.
Galatia  1:3 - kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus,

Efesus  1:2 - Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.

Filipi  1:2 - Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.

Dan masih banyak lagi.

Jadi semua pemberian berkat ini salah? Ingat, ini di zaman PB. Anda bertanya : “atas dasar apa seorang seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div merasa layak minta berkat bagi orang lain?” Jawabannya adalah atas dasar ayat2 yang banyak itu yang menunjukkan bahwa Paulus pun mengucapkan berkat bagi jemaat2. Justru sekarang saya balik bertanya, jika rasul Paulus sendiri mengucapkan berkat kepada orang2 percaya, atas dasar apa Suhento Liauw dan murid2nya melarang hal itu dan menganggap hal itu sebagai kesalahan?

b) Kalau karena dalam jaman Perjanjian Baru semua orang Kristen adalah imam, dan karena itu tak boleh orang Kristen yang satu memberkati orang Kristen yang lain, maka ingat bahwa dalam jaman Perjanjian Lama imam punya tugas mengajar Firman Tuhan.

Mal 2:1-7 - “(1) Maka sekarang, kepada kamulah tertuju perintah ini, hai para imam! (2) Jika kamu tidak mendengarkan, dan jika kamu tidak memberi perhatian untuk menghormati namaKu, firman TUHAN semesta alam, maka Aku akan mengirimkan kutuk ke antaramu dan akan membuat berkat-berkatmu menjadi kutuk, dan Aku telah membuatnya menjadi kutuk, sebab kamu ini tidak memperhatikan. (3) Sesungguhnya, Aku akan mematahkan lenganmu dan akan melemparkan kotoran ke mukamu, yakni kotoran korban dari hari-hari rayamu, dan orang akan menyeret kamu ke kotoran itu. (4) Maka kamu akan sadar, bahwa Kukirimkan perintah ini kepadamu, supaya perjanjianKu dengan Lewi tetap dipegang, firman TUHAN semesta alam. (5) PerjanjianKu dengan dia pada satu pihak ialah kehidupan dan sejahtera dan itu Kuberikan kepadanya - pada pihak lain ketakutan - dan ia takut kepadaKu dan gentar terhadap namaKu. (6) Pengajaran yang benar ada dalam mulutnya dan kecurangan tidak terdapat pada bibirnya. Dalam damai sejahtera dan kejujuran ia mengikuti Aku dan banyak orang dibuatnya berbalik dari pada kesalahan. (7) Sebab bibir seorang imam memelihara pengetahuan dan orang mencari pengajaran dari mulutnya, sebab dialah utusan TUHAN semesta alam”.

Kalau karena dalam jaman Perjanjian Baru semua orang Kristen adalah imam, dan karena itu tak boleh orang Kristen yang satu memberkati orang Kristen yang lain, maka konsekwensinya adalah: orang Kristen yang satu juga tak boleh mengajar Firman Tuhan kepada orang Kristen yang lain! Semua orang Kristen harus menjadi pengajar Firman Tuhan, dan lalu siapa pendengarnya?

Tanggapan Dji:
MEMBERKATI ORANG LAIN dan MENGAJAR FIRMAN TUHAN adalah dua pekerjaan yg berbeda. Jangan disamakan!. Dalam PL memang tugas imam untuk memberkati dan mengajar Firman Tuhan, tetapi dalam PB tidak boleh ada orang Kristen yg berhak memberkati orang lain, yang ada adalah mengajarkan Firman Tuhan, seperti yang kita lakukan saat ini [atau adanya jabatan yg alkitabiah dalam gereja yaitu: 1. Gembala/Penatua/Penilik jemaat, 2. Guru Injil (mengajar ke dalam), 3. Penginjil (mengajar/menginjil keluar, 4. Diaken (pembantu gembala)]

Konsekwensi yang Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div taruh di atas adalah suatu asumsi yg berlebihan dan “mengada-ngada”, apakah faktanya semua orang Kristen menjadi pengajar Firman hari ini? Atau apakah memang sudah tidak ada yg jadi pendengar Firman hari ini?. Bukankah ini adalah asumsi (konsekwensi) yang sangat berlebihan?.......Mari, lebih berhikmat lagi Pak!.....

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

MEMBERKATI ORANG LAIN dan MENGAJAR FIRMAN TUHAN adalah dua pekerjaan yg berbeda. Jangan disamakan!. Dalam PL memang tugas imam untuk memberkati dan mengajar Firman Tuhan, tetapi dalam PB tidak boleh ada orang Kristen yg berhak memberkati orang lain, yang ada adalah mengajarkan Firman Tuhan, seperti yang kita lakukan saat ini [atau adanya jabatan yg alkitabiah dalam gereja yaitu: 1. Gembala/Penatua/Penilik jemaat, 2. Guru Injil (mengajar ke dalam), 3. Penginjil (mengajar/menginjil keluar, 4. Diaken (pembantu gembala)]

Apa dasarnya bahwa di dalam PB tidak boleh ada orang kristen yang berhak memberkati? Jika dasarnya hanya karena di dalam PL imam melakukan itu, maka hal yang sama harus diberlakukan pada urusan mengajar Firman Tuhan. Kalau dikatakan bahwa dalam PB semua orang Kristen adalah imam, dan karenanya tidak boleh ada orang yang memberkati orang lain, lalu bagaimana dengan yang dilakukan Paulus sebagaimana yang sudah saya tunjukkan lewat ayat-ayat di atas?

2.      Anda menulis :

Konsekwensi yang Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div taruh di atas adalah suatu asumsi yg berlebihan dan “mengada-ngada”, apakah faktanya semua orang Kristen menjadi pengajar Firman hari ini? Atau apakah memang sudah tidak ada yg jadi pendengar Firman hari ini?. Bukankah ini adalah asumsi (konsekwensi) yang sangat berlebihan?.......Mari, lebih berhikmat lagi Pak!.....

Itu bukan asumsi Pak Budi Asali hai orang bodoh? Itu konsekuensi logis dari apa yang ia katakan seandainya argumentasinya benar.

c)   Bandingkan juga dengan ayat-ayat ini:

§   Ro 12:14 - Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!”.
§  1Kor 4:12 - “kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki,kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar;”.
§     Ibr 7:7 - “Memang tidak dapat disangkal, bahwa yang lebih rendah diberkati oleh yang lebih tinggi.

Tanggapan Dji:

Ibrani 7:7 disimpan dulu, bahasnya di bawah nanti.
Kita lihat 2 ayat ini dulu:

Roma 12:14 – “Berkatila ....” (KJV = BLESS)
I Kor. 4:12 “...kami memberkati.....” (KJV =  we BLESS).
“BLESS” dalam kamus bahasa Inggris –Indonesia artinya: 1. Memberkahi, merestui. 2. Mendoakan. –blessed ks. 1. Menyenangkan.

Jadi, ayat-ayat ini jangan dijadikan alasan untuk berkat-memberkati, tetapi lebih cocok diartikan:
Roma 12:14 “Berdoalah (kpd) siapa yg menganiaya kamu, berdoalah dan jangan mengutuk!” ini cocok dengan perintah Tuhan Yesus: Mat. 5:44 “Tetapi Aku berkata kepadamu: kasihilah musuhmu dan BERDOALAH bagi mereka yang menganiaya kamu.” (saya akui bahwa saya mendoakan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini supaya benar-benar dipakai Tuhan untuk memberitakan Injil-Nya).

Kini kita lihat Ibrani 7:7 “Memang tidak dapat disangkal, bahwa yang lebih rendah diberkati oleh yang lebih tinggi.

Coba pembaca sekarang juga, buka Alkitab masing-masing: konteks di ibrani 7:7 ini berbicara siapa yg lebih tinggi itu? siapa yg boleh memberkati itu? jawabannya: Dia adalah Melkisedek.
Siapakah Melkisedek itu?:

Kej.14:18 Melkisedek adalah Raja Salem

Ibrani 7:2 Melkisedek adalah Raja Salem, Raja Damai Sejahtera = Yesus Kristus adalah Raja Damai Sejahtera.

Ibrani 7: 3 “Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya”.

Ibrani 6:20 “Di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita, ketika Ia, menurut peraturan Melkisedek, menjadi Imam Besar sampai selama-lamanya.” Siapakah Melkisedek sehingga Yesus Kristus menurut peraturan-Nya? Melkisedek adalah Yesus Kristus sebelum datang dalam bentuk daging dan darah (sebelum menjadi manusia Yesus) = yang disebut Theophany / Christophany.

Jadi, bagaimana mungkin seorang Kristen (seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini) bisa menggunakan ayat Ibrani 7:7 ini sebagai ayat argumentasinya untuk memberkati orang lain?......

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Roma 12:14 – “Berkatila ....” (KJV = BLESS)
I Kor. 4:12 “...kami memberkati.....” (KJV =  we BLESS).
“BLESS” dalam kamus bahasa Inggris –Indonesia artinya: 1. Memberkahi, merestui. 2. Mendoakan. –blessed ks. 1. Menyenangkan.
Jadi, ayat-ayat ini jangan dijadikan alasan untuk berkat-memberkati, tetapi lebih cocok diartikan:
Roma 12:14 “Berdoalah (kpd) siapa yg menganiaya kamu, berdoalah dan jangan mengutuk!” ini cocok dengan perintah Tuhan Yesus: Mat. 5:44 “Tetapi Aku berkata kepadamu: kasihilah musuhmu dan BERDOALAH bagi mereka yang menganiaya kamu.” (saya akui bahwa saya mendoakan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini supaya benar-benar dipakai Tuhan untuk memberitakan Injil-Nya).

Anda mulai ngawur lagi. Anda mengutip kamus bahasa Indonesia yang jelas tetap memberikan arti kata “memberkahi”. Lalu mengapa membuang arti itu dari teks itu dan lalu menggantinya dengan berdoa? Ayat itu jelas diterjemahkan “berkati”, sesuai dengan kata bahasa Yunani “EULOGEO”, lalu mengapa anda mengubahnya menjadi “beroalah”? Saya melihat ada kecenderungan di anatar kalian untuk membelokkan ayat seenaknya sendiri demi kepentingan kalian. Inikah yang namanya Kristen Fundamentalis?

2.      Anda menulis :

Kini kita lihat Ibrani 7:7 “Memang tidak dapat disangkal, bahwa yang lebih rendah diberkati oleh yang lebih tinggi.

Coba pembaca sekarang juga, buka Alkitab masing-masing: konteks di ibrani 7:7 ini berbicara siapa yg lebih tinggi itu? siapa yg boleh memberkati itu? jawabannya: Dia adalah Melkisedek.

Siapakah Melkisedek itu?:

Kej.14:18 Melkisedek adalah Raja Salem

Ibrani 7:2 Melkisedek adalah Raja Salem, Raja Damai Sejahtera = Yesus Kristus adalah Raja Damai Sejahtera.

Ibrani 7: 3 “Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya”.

Ibrani 6:20 “Di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita, ketika Ia, menurut peraturan Melkisedek, menjadi Imam Besar sampai selama-lamanya.”

Siapakah Melkisedek sehingga Yesus Kristus menurut peraturan-Nya? Melkisedek adalah Yesus Kristus sebelum datang dalam bentuk daging dan darah (sebelum menjadi manusia Yesus) = yang disebut Theophany / Christophany.

Jadi, bagaimana mungkin seorang Kristen (seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini) bisa menggunakan ayat Ibrani 7:7 ini sebagai ayat argumentasinya untuk memberkati orang lain?......

Melkisedek adalah Yesus Kristus sebelum inkarnasi? Mari kita lihat ayat yang anda kutip.

Ibr 7:3 : “Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya.

Perhatikan bahwa di dalam ayat ini dikatakan bahwa Ia dijadikan sama dengan Anak Allah. Kalau dia dijadikan sama dengan Anak Allah, apakah itu berarti dia adalah pribadi yang sama dengan Anak Allah (Yesus)?

Juga anda berkata : Melkisedek adalah Yesus Kristus sebelum datang dalam bentuk daging dan darah (sebelum menjadi manusia Yesus). Kalau begitu perlu ditanyakan, dengan tubuh macam apakah Melkisedek menemui Abraham?

Perhatikan juga ayat tersebut dalam terjemahan lain :

BIS : Mengenai Melkisedek ini tidak ada keterangan di mana pun bahwa ia mempunyai bapak atau ibu atau nenek moyang; tidak ada juga keterangan tentang kelahirannya, ataupun kematiannya. Ia sama seperti Anak Allah; ia adalah imam yang abadi.

TEV : There is no record of Melchizedek's father or mother or of any of his ancestors; no record of his birth or of his death. He is like the Son of God; he remains a priest forever. (Tidak ada laporan tentang ayah atau ibu Melkisedek atau nenek moyangnya; tidak ada laporan tentang kelahirannya atau kematiannya…”)

CEV : We are not told that he had a father or mother or ancestors or beginning or end. He is like the Son of God and will be a priest forever. (Tidak dinyatakan bahwa ia mempunyai ayah atau ibu atau silsilah atau awal atau akhir…”)

GW : No one knows anything about Melchizedek's father, mother, or ancestors. No one knows when he was born or when he died. Like the Son of God, Melchizedek continues to be a priest forever. (Tidak ada seorangpun yang tahu hal-hal tentang ayah, ibu dan silsilah Melkisedek. Tidak ada orang yang tahu kapan ia lahir dan kapan ia mati….”)

Dari sini jelas bahwa Melkisedek bukannya tidak mempunyai ayah, ibu, silsilah, dll. Jelas dia punyai semuanya itu tapi tidak ada informasi sama sekali tentang dia. Siapa ayahnya, ibunya, nenek moyangnya, kapan dia lahir dan mati, kapan dia menjadi imam, kapan ia berhenti menjadi imam, tidak ada yang tahu. Dia muncul sebagai tokoh misterius begitu saja.

Kalau begitu dia memang benar-benar adalah tokoh yang hadir dalam sejarah. Lalu bagaimana ia dianggap sebagai Yesus sendiri sebelum inkarnasi ?

Kalau begitu siapakah Melkisedek ?  Dalam Alkitab kita mengenal apa yang disebut sebagai tipologi yaitu gambaran tentang sesuatu yang akan datang di mana gambarannya disebut TYPE dan penggenapannya disebut ANTI TYPE. Tipe ini di dalam Alkitab bermacam-macam :
·        Ada tipologi orang (misalnya Adam adalah gambaran Kristus).
·        Ada tipologi upacara (misalnya ritual korban dalam PL adalah gambaran Kristus yang akan datang).
·        Ada tipologi peristiwa (misalnya peristiwa Musa meninggikan ular tembaga adalah gambaran dari Kristus yang akan ditinggikan).

Tipe ini sampai pada taraf tertentu mempunyai kemiripan dengan anti tipenya tetapi ada perbedaannya. Misalnya, sesuai contoh di atas :
· Adam mempunyai kemiripan dengan Yesus (Adam terakhir) yakni sama-sam adalah awal dari sebuah generasi (Adam manusia lama, Yesus manusia baru) tetapi ada perbedaan yakni Adam berdosa dan Kristus tidak.
· Domba korban mempunyai kemiripan dengan Kristus yakni darahnya dicurahkan, tidak bercacat cela tetapi darah domba mempunyai keterbatasan dalam penebusan.
·   Ular tembaga mempunyai kemiripan dengan Kristus di mana ular tembaga dapat menyembuhkan dan Kristus dapat menyelamatkan tapi ular tembaga hanya memberikan kesembuhan secara fisik sedangkan Kristus memberikan keselamatan kekal.

Dengan demikian, menurut saya Melkisedek ini adalah tipe/gambaran dari Kristus. Sesuai dengan konteksnya maka penulis surat Ibrani sementara berbicara tentang keimaman Kristus dan karenanya dia melihat keimaman Melkisedek yang tak berakhir itu dilihat sebagai gambaran keimaman Kristus yang bersifat kekal.

Ibr 6:20 - di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita, ketika Ia, menurut peraturan Melkisedek, menjadi Imam Besar sampai selama-lamanya.

Ibr 7:17 - Sebab tentang Dia diberi kesaksian: "Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya, menurut peraturan Melkisedek."
     
Penulis surat Ibrani menggunakan gambaran Melkisedek ini untuk membuktikan keimaman Kristus sebagai sesuatu yang sah walau Ia tidak berasal dari suku Lewi melainkan dari suku Yehuda karena kalau Melkisedek yang tidak jelas silsilahnya saja bisa menjadi imam, mengapa Yesus tidak bisa menjadi imam hanya karena Ia tidak berasal dari suku Lewi ? Jadi kesimpulannya adalah Melkisedek adalah manusia biasa seperti kita hanya tidak ada informasi tentang dirinya. Dia dilihat sebagai gambaran dari Kristus bukan adalah pribadi Kristus sendiri.

16.  Nama Allah yang benar bukan YAHWEH tetapi YEHOVAH. Alasan: karena dalam manuscript tertua yang gunakan huruf hidup (MT) namanya disebutkan YEHOVAH.

Tanggapan Budi Asali:
Ini lucu karena MT bukan manuscript! Dalam manuscript tak ada huruf hidup!Memang YAHWEHpun belum tentu benar, tetapi YEHOVAH pasti salah, karena huruf hidupnya dipinjam dari ADONAY (dan mungkin juga dari ELOHIM).
Saya akan memberi kutipan dari buiku saya sendiri tentang Yahweh-isme, yang berbunyi sebagai berikut:

Bagaimana dengan pengucapan ‘Jehovah’ / ‘Yehovah’?

Di atas sudah saya jelaskan bahwa setiap kali bertemu dengan nama YHWH, mereka membacanya ADONAY (= Tuhan). Lalu pada suatu saat, ada orang-orang yang memasukkan bunyi huruf-huruf hidup dari kata ADONAY, yaitu A - O - A ke sela-sela dari YHWH itu, sehingga didapatkan YAHOWAH, dan seorang dosen saya mengatakan bahwa dalam aksen Jerman (entah dari mana kok tahu-tahu ada aksen Jerman), ini lalu berubah menjadi YEHOWAH atau YEHOVAH. Pulpit Commentary dalam tafsirannya tentang Im 24:11 mengatakan bahwa perubahan YAHOWAH menjadi YEHOWAH itu disebabkan karena: the laws of the Hebrew language required the first a to be changed into e, and hence the name Jehovah” (= hukum-hukum dari bahasa Ibrani mengharuskan huruf a yang pertama untuk diubah menjadi huruf e, dan karena itu menjadi Jehovah) - hal 383.

Catatan: perlu diketahui bahwa dalam bahasa Ibrani, huruf V dan W adalah sama.

The New Bible Dictionary (dengan topik ‘God, names of’)“YHWH was considered too sacred to pronounce; so ADONAY (my Lord) was substituted in reading, and the vowels of this word were combined with the consonants YHWH to give ‘Jehovah’, a form first attested at the beginning of the 12th century AD” [= YHWH dianggap terlalu keramat untuk diucapkan; maka ADONAY (Tuhanku) dijadikan pengganti dalam pembacaan, dan huruf-huruf hidup dari kata ini dikombinasikan dengan huruf-huruf mati YHWH untuk memberikan ‘Jehovah’, suatu bentuk yang pertama-tama ditegaskan pada permulaan abad ke 12 M.] - hal 478.

Nelson’s Bible Dictionary (dengan topik ‘God, Names of’)“The divine name Yahweh is usually translated Lord in English versions of the Bible, because it became a practice in late Old Testament Judaism not to pronounce the sacred name YHWH, but to say instead ‘my Lord’ (Adonai) - a practice still used today in the synagogue. When the vowels of Adonai were attached to the consonants YHWH in the medieval period, the word Jehovah resulted” [= Nama ilahi ‘Yahweh’ biasanya diterjemahkan ‘Lord’ (= Tuhan) dalam versi-versi Alkitab bahasa Inggris, karena menjadi suatu praktek dalam Yudaisme Perjanjian Lama belakangan, untuk tidak mengucapkan nama keramat / kudus YHWH, tetapi mengatakan ‘Tuhanku’ (ADONAY) sebagai gantinya - suatu praktek yang masih digunakan jaman ini dalam sinagog. Pada waktu huruf-huruf hidup dari ADONAY diberikan pada huruf-huruf mati YHWH pada jaman abad pertengahan, kata Yehovah dihasilkan].

  a D o N a Y
   ¯   ¯   ¯
Y   H   W   H ®YaHoWaH ®YeHoWaH / YeHoVaH

Encyclopedia Britannica memberikan penjelasan yang agak berbeda. Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa bunyi huruf-huruf hidup yang dimasukkan di sela-sela YHWH itu diambil bukan hanya dari kata ADONAY (= Tuhan), tetapi juga dari kata ELOHIM (= Allah). Dari kata yang pertama didapatkan A - O - A dan dari kata yang kedua didapatkan E - O - I. Penggabungannya dimasukkan ke sela-sela YHWH. Untuk bunyi huruf hidup pertama, yang diambil adalah E, untuk yang kedua diambil O, dan untuk yang ketiga diambil A. Jadi, muncul YEHOWAH / YEHOVAH.

Encyclopedia Britannica 2007“The Masoretes, who from about the 6th to the 10th century worked to reproduce the original text of the Hebrew Bible, replaced the vowels of the name YHWH with the vowel signs of the Hebrew words Adonai or Elohim. Thus, the artificial name Jehovah (YeHoWaH) came into being” [= Para ahli Taurat Yahudi, yang dari kira-kira abad ke 6 sampai abad ke 10 bekerja untuk mereproduksi text orisinil dari Alkitab Ibrani, menggantikan huruf-huruf hidup dari nama YHWH dengan tanda-tanda huruf-huruf hidup dari kata-kata Ibrani Adonai atau Elohim. Maka, nama buatan YEHOVAH (YeHoWaH) tercipta].

  a D o N a Y
   ¯   ¯   ¯
Y   H   W   H ®YeHoWaH / YeHoVaH
  ­ ­­    ­    ­
  e L o H i M

Louis Berkhof rupanya juga sependapat, karena ia berkata: “And therefore in reading the Scriptures they substituted for it either ’Adonai or ’Elohim; and the Masoretes, while leaving the consonants intact, attached to them the vowels of one of these names, usually those of ’Adonai” [= Dan karena itu dalam membaca Kitab Suci mereka (orang-orang Yahudi) menggantikannya atau dengan ADONAY atau ELOHIM; dan ahli-ahli Taurat Yahudi, sementara mereka membiarkan huruf-huruf mati itu utuh, melekatkan kepada huruf-huruf mati itu huruf-huruf hidup dari salah satu dari nama-nama ini, biasanya huruf-huruf hidup dari ADONAY] - ‘Systematic Theology’, hal 49.

Dari penjelasan ini bisa dinyatakan bahwa penyebutan YEHOVAH (atau dalam bahasa Inggris ‘Jehovah’), sebenarnya pasti salah, karena bunyi huruf hidupnya diambil dari kata ADONAY, atau dari ADONAY dan ELOHIM.

Tanggapan Dji :
Saya tidak mau terlalu mengomentari ini, karena Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri menyatakan “belum tahu mana yg benar”, sambil menyatakan penyebutan YEHOVAH “pasti salah”. Padahal sudah dikasih tahu oleh Dr. Suhento Liauw tentang penyebutan yg benar.

Izinkan saya tambahkan sedikit penjelasan: Mat. 5:18 “Karena Aku (Tuhan Yesus) berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari Hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” Ini artinya Tuhan pasti sanggup memelihara NAMA-NYA yg KUDUS dan keramat itu. Mana mungkin NAMA TUHAN bisa hilang beberapa huruf hidup dan tidak diketahui oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div dan Louis Berkhof ?......
Saya lebih percaya kepada Alkitab (kata-kata Tuhan Yesus) dari pada percaya kepada Louis Berkhof atau yg lainnya.

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Saya tidak mau terlalu mengomentari ini, karena Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri menyatakan “belum tahu mana yg benar”, sambil menyatakan penyebutan YEHOVAH “pasti salah”. Padahal sudah dikasih tahu oleh Dr. Suhento Liauw tentang penyebutan yg benar.

Persoalannya apakah yang dikasitahu  Suhento Liauw pasti benar? Lalu bagaimana dengan kata-kata pak Budi yang menanggapi kata-kata Suhento Liauw : Ini lucu karena MT bukan manuscript! Dalam manuscript tak ada huruf hidup!? Pak Budi memangh tuidak memastikan bahwa penyebutan Yahweh yang benar tetapi jelas penyebutan YEHOVAH adalah salah. Lalu kenapa tidak tanggapi? Hehe…

2.      Anda menulis :

Izinkan saya tambahkan sedikit penjelasan: Mat. 5:18 “Karena Aku (Tuhan Yesus) berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari Hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” Ini artinya Tuhan pasti sanggup memelihara NAMA-NYA yg KUDUS dan keramat itu. Mana mungkin NAMA TUHAN bisa hilang beberapa huruf hidup dan tidak diketahui oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div dan Louis Berkhof ?......

Saya lebih percaya kepada Alkitab (kata-kata Tuhan Yesus) dari pada percaya kepada Louis Berkhof atau yg lainnya.

Lagi-lagi anda ngawur. Yang dipersoalkan sekarang bukan Hukum Tauratnya yang ditiadakan tetapi soal penyebutan. Bukan nama YHWH itu yang dihilangkan tapi penyebutan nama itu yang tidak diketahui. Sepertinya anda perlu belajar cara berlogika yang baik untuk bisa melihat apa sebenarnya yang dipersoalkan oleh lawan sehingga tidak lantas memberikan tanggapan tidak pada sasarannya.

17.  Ia percaya semua bayi yang mati masuk surga. Dasar Alkitab yang ia berikan adalah 1Raja 14:13 - “Seluruh Israel akan meratapi dia dan menguburkan dia, sebab hanya dialah dari pada keluarga Yerobeam yang akan mendapat kubur, sebab di antara keluarga Yerobeam hanya padanyalah terdapat sesuatu yang baik di mata TUHAN, Allah Israel.. Ia berkata anak Yerobeam ini belum akil balik / dewasa dan karena itu Tuhan menemukan adanya sesuatu yang baik dalam dirinya (ia belum punya dosa dari dirinya sendiri).

Tanggapan Budi Asali:

Sangat lucu, jadi dosa asal tak membuat Allah murka kepada seseorang. Kalau begitu mengapa bayi bisa mati? Juga anak Yerobeam itu bukan bayi / anak kecil. Kata Ibrani yang digunakan adalah NAAR, yang bisa berarti ‘boy’ (= anak laki-laki) ataupun ‘youth’ (= pemuda). Karena itu anak itu sudah pasti punya dosa dari dirinya sendiri. Kalau dikatakan Allah mendapati sesuatu yang baik dalam dirinya maka itu pasti menunjukkan anak itu sudah beriman, karena tanpa iman tidak mungkin seseorang bisa memperkenan Tuhan.

Ibr 11:6a - “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.”.

Mungkin karena ia beriman maka ia tidak setuju dengan penyembahan berhala yang dilakukan oleh ayahnya (Yerobeam), dan itulah hal yang baik yang ada pada anak itu. Adanya hal yang baik ini pasti juga merupakan hasil pekerjaan Tuhan dan kasih karuniaNya dalam diri anak itu, sehingga sekalipun ia dilahirkan dalam keluarga yang brengsek, ia sendiri bisa beriman dan mempunyai kesalehan, sehingga bisa memperkenan Tuhan.

Tanggapan Dji:
Semua dosa manusia (dosa seisi dunia) telah ditanggung Tuhan Yesus ( I Yoh. 2:2 “Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia”), tentu termasuk dosa bayi Yerobeam.

Manusia yang belum akil balik (setelah dewasa) berdosa atas keputusannya sendiri (jadi harus bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus yg telah menanggung semua dosanya).

Jadi, saya melihat Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div hanya bisa berkata (tentang bayi Yerobeam masuk Sorga): “Mungkin.....karena ia beriman maka ia tidak setuju dengan penyembahan berhala yang dilakukan oleh ayahnya (Yerobeam)”. Sekali lagi Theologi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div menggunakan asumsi dan asumsi Mungkin (May be.....May be.....) dan ini pun jika bayi di situ “dipaksa” diterjemahkan sudah dewasa (boy = anak laki-laki).

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Semua dosa manusia (dosa seisi dunia) telah ditanggung Tuhan Yesus ( I Yoh. 2:2 “Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia”), tentu termasuk dosa bayi Yerobeam.

Kalau begitu semua manusia harus selamat, karena semuanya sudah ditanggung dan tidak ada 1 pun yang masuk neraka. Begitukah? Calvinisme mengartikan kata “dunia” di dalam ayat ini tidak menunjuk pada semua manusia dalam pengertian yg sebenarnya tetapi seluruh umat pilihan yang ada di seluruh dunia.

2.      Anda menulis :

Manusia yang belum akil balik (setelah dewasa) berdosa atas keputusannya sendiri (jadi harus bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus yg telah menanggung semua dosanya).

Lalu bagaimana dengan anak bayi Yerobeam? Jika benar dia masih bayi tentiu dia tidak bisa bertobat dan percaya kepada Yesus.

3.      Anda menulis :

Jadi, saya melihat Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div hanya bisa berkata (tentang bayi Yerobeam masuk Sorga): “Mungkin.....karena ia beriman maka ia tidak setuju dengan penyembahan berhala yang dilakukan oleh ayahnya (Yerobeam)”. Sekali lagi Theologi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div menggunakan asumsi dan asumsi Mungkin (May be.....May be.....) dan ini pun jika bayi di situ “dipaksa” diterjemahkan sudah dewasa (boy = anak laki-laki).

Anda ngawur sekali. Kata “mungkin” menunjukkan bahwa apa yang dikatakan tidak diketahui secara persis tetapi itu tidak berarti pasti salah. Dipaksa bagaimana? Anda buta dan tidak melihat bahwa penjelasan sudah diberikan kalau penafsiran demikian didasarkan pada kata bahasa Ibrani yang memang memiliki multi makna?


18.  Dalam pengajaran, Suhento Liauw ini sering memfitnah orang:

a) Ia menunjukkan foto di koran, ada 4 orang, themanya kira-kira penyatuan / penyamaan Kristen dengan Katolik. Lalu berkata: yang ini James Ryadi (memang benar), yang ini Stephen Tong (ngawur, itu pasti bukan Stephen Tong). Lalu di koran itu ditulis nama Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia.

Tanggapan Budi Asali:

Ini saya protes dalam acara tanya jawab dan saya jelaskan: yang satu memang James Ryadi, yang satu lagi Yakub Susabda, tetapi tak ada Stephen Tong, itu FITNAH! Dia agak malu, lalu bilang kalau fotonya kabur jadi mirip Stephen Tong. Padahal fotonya nggak mirip sama sekali dengan Stephen Tong! Dan kalau memang tidak tahu, lebih baik jangan omong tentang kejelekan orang lain, atau itu harus dianggap sebagai FITNAH!

Tanggapan Dji:
Saya sekali lagi MENYATAKAN RAGU dan INI TIDAK BISA DIPERCAYA atas koment Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini, karena lihat saja pernyataannya di atas: “Themanya kira-kira........(maaf, saya ulangi: “Themanya kira-kira....” )

Mengenai foto di koran itu memang buram (tidak jelas siapa) dan itu memang koran tentang STT Reformed Injili Indonesia, dan kata Dr. Suhento Liauw (ketika saya konfirmasi langsung dengan beliau) beliau berkata: justru yang sebut “Stephen Tong” itu adalah audiens seminar, bukan Dr. Suhento Liauw yg menyebutnya.

Setahu saya: Dr. Suhento Liauw bukanlah tipe orang yg demikian (suka fitnah), apalagi seminar-seminar tersebut biasanya ada direkam, jauhlah kiranya beliau berbuat demikian.
(untuk Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ketahui, bahwa: Kami semua mengasihi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div, Bapak James Ryadi, Bapak Stephen Tong yg luarbiasa tetap semangat, and we pray for them, we pray for all Indonesian people)

Silahkan pembaca yg menilai sendiri saja! Siapa yg suka fitnah dan tanpa dasar Alkitab! Dan siapa yg mengasihi sesuai perintah Tuhan!.

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Saya sekali lagi MENYATAKAN RAGU dan INI TIDAK BISA DIPERCAYA atas koment Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini, karena lihat saja pernyataannya di atas: “Themanya kira-kira........(maaf, saya ulangi: “Themanya kira-kira....” )

Anda sekali lagi menunjukkan kengawuran di sini. Inti persoalan yang diangkat ini tentang masalah foto yang dianggap sebagai foto Stepehen Tong bukan masalah thema. Mau tema apapun tapi kalau benar itu dikatakan sebagai Stephen Tong, itu fitnah namanya.

2.      Anda menulis :

Mengenai foto di koran itu memang buram (tidak jelas siapa) dan itu memang koran tentang STT Reformed Injili Indonesia, dan kata Dr. Suhento Liauw (ketika saya konfirmasi langsung dengan beliau) beliau berkata: justru yang sebut “Stephen Tong” itu adalah audiens seminar, bukan Dr. Suhento Liauw yg menyebutnya.

Jikalau benar bahwa audienslah yang menyebut Stephen Tong, lalu mengapa dia katakan sebagaimana dikatakan Pak Budi bahwa “fotonya kabur jadi mirip Stephen Tong”. Kalau benar dia tidak katakan itu maka sangat masuk akal dia akan menjawab bahwa itu bukan saya yang katakan tapi audiens. Apakah justru tidak nampak kebohongan Suhento Liauw di sini lagi?

Juga seorang dari grup kalian sendiri yang namanya Dance Suat memberikan komentar di dinding FB tentang masalah ini dan mengakui ini sebagai kekeliruan. Ini kata-katanya :


 




Dia hadir di sana pada saat seminar itu, lalu bagaimana dia bisa mengakui bahwa itu adalah kekeliruan sedangkan Sehento Liauw mengatakan bahwa bukan dia yang mengatakan hal itu? Semakin terlihat kebohongan Suhento Liauw dalam hal ini.

b)   Calvin / Calvinist ada jejak darah, dalam persoalan kematian Servetus. Lucu, yang menghukum mati Servetus bukan Calvin, tetapi pengadilan! Orang gila ini senang memfitnah!

Tanggapan Budi Asali:
Ini fitnahan yang lazim dalam kalangan Arminian! Entah mereka tidak tahu sejarahnya atau pura-pura tidak tahu, itu bukan urusan saya. Tetapi siapapun mau bicara tentang kejelakan orang, ia harus tahu bahwa apa yang ia bicarakan itu pasti benar. Kalau tidak, itu merupakan FITNAH!

Perlu diketahui beberapa hal dalam persoalan penghukuman mati terhadap Servetus dengan dibakar pada jaman Calvin:

1.   Servetus dihukum mati bukan karena dia anti Calvinisme, tetapi karena ia bukan saja tak percaya pada doktrin Allah Tritunggal, tetapi lebih dari itu, ia menghujatnya mati-matian dengan mengatakan hal itu sebagai ‘monster berkepala tiga’ dsb sehingga menimbulkan kemarahan dari semua orang Kristen dan bahkan Katolik di seluruh dunia.

2.   Calvin memang yang melaporkan dia kepada pemerintah / polisi pada waktu ia secara berani mati muncul di Geneva. Tetapi yang menangkap, mengadili, menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar, dan melaksanakan hukuman mati itu adalah pemerintah / pengadilan.

3.   Calvin justru memintakan keringanan supaya hukuman itu diubah dari dibakar menjadi pemenggalan, tetapi permintaan Calvin ditolak oleh pengadilan.

Semua cerita ini ada dalam buku sejarah dari Philip Schaff (orang ini ahli sejarah, dan ia bukan Calvinist), dan itu bisa saya buktikan.

Philip Schaffif we consider Calvin’s course in the light of the sixteenth century, we must come to the conclusion that he acted his part from a strict sense of duty and in harmony with the public law and dominant sentiment of his age, which justified the death penalty for heresy and blasphemy, and abhorred toleration as involving indifference to truth Even Servetus admitted the principle under which he suffered; for he said, that incorrigible obstinacy and malice deserved death before God and men ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 690.

Philip SchaffCalvin never changed his views or regretted his conduct towards Servetus. Nine years after his execution he justified it in self-defence against the reproaches of Baudouin (1562), saying: ‘Servetus suffered the penalty due to his heresies, but was it by my will? Certainly his arrogance destroyed him not less than his impiety. And what crime was it of mine if our Council, at my exhortation, indeed, but in conformity with the opinion of several Churches, took vengeance on his execrable blasphemies? Let Baudouin abuse me as long as he will, provided that, by the judgment of Melanchthon, posterity owes me a debt of gratitude for having purged the Church of so pernicious a monster.’ ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 690-691.

Philip SchaffLet us remember also that it was not simply a case of fundamental heresy, but of horrid blasphemy, with which he had to deal. If he was mistaken, if he misunderstood the real opinions of Servetus, that was an error of judgment, and an error which all the Catholics and Protestants of that age shared ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 691.

Philip SchaffIt is not surprising that this book gave great offence to Catholics and Protestants alike, and appeared to them blasphemous. Servetus calls the Trinitarians tritheists and atheists. He frivolously asked such questions as whether God had a spiritual wife or was without sex. He calls the three gods of the Trinitarians a deception of the devil, yea (in his later writings), a three-headed monster ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 718-719.

Philip SchaffServetus charges the Reformed Christians of Geneva that they had a gospel without a God, without true faith, without good works; and that instead of the true God they worshipped a three-headed Cerberus ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 731.
Catatan: Cerberus = anjing berkepala tiga yang menjaga Hades dalam mitologi Romawi dan Yunani (Webster’s New World Dictionary, College Edition).

Philip SchaffHe calls all Trinitarians ‘tritheists’ and ‘atheists.’ They have not one absolute God, but a three-parted, collective, composite God - that is, an unthinkable, impossible God, which is no God at all. They worship three idols of the demons, - a three-headed monster, like the Cerberus of the Greek mythology. One of their gods is unbegotten, the second is begotten, the third proceeding. One died, the other two did not die. Why is not the Spirit begotten, and the Son proceeding? By distinguishing the Trinity in the abstract from the three persons separately considered, they have even four gods. The Talmud and the Koran, he thinks, are right in opposing such nonsense and blasphemy ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 741-742.

Philip SchaffShortly after the publication of the ‘Restitution,’ the fact was made known to the Roman Catholic authorities at Lyons through Guillaume Trie, a native of Lyons and a convert from Romanism, residing at that time in Geneva. He corresponded with a cousin at Lyons, by the name of Arneys, a zealous Romanist, who tried to reconvert him to his religion, and reproached the Church of Geneva with the want of discipline. On the 26th of February, 1553, he wrote to Arneys that in Geneva vice and blasphemy were punished, while in France a dangerous heretic was tolerated, who deserved to be burned by Roman Catholics as well as Protestants, who blasphemed the holy Trinity, called Jesus Christ an idol, and the baptism of infants a diabolic invention. He gave his name as Michael Servetus, who called himself at present Villeneuve, a practising physician at Vienne. In confirmation he sent the first leaf of the ‘Restitution,’ and named the printer Balthasar Arnoullet at Vienne. This letter, and two others of Trie which followed, look very much as if they had been dictated or inspired by Calvin. Servetus held him responsible. But Calvin denied the imputation as a calumny. At the same time he speaks rather lightly of it, and thinks that it would not have been dishonorable to denounce so dangerous a heretic to the proper authorities. He also frankly acknowledges that he caused his arrest at Geneva. He could see no material difference in principle between doing the same thing, indirectly, at Vienne and, directly, at Geneva. He simply denies that he was the originator of the papal trial and of the letter of Trie; but he does not deny that he furnished material for evidence, which was quite well known and publicly made use of in the trial where Servetus’s letters to Calvin are mentioned as pieces justificatives. There can be no doubt that Trie, who describes himself as a comparatively unlettered man, got his information about Servetus and his book from Calvin, or his colleagues, either directly from conversation, or from pulpit denunciations. We must acquit Calvin of direct agency, but we cannot free him of indirect agency in this denunciation. Calvin’s indirect agency, in the first, and his direct agency in the second arrest of Servetus admit of no proper justification, and are due to an excess of zeal for orthodoxy ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 757-759.

Philip SchaffThe final responsibility of the condemnation, therefore, rests with the Council of Geneva, which would probably have acted otherwise, if it had not been strongly influenced by the judgment of the Swiss Churches and the government of Bern. Calvin conducted the theological part of the examination of the trial, but had no direct influence upon the result. His theory was that the Church may convict and denounce the heretic theologically, but thathis condemnation and punishment is the exclusive function of the State, and that it is one of its most sacred duties to punish attacks made on the Divine majesty. ‘From the time Servetus was convicted of his heresy,’ says Calvin, ‘I have not uttered a word about his punishment, as all honest men will bear witness; and I challenge even the malignant to deny it if they can.’One thing only he did: he expressed the wish for a mitigation of his punishment. And this humane sentiment is almost the only good thing that can be recorded to his honor in this painful trial ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 767-768.

Philip Schaff“... the wish of Calvin to substitute the sword for the fire was overruled” (= ... keinginan Calvin untuk menggantikan api dengan pedang ditolak) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 781-782.

Philip SchaffThe severest charge against him is blasphemy. Bullinger remarked to a Pole that if Satan himself should come out of hell, he could use no more blasphemous language against the Trinity than this Spaniard; and Peter Martyr, who was present, assented and said that such a living son of the devil ought not to be tolerated anywhere. We cannot even now read some of his sentences against the doctrine of the Trinity without a shudder. Servetus lacked reverence and a decent regard for the most sacred feelings and convictions of those who differed from him - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 781-788.

Tanggapan Dji:

Point b) di atas menurut saya itu sudah bercampur-aduk antara pernyataan Dr. Suhento Liauw dengan “kekesalan” Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri.

Hemat saya pernyataan Dr. Suhento Liauw harusnya begini: (silahkan Pembaca teliti dan cermat) Dr. Suhento Liauw: b) Calvin / Calvinist ada jejak darah, dalam persoalan kematian servetus (titik).

Tetapi karena tidak sabar dan tidak teliti maka “bukti kekesalan” Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini menggabungkannya menjadi pernyataan Dr. Suhento Liauw juga. (Mohon kerelaan hatinya untuk koreksi dan mengakuinya saja Pak? Ini terlihat jelas kok?) (saya tidak mau “menuduh” Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div melakukan Fitnah kpd Dr. Suhento Liauw, sekalipun buktinya ini sudah kuat) saya menganggap Bapak ini khilaf saja. Bahkan karena terlalu tidak sabar dan tidak teliti (saya dapat memakluminya) Belum-belum sudah bilang “Lucu, yang menghukum mati Servetus bukan Calvin, tetapi pengadilan! orang gila ini senang memfitnah!” padahal bagian ini (“Lucu, yang menghukum mati Servetus .....dan seterusnya... !”) harusnya ini masuk ke dalam bagian Tanggapan Budi Asali. Begitu toh Pak?....... monggo ditanggapi..... tapi kalau tidak ditanggapi ya sudahlah...maklumkan sajalah...... (We love you brother.....)

Oke, kita kembali ke laptop....(versi Tukul “empat mata”)

Tanggapan untuk point:

1.  Servetus dihukum mati dalam zaman Calvin (tidak ada yg bisa membantahnya), Servetus memang pengajar bidat (sesat) yg tidak percaya kepada doktrin Allah Tri Tunggal. Tetapi seberapa sesat pun seorang Servetus maka ia tidak layak mendapatkan hukuman mati. Orang Kristen Alkitabiah memandang perbedaan penafsiran dan perbedaan kepercayaan / keyakinan agama sebagai sesuatu yang lazim dan umum. Orang Kristen Alkitabiah tidak boleh memberikan  “stempel” tanda setuju Servetus atau “servetus-servetus lain” untuk dihukum mati karena perbedaan doktrin/perbedaan keyakinan.
2.  Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri pun “mengakui” bahwa Calvin yg melaporkan Servetus kepada polisi di Genewa. Walaupun memang pengadilan yg jatuhkan hukuman mati, tetapi andil Calvin dalam melaporkan Servetus itu sudah menjadi bukti keterlibatan John Calvin dalam kematian Servetus. Mudah dimengerti toh!.... Apalagi waktu itu seorang John Calvin (tahun 1541-1564) sangat berpengaruh di Genewa.
3. “John Calvin justru meminta keringanan untuk Servetus” (Faktanya: Permohonannya tidak dikabulkan dan Servetus mati dibakar). Ini kedengaran sangat memprihatinkan. Apakah John Calvin benar-benar  meminta keringanan untuk Servetus? (kini tinggal tanda tanya saja?)

Tanggapan Esra Soru :

1.      Anda menulis :

Point b) di atas menurut saya itu sudah bercampur-aduk antara pernyataan Dr. Suhento Liauw dengan “kekesalan” Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri.

Hemat saya pernyataan Dr. Suhento Liauw harusnya begini: (silahkan Pembaca teliti dan cermat)
Dr. Suhento Liauw: b) Calvin / Calvinist ada jejak darah, dalam persoalan kematian servetus (titik).

Tetapi karena tidak sabar dan tidak teliti maka “bukti kekesalan” Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini menggabungkannya menjadi pernyataan Dr. Suhento Liauw juga. (Mohon kerelaan hatinya untuk koreksi dan mengakuinya saja Pak? Ini terlihat jelas kok?) (saya tidak mau “menuduh” Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div melakukan Fitnah kpd Dr. Suhento Liauw, sekalipun buktinya ini sudah kuat) saya menganggap Bapak ini khilaf saja. Bahkan karena terlalu tidak sabar dan tidak teliti (saya dapat memakluminya) Belum-belum sudah bilang “Lucu, yang menghukum mati Servetus bukan Calvin, tetapi pengadilan! orang gila ini senang memfitnah!” padahal bagian ini (“Lucu, yang menghukum mati Servetus .....dan seterusnya... !”) harusnya ini masuk ke dalam bagian Tanggapan Budi Asali. Begitu toh Pak?....... monggo ditanggapi..... tapi kalau tidak ditanggapi ya sudahlah...maklumkan sajalah...... (We love you brother.....)

Ini saja kok dipersoalkan. Bagi orang yang baca, sudah pasti tahu bahwa kata-kata selanjutnya “Lucu…adalah tanggapan Pak Budi Asali. Dan Pak Budi Asali sendiri tidak menulis itu dengan tujuan bahwa itu adalah kata-kata Suhento Liauw. Itu Cuma masalah penempatan.

2.      Anda menulis :

Servetus dihukum mati dalam zaman Calvin (tidak ada yg bisa membantahnya), Servetus memang pengajar bidat (sesat) yg tidak percaya kepada doktrin Allah Tri Tunggal. Tetapi seberapa sesat pun seorang Servetus maka ia tidak layak mendapatkan hukuman mati. Orang Kristen Alkitabiah memandang perbedaan penafsiran dan perbedaan kepercayaan / keyakinan agama sebagai sesuatu yang lazim dan umum. Orang Kristen Alkitabiah tidak boleh memberikan  “stempel” tanda setuju Servetus atau “servetus-servetus lain” untuk dihukum mati karena perbedaan doktrin/perbedaan keyakinan.

Anda lagi-lagi ngawur. Servetus dihukum mati dalam zaman Calvin tidak bisa disamakan dengan Servetus dihukum mati oleh Calvin. Sudah dikatakan oleh Pak Budi bahwa yang menghukum mati adalah pengadilan. Kalau mau salahkan, salahkanlah pengadilan bukan Calvin. Calvin kan Cuma melaporkan kasusnya ke pengadilan.

3.      Anda menulis :

Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri pun “mengakui” bahwa Calvin yg melaporkan Servetus kepada polisi di Genewa. Walaupun memang pengadilan yg jatuhkan hukuman mati, tetapi andil Calvin dalam melaporkan Servetus itu sudah menjadi bukti keterlibatan John Calvin dalam kematian Servetus. Mudah dimengerti toh!.... Apalagi waktu itu seorang John Calvin (tahun 1541-1564) sangat berpengaruh di Genewa.

Apakah kalau anda melaporkan seorang dengan suatu tuduhan tertentu ke pengadilan, dan setelah pengadilan mempelajari kasusnya dan ternyata benar demikian lalu memutuskan hukuman mati kepada tertuduh itu, andajuag ikut bersalah? Logika macam apa itu? Anda benar-benar ngawur sekali dalam hal ini.

4.      Anda menulis :

“John Calvin justru meminta keringanan untuk Servetus” (Faktanya: Permohonannya tidak dikabulkan dan Servetus mati dibakar). Ini kedengaran sangat memprihatinkan. Apakah John Calvin benar-benar  meminta keringanan untuk Servetus? (kini tinggal tanda tanya saja?)

Apakah fakta bahwa Servetus tetap dibakar sebagai bukti bahwa Calvbin tidak pernah meminta keringanan hukuman baginya? Lagi-lagi logika anda benar-benar payah sekali. Pak Budi sudah berikan kutipan dari Philp Schaff seorang sejarawan. Lebih masuk akal percaya kata-kata seorang sejarawan atau kata-kata anda?


19.  Kesan yang didapat adalah: ia anggap dan nyatakan gerejanya sebagai ‘the only true church’, dan anjurkan orang pindah ke gerejanya! Katolik, Kharismatik, Calvinist, tokoh-tokoh reformasi (Martin Luther, Calvin, dsb), semua digempur.

Tanggapan Budi Asali:
Saya menganggap semua orang yang menganggap gerejanya sebagai ‘the only true church’, sebagai orang-orang sesat. Saksi Yehuwa mempunyai pandangan seperti itu, dan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh juga mempunyai kepercayaan seperti itu, dan itu saya anggap sebagai salah satu bukti kesesatan mereka.

Saya sering mengecam banyak pendeta dan gereja sebagai sesat, tetapi saya tidak pernah punya anggapan / pemikiran / kepercayaan bahwa gereja saya adalah ‘the only true church’!

Tanggapan Dji:

Point 19) Sekali lagi ini terlihat lebih jelas “siapa yg ngawur”? Kesan mestinya ditaruh pada bagian Tanggapan Budi Asali. Tapi yah kita maklumkanlah..........

Adalah hal yg baik dan sah-sah saja jika ada orang menganggap gerejanya yg paling benar daripada gereja orang lain. Justru adalah aneh jika ada gembala atau “pendeta” yg tidak yakin bahwa gerejanya paling benar! Perbedaan keyakinan agama saja merupakan sesuatu yg lazim dan umum dalam dunia keKristenan, apalagi perbedaan “keyakinan gerejanya paling benar!” ini mah hal yg biasa.....

Tanggapan Esra Soru :

1.   Anda yang ngawur. Pak Budi Asali melihat adanya kesan demikian dari ajaran Suhento Liauw dank arena itu lalu berikan tanggapannya. Apanya yang aneh?
2.  Lagi-lagi anda menunjukkan ketidakmampuan melihat persoalan yang diangkat. Pak Budi tidak mempersoalkan keyakinan seseorang bahwa gerejanya paling benar. Yang dipersoalkan bahwa gerejanya adalah “SATU-SATUNYA” gereja yang benar. Anda paham hai anak TK?


Demikianlah tanggapan dari saya. Terima kasih. Salam damai sejahtera buat kita semua dalam Tuhan Yesus Kristus. Segala kemuliaan dan hormat hanya bagi Tuhan kita Yesus Kristus. Amin!
MARANATHA!  MARANATHA!  MARANATHA!        


Dari: Dji ji liong, S.E / Mahasiswa Graphe International Theological Seminary)

Tangapan Esra Soru :

Membaca tanggapan anda, saya sama sekali prihatin. Terlihat sekali bahwa anda begitu sukar menangkap yang menjadi inti argumentasi yang diberikan oleh lawan. Saran saya sebaiknya anda lebih banyak belajar lagi dalam hal ini dan juga di dalam membangun argumentasi. Tanggapan anda menjadi cermin seperti apakah kualitas lembaga pendidikan dan guru-guru anda.


***************


No comments:

Post a Comment

Anchor of Life Fellowship , Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri - Efesus 2:8-9